Senin, 10 Juni 2013

Cinta Dalam Relasi Seksualitas dan Gender

Cinta Dalam Relasi Seksualitas dan Gender



Pendahuluan

Cinta merupakan sebuah hal yang sulit diterjemahkan dalam sebuah definisi yang ajeg. Cinta merupakan hal yang tidak terlihat, namun cara kerjanya kita ketahui bersama sebagai sebuah dorongan yang kadang dapat membuat seseorang lupa diri, termotivasi, bahkan hingga bunuh diri. Berbicara tentang cinta, berarti erat kaitannya dengan rasa, dan ekspresi adalah bentuk pengungkapan dari rasa itu sendiri.

Beberapa filsuf, sebut saja Arthur Schopenhauer filosof yang tenar pasca masa kantian di abad 17 mengatakan bahwa cinta merupakan hal yang tidak nyata dan hanyalah merupakan “pemanis” bagi dorongan-dorongan ekspresi seksual semata. Mungkin apa yang dikatakan Arthur ada benarnya, jika kita mengacu kembali pendapat Darwin mengenai keberadaan manusia pada ribuan tahun silam yang sebelum berevolusi seperti sekarang terus hidup berpindah-pindah dan berganti-ganti pasangan, dan tidak mengenal yang namanya cinta yang ada hanya hubungan seksual yang terus di ekspresikan.

Berbeda dengan Arthur atau Darwin, para kaum romantik mungkin senang membesar-besarkan apa itu cinta. Membesar-besarkan disini bukan berarti berusaha memahami makna cinta dengan baik, namun hanya terjebak dalam romantika diri semata, bahwa cinta 
merupakan hal yang harus penuh dengan drama, penderitaan, dan sangat menyiksa. Dalam tulisan ini, ada alasan saya ingin membahas mengenai cinta. Terlepas dari kebenaran biologis mengenai asal mula cinta atau drama romantika yang menyertainya, tulisan ini mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai hubungan antara cinta, seksualitas, dan gender manusia dalam kerangka berfikir yang tidak lagi banal, namun berusaha memerdekakan sebagai hakikat dalam sebuah kerangka kemanusiaan.

Tentang Cinta
Sebelum membahas mengenai bagaimana relasi antara cinta dengan seksualitas dan gender. Pembahasan pendahuluan yang ingin saya paparkan adalah mengenai cinta, esensi dan asal dari cinta itu sendiri. Secara esensi, cinta memiliki begitu banyak mistitisme yang melibatkan begitu banyak syair, melodrama, kisah penderitaan tanpa ujung, dan romantika cerita yang selalu penuh harap jika kisah cinta yang ada akan berakhir bahagia selama-lamanya. Pada kenyataannya cinta tidak selalu berjalan demikian adanya. Cinta di dalam dunia yang nyata membutuhkan hal yang nyata pula, dan kenyataan tersebut diproduksi melalui realitas yang berproses. Dalam memandang esensi cinta yang berproses secara nyata, seringkali kita terbuai dan terjegal kembali dengan mistitisme perasaan cinta yang penuh perasaan yang intim. Pada satu sisi, secara objektif kita memang harus melihat dan menempatkan cinta sebagai hal yang penuh dengan “perasaan-perasaan yang intim”, namun dalam melihat objeknya sebagai sebuah proses kita harus dapat melompatinya jauh lebih dari itu. Dalam buku Interpretation of Culture (1973), saya teringat mengenai definisi yang sempat diajukan oleh Geertz dalam memandang religi.


Menurutnya, religi merupakan sebuah sistem simbol yang dapat membangkitkan moods, emotion, and motivation. Lantas apa hubunganya dengan cinta?. Jika kita bisa lebih kritis lagi, sekilas definisi religi yang ditawarkan oleh Geertz dapat dipersamakan dengan cara kerja cinta sebagai sebuah proses. Cinta hadir dalam bentuk-bentuk simbolis baik dalam bentuk fisik, kebendaan, atau simbolisme lain yang kemudian dapat menimbulkan perasaan-perasaan yang hampir sama dengan religi. Cinta juga membuat seseorang berubah dengan drastis perasaanya (moods), memiliki emosi yang kuat pada objek cinta atau segala hal yang berhubungan dengan objek tersebut, serta selalu menimbulkan motivasi bagi seseorang yang sedang jatuh didalam baik itu motivasi yang negatif ataupun yang positif.
Memandang cinta dalam proses, selain melihat bagaimana kedudukan cinta itu sendiri sebagai sebuah objek yang abstrak cinta juga dapat dipandang sebagai hal yang biologis dengan mengesampingkan faktor-faktor emotif seperti yang telah dibahas sebelumnya. Antropolog Helen Fisher, merupakan salah satu orang yang dengan tegas dan meyakinkan menyangkal bahwa cinta merupakan hal yang berhubungan dengan faktor-faktor emotif atau perasaan. Menurutnya, cinta lebih pada hal yang berhubungan dengan hal yang biologis seperti dorongan untuk minum atau makan.
Dorongan biologis itu juga diproduksi oleh otak manusia. Menurut Helen, bahwa otak kita telah berevolusi menjadi tiga sistem besar, yang pertama adalah bagian otak yang berhubungan dengan dorongan seksual, bagian kedua adalah otak yang berhubungan dengan infatuasi, fantasi atau kemabukan, serta yang ketiga adalah yang berkaitan dengan kemampuan kita untuk berada dalam suatu ikatan yang menyangkut toleransi, dan rasa aman. Tiga sistem otak ini dikatakan oleh Fisher tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga beberapa hewan mamalia, itulah mengapa ia menyebutkan sebagai tiga sistem besar dari otak mamalia.
Melalui pemaham ini dapat dijelaskan bahwa ketiga bagian otak manusia tersebut juga menghasilkan zat kimia yang berbeda-beda juga bagi tubuh. Bagi yang menganggap bahwa cinta merupakan aktifitas seksual semata maka akan lebih sering menggunakan otak yang pertama yang menghasilkan testosteron, sedangkan untuk orang yang menganggap bahwa cinta merupakan kesetiaan, komitmen dan integritas maka akan menggunakan otak bagian ketiga yang memproduksi endofirm, dan tengah atau bagain kedua dianggap sebagai otak yang paling menarik dalam relasinya dengan cinta. Otak tengah ternyata menghasilkan zat yang bernama dophamin. Zat ini merupakan zat yang menyebabkan manusia begitu adiktif dan kuat menanggung penderitaan yang diakibatkan oleh cinta.

Tentang Tubuh
Pembahasan pertama yang akan saya ajukan mengenai konteks hubungan antara cinta, relasinyanya dengan gender dan seksualitas adalah mengenai tubuh. Tubuh, dalam konteks cinta dan hubungannya terhadap relasi gender dan seksualitas dapat dipahami sebagai wadah atau “alat” dalam menghadapi realitas kemanusiaan. Setidaknya, ada dua pandangan mengenai padangan tersebut. Pandangan pertama dalam filsafat Descartian misalnya, tubuh dilihat sebagai jembatan perantara dari kesadaran manusia Sedangkan dalam pendapat lain Mearleu-Ponty berpendapat sebaliknya, tubuh adalah ikhtisar manusia dalam menyerap dunia. Hanya oleh tubuhlah manusia dapat tahu apa itu dunia sebenarnya. Lewat tubuh manusia mencerap dunianya dan menciptakan persepsi atas dunia tersebut (Merleau-Ponty,1962)
Perdebatan mengenai pandangan antara tubuh yang mengkontruksi atau dikonstruksi sendiri merupakan perdebatan tiada akhir dalam paradigma seksualitas. Perdebatan tersebut yakni dalam paradigma kontruksionisme dan esensialisme. Kedua paradigma ini memberikan pandangan yang berbeda mengenai bagaimana seksualitas (lalu kemudian gender) harus dilihat dan disikapi. Disatu sisi, esensialisme memiliki anggapan bahwa seksualitas dan gender merupakan hal yang ajeg, taken for granted, dan bersifat apriori secara biologis. Sedangkan, paradigma kontruksionisme menganggap bahwa seksualitas merupakan persoal “bentukan secara sosial”hasil dari ekternalisasi diri manusia yang kemudian terjebak dalam eksternalisasinya tersebut.
Pandangan esensialisme sendiri, begitu mendapatkan tempat kemudian bagi para pemikir biologis. Lihat saja tulisan Lorber dalam Believing is Seeing : Biology as Ideology (2004), dalam tulisan tersebut dibahas mengenai bagaimana seksualitas dilihat sebagai hal yang biologis. Seksualitas menjadi begitu rigid, alami yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan biologis ilmuan bahwa manusia ada dan lahir dibedakan menjadi dua kromoson secara biner, yakni kromosom xxx (perempuan) dan xxy (laki-laki).
Pengetahuan yang secara biologis tersebut, selain membuat kategorisasi lelaki dan perempuan juga turut peran serta dalam membentuk “mitos-mitos” yang kemudian di konstruksi dalam masyarakat. Perempuan, selalu diibaratkan sebagai pihak yang lemah, inferior, dan selalu pasrah mengalah untuk menunggu sang pangeran “sperma” menghampirinya.
 Sedangkan, laki-laki atas dasar pengetahuan biologis yang diterimanya selalu merasa diri sebagai hal yang superior, aktif, yang selalu akan bertindak untuk mencapai sang “ratu ovum” untuk dibuahi. Berangkat kemudian pada paradigma tersebut, kemudian lahirlah paradigma lain yang merupakan antitesis dari pemikiran esensialis biologis tersebut yakni paradigma kontruksionisme sosial. Paradigma ini mencoba untuk mendekonstruksi anggapan-anggapan biologis yang dianggap ilmiah dan menjadi sumber pengetahuan yang lalu kekuasaan dalam masyarakat, terhadap pembentukan “mitos-mitos” yang dianggap rigid dalam masyarakat tentang seksualitas.
Kaitan antara dua paradigma tersebut dalam memandang hubungan antara cinta dan relasi dengan gender dan seksualitas adalah memberikan pemahaman bahwa cinta sendiri tidak akan pernah lepas dari konteks ketubuhan yang merefleksikan realitasnya. Cinta menjadi hal yang problematik kemudian dalam relasinya memahami sumbernya sebagai hal yang esensial, atau konstruktifis dari konteks ketubuhannya.

Cinta, Tubuh, dan Kenikmatan

Berbicara mengenai cinta dan konteks ketubuhan baik secara esensial maupun secara konstruktifis, rasanya tidak dapat dilepaskan dengan hal yang berhubungan dengan kenikmatan atau pleasure. Jika kita menilik lebih dalam, kaitan antara ketubuhan, dan seksualitas ini sendiri sebenarnya sudah cukup banyak dibahas dalam diskursus mengenai cara memandang kebenaran seksualitas dalam perspektif dikotomis barat dan timur.
Dalam masyarakat barat, seksualitas dipandang sebagai sebuah hal yang ilmiah (scientia sexualis), sedangkan pada masyarakat timur seksualitas dipandang sebagai hal yang lebih mementingkan unsur kenikmatan, “sex by pleasure” (ars erotica) . Perbedaan cara pandang dalam memandang kebenaran dalam seksualitas ini berdampak pula pada perbedaan dalam memandang  hakikat kenikmatan dalam hal hubungan seksual atau bercinta.
            Dalam konteks kenikmatan ini, marilah kita bersama-sama menengok apa yang disajikan masyarakat barat soal empirisme seksualitas, cinta dan kenikmatan melalui karya Michel Foucault yakni Use of Pleasure (merupakan bagian volume kedua dari karyanya History of Sexuality). Dalam karyanya tersebut, Foucault menyoroti tentang bagaimana masyarakat barat melihat kenikmatan yang dihasilkan dari tubuh manusia dengan dua cara yang berbeda secara garis besar. Cara pertama adalah dengan melalui perspektif kaum kristiani, dan perspektif kedua adalah menggunakan cara kaum pagan.
Dalam perspektif kaum kristiani, kenikmatan yang dihasilkan oleh tubuh manusia lebih pada simbolisme evil atau iblis, simbol dari hal-hal yang berdosa, juga sebagai sumber dari peyebab dosa. Sedangkan dalam perspektif kaum pagan, tubuh dan kenikmatan lebih dilihat sebagai hal yang dangkal. Bahkan jika boleh mengutip apa yang dikatakan oleh Plato, dia berkata bahwa tubuh tidak lebih dari imitasi yang imitan. Plato juga berkata bahwa tubuh dan kenikmatan didalamnya merupakan penjara jiwa, jadi untuk membebaskan jiwa kita harus lepas dari faktor ketubuhan dan kenikmatan yang menyertai tubuh tersebut.
Pada perkembangannya kemudian Foucault dalam karyanya yang berbeda yakni History of Sexuality (1990) memaparkan mengenai perkembangan seksualitas masyarakat Eropa ada abad ke 17. Pada masa itu, kenikmatan akan cinta, seksualitas merupakan hal yang tabu dan dikekang dimana-mana. Pengekangan akan kenikmatan cinta dan seksualitas ini berdasarkan diskursus yang diciptakan oleh pihak penguasa yang menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari gereja melalui mekanisme confession, meskipun menurut Foucault pada masa itu terjadi banyak kemunafikan terhadap hal tersebut. Para penguasa dan gereja seakan  hipokirt terhadap apa yang mereka lakukan.
Pertemuan relasi unsur antara pengetahuan dan kekuasaan yang menghasilkan diskursus, kemudian secara nyata melakukan represi bagi kebebasan ekspresi cinta yakni kenikmatan dan seksualitas. Represi-represi akan kenikmatan itulah yang kemudian menyebabkan seksualitas menjadi hal yang begitu rigid, dingin, dan mekanis pada masyarakat barat, yang kemudian disebut oleh Foucault sebagai Scientia Sexualis.
Berbeda dengan masyarakat barat yang mengutamakan scientia sexualis dalam pandanganya terhadap tubuh dan kenikmatan, masyarakat timur lebih mengutamakan unsur ars erotica atau unsur rasa dalam memandang tubuh dan kenikmatan yang terkandung didalamnya. Pemikiran yang mengungkapkan mengenai bagaimana cinta, kenikmatan, dan rasa bersatu padu dalam pandangan masyarakat timur, setidaknya dapat digambarkan dalam salah satu filsafat pemikiran timur yakni kamasutra.
Kamasutra, secara etmiologis terdiri dari dua kata yakni kama yang berarti cinta, gairah dan sutra yang berarti ajaran. Pemikiran kamasutra sendiri, bersumber pada mitologi agama hindu mengenai kisah Dewa Kama dan Dewa Siwa. Alkisah, dalam sebuah masa diceritakan bahwa dunia dewata sedang mengalami masalah karena permusuhannya dengan seorang rasaksa yang sakti didunia. Dewa Brahma, pada saat itu mengutus Dewa Kama untuk membuat Dewa Siwa yang sedang bermeditasi jatuh cinta pada seorang wanita manusia yang merupakan reinkarnasi dari Dewi Laksmi.
Tujuan dari Dewa Brahma membuat Dewa Siwa jatuh cinta adalah agar Dewa Siwa mau menikahi reinkarnasi Dewi Laksmi, yang diharapkan nantinya anaknya yang berwujud setengah dewa-manusia yang mampu memusnahkan raksasa sakti yang membuat keonaran di dunia. Untuk melaksanakan tugasnya, maka Dewa Kama datang ke tempat bersemedi Dewa Siwa, dan dari semak-semak memanahkan pusaka panah cintanya ke arah Dewa Siwa.
Setelah terkena panah, Dewa Siwa pun terbangun dari semedinya, dan menemukan wanita cantik reinkarnasi Dewi Laksmi dihadapanya. Karena sudah terkena panah cinta oleh Dewa Kama, Dewa Siwa bereaksi atas panah tersebut, ada hasrat, ketertarikan yang muncul dari Dewa Siwa kepada gadis reinkarnasi Dewi Laksmi. Nasib baik sayangnya tidak berpihak pada Dewa Kama. Dewa Siwa yang sakti ternyata menyadari dirinya “dipanah cinta” oleh Dewa Kama.
 Akan perlakuan tersebut, Dewa Siwa sangat marah dan mengutuk Dewa Kama menjadi abu hilang tak berbentuk. Dari kisah mitologi tersebut mengandung nilai bahwa dalam filsafat timur, khususnya dalam pemikiran hindu cinta dan kenikmatan itu merupakan hal yang tidak berbentuk (seperti wujud Dewa Kama yang menghilang). Meskipun tidak berbentuk, namun manusia dengan perasannya pasti akan tahu bagaimana mekanisme kerjanya cinta. Selain terkandung dalam mitologi, cinta sendiri menempati posisi khusus dalam pemikiran hindu mengenai tujuan dan filosofi hidup. Dalam veda sebagai teks suci umat hindu sendiri dikenal dengan yang namanya Catur Purusarthas.
Catur Purusarthas, atau empat tujuan hidup merupakan pandangan yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari pertama, Dharma atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan materiil, ketiga adalah Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan yang terakhir adalah Moksha, atau pembebasan diri menuju Tuhan.Dari Catur Purusathas, dapat dilihat bahwa moksa atau pembebasan diri terhadap tuhan lebih baik dibandingkan dengan kama atau cinta. Hal tersebut dapat diartikan posisi cinta dan kenikmatan tubuh dalam pemikiran timur khususnya teks hindu memiliki acuan terhadap kebahagiaan yang sifatnya transedental, dan luhur. Dalam perkembangnya, konsepsi kamasutra ini kemudian diadopsi oleh Foucault sebagai teori ars erotica

Menguggat “Normalitas” Cinta

Kata normal menjadi kata yang cukup berbahaya dalam mendefinisikan sesuatu. Kata itu begitu banal hingga saja kadang membuat  cemas dan ketakutan dalam penggunaannya. Normal, bisa berarti sebagai sebuah anugrah. Dan tidak normal, bisa menjadi sebuah musibah khususnya dalam berkehidupan bermasyarakat sebagai manusia. Kata “normal”, celakanya bukan hanya diterapkan oleh manusia dalam menilai perilaku seseorang dalam bermasyarakat, namun juga dalam melakukan kategorisasi-kategorisasi khususnya disini dalam menilai orientasi ekspresi kenikmatan seksual, dimana relasi heteroseksual merupakan relasi yang dianggap normal, tepat dan beradab. Diluar itu adalah abnormal, tidak tepat, dan tidak beradab.
Pemahaman dalam melihat ketegorisasi itu kemudianlah yang menyebabkan manusia secara mudahnya untuk menilai bagaimana seseorang berprilaku dalam kerangka kategori “kelaminnya”. Bagaimana seorang “laki-laki” dan seorang “perempuan” harus bertindak, diatur-atur dan dibuat-buat oleh masyarakat dalam sebuah konsepsi yang dinamakan gender. Cinta dalam konsepsi gender, memang bukanlah hal yang baru. Sebelum paham pasca-stukturalis muncul, persoalan gender dalam hal cinta menjadi salah satu alat yang hagemonik berhasil “mendisiplinkan” orientasi seksual dan ekspresi cinta dalam kerangka kekuasaan dan kebudayaan yang ada.
Pandangannya mengenai normalitas akan ekspresi cinta begitu esensialis, dia berkembang menjadi sebuah identitas yang dikotomis antara hal yang normal dengan tidak normal.Setelah kemunculan paham pascastrukturalis yang membebaskan kekangan orientasi seksual dan ekspresi cinta dari paham esensialis, persoalan kemudian adalah tentang bagaimana kemudian melakukan eliminarisasi kategorisasi-kategorisasi tentang normal dan tidak normal yang terlanjur hagemonik di dalam masyarakat?.
Dalam bukunya karyanya The Order of Things, Michel Foucault menjelaskan dengan kritis, bagaimana manusia mengandalkan hidupnya dengan adanya keteraturan serta kategorisasi. Kategorisasi tersebut menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang bisa diterima. Melalui aturan, ideologi, kebijakan, hingga nilai-nilai dalam masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan kategorisasi itu. Dalam mengeliminir hal tersebut, perlu adanya sikap yang lebih kritis dalam melihat dan memahami sepenuhnya apa sebenarnya yang menyebabkan kategori seks dan gender itu sendiri .
Apakah seks itu sendiri hanya sekedar ditentukan oleh kategori bentuk jenis kelamin?. Lalu bagaimana orang-orang yang memiliki penis namun juga memiliki rahim secara biologis. Apakah seks ditentukan dari kromosom seseorang?. Lantas, bagaimana kategori seksual seseorang yang berkromosom (XY), namun mengubah bentuk kelaminnya menjadi vagina. Kategori-kategori seks tersebut (laki-laki dan perempuan) , yang dianggap normal kemudian seakan menjadi begitu tidak jelas dan abu-abu ketika berhadapan dengan keadaan atau realita yang sebenarnya tentang seksualitas seseorang.
Masyarakat perlu disadarkan tentang realitas seksual sebenarnya, bukan hanya terpatok pada ideologi-ideologi gender berbasis teks suci atau politik dan kenegaraan semata. Masyarakat juga perlu tahu bahwa ketika kategori-kategori seksualitas menjadi begitu kaburnya untuk dikategorikan pada seksualitas manusia, lantas bagaimana mungkin kategori gender yang didasarkan pula pada ketegori seksualitas bisa menjadi lebih jelas dibandingkan dengan kategori seksual itu sendiri. Apalagi, jika kita mempunyai pemahaman bahwa gender seseorang merupakan konstruksi dari lingkungan sosialnya, maka kategorisasi dari gender seseorang menjadi semakin begitu bias dan tidak jelas kategorisasinya. Mengutip kembali pernyataan Judith Butler bahwa,  gender adalah sesuatu yang konstan berubah karena gender merupakan pengucapan, sikap, diskursus yang dilakukan secara repetitif. Kita pasti akan terus mencari definisi gender ke diri sendiri.

Penutup

            Cinta dengan berbagai problematiknya merupakan hal yang selalu menarik untuk disimak. Cinta memiliki begitu banyak dimensi dengan berbagai bumbu yang membuatnya memiliki nuansa sendiri, sehingga orang tidak akan pernah kehabisan ide dan bahasan untuk membahasnya. Membahas cinta dengan kaitannya pada seksualitas dan gender, adalah upaya melihat bagaimana cinta dapat dibahas dalam ruang-ruang problematika yang lebih nyata tanpa terjebak lagi pada nuansa romansa yang terlalu menggebu-gebu atau ruang-ruang filosofis yang begitu dingin dan kadang kaku.
Melalui pemaparan diatas kita dapat menyimpulkan juga bahwa, relasi antara cinta, gender dan seksualitas baik dalam dimensi ketubuhan, hasrat, maupun orientasi dan atau ekspresi seksual merupakan hal yang begitu cair, dinamis, dan juga memiliki logikanya sendiri dalam bertindak. Pemahaman akan logika cinta dalam kerangka seksualitas dan gender manusia, semoga dapat membuat kita menjadi manusia yang lebih manusiawi, yakni manusia yang mendahulukan afeksi diri dibandingkan dari bentuk- bentuk relasi itu sendiri.


*Penulis Mahasiswa S1 Antropolog Sosial FISIP UI

Daftar Pustaka

Butler, Judith.
1990.              Gender Trouble. New York. Routledge

DeLamater, J.D  and Hyde, J.S.

 1998.             Essentialism vs. Social Constructionism in the Study of Human   Sexuality’, Journal of Sex Research 35 (1): 10-18

Foucault, Michel.
1990.              The History of Sexuality. New York. Vintage
                        The Use of Pleasure. New York. Vintage
Geertz, Clifford.
1973.              Interpretation of Culture.Basic Books. New York

Maurice Merlau-Ponty.
1962.              Phenomenology of Perception. New York.

Lorber, J.
2004.              Believing is Seeing :Biology as Ideology in M.S. Kimmel (ed),The Gendered Society Raeder, Oford :Oxford University Press, 2nd edition.
Internet :
http://www.helenfisher.com/index.html ( Helen Fisher, “Lost Love : The Nature of Romantic Rejection.” ) diakses pada : 8-6-2013, pukul 18.50