Pemanfaatan Danau UI :
Antara Aksesbilitas, Kerusakan
Lingkungan dan Penyelamatan Kolaboratif
Pendahuluan
Degradasi
atau penurunan kualitas lingkungan hidup, banyak ditemui pada kota-kota besar termasuk
di Kota Depok[1]. Kota
Depok merupakan kota dengan dataran landai dengan
rata-rata ketinggian 121 meter dari permukaan laut, dan dikelilingi oleh
kota-kota besar seperti Kota Bogor dan Kota Jakarta. Letaknya yang dekat dengan
Kota Jakarta, menjadikan Kota Depok menjadi daerah penyangga bagi Kota Jakarta.
Hal ini sesuai dengan isi Undang-Undang No. 15 Tahun 1999 yang menetapkan Kota
Depok yang memiliki luas 20.209 hektare sebagai daerah penyangga bagi Kota
Jakarta[2]. “Gelar” daerah penyangga
yang dipegang oleh Kota Depok, salah satunya bermakna bahwa Kota Depok memiliki
fungsi menjadi daerah resapan air bagi Kota Jakarta. Selain sebagai daerah
resapan air bagi Kota Jakarta, jika mengingat letaknya yang secara geografis
diantara Kota Jakarta dan Kota Bogor, Kota Depok juga dapat berfungsi lebih,
yakni mengelola curahan air dari Kota Bogor yang mengalir menuju Kota Jakarta.
“Gelar” daerah penyangga yang dipegang Kota Depok, hendaknya harus segara
dikaji dan dikelola lebih baik lagi, karena fungsinya yang sudah mulai luntur.
Letak Kota Depok yang begitu strategis,
yakni dekat dengan Kota Jakarta membuat perkembangan Kota Depok berkembang
begitu pesat. Perkembangan Kota Depok tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu
imbas berkembangnya Kota Jakarta. Sebagai imbas dari berkembangnya Kota Jakarta akibatnya, meningkatkan kebutuhan akan ruang usaha dan kepentingan publik
dan juga berdampak pada
menyempitnya lahan tempat tinggal. Ditambah lagi belum berhasilnya pemerintah
terhadap program penanganan urbanisasi sehingga melengkapi memburuknya
kebutuhan akan ruang tempat tinggal. Kondisi ini tentu membebani kawasan
marjinal kota (sub urban), seperti Kota Depok, yang akhirnya menjadi kawasan penyedia lahan[3].
Selain masalah keterbatasan ruang, perkembangan Kota Depok yang
begitu pesat juga tidak diiringi dengan pembangunan yang ramah lingkungan, hingga akhirnya
daerah-daerah resapan air di Kota Depok lambat laun menjadi berkurang.
Berkurangnya daerah resapan air yang secara signifikan berkurang adalah daerah
danau, baik itu danau buatan atau danau alami. Dari data yang berhasil saya
himpun, dari sekitar 30 danau yang terdapat di Kota Depok, ternyata 28 danau
dinyatakan dalam keadaan rusak berat atau kritis. Bahkan 5 dari 30 danau yang
ada, sudah tidak berfungsi sama sekali.[4] Berkurangnya daerah
resapan air khususnya danau di Kota Depok sudah sangat memprihatinkan, dan
berimplikasi pada keharusan seluruh elemen masyarakat Kota Depok untuk turut
serta dalam melakukan pengelolaan danau yang ada. Salah satu elemen masyarakat
Kota depok yang memiliki peran penting dalam pengelolaan danau adalah
Universitas Indonesia. Universitas
Indonesia, memiliki 6 buah danau yang 5 diantaranya merupakan danau buatan[5]. Idealnya sesuai peraturan
yang berlaku ( SK Rektor UI Tahun 2007 mengenai Pembinaan Lingkungan Kampus), danau UI hanya diperuntukan fungsinya sebagai
daerah edukasi, rekreasi, dan daerah resapan air. Namun, pada kenyataannya
banyak masyarakat yang mengambil manfaat lebih dari danau UI diluar peruntukan
yang semestinya. Fenomena ini menjadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut,
untuk melihat bagaimana bentuk akses
masyarakat terhadap danau UI, dampaknya yang dihasilkan serta kerusakan yang
ditimbulkan dan bagaimanakah pola-pola penyelamatan danau UI, sebagai salah
satu “situs” ekologis perkotaan.
Danau UI : Sebuah
Gambaran Ekologis
Universitas Indonesia merupakan sebuah
lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah dan
mempunyai fasilitas-fasilitas penting di dalamnya. Universitas Indonesia
berdiri pada tahun 1849 dan merupakan institusi atau lembaga pendidikan dengan
sejarah paling tua di Asia.[6]
Secara geografis, lokasi kampus UI berada di dua area yang
cukup berjauhan, yakni kampus Salemba dan kampus Depok. Kampus Depok memiliki
luas lahan mencapai 320 hektar dan mayoritas fakultas UI berada di Depok,
dengan atmosfer green kampus karena
25% lahan hanya digunakan sebagai sarana akademik dan non akademik, selebihnya
75% lahan UI bisa dikatakan sebagai area hijau berwujud hutan kota yang
mencirikan ekosistem hutan tropis dengan tiga bentuk ekosistem unggulan yaitu :
ekosistem pepohonan yang bersumber dari Indonesia bagian timur, ekosistem pepohonan wilayah Indonesia bagian barat, dan komplek vegetasi asli JABODETABEK yang dipadu
serasi dengan daerah hutan jati mas yang tumbuh hijau diantara gedung Rektorat UI, FASILKOM,
serta FISIP UI.[7]
Kampus UI Depok, secara teritorial berdiri diatas 2 wilayah administratif yang
berbeda. Kampus UI Depok bagian utara (danau salam - danau puspa), masuk dalam
wilayah administratif kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan
kampus UI bagian selatan (danau ulin – danau aghatis), masuk dalam wilayah
administratif Kota Depok, Jawa Barat.
Danau UI adalah danau yang
berada di lingkungan kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Enam Danau yang berlokasi di daerah UI tersebut
memiliki nama yaitu, Kenanga, Aghatis, Mahoni, Puspa, Ulin, Salam, dan jika
nama dari masing-masing danau di UI tersebut di ambil huruf depannya, maka akan
membentuk satu yakni KAMPUS. Setiap
danau, diberi nama sesuai dengan nama-nama pohon yang dahulu banyak tumbuh di
wilayah kampus UI. Danau UI masuk dalam jenis danau“Eutropik” sebutan untuk danau yang dangkal dan kaya akan kandungan
makanan, karena fitoplankton sangat produktif. Ciri-cirinya adalah airnya
keruh, terdapat bermacam-macam organisme, dan oksigen terdapat di daerah
profundal.[8]
Adapun lokasi-lokasi dari
keenam danau tersebut yaitu :
1.
Danau kenanga berlokasi di antara Gedung Rektorat Balairung dan Masjid UI yang dibangun tahun 1992 dengan
luas 28.000 m2 . Danau kenanga
sebenarnya adalah danau semi buatan. Dahulu danau kenanga merupakan daerah rawa
yang dangkal, yang kemudian dibentuk dan digali kembali hingga berbentuk
seperti sekarang.
2.
Danau Agathis berlokasi di antara FMIPA dan
Politeknik Negeri Jakarta, dibangun tahun 1995 dengan luas 20.000 m2.
3.
Danau Mahoni terletak di sebelah Utara dan Selatan Kampus yang dibatasi
oleh jalan utama lingkar selatan (sebelah timur FIB dan PSJ, serta
sebelah Barat FE), dibangun pada tahun 1996 dengan luas 45.000 m2 .
4.
Danau Puspa terletak antara Danau Ulin dan Danau Mahoni, dibangun pada
tahun 1995 dengan luas 20.000 m2 .
5.
Danau Ulin berlokasi diantara Danau Puspa dan Danau Salam dan dibangun pada
tahun 1998 dengan luas 72.000 m2 .
6. Danau Salam, yang
berlokasi bersejajar sesuai aliran dari selatan ke utara
sebagai bagian rangkaian Danau Ulin dan Danau Puspa, yang dibangun pada tahun
1998 dengan luas 42.000 m2.[9]
Pemanfaatan Danau :
Antara Aksesbilitas dan Dampak Ekologis
Mengacu
pada pola pikir teori akses (Ribot, J.C., & N.L. Peluso 2003)[10],
danau UI saya kategorikan sebagai sebuah sumber daya properti bagi Universitas Indonesia.
Pengkategorian sebagai sumber daya properti dikarenakan danau UI merupakan hak
milik Universitas Indonesia, yang didasarkan atas klaim, konvensi atau kekuatan
hukum yang ada. Pemanfaatan dan pengelolaan danau UI secara properti tunduk dan
patuh pada aturan pengelolaan para pengelola kampus UI. Saya melihat bahwa
danau-danau di kampus UI pada satu sisi memang merupakan sebuah sumber daya
properti, karena berdasarkan hak yang disandarkan pada klaim dan hukum yang
ada. Namun disisi lain, saya juga melihat bahwa danau UI tidak hanya dapat
disebut sebagai sebuah sumber daya properti, namun juga dapat disebut sebagai
sebuah akses. Dalam teorinya, Ribot J.C., & N.L. Peluso, mendefinisikan
akses sebagai sebuah kemampuan mengambil manfaat dari hal-hal termasuk objek
material, orang, lembaga dan simbol-simbol. Dengan fokus pada kemampuan
mengambil manfaat dari sebuah objek material atau sumber daya, saya melihat
bahwa danau UI adalah sumber daya yang dapat diambil manfaatnya oleh seluruh
masyarakat sekitar UI, dan seluruh masyarakat itu sendiri memiliki kemampuan
untuk mengambil manfaatnya secara langsung atau tidak langsung. Bentuk akses
akan sumber daya demikianlah yang saya sebut sebagai open access.
Selain
menganalisis bahwa danau UI merupakan sebuah open access, saya juga menganalisis bagaimanakah bentuk-bentuk
pemanfaatan dan dampak-dampak yang ditimbulkan dari bentuk pemanfaatan danau UI
sebagai sebuah open access.
Pemanfaatan-pemanfaatan tersebut saya menganalisisnya dengan konsep teori akses
dan membaginya berdasarkan 2 macam jenis
mekanisme akses, yakni legal access dan ilegal access.
Legal access intinya adalah
hak yang didefinisikan oleh hukum,
aturan, atau konvensi yang membentuk kontrol dan pengelolaan terhadap akses.
Kepemilikan berdasar-hukum mencakup akses lewat memegang hak milik dengan izin
dan lisensi dimana pemegangnya dapat mengendalikan akses. Orang lain yang tidak
memilikinya harus datang pada pemegang izin dan lisensi tersebut untuk
memperoleh atau mengelola akses. Sedangkan ilegal
access adalah pemanfaatan yang mengarah pada kesenangan mengambil manfaat
dari sesuatu dengan cara yang secara sosial tidak dikenakan sanksi oleh negara
atau pihak yang berwenang. Bentuk-bentuk pemanfaatanya antara lain :
1. legal access
Pemanfaatan
dengan mekanisme legal access pada danau UI, secara singkat dapat diartikan
sebagai pemanfaatan danau UI berdasarkan peraturan yang ada. Peraturan yang
menyangkut mengenai pemanfaatan dan pengelolaan danau UI yakni SK Rektor UI
mengenai Pembinaan Lingkungan Kampus (PLK) tahun, 2007. Peraturan tersebut
mengamanatkan pemanfaatan danau-danau di wilayah kampus UI, difungsikan sebagai
sarana-sarana seperti dibawah ini :
- Pemanfaatan
Danau UI Sebagai Sarana Edukasi
Danau
UI dimanfaatkan sebagai sarana edukasi, dalam arti danau UI dijadikan sebagai
sarana penunjang bagi para civitas akademika Universitas Indonesia dalam melakukan
riset, atau penelitian.
b. Sebagai
Sarana Rekreasi
Relaks
dan bersantai merupakan salah satu kebutuhan psikologis manusia yang bernilai
positif[11].
Kebutuhan manusia akan rileks dan bersantai salah satunya dipenuhi dengan cara
rekreasi. Rekreasi yang dilakukan bertujuan untuk melepaskan penat dan stres
akan rutinitas, atau masalah-masalah yang sedang dihadapi. Salah satu media
rekreasi adalah dengan cara berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap memiliki
nilai keindahan atau dapat menenangkan dan menyenangkan perasaan. Danau UI
(khususnya danau Salam dan danau Kenanga), kerap kali dikunjungi baik oleh
civitas akademika UI, atau masyarakat sekitar UI untuk berekreasi.
c.
Sebagai Daerah Resapan Air
Danau UI sebagai daerah resapan air,
jika melihat dari perspektif secara fungsional dapat dikatakan bahwa inilah
fungsi danau UI yang utama. Menurut penjabaran Kepress RI No.32 Tahun 1990,
tentang pengelolaan kawasan lindung, danau berfungsi sebagai daerah resapan
air, pengendali banjir, dan menjaga ketersediaan air tanah. Fungsi ini sangat
penting bagi Kota Jakarta dan Depok secara umum, dan bagi kampus UI secara
khusus. Jika danau tidak dikelola dengan baik, maka dapat mengakibatkan banjir,
atau musibah kekeringan yang dikarenakan hilangnya ketersediaan air tanah.
2.
Ilegal access
Pemanfaatan
danau UI dengan mekanisme ilegal access,
secara singkat dapat diartikan sebagai pemanfaatan danau UI diluar peraturan
yang telah ditentukan. Pemanfaatan dengan mekanisme ilegal access, mengarah pada kesenangan mengambil manfaat dari
sesuatu dengan cara yang secara sosial tidak dikenakan sanksi oleh negara atau
pihak yang berwenang. Ilegal access banyak
dilakukan dengan cara “negoisasi” peraturan dengan cara melakukan lobi pada
aparat, atas dasar hubungan sosial (pertemanan) dan pemakluman keadaan.
Beberapa bentuk pemanfaatan dengan mekanisme ilegal access antara lain :
a. Kegiatan Memancing
Ikan
.
Kegiatan memancing ikan, walaupun dianggap sebagai kegiatan yang ilegal dan
dilarang untuk dilakukan namun kegiatan tersebut masih tetap ”marak” dilakukan
oleh masyarakat.
b
. Kegiatan Menjala Ikan
Kegiatan
menjala ikan, memang merupakan kegiatan yang tidak sepopuler kegiatan
memancing. Para penjala, menjala ikan dengan menggunakan rakit dan jala. Rakit yang digunakan tergolong sederhana,
karena terbuat dari susunan bambu yang diikat yang ditambah dengan susunan ban
bekas yang dipasang diujung rakit. Jala yang digunakan, juga tergolong biasa
seperti jala yang digunakan untuk menjala ikan pada umumnya.
c.
Berjualan
Salah
satu kegiatan yang merupakan akses yang ilegal dalam memanfaatkan danau UI
adalah berjualan. Kegiatan berjualan yang biasa masyarakat lakukan adalah
dengan cara menjajakan minuman seperti kopi atau teh manis, dan juga makanan
ringan seperti roti atau gorengan. Jika dianalisis lebih lanjut, kegiatan
berjualan di danau UI sebenarnya merupakan efek turunan dari bentuk-bentuk
akses terhadap danau UI yang lainnya. Kehadiran orang-orang yang berjualan,
hadir dikarenakan banyaknya orang yang ada untuk memanfaatkan danau UI. Para
pedagang merasa kehadiran orang-orang yang memanfaatkan danau UI sebagai sebuah
peluang untuk menjajakan dagangannya.
d.
Kegiatan Membuang Sampah
Kegiatan membuang sampah menurut
pengamatan saya merupakan kegiatan yang paling merusak yang dilakukan dalam
kerangka mekanisme ilegal access.
Kegiatan membuang sampah pada danau UI dilakukan oleh masyarakat dengan dua
cara, yakni secara langsung dan tidak langsung. Berdasarkan data yang saya himpun, diketahui bahwa sampah
yang ada di danau UI khususnya di danau Puspa merupakan hasil pembuangan sampah
yang dilakukan secara tidak langsung. Sampah-sampah tersebut berasal dari pasar
Kemiri Muka, Depok dan masuk ke danau UI karena dibawa oleh arus melewati
gorong-gorong air. Sedangkan sampah yang yang secara langsung dibuang,
didominasi oleh sampah yang dibuang oleh para civitas akademika itu sendiri,
dan sampah hasil sisa para pedagang sekitar danau UI.
Setelah
membahas mengenai bentuk-bentuk pemanfaatan yang dilakukan, selanjtnya saya
akan menjelaskan dampak-dampak apa sajakah yang dtimbulkan dari
pemanfaatan-pemanfaatan tersebut. Dampak-dampak tersebut antara lain :
a.
Dampak Positif
Danau
UI berdampak secara ekonomi pada masyarakat sekitar kampus UI. Berdasarkan
hasil pengamatan, danau UI menjadi salah satu sarana mencari nafkah baik secara
langsung maupun tidak langsung pada pemanfaatnya.
b.
Dampak Negatif
Dampak
negatif dari pemanfaatan danau UI adalah kerusakan pada lingkungan
danau itu sendiri . Kerusakan tersebut, banyak didominasi karena pembuangan sampah yang sembarangan
baik secara langsung atau tidak langsung. Pemancingan ikan dan pengambilan ikan
dengan menjalanya secara terus menerus juga mengambil andil dalam kerusakan
lingkungan danau. Pemancingan dan penjalaan ikan yang terus menerus, dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem danau itu sendiri. Sedangkan sampah yang menumpuk, dapat menjadi
polutan yang merusak ekosistem danau, mengganggu keseimbangan daerah resapan
air, bahkan dapat menjadi sarang berkembangnya penyakit. Pada akhirnya,
kerusakan lingkungan danau UI itu sendiri akan berdampak pada manusia
disekitarnya, baik dalam bentuk bencana alam (banjir atau kekeringan), atau
wabah penyakit.
Kerusakan
Danau UI : Sebuah Bentuk Politics Of Unsustainability
Kerusakan
pada danau UI, sebagai konsekuensi dari aksesbilitasnya dapat kita lihat
sebagai sebuah kerusakan yang mayoritas dilakukan oleh manusia. Masalah pembuangan sampah (baik langsung maupun tidak
langsung) yang dilakukan tanpa adanya regulasi yang tepat dan bertanggungjawab
dinilai sebagai salah satu penyebab terbesar dari kerusakan danau UI. Ketidakjelasn
regulasi yang tepat dan bertanggungjawab inilah daerah yang kemudian
menyebabkan apa yang disebut sebagai Politics Of Unsustainability[12]. Politics Of
Unsustainability, didefiniskan oleh Shoreman, Elanor E., & Nore
Haenn (2009), dalam tulisannya “Regulation, Conservation, and Collaboration
: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” sebagai sebuah keadaan non ekologis (sosial, politik, hukum,
ekonomi, kultural ) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis
(lingkungan primer, alam). Keadaan Non ekologis yang buruk dalam hal ini saya
melihatnya dalam bidang hukum atau aturan yang tidak jelas dalam penanganan
sampah di danau UI.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, sampah yang beredar di danau UI mayoritas
merupakan sampah yang bukan berasal dari sekitaran danau UI. Jika kita
mengamati lebih mendalam, sampah-sampah yang banyak bertebaran merupakan
sampah-sampah pasar yang berasal dari pasar kemiri muka, Depok. Sampah-sampah
tersebut dibuang ke gorong-gorong yang kemudian hanyut dan terbawa (atau
sengaja diarahkan), ke danau UI.
Yang
menjadi persoalan besar adalah, kemudian tidak adanya tindakan penyelesaian
yang berkelanjutan dari pemerintah kota Depok untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Padahal jika kita mengacu kembali pada aturan UU No. 15 Tahun 1999 tentang kota Depok sebagai daerah penyangga
(khususnya dalam hal ekologis daerah ibukota Jakarta), harusnya ini menjadi salah
satu poin dan perhatian khusus yang dilakukan oleh pemerintah kota. Setali tiga
uang dengan pemerintah Depok, solusi-solusi yang dilakukan oleh kampus UI tidak
kalah “acak adutnya”. Beberapa kali penyelesaian atas kerusakan danau UI hanya
dilakukan dengan tindakan-tindakan yang temporal bahkan seremonial semata namun
tidak menyelesaikan akar dari permasalahan tersebut secara utuh. Salah satu pengalaman
dari tindakan penyelamatan seremonial yang pernah saya saksikan adalah ketika
penyelamatan danau UI di awal tahun 2012. Ketika itu pihak rektorat UI dibantu
oleh departemen lingkungan BEM UI dan departemen sosial kemasyarakatan se-UI
mengadakan sebuah acara pembersihan danau UI (tepatnya di danau puspa) dengan
tajuk #SaveDanauUI.
Kegiatan ini
menurut saya merupakan kegiatan yang besar namun cukup sia-sia. Bagiamana
tidak, dengan jumlah peserta yang cukup banyak namanun tidak memberikan dampak
yang signifikan dan berkelanjutan. Hasilnya secara singkat bisa dirasakan,
namun seminggu kemudian danau yang sudah dibersihkan menjadi kotor kembali
karena sampah. Solusi-solusi yang harus dilakukan kemudian harusnya merupakan
solusi yang berkelanjutan dan kolaboratif untuk menjawab permasalahan secara
utuh.
Penyelamatan
Kolaboratif : Solusi Berkelanjutan Penyelamatan Danau UI
Masalah
pembuangan sampah ditambah dengan Politics Of
Unsustainability dalam dimensi aturan atau hukum , sudah seharusnya
mendapatkan solusi yang tepat dalam penyelesainnya. Solusi yang tepat ini pula
diharapkan bukan hanya menjawab permasalahan secara secara parsial dan temporal
namun dapat menjawab secara holistik
dan berkelanjutan. Salah satu, solusi penyelamatan yang holisitk dan berkelanjutan yang saya nilai tepat untuk
menyelamatkan danau UI adalah dengan cara penyelamatan kolaboratif.
Penyelamatan
kolaboratif, menurut Peraturan Menteri Kehutanan P.19/2004
merupakan sebuah tindakan penyelamatan dengan mempertimbangkan keterlibatan
dari banyak pihak yang memiliki kepentingan atas sebuah objek atau sumber daya
tersebut. Lain halnya dengan apa yang dijelaskan oleh Moseley, C. (2003[13]). Menurutnya, pendekatan penyelamatan
kolaboratif merupakan proses dimana pihak yang berlatar belakang plural
berunding dan bereskperimen untuk mendefinisikan prioritas, mengembangkan
solusi termasuk hubungan masing-masing pihak terhadap pengelolaan sumber daya
alam. Mengikuti pola pikir dari Moseley kemudian, hal pertama yang kita lakukan
dalam penyelamatan kolaboratif adalah mendefinisikan prioritas pihak-pihak yang
berkepentingan, atau kemudian yang disebut sebagai analisis pemangku
kepentingan.
Dalam
analisis pemangku kepentingan, perlu dipetakan kemudian
kepentingan-kepentingan, solusi dan hambatan apa sajakah yang ada dilapangan. Mapping dalam analisis pemangku
kepentingan ini pula penting halnya khususnya dalam menghindari konflik dalam
usaha penyelamatan danau UI . Setelah melakukan analisis kepentingan
pihak-pihak yang terkait, perlu adanya intensi lebih untuk mengkomunikasikan
solusi dan pola penyelamatan yang bagaimanakah yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan danau UI.
Proses
komunikasi yang dilakukan perlu memberikan sebuah hasil belajar yang dapat
memberikan solusi yang kolaboratif dan berkelanjutan terhadap pemecahan kerusakan
danau UI. Secara umum, saya mengusulkan proses komunikasi pihak-pihak yang
terkait seperti skema di bawah ini :
Setelah melakukan proses analisis kepentingan,
lalu melakukan proses komunikasi yang melibatkan partisipasi dan proses belajar
didalamnya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam sebuah penyelamatan
kolaboratif menurut Moseley adalah melakukan evaluasi pelaksanaan yang kemudian
dijadikan bahan dalam melihat faktor pendukung dan penghambat dalam proses
penyelamatan kolaboratif tersebut, sehingga tercipta sebuah solusi yang bukan
hanya bersifat holistik namun juga
bersifat berkelanjutan.
Kesimpulan
Pemanfaatan-pemanfaatn yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar kampus UI memiliki dampak baik dampak yang positif, maupun
dampak yang negatif. Dampak pemanfaatan yang positif dilahirkan dari
pemanfaatan danau yang bertanggung jawab yang berkomitmen pada aturan dan
mengacu pada pemanfaatan danau yang ramah lingkungan dan cenderung konservatif.
Sedangkan dampak pemanfaatan danau yang negatif, dilahirkan dari pemanfaatan
danau yang tidak bertanggung jawab, tidak ramah lingkungan dan cenderung
eksploitatif. Pada masalah
kerusakan danau UI hendaknya diselesaikan dengan pola penyelamatan yang holistik dan berkelanjutan, yakni dengan
penyelamatan kolaboratif. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam
penyelamatan kolaboratif antara lain (1) Analisis pemangku kepentingan (2)
menciptakan proses belajar komunikasi dan partisipasi dalam rangka penyelamatan
(3) Melakukan evaluasi terhadap faktor penghambat dan pendukung proses
penyelamatan yang kolaboratif.
Terakhir, dalam melakukan
pemanfaatan lingkungan hendaknya dilakukan dengan arif dan bijak, dengan selalu
mengingat bahwa alam bukanlah sumber daya yang diwariskan oleh nenek moyang
yang dapat dimanfaatkan dengan seenaknya, melainkan alam adalah warisan anak
cucu yang harus dijaga dan dipelihara.
Daftar
Pustaka
Koentjaraningrat.1979. Pengantar Antropologi. Jakarta : Rineka
Cipta.
Moseley,
C. 2003. “Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative
Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods
and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt
Lake City, September 14-16, 2003.
Ribot, J.C., & N.L.
Peluso 2003 “A Theory of Access”, dalam Rural Sociology 68/2 : 153-170.
Shoreman, Eleanor. “Regulation, Collaboration, and
Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology.
37 (2009): 90-107.
Referensi
Internet :
http://www.anakui.com/2009/07/27/sejarah-danau-ui-between-legend-n-myth/
(25
Desember 2012 -11.30 WIB)
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-5114-3106100603-bab1.pdf
( 25 Desember 2012-14.30 WIB)
http://indonesiahijau.or.id
(25 Desember 2012-12.30 WIB)
http://indonesiahijau.or.id
(25 Desember 2012-12.33 WIB)
http://www.ui.ac.id/id/ (25 Desember 2012-14.30 WIB)
[3] Dikutip dari : http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-5114-3106100603-bab1.pdf
( 25 Desember 2012-14.30 WIB)
[8] Dikutip dari http://www.anakui.com/2009/07/27/sejarah-danau-ui-between-legend-n-myth/(25
Desember 2012 -11.30 WIB)
[10]
Diintisari dari : Ribot, J.C., & N.L. Peluso 2003 “A Theory of Access”,
dalam Rural Sociology 68/2 : 153-170.
[12]
Diintisari dari : Shoreman, Eleanor. “Regulation, Collaboration,
and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human
Ecology. 37 (2009): 90-107.
[13]
Moseley, C.
2003. “Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative
Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods
and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt
Lake City, September 14-16, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar