Rabu, 31 Oktober 2012

Kerusakan Taman Nasional Danau Sentarum dan Penyelamatan Kolaboratif


Kerusakan Taman Nasional Danau Sentarum dan Penyelamatan Kolaboratif

Kasus yang saya angkat untuk menjawab mengenai kasus pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang menyebabkan kerusakan kondisi ekosistem saya mengambil contoh pada kasus kerusakan taman nasional danau sentarum, di Propinsi Kalimantan Barat. Taman Nasioanl Danau Sentarum (TNDS), menurut  data yang saya dapatkan dari situs resmi Departemen Kehutanan RI[1],  merupakan sebuah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam.Danau itu adalah celengan air raksasa. Di musim hujan, Sentarum menabung 25 persen air Sungai Kapuas. Saat kemarau, Sentarum memasok separuh air yang mengaliri Kapuas. 
Luas seluruh kawasan Danau Sentarum 132.000 ha ditambah dengan 64.000 ha yang diusulkan sebagai daerah penyangga. Sekitar 20 ha merupakan danau musiman yang menjadi penutup daerah seluas 30.500 ha, sisanya merupakan hutan rawa gambut. Danau Sentarum merupakan daerah retensi/luapan banjir (retarding basin)dari Sungai Kapuas yang merupakan daerah tangkapan air dan sekaligus sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Dengan demikian, daerah-daerah yang terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di danau tersebut. Danau Sentarum merupakan komplek danau-danau, lebih dari dua puluh buah danau secara alami bertindak sebagai reservoar. Luapan banjirnya yang melanda bentang Sungai Kapuas secara otomatis akan tertampung di sini. Saat itulah limpahan airnya menggenangi hutan rawa air tawar primer yang ada di kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum.
Adapun hal yang menjadi penyebab kerusakan TNDS, mayoritas  adalah maraknya penebangan kayu ilegal. Kerusakan ekosistem Taman Nasional Danau Sentarum, kini semakin parah. Kondisi ini disebabkan karena adanya pembukaan lahan secara besar-besaran untuk 15 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan penangkapan ikan secara berlebihan di danau tersebut.
Akibat pembukaan lahan oleh perkebunan-perkebunan besar ini, terjadi degradasi lingkungan di sekitar TNDS. Daerah yang sudah telanjur dibuka tidak ditanami, bahkan ditinggalkan. Perubahan yang terjadi di TNDS itu juga berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas air danau yang menjadi konservasi lahan basah internasional. Padahal keberadaan Danau Sentarum memiliki keterkaitan dan tidak bisa dilepaskan dengan ekosistem Sungai Kapuas. Danau itu terbentuk akibat terjadinya meander and oxbow lake atau perluasan dari dataran banjir. Misalnya, danau ini menampung kelebihan air Sungai Kapuas pada musim banjir dan mengisi kembali ke alur Sungai Kapuas pada musim kemarau.
  
 Kerusakan TNDS : Dari Politics Of Unsustainability hingga Sebuah Pilihan Rasional

Kerusakan pada TNDS, dapat kita lihat sebagai sebuah kerusakan yang mayoritas dilakukan oleh manusia. Kerusakan-kerusakan tersebut, salah satunya disebabkan oleh tidak jelasnya peranan pemerintah tentang bagaimana regulasi untuk melindungi kawasan TNDS. Otoritas pengelolaan taman nasional idealnya mengacu pada Menteri Kehutanan (Lihat Peraturan Menteri Kehutanan No.P19/Menhut- II/2004). Akan tetapi pemerintah pusat belum berhasil membentuk mekanisme pengelolaan taman nasional yang efektif. Sebaliknya dalam era desentralisasi ini, pemerintah kabupaten mengharapkan pemerintah pusat menyerahkan sebagian urusan pengelolaan taman nasional kepada pemerintah kabupaten untuk secara bersama-sama mengelola taman nasional, dengan pembagian wewenang, peran dan fungsi antara pemerintah pusat, dan kabupaten.
Ketidakjelasan akan regulasi atau aturan yang menjadi payung dalam pengelolaan TNDS ini antara regulasi pusat dan daerah yang kemudian menyebabkan apa yang disebut sebagai Politics Of Unsustainability[2]. Politics Of Unsustainability, didefiniskan oleh Shoreman, Elanor E., & Nore Haenn (2009), dalam tulisannya “Regulation, Conservation, and Collaboration : Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” sebagai sebuah keadaan non ekologis (sosial, politik, hukum, ekonomi, kultural ) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis (lingkungan primer, alam). Selain, ketidakjelasan aturan (secara politis) yang disebabkan oleh tumpang tindihnya aturan antara pemerintah lokal dan pusat, keadaan non ekologis lain yang menyebabkan buruknya keadaan ekologis pada TNDS adalah keadaan sosial dan ekonomi yang menunjang kerusakan TNDS.
            Dari data yang berhasil saya himpun, salah satu  penyebab kerusakan terbesar dari TNDS adalah salah satunya kegiatan ekonomi yakni pembukaan lahan oleh beberapa perusahaan untuk kepentingan lahan kelapa sawit . Salah satu perusahaan, yang mendapatkan konsesi pembukaan lahan bagi 7 anak perusahaannya yakni perusahaan PT Sinar Mas[3]. Pembukaan dan penanaman kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Sinar Mas dan perusahaan lainnya akan dapat merusak flora, fauna, dan habitat lain di wilayah TNDS. Selain kerusakan yang disebabkan karena kondisi ekonomi yakni pembukaan lahan kelapa sawit, faktor non ekologis lain yang merusak salah satunya adalah faktor sosial. Faktor sosial yang saya maksudkan disini adalah kebiasaan dari masyarakat sekitar TNDS untuk membuat keramba ikan dan menebang kayu di kawasan TNDS.
            Harus kita ketahui bersama sebelumnya, ada dua suku, yaitu Melayu dan Dayak
Iban, yang berdiam di dalam TNDS. Kedua suku tersebut merupakan penduduk asli karena sebagian besar suku Melayu keturunan dari suku Dayak[4]. Total jumlah penduduk yang tinggal dalam kawasan ini diperkirakan pada saat ini antara 10 sampai dengan 11 ribu jiwa , yang tersebar dalam 40 kampung. Jumlah masyarakat yang cukup banyak yang bergantung pada TNDS juga memiliki banyak dampak, salah satunya kerusakan alam yang disebabkan karena penggunaan keramba ikan yang dilakukan secara sembarangan dan penebangan pohon  yang dilakukan secara berlebihan oleh masyarakat lokal. Politics Of Unsustainability, atau faktor non ekologis yang buruk secara ekonomi dan sosial tersebutlah yang saya lihat sebagai beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan di TNDS. Lantas, kemudian yang menjadi pertanyaan saya adalah, mengapa Politics Of Unsustainability dari faktor ekonomi dan sosial itu dapat terjadi dan dapat menyebabkan kerusakan alam di TNDS?
            Salah satu hal, yang menurut saya dapat menjawab mengapa Politics Of Unsustainability dengan faktor politik, sosial dan ekonomi itu terjadi karena adanya pemikiran atau prinsip pilihan rasional baik pada pemerintah, masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. Sebelumnya, prinsip rasionalitas jika mengacu pada tulisan John W. Bannet[5] (1980), dalam Human Ecology as Human Behaviour dijelaskan sebagai sebuah proses mengenai bagaimana manusia memiliki pemikiran dan atau pendekatan pilihan rasional dalam kaitannya dengan lingkungan dan pemanfaatannya. Pendekatan pilihan rasional sendiri merupakan sebuah bentuk pendekatan  yang mengacu pada rasionalitas (akal sehat), dimana pada intinya pendekatan ini selalu melihat optimalisasi dari kepentingan manusia dan peningkatan pada efisiensi kerja.
            Optimalisasi dari kepentingan manusia dan efisensi inilah yang harusnya kita garis bawahi dalam rangka melihat Politics Of Unsustainability, dari faktor politik ekonomi dan sosial sebagai variabel yang menyebabkan kerusakan di TNDS. Optimalisasi keuntungan secara politik yang ingin dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah juga keuntungan ekonomi dan sosial yang berlebihaan tanpa melihat dampak yang ditimbulkan (dalam rangka efisiensi), inilah yang kemudian menyebabkan kerusakan alam di TNDS. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, solusi apa yang dapat dilakukan khususnya oleh para antropolog untuk mengurangi dampak kerusakan alam TNDS, yang disebabkan oleh Politics Of Unsustainability faktor sosial ekonomi yang didasarkan atas pemikiran rasional manusia?
Penyelamatan Kolaboratif : Sebuah Solusi Antropologis Penyelamatan TNDS
Politics Of Unsustainability dengan faktor politik, sosial dan ekonomi yang menjadi masalah dalam kerusakan TNDS, sudah seharusnya segera mendapatkan solusi yang tepat dalam mengatasinya. Sebagai seorang antropolog yang memiliki pendekatan secara holistik sudah seharusnya kita melihat solusi dari sebuah masalah secara holistik pula, salah satu cara dalam memecahkan masalah secara holistik salah satunya adalah dengan cara solusi yang kolaboratif dalam hal ini lebih tepatnya penyelamatan yang kolaboratif. Penyelamatan kolaboratif, menurut Peraturan Menteri Kehutanan P.19/2004 merupakan sebuah tindakan penyelamatan dengan mempertimbangkan keterlibatan dari banyak pihak yang memiliki kepentingan atas sebuah objek atau sumber daya tersebut. Lain halnya dengan apa yang dijelaskan oleh Moseley, C. (2003[6]). Menurtunya, pendekatan penyelamatn kolaboratif merupakan proses dimana pihak yang berlatar belakang plural berunding dan bereskperimen untuk mendefinisikan prioritas, mengembangkan solusi termasuk hubungan masing-masing pihak terhadap pengelolaan sumber daya alam. Mengikuti pola pikir dari Moseley kemudian, hal pertama yang kita lakukan dalam penyelamatan kolaboratif adalah mendefinisikan prioritas pihak-pihak yang berkepentingan, atau kemudian yang disebut sebagai analaisis pemangku kepentingan.
Dalam analisis pemangku kepentingan, perlu dipetakan kemudian kepentingan-kepentingan, solusi dan hambatan apa sajakah yang ada dilapangan. Mapping dalam analisis pemangku kepentingan ini pula penting halnya khususnya dalam menghindari konflik dalam usaha penyelamatan TNDS. Setelah melakukan analisis kepentingan pihak-pihak yang terkait, masih mengikuti pola pikir Moseley, langkah selanjutnya adalah dengan cara menciptakan komunikasi dan partisipasi dari setiap pihak yang berkepentingan dalam hal ini saya melihat yang harus terlibat dengan intens adalah pihak pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, dan pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan secara ekonomi seperti PT Sinar Mas, sebagai pemegang konsesi pembukaan lahan kelapa sawit.
Proses komunikasi yang dilakukan perlu memberikan sebuah hasil belajar yang dapat memberikan solusi yang kolaboratif terhadap pemecahan kerusakan TNDS. Secara umum, saya mengusulkan proses komunikasi pihak-pihak yang terkait seperti skema di bawah ini





Setelah melakukan proses analisis kepentingan, lalu melakukan proses komunikasi yang melibatkan partisipasi dan proses belajar didalamnya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam sebuah penyelamatan kolaboratif menurut Moseley adalah melakukan evaluasi pelaksanaan yang kemudian dijadikan bahan dalam melihat faktor pendukung dan penghambat dalam proses penyelamatan kolaboratif tersebut.

Kesimpulan

Kerusakan TNDS, merupakan kerusakan yang dominan terjadi karena pengaruh manusia. Faktor Politics Of Unsustainability atau keadaan non ekologis (dalam kasus kerusakan TNDS yakni faktor sosial, ekonomi) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis menjadi penyebab utama dari dituding menjadi penyebab utama kerusakan TNDS. Pola pikir rasionalitas yang mengedepankan pencarian keuntungan sebesar-besarnya dengan efisiensi yang besar turut serta menjadi faktor pendorong dalam merusak alam TNDS. Pola Penyelamatan yang holistik, yakni penyelamatan kolaboratif perlu segera dilakukan dalam menyelesaikan kerusakan alam di TNDS. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam penyelamatan kolaboratif antara lain (1) Analisis pemangku kepentingan (2) menciptakan proses belajar komunikasi dan partisipasi dalam rangka penyelamatan (3) Melakukan evaluasi terhadap faktor penghambat dan pendukung proses penyelamatan yang kolaboratif.
Pada akhirnya setelah langka-langah itu dilakukan diharapkan TNDS, dapat diselamatkan dengan win-win solution, dengan selalu mengedepankan usaha dalam rangka memperbaiki alam untuk masa depan anak-cucu kita.











Daftar Pustaka

Bennet, J.W (1980)
“Human Ecology as Human Behaviour : A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”. Hal 243-278

Moseley, C. (2003)

“Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.

Shoreman, Eleanor (2009)

“Regulation, Collaboration, and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 .90-107.


Referensi Internet :
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_sentarum.htm  dikutip pada tanggal 28 Oktober 2012, pukul 15.30

http://www.walhi.or.id/ dikutip pada tanggal 28 Oktober 2012, pukul 16.00


http://pariwisata.kapuashulukab.go.id/page/cagar_budaya.html dikutip pada tanggal 28 Otober 2012, pukul 20.24





[2] Diintisari dari : Shoreman, Eleanor. “Regulation, Collaboration, and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 (2009): 90-107.
[5] Dikutip dari :  Bennet, J.W (1980) “Human Ecology as Human Behaviour : A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”. Hal 243-278
[6] Moseley, C. 2003. “Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.

Belajar dari Konflik Tanah Mesuji : Tanah Pemodal atau Tanah Rakyat?


Belajar dari Konflik Tanah Mesuji :
Tanah Pemodal atau Tanah Rakyat?

Tanah, semenjak dahulu sudah menjadi salah satu medan konflik yang abadi. Semenjak masa pra kolonial hingga sekarang sudah banyak konflik yang mengatasnamakan tanah yang menjadi medan konfliknya. Belakangan ini semenjak kehancuran ekonomi pasca tahun 1997, kita sering mendengar adanya “bualan” mengenai pentingnya investasi asing untuk mendukung ketahanan ekonomi negara. Lahan-lahan harus dibuka, sebagai konsekuensi dari penanaman modal asing di Indonesia. Orientasi sebagai “budak” modal asing pun sudah merangsek hingga pada UU yang dibuat oleh para wakil rakyat, salah satunya yakni UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, dimana prinsip non diskriminasi antara kedudukan pemodal asing dan pemodal dalam negeri baik perusahaan dan perseorangan menjadi sama. Sebuah aturan yang cukup mengecewakan ketika kita harus kembali mengingat perjuangan para nenek moyang kita dalam melawan kekuataan asing (kolonialisme), namun kita dengan mudahnya menerima hal tersebut walaupun muncul dengan “jubah-jubah” barunya.
Dalam situasi intervensi modal asing tersebut, agaknya pemerintahan Indonesia dibawa rezim SBY memilih untuk “menyerah” dan membuka dirinya terhadap modal-modal asing yang merangsek masuk. Salah satu contoh dari menyerahnya rezim SBY, terhadap modal-modal asing yang masuk adalah dengan disetujuinya  program MP3EI  (Master Plan Economic), yang membagi banyaknya wilayah tanah “kosong” untuk dieksploitasi modal asing. Sebanyak 6 wilayah yang dinilai kosong dan kurang produktif, dibagi-bagikan layaknya kue untuk ditanami dengan modal-modal asing dan dijadikannya sebagai sebuah penguasaan akan aset. Sepertinya pemerintah tidak sadar, bahwa apa yang menurut mereka kurang produktif dan “kosong” inilah sebenarnya merupakan rumah dan kehidupan bagi banyak masyarakat khsusunya masyarakat adat kita.

Konflik-Konflik Tanah dan Ekspansi Kelapa Sawit

Program pemerintah yakni MP3EI, merupakan salah satu program yang dimana memiliki 22 sektor ekonomi andalannya, yang salah satunya adalah produksi  Crude Palm Oil (CPO) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan produksi CPO tentunya berbanding lurus dengan peningkatan luasan dari perkebunan sawit itu sendiri. Dari data yang saya dapatkan dari Direktorat Jendral Perkebunan  (2012) menunjukan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah sebesar 8,1 Juta Hektare. Berbeda dengan data yang disampaikan oleh Direktorat Jendral Perkebunan, menurut sawit watch(2012)  jumlah lahan yang digunakan untuk lahan perkebunan sawit adalah lebih luas yakni sebesar 11,5 juta hektar. Selain data tersebut data menarik lainnya adalah mengenai data yang diungkapkan oleh Hendrajat Natawidjaya (2012) Ditjen Perkebunan pada Kementrian Pertanian yang menyampaikan pada sebuah rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak pada tanggal 25 Januari 2012  .
Ia menyebutkan bahwa sekitar 59 persen dari 1000 perusahaan sawit  di wilayah Indonesia terkait masalah sengketa lahan dengan masyarakat. Konflik itu terjadi di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada 591 konflik, dengan urutan pertama di Kalimantan tengah dengan 250 kasus, Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus. Dan beberapa konflik lainnya yang tidak diketahui atau tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
Data-data diatas setidaknya memberikan kita sebuah gambaran bagaimana ekspansi modal dan perkebunan kelapa sawit secara makro dan mikro memberikan dampak bagi terjadinya konflik khususnya konflik mengenai lahan. Dan konflik Mesuji kemudian menjadi salah satu dari “fenomena gunung es” konflik-konflik akan lahan dan  ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Konflik Mesuji : Modal, Tanah Ulayat dan Akses Rakyat

Konflik Mesuji, secara umum dapat dipahami sebagai sebuah konfigurasi akan  perbenturan dari kepentingan modal, dan akses rakyat untuk mengakses lahannya.Konflik mesuji secara kronologis sebenarnya cukup komplek untuk dijelaskan. Sengketa lahan  di Kabupaten Mesuji terjadi di dua titik. Pertama, sengketa lahan antara perambah hutan di Desa Moro-moro, Pelita Jaya, dan Pekat Raya dengan PT Silva Inhutani. Mereka memperebutkan lahan seluas 43.900 hektare di Kawasan Register 45. Kedua, sengketa lahan antara warga di Desa Kagungan Dalam, Nipah Kuning, Tanjungraya di Kecamatan Tanjung Raya, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo yang memperebutkan lahan tanah ulayat. Pada 1997 sejumlah warga mulai mendiami kawasan yang ditanam sengon dan tanaman industri lain peninggalan PT Inhutani V. Mereka menebangi tanaman yang ada di kawasan itu hingga gundul. Perambah marak berdatangan setelah tahun 1999. Mereka datang dari berbagai daerah sepeti Lampung Timur, Tulangbawang, Metro bahkan dari Jawa Barat, Bali, dan Makassar.. Saat masih masuk wilayah Kabupaten Tulangbawang, pemerintah dan aparat kerap menertibkan para perambah itu. Singkat cerita jumlah perambah yang ada semakin banyak, hingga akhirnya menjadi penduduk daerah tersebut dan kemudian mengalami konflik dengan pihak perkebunan sawit.
Dalam melihat konflik ini,  saya menggunakan  pendekatan teori akses yang dikemukakan oleh Ribot, J.C., & N.L. Peluso (2003) , sebagai pisau analisis dalam konflik tersebut. Sebelumnya, saya ingin menjelaskan kembali apa yang disampaikan oleh Ribot dan Peluso mengenai apa yang disebut sebagai akses. Menurutnya, akses didefiniskan sebagai kemampuan untuk memanfaatkan dari sesuatu- termasuk objek material, orang, institusi, dan simbol-simbol. Dengan fokus pada ’kemampuan’, perhatian tertuju pada jangkauan yang lebih luas dari hubungan sosial yang dapat memungkinkan sesorang mengambil manfaat dari sumberdaya tanpa melihat pada hubungan kepemilikan. Akses berfokus pada isu siapa yang dapat dan siapa yang tidak menggunakan sesuatu, dan kapan saatnya. Perbedadaan kunci antara akses dan kepemilikan bersandar pada perbedaan antara ’kemampuan’ dan ’hak’. Kemampuan adalah identik dengan kekuatan, yang dapat didefinisikan ke dalam dua kalimat, pertama kapasitas seorang aktor untuk mempengaruhi ide dan tindakan orang lain, dan kedua dari mana kekuatan itu berasal. Akses adalah tentang makna semua kemungkinan yang dengannya seseorang dapat mengambil manfaat dari sesuatu. Sedangkan kepemilikan lebih berorientasi pada klaim terhadap hak, cenderung diartikan dengan hukum, aturan, atau konvensi.
Dengan berfokus pada kemampuan untuk mengambil manfaat tanpa melihat hubungan kepemilikan, saya melihat bahwa tanah yang didiami oleh masyarakat pada satu sisi merupakan sebuah akses. Masyarakat memiliki kemampuan untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut tanpa harus memiliki hubungan kepemilikan. Namun, disisi lain juga tanah itu adalah kepemilikan negara atau tanah negara jika kita mengacu pada klaim dan hak yang tertuang dalam PP No. 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara.
Yang menjadi menarik kemudian, menurut saya adalah, bukan pada menentukan kategorisasi apakah tanah tersebut masuk kedalam kategori akses atau sebuah kepemilikan, melainkan lebih pada  melihat pengaruh modal yang dapat mengubah prinsip “akses” pada tanah menjadi konsep “kepemilikan” tanah negara (public goods to private goods), dan lebih menarik lagi ketika kepemilikan dari negara tersebut kemudian diserahkan kepada pemodal untuk dikelola. Yang menjadi pertanyaan bagi saya, apakah dengan mudahnya negara bisa mengorbankan kepentingan “akses” rakyatnya akan tanah,  hanya untuk membela kepentingan “kepemilikan” para pemodal?

Kembali Ke Politik Agraria

Untuk menjawab pertanyaan saya diatas, saya akan mengajak sedikit berdialektika tentang konsepsi reformasi agraria dan pengaplikasiannya dalam politik agraria itu sendiri. Konsepsi reformasi agraria secara historis sebenarnya sudah di “kerucutkan” dalam sebuah pidato dari Bung Karno pada tanggal 16 Agustus 1945 berjudul “Djalannya  Revolusi Kita”  , Pertama, melakukan perombakan hak atas tanah dan penggunaan tanah agar dicapai keadilan dan kemakmiran. Kedua, land reform adalah pondasi revolusi yang berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapa feodal berangsur-angsur. Ketiga, landreform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani.
Ketiga poin pemikiran Bung Karno tersebut sebenarnya juga harus diberikan penekanan dan korelasi dengan semangat yang dibawa pada UUD 1945 pasal 33 (3) “bumi air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” .Secara sederhana kita dapat melihat bahwa semangat UUD juga sebenarnya mengamanatkan untuk mempergunakan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, bukan para pemodal, apalagi pemodal asing.
Selanjutnya, jika kita sudah sampai pada semangat pasal 33 UUD 1945, maka secara paham dan sederhananya untuk mengatasi masalah-masalah yang akan muncul seperti konflik lahan di mesuji kita akan sampai pada tahapan bukan lagi mengkategorisasi tanah mana yang merupakan “akses” yang mana merupakan “kepemilikan”, melainkan sudah pada tanah mana yang dapat didistribusikan dan bagaimana cara mendistribusikan tanah tersebut demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya
Terakhir, dalam tulisan ini saya ingin mengutip sebuah definisi mengenai land reform dari Michael Lapton (2009),  yang besar harapannya land reform  ini dapat segera dilaksanakan di Indonesia, sehingga tidak ada lagi kasus mesuji-mesuji lain dimana kesejahteraan rakyat harus diletakkan diatas kepentingan apapun. Definisinya sebagai berikut:

“We define land reform as legislation intended and likely to directly redestribute ownership of, claim on, rights to current farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and/or income, compared wtih likely situations wtihout the legislation”










Daftar Pustaka 


Ribot, J.C., & N.L. Peluso (2003)
“A Theory of Access”, dalam Rural Sociology 68/2 : 153-170.

Michael Lipton, (2009)
"Land Reform in Developing Countries : Property Right and Property Wrongs, “Routledge, hal 328.        


Referensi Internet :

http://mp3ei.info/  diakses pada  28 Oktober 2012, pukul 20.00

http://ditjenbun.deptan.go.id/ diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 20.02

http://sawitwatch.or.id/ diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 20.05

http://www.agroasianews.com/commodities/palm-oil/11/11/14/oil-palm-firms-must-develop-plantations-local-community diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 21.30

http://www.wirantaprawira.net/bk/hutbk_5h.htm diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 21.45