Kamis, 26 Januari 2012

Keping Kenangan Elite Indonesia


Keping Kenangan Elite Indonesia


Belum lama ini untuk menyambut 100 Tahun Kebangkitan Nasional (1908-2008) dicetak ulang buku terjemahan karya Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, studi langka yang membahas pembentukan dan kemunculan elite Indonesia. Sasterawan Ajip Rosidi sebagai pimpinan Pustaka Jaya yang menerbitkan buku itu dalam sebuah pertemuan bilang tujuannya: “menyediakan lorong waktu sebagai inspirasi dan aspirasi”. Dalam konteks itu bagaimanakah membaca buku ini di tengah hiruk pikuk Indonesia fenomena hilangnya pemimpin?

Salahsatu dosa besar dan warisan Orba yang tak tertangani, kata para pengamat, adalah meniadakan pembibitan pemimpin yang sehat dan wajar. Orba bergaya one man rule dengan rekayasa dan tekanan dalam mengkonsolidasi kekuasaan. Akibatnya bukan saja membatasi kebebasan berorganisasi serta berpendapat, tetapi juga menguatnya hegemony of meaning. Alhasil kalau pun ada tempat pembibitan pemimpin dari bawah, maka itu cuma buat mereka yang bersedia mengabdi belaka. Budaya kroni dengan kolusi, korupsi dan nepotisme pun merebak. Merajalelalah para (ABS) Asal Bapak Senang, abdi dalem Kraton Cendana. Pemimpin yang inspiratif pun tinggal kenangan.
Sekarang ini meskipun Orba sudah diganti semangat reformasi dengan gegap gempita demokrasi, ironisnya isu pemimpin inspiratif hanya ramai dan kuat di tingkat bawah,tetapi tidak popular serta sepi saja di tingkat atas. Dalam konteks itu santer suara di Indonesia kini yang keliatan memang cuma penguasa dan pembesar. Tiada pemimpin. Prilaku pemimpin tak nampak di tingkat atas. Hanya ada akrobat penguasa yang sibuk mengumbar syahwat politik untuk bisa tidur di ranjang kekuasaan bersama. Tapi di bawah suara rindu pemimpin justru menguat. Ada kesadaran ingin menemukan pemimpin sebagai kekuatan ispiratif dan pencerah di masa yang gawat.

Tapi siapakah pemimpin itu? Bagaimana pemimpin itu terbentuk dan muncul? Disinilah pentingnya karya Van Niel. Studi yang mengkhususkan diri pada elite Indonesia memang amat langka. Salahsatunya adalah The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1960) karya Robert van Niel. Sebuah keping kenangan yang penting ihwal munculnya elite baru dan pemimpin-pemimpin nasionalis dalam dunia kolonial Hindia Belanda awal abad ke-20. Van Niel bukan saja menelusuri akar-akar penyebab lahirnya elite modern pertama dalam sejarah Indonesia, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pola-pola tingkah laku (konflik-adaptasi) dan kebudayaan politik dalam artian orientasi serta tradisi politik yang menjelma menjadi “kebudayaan politik elite”. Bahkan manifestasinya diselami lebih jauh dalam percaturan politik yang diwarnai oleh perbedaan latarbelakang perbedaan orientasi itu.
Sebab itu karya Van Niel dapat menjadi mistar yang baik buat mengukur dan menilai tuntutan kehadiran pemimpin. Van Niel menyediakan pengukur sejati–bukan artifisial berdasar popularitas seperti buatan lembaga survey. Ia memberikan kacamata ideologis dan kultural yang historis ihwal pemimpin. Sebab sesungguhnya suara ingin pemimpin itu berakar pada ingatan kolektif yang terkait dengan identitas pemimpin atau elite yang membanggakan dalam sejarah.

Sejarah munculnya elite baru dan pemimpin nasionalis Indonesia mengakar dari sebuah zaman gelap. Menjelang wafat pada 1873, R.Ng. Ronggowarsito menulis Serat Kala Tida (Syair Zaman Kegelapan). Kemiskinan dan kemandekan memang citra Hindia saat itu. Tapi seperempat abad kemudian – ketika kolonialisme itu berpapasan dengan perobahan besar akibat semangat aufklarung atau pencerahan Eropa – biangkeladinya yaitu politik kolonial abad ke-19 yang rakus dan kejam dihujani kritik. Bahkan ethicus C.T. van Deventer pada 1899 mengingatkan Eereschuld (utang budi) dan perlunya “orang kulit putih menerangi kegelapan pribumi jajahan”. Setelah tahun 1900, politik etis diterima banyak kalangan sebab dari ragam tafsir satu saja definisinya: “kebijakan yang diarahkan untuk meletakkan seluruh kepulauan Hindia di bawah kekuasaan Belanda secara nyata, superioritas kulit putih dan untuk mengembangkan negeri dan bangsa di wilayah itu ke arah pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Negeri Belanda menurut model Barat.”

Arsitek kolonialisme Snouck Hurgronje pun bicara. Katanya, perluaslah sekolah untuk menanamkan “jiwa Eropa”, sehingga anak jajahan menumbuhkan diri sendiri, bermanfaat dan setia kepada Belanda. Sebab itu sejak 1900, ide ethicus diterima. Hoofden School, sekolah guru dan dokter Jawa, diperluas. Anak priyayi rendah pun bisa sekolah. Bergeraklah mesin cetak orang Hindia “berjiwa Eropa” yang dikiaskan Frant Fanon “peau noire, masques blancs” alias “kulit hitam, topeng putih”.

Ternyata hasil cetakan tak seragam. Politik Etis, kata Van Niel, memang berhasil mencetak “elite fungsional”, yaitu jelmaan-jelmaan yang siap meniru dan mengabdi demi menegakkan pikiran selamanya Belanda pengasuh Hindia. Tapi muncul juga “elite politik” atau figur politik modern yang tampak ngotot melawan wacana kolonial secara tertutup atau terbuka. Elite yang berlaku sebagai splendor varitatis, sosok yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan cahaya kebenaran.

Sebagaimana pengkaji Indonesia awal abad ke-20, Van Niel pun memakai frase cahaya. Sebab itulah yang mendominasi jiwa dan pikiran elite awal kebangkitan nasional. Lagi pula antara 1900-1925, bukan saja para tokoh utamanya yang mengambarkan pemikiran dengan kias bersifat terang, tapi juga banyak pers yang tumbuh mengiringi politik modern elite baru itu mengambil nama dengan mencomot kata matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya dan api. Semua kias ini adalah tanda-tanda yang lebih luas dari kebangkitan kembali dan regenerasi.

Para elite hadir dengan kias bersifat terang bukan saja simbol untuk menguatkan citra diri, tapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik dan perbedaan generasi. Wajar jika dalam publikasi elite di awal kebangkitan diwarnai teriak lantang paradok kata: muda/tua, maju/kolot dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, para elite sampai pada kesadaran fundamental akan perobahan. Alhasil 20 tahun awal abad ke-20 pergerakan Indonesia begitu dinamis, kaya ide yang diliputi sifat muda, maju dan sadar.

Muda tak hanya usia biologis para elite itu duapuluhan, bahkan belasan. Tapi juga pemikiran dan kejiwaannya yang diliputi spirit merombak struktur masyarakat lama untuk menciptakan suasana dan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat. Ini tercermin dalam polemik tahun 1914 antara pendiri Indische Partij (IP) dengan Noto Soeroto, motor ide Hindia terus di bawah Belanda. Juga polemik tahun 1918 antara Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai pimpinan terkemuka “nasionalisme Hindia” dengan Soetatmo Soerjokoesoemo, ketua Komite Nasionalisme Jawa.

Bayangan masyarakat baru memacu para elite bersikap maju. Nah, maju itu adalah hasrat menemukan kembali harkat diri. Tapi buat maju disadari ada kolonialisme dan feodalisme berdasar ras dan kelas. Tak ayal demokrasi pun dirasakan jadi bagian esensial hasrat buat maju. Sebab itu pada 1912 mencuat Sarekat Islam, ‘gerakan nationalistisch-demokratisch-ekonomisch’ ala ratu adil bermassa terbesar anti penindasan dan keangkuhan rasial. Pada 1918, segera meluas motto Mas Marco “sama rata sama rasa”. Berbareng hadir gerakan Djawa Dipa melawan keharusan tradisional yang hirarkis. Bagaimana bisa masuk “dunia maju” yang bertolak dari teori sosial yang egaliter dan demokratis jika tatanan tradisional yang hirarkis masih bercokol?

Akhirnya semua mesti dilakukan dengan sadar. Semula sadar berarti peralihan dari keadaan tertidur kepada rasa siuman. Persis kias sohor ethicus Belanda, “Si jelita yang tertidur telah terjaga”. Tapi, di awal abad ke-20, sadar meluas artinya. Kalau baca otobiografi Soetomo, Kenang-kenangan, sadar punya pengertian-pengertian yang saling berkaitan. Pertama “daya” yang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo–sahabat Soetomo–dijelaskan “menjadi motor pendorong”. Kala pemuda jadi motor pendorong perobahan, maka harus dijalani dengan ngurban. Ini kata Jawa dengan pegertian moral dan emosional yang dalam, berarti “bertindak tanpa pamrih”. Akhirnya sadar adalah “perubahan perangai” yang dirumuskan sebagai terus dalam suasana “memperlombakan diri berjaga dengan batin” dan “menerima [itu] sebagai kewajiban moril”.

Dalam konteks itu ada kesejajaran pemikiran Soetomo dengan Tjipto, sosok yang mengidentifikasi diri sebagai satria yang memenuhi panggilan moril berjuang melawan kebobrokan moril. Menurut Tjipto, dalam berjuang melawan kebejatan moril penjajahan Belanda dan priyayi feodal dihadang kesulitan, tapi semua itu kudu diterjang sebab cuma dengan begitu, maka tercipta ksatria dan dialah yang patut disebut “orang Hindia”. Dengan mengaitkan panggilan moril dan identifikasi sebagai “orang Hindia”, Tjipto telah menambahkan nilai yang menentukan dalam periode yang disebut “the decade of identities” yang dimulai sejak Abdul Rivai pada 1900 mempertanyakan, “siapakah kita?”. Bagi Tjipto pokok soalnya bukan identifikasi diri, tapi peningkatan harkat diri dan pengingkaran terhadap segala hal yang berlawanan dengan keadilan.

Van Niel menyimpulkan sukses para elite modern pertama itu terletak pada political will mereka sendiri dalam melembagakan nilai dan hasrat meraih kemanusiaan yang modern, maju dan progresif. Ada subjektivitas di sini tapi lahir dari panggilan yang universal. Melewati yang nafsi-nafsi. Demi kemaslahatan bersama. Dalam konteks itu pada mereka ada keberanian moral buat menunda datangnya imbalan dari jerih payah belajar dan menempuh jalan panjang penuh rintangan serta kesulitan.

Stovianen (siswa Stovia) adalah contoh terbaik atas apa yang terjadi itu. Stovia didirikan guna menciptakan “hamba sahaya” pelayan kepentingan tuan-tuan putih perkebunan di Sumatra Timur agar “mesin uang”-nya terus jalan sebab kesehatan buruhnya terjaga. Tapi siapa sangka jika ternyata dari sanalah muncul “hamba sahaya” yang tak membiarkan dirinya terbuai dalam keterpencilan kultural yang diciptakan dan dipelihara untuk menetralisir kenyataan akan kebangkrutan politik dan ekonomi tanah jajahan dan masyarakatnya. Sementara di sisi lain serba keterpurukan dan keterbelakangan itu, mereka lihat sukses peradaban dan kekuasaan Barat. Dalam suasana inilah pengetahuan akan “keterbelakangan masyarakat” menjadi dorongan untuk memasuki “dunia maju”. Membayanglah sebuah komunitas baru yang bebas dari segala yang menghambat jalan ke arah “kemajuan” dan betapa mendesaknya itu untuk diwujudkan. Maka lahirlah pemikiran ihwal “bangsa”.

Demi “bangsa” yang dibayangkan, para elite sebagai komunitas politik minoritas yang kreatif, dituntut menjadi ujung tombak gerakan. Otomatis mesti berperan antagonistis terhadap kolonialisme-feodalisme. Nyalalah gelora keberanian, militansi. “Jangan takut,” kata H.M. Misbach. “Rawe-rawe rantas malang-malang putung (hancurkan semua penghalang)” semboyan IP. Para elite itu pun terlihat liar dan memberontak, sebab mereka sadar setiap ide atau ideologi besar mesti diawali oleh gerakan protes atau gerakan sosial sebagai cara utama membongkar institusi-struktur lama dan membangun yang baru.
Kaum protagonis memiliki moral commitment untuk melakukan ide itu. Sebab itu mereka datang dengan fortiter in re atau kekuatan keyakinan bukan hitungan. Bertindak sebagai benteng moral, ketimbang pemburu kekuasaan. Alhasil politik adalah perjuangan bukan kepentingan. Dan cuma sebagai true believer sajalah nilai dan kewajiban itu dapat dijalankan, bila perlu dengan mengorbankan dirinya. Disinilah terletak nilai elite yang historis.

Adalah ironi besar nilai-nilai itu kini tinggal keping kenangan saja. Keping kenangan yang karatan dan rusak oleh iklim politik zaman gelap “Prabu Soeharto” yang rupanya masih melanjut dan menyediakan hawa bagus bagi elite-elite kekuasaan dekaden berbudaya kroni, bapakisme dengan kolusi, korupsi, nepotisme serta provitur, karbitan-dongkrakan yang tanpa pengetahuan dan wawasan luas serta moral.

Nasionalisme Vietnam : Sebuah Narasi “Kiri” Masyarakat Pemberontak


Nasionalisme Vietnam : Sebuah Narasi “Kiri” 
Masyarakat Pemberontak

“Nationalism is the term used in two related sense, first to identify an ideology and secondly, to describe a sentiment. ( Dictionary of International Relations : G.Evans & J.Newnham)”[1]

Dengan berpijak pada definisi atau batasan diatas, bahwa nasionalisme merupakan sebuah kata yang mengacu dalam dua buah pengertian yakni pertama, mengidentifikasi sebuah ideologi dan kedua, untuk menggambarkan sebuah sentimen, maka tulisan ini ditulis dengan tujuan memberikan gambaran sebuah narasi umum pembentukan nasionalisme di Vietnam dengan berkaca pada ideologi dan sentimen negara tersebut.
1. Sentimen : Akar Imaji Nasionalisme
            Radcliffe Brown seorang antropolog dalam bukunya, The Method of Ethnology and Social Antrhopology (1958)[2], menjelaskan mengenai sebuah pembentukan masyarakat yang dianggapnya bukan merupakan sebuah entitas namun melalui sebuah proses. Dalam proses pembentukan masyarakat tersebut, Brown melihat bahwa pembentukan masyarakat dilahirkan dari adanya relasi sosial dari person to person dalam masyarakat. Relasi sosial tersebut juga, baru akan terjadi dalam masyarakat jika adanya solidaritas antar person untuk saling menjaga peran dan statusnya masing-masing untuk tetap berjalan. Namun, untuk menjalankan solidaritas tersebut ada hal yang sangat penting untuk dimiliki setiap person dalam masyarakat yakni sentimen atau perasaan yang mengandung nilai-nilai didalamnya. Terlepas kemudian dari apa yang dibicarakan Brown dalam bukunya, kita dapat melihat bahwa sentimen yang mengandung nilai-nilai, memiliki arti penting dalam membentuk struktur , pola pemikiran, dan prilaku dalam masyarakat, termasuk pada pembentukan imaji nasionalisme dalam masyarakat tersebut. Sentimen dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai, kemudian tentu saja dapat dilihat dari struktur dan adat istiadat masyarakat tersebut. Dalam tulisan ini, untuk melihat sentimen pembentuk nasionalisme dalam masyarakat Vietnam kiranya kita perlu untuk melihat terlebih dahulu struktur masyarakat dan nilai-nilai yang terdapat didalamnya.
1.1 Struktur Masyarakat Vietnam
            Dalam melihat struktur dalam masyarakat Vietnam sebagai dasar dalam pembentukan imaji nasionalisme kebangsaan bukanlah hal yang mudah. Struktur masyarakat yang bersifat  dinamis hendaknya dilihat dengan menggunakan sebuah klasifikasi umum yang dapat merangkul segi dinamis dari struktur tersebut. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk menggambarkan struktur yang menimbulkan sentimen tersebut dengan menggunakan klasifikasi, periodisasi waktu. Berikut merupakan gambaran struktur masyarakat Vietnam dari waktu ke waktu.

a. Struktur Sejarah Awal
Orang-orang Vietnam merupakan perpaduan dari ras, bahasa, dan budaya, unsur-unsur seperti yang diurutkan oleh etnolog, ahli bahasa, dan arkeolog. Seperti itu benar untuk sebagian besar wilayah Asia Tenggara, Semenanjung Indocina persimpangan jalan untuk migrasi banyak orang, termasuk penutur bahasa Austronesia, Mon-Khmer, dan Tai. Bahasa Vietnam menyediakan beberapa petunjuk untuk campuran budaya orang-orang Vietnam. Meskipun bahasa yang terpisah dan berbeda, Vietnam meminjam banyak kosa kata dasar dari Mon-Khmer, tonalitas dari bahasa Tai, dan beberapa fitur tata bahasa dari kedua Mon-Khmer dan Tai. Vietnam juga menunjukkan beberapa pengaruh dari bahasa Austronesia, serta infus besar istilah sastra, politik, dan filsafat Cina periode selanjutnya.  Daerah yang sekarang dikenal sebagai Vietnam telah dihuni sejak zaman Paleolitik, dengan beberapa situs arkeologi di Provinsi Thanh Hoa dikabarkan datang kembali beberapa ribu tahun. Menurut tradisi Vietnam awal, pendiri bangsa Vietnam Hung Vuong[3], penguasa pertama dari dinasti semi legenda Hung (2879-258 SM, tanggal mitologis) dari kerajaan Van Lang. Hung Vuong, dalam mitologi Vietnam, adalah anak tertua dari Lac Quan Panjang (Lac Dragon Lord), yang datang ke Delta Sungai Merah dari rumahnya di laut, dan Au Co. Panjang lac Quan, seorang pahlawan budaya Vietnam, yang dilegendakan dengan mengajar orang bagaimana untuk menanam padi.
b. Stuktur Masyarakat Tradisional
          Selanjutnya, dari masyarakat dengan struktur awal tersebut masyarakat Vietnam kemudian berkembang menuju struktur masyarakat yang disebut sebagai struktur masyarakat yang tradisonal. Masyarakat tradisonal Vietnam sendiri memiliki beberapa ciri-ciri yakni hidup sebagai besar bergantung pada hasil sawah (agraris), dan umumnya tunduk pada nilai-nilai konfusuisme. Nilai-nilai konfusuisme yang dianut oleh masyarakat tradisional Vietnam, meletakkan dasar-dasar ajarannya pada lima hubungan yang mendasar[4] :1. Jelata tunduk pada penguasa, 2. Anak tunduk kepada ayah, 3. Istri tunduk kepada suami, 4.Saudara muda tunduk pada saudara tua, 5. Saling menghormati sesama teman. Hubungan-hubungan subordinasi demikianlah yang dipegang teguh kemudian oleh masyarakat Vietnam pada stuktur masyarakat tradisional. Pada perkembangannya kemudian tradisi ajaran-ajaran subordinasi konfusuisme tersebut menjadi bagian besar dari evolusi besar nilai-nilai dimasyarakat, dimana mengarahkan masyarakat Vietnam menjadi masyarakat yang  penuh dengan hierarki yang otoriter, yang kemudian menciptakan masyarakat  monarki yang absolut.
c. Struktur Masyarakat 1954-1975
Setelah pernyataan kemerdekaan pada tanggal 2 September 1945 dari penjajahan Prancis, ternyata Vietnam sebagai sebuah bangsa belum dapat lepas sepenuhnya dari poiltik kolonial Prancis. Dengan berbagai cara, Prancis mencoba mengembalikan “taring” kekuasaanya di Tanah Vietnam. Pada akhirnya, Prancis dapat melakukan berbagai perundingan yang berujung adu domba, dan penetapan keputusan partisi kolonial di Vietnampada tahun 1954 . Keputusan partisi kolonial merupakan keputusan sepeihak dari pemerintah kolonial yang membagi Vietnam kepada 2 wilayah besar yakni Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Keputusan tersebut, sebenarnya merupakan salah satu strategi kolonial, dalam mengadu domba dua buah ideologi besar di Vietnam yakni Ideologi Nasionalis, yang kemudian berkembang di Vietnam Selatan dan ideologi Komunis yang berkembang di Vietnam Utara.
Pembagian wilayah yang berbasis Ideologis tersebut, bukan hanya mengubah bentuk dari wilayah Vietnam namun juga mengubah struktur dan nilai-nilai masyarakat didalamnya. Vietnam Utara atau yang sering disebut Viet Chong, wilyah Vietnam berbasis Ideologis Komunis, dalam struktur masyarakatnya melakukan perubahan yang amat daramatis, atau mengutip bahasa masyarakat komunis yakni melakukan perubahan yang sangat “revolusioner”. Segala macam perubahan yang terjadi di Vietnam Utara merupakan perubahan yang didasarkan atas prinsip perjuangan kelas Marxis, dan melibatkan tidak kurang dari penciptaan struktur sosial yang sama sekali baru. Kelas-kelas kepemilikan dihilangkan, dan kediktatoran proletar didirikan di mana buruh dan tani muncul sebagai master baru nominal negara sosialis dan akhirnya tanpa kelas.
Perubahan yang terjadi secara “revolusioner” pada masyarakat Vietnam Utara, ternyata tidak berlaku pada masyarakat Vietnam Selatan. Setelah partisi tahun 1954, struktur masyarakat Vietnam Selatan tidak mengalami perubahan yang begitu banyak. Perkotaan-pedesaan jaringan Selatan peran, sangat bergantung pada perekonomian petani, tetap utuh meskipun masuknya hampir satu juta pengungsi dari Utara, dan reformasi tanah, dimulai tidak antusias pada tahun 1956, memiliki sedikit dampak sosial ekonomi dalam menghadapi obstruksi oleh pemilik tanah kelas. Berbeda dengan Utara, tidak ada doktriner, upaya terorganisir untuk mereorganisasi masyarakat secara fundamental atau untuk menanamkan nilai-nilai budaya baru dan sanksi sosial. Rezim Ngo Dinh Diem lebih peduli dengan kelangsungan hidup sendiri dibanding dengan langsung perubahan sosial revolusioner, dan jika memiliki visi reformasi sosial politik sama sekali, visi yang difusif. Selain itu, tidak memiliki organisasi politik yang sebanding dalam semangat kepada aparatur partai Hanoi dalam rangka mencapai tujuannya. Pada akhirnya, stagnansi yang terjadi di Vietnam Selatan mengarahkan struktur masayrakat Vietnam Selatan pada ketidakberubahan dari sistem hierarkis yang feodal dimana kepemilikan tanah masih dimiliki oleh para penguasa dan orang kaya, dan petani atau masyarakat pedesaan tetap menjadi masyarakat miskin yang tertinggal.
d. Struktur Setelah 1975
            Runtuhnya pemerintahan Saigon(Vietnam selatan) pada bulan April 1975 menetapkan panggung untuk sebuah babak baru dan tidak pasti dalam evolusi masyarakat Vietnam. Kekuasaan Vietnam diambil alih oleh pemerintahan komunis, dimana pemerintahan komunis melarang adanya hak kepemilikan pribadi dan menekankan kepemilikan kolektif di masyarakat. Rekonstruksi pasca perang saudarapun berlangsung dengan sangat lama, bahakan sempat mengalami saat-saat terburuk ketika Vietnam mencoba intuk menginvasi Kamboja dalam rangka membebaskan rekan mereka yakni, Khmer Rouge yang mengalami penindasan. Akibatnya, hal tersebut memperburuk kondisi politik dan ekonomi Vietnam, yang mengakibatkan Vietnam semakin tergantung pada bantuan dari Uni Soviet.
            Pada tahun 1986, pemerintahan komunis menerapkan kebijakan pasar bebeas (free [5]market), yang kemudian lebih dikenal oleh masyarakat sebagai kebijakan Doi Moi (renovasi), dimana pemerintah melakukan penataan ulang terhadap regulasi- regulasi kepemilikan. Ketika Doi Moi itu pula arus investasi asing diizinkan masuk ke Vietnam. Meski demikian, negara tetap menjadi kekuatan terbesar dalam kehidupan masyarakat Vietnam hingga sekarang.


2. Ideologi : Sebuah Katalis Nasionalisme
            Setelah membahas mengenai struktur dan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Vietnam dari waktu ke waktu. Selanjutnya saya akan membahas salah satu,   yang mendasari munculnya semangat nasionalisme selain sentimen yang mengandung nilai dalam struktur masyarakat, yakni Ideologi. Ideologi disini diartikan sebagai seperangkat asumsi dan ide tentang perilaku sosial dan sistem sosial[6]. Berkenaan tentang arti dari ideologi tersebut, dapat dilihat bahwa prilaku sosial dan sistem sosial yang ada di masyarakat Vietnam, termasuk imaji dari nasionalisme itu sendiri bermula dan dipercepat penyebaraannya atas dasar semangat ideologi yang menjadi corak didalamnya. Ideologi tersebut mewaranai khususnya urat syaraf kehidupan masyarakat yakni tradisi kekuasaan atau tradisi politik. Tradisi politik negara merupakan salah satu penerapan ide meminjam dengan kondisi masyarakat adat.
Dalam banyak hal, Marxisme-Leninisme hanya merupakan sebuah bahasa baru di mana untuk mengekspresikan orientasi budaya lama tetapi memeiliki konsistensi dan kecenderungan didalamnya . Proses politik Vietnam,  karena itu, banyak menggabungkan mitologi nasional sebagai dari keprihatinan pragmatis yang ditimbulkan oleh isu-isu saat ini. Pengaruh besar pada budaya politik Vietnam yang berasal dari Cina. Lembaga-lembaga politik Vietnam yang ditempa oleh 1.000 tahun pemerintahan China (111 SM sampai AD 939). Sistem Cina kuno, berdasarkan Konfusianisme, mendirikan pusat politik yang dikelilingi oleh subjek yang setia. Para Konghucu menekankan pentingnya desa, endowing dengan otonomi tetapi jelas mendefinisikan hubungannya dengan pusat. Mereka yang memerintah melakukannya dengan "mandat dari langit." Meskipun mereka sendiri tidak dianggap ilahi, mereka diperintah oleh hak ilahi dengan alasan kebajikan mereka, yang diwujudkan dalam kebenaran moral dan kasih sayang bagi kesejahteraan rakyat. Sebuah monarki memiliki sifat-sifat menerima tanpa syarat kesetiaan rakyatnya. Pemilihan pejabat birokrasi adalah berdasarkan ujian pelayanan sipil, bukan keturunan, dan lembaga pemerintah dipandang hanya sebagai saluran untuk kebijaksanaan unggul dari penguasa.
Vietnam mengadopsi sistem politik dari satu milik tetangga di Asia Tenggara mereka, yang diidentifikasi penguasa sebagai dewa yakni China. Namun demikian, interpretasi Vietnam dari sistem berbeda dari orang-orang Cina baik di tingkat kesetiaan diperluas ke dalam aturan dan dalam sifat hubungan antara lembaga pemerintahan dan orang-orang yang memerintah. Di Vietnam, kesetiaan kepada seorang raja itu bersyarat atas keberhasilan dalam membela wilayah nasional. Sebuah sejarah dominasi China telah peka Vietnam untuk pentingnya mempertahankan integritas wilayah mereka. Di Cina, kontrol teritorial tidak membangkitkan semangat derajat yang sama. Dalam menafsirkan peran lembaga pemerintah, kepercayaan Vietnam juga bertentangan dengan teori Konfusianisme. Sedangkan Konghucu berpendapat bahwa lembaga yang tentu bawahan penguasa yang saleh, praktek Vietnam memegang berlawanan untuk menjadi kenyataan. Lembaga yang diberkahi dengan otoritas bawaan tertentu atas individu, suatu sifat diwujudkan dalam kecenderungan untuk menciptakan institusi Vietnam yang kompleks dan berlebihan. Meskipun pengaruh Konfusianisme, praktek Vietnam menunjukkan iman dalam struktur administrasi dan dalam pendekatan legalis untuk masalah politik yang jelas Vietnam, tidak Confucianist.
Namun demikian, sifat Konghucu masih terlihat di Vietnam pada pertengahan 1980-an. Dalam hubungan antara penguasa dan rakyat, sistem Konghucu dan komunis tampaknya berdampingan lebih mudah antara petani Vietnam Utara daripada di antara saudara-saudara mereka yang konon lebih mudah tersinggung di Selatan, dimana pengaruh India dan Prancis melebihi yang dari Cina. Mencari alasan untuk menjelaskan fenomena tersebut, beberapa pengamat menyatakan bahwa kesulitan yang lebih besar yang dihadapi dalam transformasi provinsi selatan Vietnam menjadi masyarakat komunis bertangkai, di bagian, dari daerah ini yang telah paling Sinicized. Selain itu, pengaruh Asia Tenggara di Vietnam Selatan, seperti Buddhisme Theravada, telah menciptakan sebuah iklim budaya di mana hubungan dengan pusat kekuasaan yang jauh norma. Selain itu, sistem politik Selatan telah cenderung untuk mengisolasi pusat, baik secara simbolik dan fisik, dari mayoritas rakyat, yang tidak punya cara yang jelas akses ke pemerintah mereka. Selatan juga telah yang pertama jatuh ke Prancis, yang telah memperluas pengaruh mereka di sana dengan mendirikan pemerintahan kolonial. Di Utara, bagaimanapun, Prancis telah dipertahankan hanya protektorat dan telah memungkinkan ukuran pemerintahan sendiri. Akibatnya, pengaruh Perancis di Utara kurang dari di Selatan dan merupakan halangan kecil untuk pengenaan komunisme.
Pengaruh China modern, dan khususnya doktrin Mao Zedong dan Partai Komunis China, pada budaya politik Vietnam adalah masalah lebih rumit. Para pemimpin Vietnam, termasuk Ho Chi Minh, menghabiskan waktu di Cina, tetapi mereka telah membentuk kesan-kesan mereka komunisme di Paris dan Moskow dan melalui Moskow-diarahkan pada koneksi Komintern. Keberhasilan Revolusi Komunis China pada tahun 1949, bagaimanapun, diilhami komunis Vietnam untuk melanjutkan revolusi mereka sendiri. Hal ini juga memungkinkan mereka untuk melakukannya dengan memperkenalkan Republik Rakyat Cina sebagai sumber penting dukungan material. Kedua Nasional Partai Kongres, yang diselenggarakan pada tahun 1951, mencerminkan tekad yang baru untuk mendorong maju dengan tujuan partai, termasuk rekonstruksi masyarakat untuk mencapai tujuan komunis dan reformasi tanah.
Model Soviet, juga, bisa dilihat dalam praktek politik Vietnam. Di bidang prosedur hukum, praktek birokrasi, dan manajemen industri, sistem Vietnam lebih dekat menyerupai sistem Soviet daripada Cina. Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, para pemimpin VCP tertarik terutama dengan kemajuan yang dibuat dalam pembangunan ekonomi Soviet. Pada kebanyakan kasus, bagaimanapun, kebijakan dan institusi Vietnam, daripada mengikuti ketat untuk model baik Cina atau Uni Soviet, cenderung menjadi respon dasarnya Vietnam untuk masalah Vietnam. Hubungan permusuhan tradisional dengan negara-negara tetangga juga membantu mendefinisikan budaya politik Vietnam. Lama negara keretakan dengan Kamboja dan Cina, yang berkembang menjadi konflik terbuka pada tahun 1978 dan 1979 masing-masing, menunjukkan kebutuhan untuk melihat hubungan kontemporer dalam perspektif sejarah. Sikap Hanoi mengenai hubungan dengan kedua tetangga didasarkan sebanyak terbiasa dalam pola pertukaran seperti dalam keprihatinan saat ini untuk keamanan nasional. Hal ini juga tegas berbasis di Vietnam tradisi perlawanan terhadap kekuasaan asing, yang telah menjadi tema daya tarik besar untuk patriot Vietnam sejak zaman dominasi Cina. Para anggota pendiri VCP adalah elit setuju dari sebuah negara terjajah. Mereka tertarik pada Marxisme-Leninisme tidak hanya untuk teori-teori sosial, tetapi juga karena respon Leninis untuk penaklukan kolonial. Ho sendiri dilaporkan lebih peduli dengan masalah imperialisme Perancis dibandingkan dengan perjuangan kelas.
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa Ideologi sebagai seperangkat ide mengenai asumsi struktur sosial dan prilaku masyarakat yang diinginkan juga, dapat membentuk, mengarahkan, bahkan menjadi katalis dalam perubahan dalam masyarakat termasuk semangat kebangsaan dan nasionalisme kepada negara.


Kesimpulan
1.      Dalam Nasionalisme Vietnam ada dua faktor  besar yang mendasari pembentukan nasionalisme tersebut yakni sentimen yang mengandung nilai dalam masyarakat, dan juga ideologi yang berfungsi sebagai katalis dalam perubahan ide asumsi pemikiran tentang negara dan bermasyarakat
2.      Sentimen yang mengandung nilai, yang menjadi salah satu faktor penting timbulnya nasionalisme contohnya    dalam masyarakat Vietnam ada nilai-nilai keterikatan akan nenek moyang yang sama (Hung Vuong) dan juga pembawa kebudayaan (Cultural hero) yang sama yang mengajarkan kebudayaan dan peradaban pertama bagi masyarakat Vietnam.
3.      Sentimen dan nilai-nilai dalam masyarakat Vietnam yang salah satunya menjadi faktor penting dalam pembentukan nilai-nilai nasionalisme adalah hubungan-hubungannya dengan nilai-nilai dasar konfusuisme yang hierarkis dalam masyarakat. Hubungan-hubungan masyarakat yang hierarkis, membentuk pola-pola masyarakat yang subordinat dan dalam bentuk ektremnya mengahasilkan masyarakat yang otoriter. Hal ini sangat berhubungan, pada proses transformasi kemudian masyarakat Vietnam dalam hal Ideologis dimana infiltrasi nilai-nilai komunisme menjadi mudah berkembang karena sesuai dengan semangat perlawanan masyarakat yang terlalu hierarkis menjadi masyarakat yang tanpa kelas.
4.      Nilai-nilai ideologis dari komunisme menjadi sebuah katalis bagi nationalisme bangsa Vietnam. Bangsa Vietnam semenjak dahulu sudah merasa terkungkung dalam sistem masyarakat yang hierarkis sehingga sistem ideologis komunis menjadi salah satu angin segar bagi masyarakat Vietnam untuk membebaskan diri mereka dari kungkungan sistem yang hierarkis.





Daftar Pustaka
Referensi Buku :
Evans, G & Newnham, J. 1998. Dictionary of International Relations. London : Penguin Books.
Brown, Radcliffe. 1958. Method In Social Anthropology.Chicago :The University Of Chicago Press.
Huynh Sanh Thong, ed. trans The Heritage of Vietnamese Poetry.New Haven, 1979
Ronald J. Cima, ed Vietnam:. Sebuah Studi Negara. Washington: GPO untuk Perpustakaan Kongres, 1987.
Ebenstein, William. 1994. Today`s ISMS. Jakarta :Erlangga.
Referensi Internet :






[1] Evans, G & Newnham, J. 1998. Dictionary of International Relations. London : Penguin Books.
[2] Brown, Radcliffe. 1958. Method In Social Anthropology.Chicago :The University Of Chicago Press
[3] Dikutip dari : Huynh Sanh Thong, ed. trans The Heritage of Vietnamese Poetry.New Haven, 1979.
[4] Dikutip dari : Ronald J. Cima, ed Vietnam:. Sebuah Studi Negara. Washington: GPO untuk Perpustakaan Kongres, 1987.
[5] Dikutip dari : www.countrystudies.us ( diakses pada : 10-11-2011)
[6] Ebenstein, William. 1994. Today`s ISMS. Jakarta :Erlangga.

Aku ingin mencintaimu

Aku ingin mencintaimu dengan biasa.

Bukan seperti kesempurnaan bulan yang menerangi kegelapan malam
Tetapi seperti api lilin yang kecil dan menerangi tepi, yang kemudian mati karena ditelan temaram.

Aku ingin mencintaimu dengan biasa

Bukan seperti keanggunan mawar yang hadir abadi di taman firdaus.
Tetapi aku ingin mencintaimu seperti belukar yang terijak semu lalu mati berkubang nista.

Aku ingin mencintaimu dengan biasa

Bukan dengan kata yang indah dari mulut seorang pujangga
Tetapi dengan hati  dan  tatapan seorang sufi yang membuatmu tenang dan tentram

Dengan kesederhanaan

Dengan hati

Dengan cinta












Jumat, 13 Januari 2012

Teropong Asia Tenggara

Praktek Waqaf Sebagai Institusi Pembentuk Civil Society : Sebuah Studi Kasus di Mindanao, Filipina


Civil Society sebagai salah satu elemen pembentuk sebuah negara memiliki peran penting dalam memberikan pemberdayaan dan advokasi masyarakat. Seperti yang ditampilkan pada judul dalam tulisan ini, tulisan ini akan membahas dan menjelaskan fungsi Waqaf, sebagai sebuah konsep kedermawanan sosial dalam agama Islam, yang digunakan masyarakat muslim Mindanao sebagai salah satu intrumen dalam pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat yang sejahtera dan  madani.

Apa itu Civil Society?

Istilah Civil Society, yang kini sering diterjemahkan sebagai masyarakat madani atau masyarakat kewarganegaraan tampaknya semakin mendapatkan tempat dalam diskursus dinamika kehidupan masyarakat Asia Tenggara, khususnya masyarakat Filipina. Harus diakui bahwa pemahaman atas terminologi tersebut masih akan terus berkembang, karenanya persilangan pendapat menjadi suatu hal yang tidak dapat terelakan. Namun, saya kira hal tersebut adalah hal yang wajar mengingat hal serupa juga terjadi pada negara-negara yang sudah menggunakan kata atau term tersebut dalam wacana keilmiahan atau kesehariannya. Civil Society sebagai sebuah konsep tentunya berasal dari sebuah proses sejarah, dan dalam hal ini berasal dari sejarah pemikiran dunia barat. Akar perkembangan konsep Civil Society itu sendiri sebenarnya dapat diruntut dari pemikiran Cicero dan bahkan menurut Alfred Riedel, lebih ke belakang sampai Aristoteles.
Dalam pengertian tradisi pemikiran eropa abad 18 pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara yakni suatu kelompok  atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Jadi istilah istilah seperti societas civilis, societe civile, buergerliche gesellschaft, civil society dipakai secara bergantian dengan polis, civitas, etat, staat, state dan stato. Maka ketika JJ Rousseau menggunakan istilah societies civile, ia memahami sebagai negara yang mana salah satu fungsinya adalah menjamin hak-hak milik, hidup dan kebebasan para anggotanya.
Dalam perkembangannya konsep Civil Society pernah juga dipahami sebagai cara pandang yang radikal oleh para pemikir yakni dengan menekankan aspek kemandirian dan perbedaan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah antitesis dari konsep negara. Pemikiran ini mengundang reaksi dan komentar kemudian oleh para pemikir seperti Hegel yang segera mengajukan tesis bahwa civil society,  tidak dapat dibiarkan tanpa kontrol. Menurut Hegel, Civil Society memerlukan berbagai aturan  dan pembatasan-pembatasan serta penyatuan dengan negara lewat kontrol hukum.
Terlepas dari berbagai perdebatan secara historis mengenai pemaknaan term civil society, pada tulisan ini saya mencoba memberikan sebuah definisi yang mencoba membatasi dan memagari apa yang termasuk civil socety dengan masih merujuk pada pengertian yang diajukan oleh Diamond Larry dalam Developing Democracy(1999). Civil Society adalah organisasi nyata dalam kehidupan sosial yang bersifat terbuka, kesukarelaan, non porfit, dan mandiri terpisah dari negara dan terbentuk dengan aturan yang legal atau diatur dengan aturannya sendiri. Ruang lingkup dari Civil Society itu sendiri yang menurut Diamond Larry, termaktub dalam organisasi formal dan non formal, yang meliputi kegiatan-kegiatan seperti berikut :
1.    Kelompok kepentingan    Kelompok-kelompok yang terbentuk karena kepentingan mereka akan sesuatu yang sama, contohnya asosiasi veteran perang, dan pensiunan
2.    Kultural     agama, etnik, komunal, dan institusi-institusi dan asosiasi yang melindungi kepentingan kolektif, nilai, kepercayaan, dan simbol.
3.    Informasi dan Edukasi
Organisasi-organisasi yang memiliki tujuan-tujuan pencerdasan publik.
4.   Orientasi Isu
     Organisasi-organisasi yang bergerak pada perlindungan lingkungan, landreform, hak
      hak anak dan wanita.

Waqaf  Dalam Islam

Kata Waqaf  merupakan sebuah kata atau term yang berasal dari bahasa arab, yang artinya menahan. Pengertian dari menahan itu sendiri diartikan sebagai perbuatan untuk menahan tidak menjual, tidak dihadiahkan, atau tidak diwariskan, pada suatu benda yang dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan. Misalnya mewaqafkan masjid, atau tanah untuk madrasah, pondok pesantren, rumah sakit dan sebagainya. Dalam agama Islam, Waqaf  sendiri memiliki keistimewaan khusus dikarenakan dianggap akan memberikan pahala dan keberkahan yanterus-menerus sekalipun orang yang sudah melakukan Waqaf  tersebut meninggal dunia. Barang yang diwakafkan memiliki beberapa syarat agar layak untuk diwaqafkan. Pertama untuk selama-lamanya, berarti tidak dibatasi waktu, kedua harus tunai diserahkan saat diikrarkan, dan ketiga harus jelas kepada siapa barang tersebut diwakafkan. Selain memiliki syarat-syarat, waqaf jugamemiliki beberapa rukun atau ketentuan yakni :
1. Orang yang berwaqaf, syaratnya :
         a. Berakal dan telah dewasa
         b. Kehendak sendiri, tidak sah jikalau orang tersebut dalam keadaan terpaksa
    2. Barang yang diwaqafkan, syaratnya  milik wakif, spenuhnya, bersifat abadi, dan dapat
       diambil manfaatnya tanpa mengalami dan berakibat kerusakan.
     3. Tujuan Wakaf sesuai dengan sedekah, atau setidaknya merupakan hal yang dibolehkan I
         ajaran Islam
4. Pernyataan waqaf dapat dilakukan dengan lisan, namun lebih baik dengan tulisan.
    Tujuannya agar dapat diketahui secara jelas, untuk menghindari persengketaan di
    kemudian hari.

Pergerakan Islam  dan Civil Society di Mindanao
Islam sebagai sebuah agama merupakan sebuah agama kenabian yang etis (ethical prophecy). Dalam agama islam putusnya hubungan antara tradisi dan ajaran Muhammad adalah tajam dan jelas, dan pesan yang dibawanya, atau pesan tuhan yang diwahyukan kepadanya pada pokoknya merupakan rasionalisasi dan penyederhanaan. Islam mengajarkan sikap menahan diri (asceticism), dan menolak simbolisasi yang tidak rasional, berlebihan dan bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Sumber-sumber ajaran dalam agama isalam sendiri merupakan Al-Quran dan Al-Hadist.
Quran merupakan kitab suci dalam agama islam yang memuat ajaran, larangan, dan suruhan tuhan, sedangkan hadist merupakan ucapan dan tindakan Nabi Muhammad, yang menjadi acuan dan contoh dalam bertindak dan berperilaku. Dalam Al-Quran dan Al-Hadist dalam agama islam diajarkan sebuah konsep yang wajib dijalankan oleh setiap muslim yakni amal maruf nahi mungkar, yaitu menegakan kebaikan dan memberantas kemungkaran. Salah satu hal yang dianggap sebagai kemungkaran oleh agama islam adalah keadaan tidak berdaya, kemiskinan, dan ketimpangan sosial.
Kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakberdayaan memunculkan gerakan-gerakan sosial, yang mencoba untuk bangkit dari keadaan-keadaan tersebut. Di Filipina sendiri, khususnya di Mindanao setidaknya ada dua gerakan komunitas Muslim yang muncul dan eksis dalam melakukan kegiatan-kegiatan Civil Society. Gerakan yang pertama yakni Moro National Liberation Front (MNLF) dan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Dibalik kegiatan-kegiatannya yang sering dianggap oleh pemerintah Filipina sebagai tindakan radikal dan revolusioner, kedua organisasi ini berusaha melalui berbagai kegiatannya aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan dan “advokasi” sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat tersebut, mereka maknai sebagai sebuah bentuk “perpanjangan tangan” dari perjuangan mereka, dalam mimpi akan sebuah negara islam.
Selain dalam rangka mencapai mimpi mereka untuk mendirikan negara islam, kegiatan-kegiatan sosial dan pemberdayaan tersebut juga dianggap oleh mereka sebagai bentuk dari institusionalisasi prinsip-prinsip marshalah murshalah atau kesejahteraan sosial. Konsep yang mereka gunakan dalam

Institusi Waqaf  Filipina

Komunitarian aspek dalam kepemilikan harta benda dalam agama Islam dapat kita lihat penerapannya dalam kasus Waqaf di Mindanao, dimana disini adanya keseimbangan antara kepemilikan yang bersifat privat dan kepemilikan yang bersifat publik. Dalam agama Islam sendiri, seperti yang telah sebelumnya penulis jelaskan bahwa ada kewajiban yang melekat pada setiap diri umat muslim untuk menegakan amal maruf nahi mungkar. Kewajiban  amal maruf nahi mungkar tersebut memiliki dua dimensi, yakni dimensi privat dan dimensi publik. Pada dimensi privat kewajiban tersebut memiliki kekuatan hukum fardhu ain, dan dalam dimensi publik memiliki fungsi fardhu kifayah. Oleh karena Waqaf dalam hal ini dominan memiliki dimensi publik maka jatuhlah hukum Fardhu kifayah untuk melakukannnya. Selain atas dasar hukumnya sebagai sebuah kewajiban kolektif atau fardhu kifayah,
Dalam kasus waqaf di Mindanao itu sendiri ada sebuah organisasi yang didirikan guna melakukan aktifitas-aktifitas sosial dibidang pemberdayaan Waqaf, organisasi tersebut bernama organisasi Al-Khairiah. Organisasi ini didirikan pada tahun 1988, namun baru mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun 1991 ketika adanya dana abadi umat berbasis philantropy mengucur dari Abu Dhabi dan . Sebagai tindak lanjut dari pemberian dana philantropy tersebut, organisasi Al-Khairiah kemudian membuat Masjid dan Madrasah (sekolah islam) dan membentuk skema pendanaan  yang diinstitusikan dalam pembentukan sistem strategi pemodalan bersama melalui properti waqaf dan melakukan manajemen perencanaannya. Perkembangan ini kemudian memiliki dampak yang cukup besar dalam sistem penghitungan akuntansinya.
Konsekuensi dari cara pandang ini, mengubah  paradigma waqaf yang tadinya hanyalah merupakan sebuah sumbangan sosial, menjadi kepemilikan bersama yang menghasilkan keuntungan. Keuntungan yang dihasilkan kemudian diaolkasikan demi kepentingan bersama, atau yang masyarakat muslim menyebutnya sebagai kepentingan ummah. Salah satu bentuk pengalokasian hasil dari pendayagunaan Waqaf tersebut, digunakan khususnya untuk mendirikan masjid-masjid dan madrasah. Dana yang dihasilkan oleh Waqaf  tersebut juga digunakan untuk membiayai beberapa program yang dilaksanakan oleh organisasi, khususnya dalam bidang pendidikan, pemberdayaan wanita, pemberdayaan masyarakat miskin, perdamaian, hingga pemodalan bagi masyarakat muslin yang tidak memiliki pekerjaan.
Segala usaha yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan waqaf ditujukan dalam rangka meningkatan kebedayaan ummah, dan sebagai dana jaminan sosial bagi masyarakat yang sedang tidak berdaya seperti anak yatim-piatu, lansia, dan anak-anak terlantar. Mimpi besar dari organisasi Al-Khairiah kemudian adalah membawa masyarakat Filipina keluar dari kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin Kota

           Program ini merupakan salah satu program yang dilakukan oleh organisasi Al-Khairiah melalui pembiayaan berbasis Waqaf , dengan tujuan memberdayakan masyarakat miskin di daerah perkotaan Mindanao. Proyek ini akan mengatur dan membantu  sektor miskin perkotaan untuk memberi mereka suara dalam wacana tentang kemiskinan perkotaan dan tunawisma.
 Ini akan membekali mereka dengan keterampilan pengetahuan yang tepat, dan sikap untuk keterlibatan yang efektif dengan pemerintah untuk mendukung perumahan mereka hak-hak dan tanggung jawab permintaan pemerintah untuk membantu masyarakat miskin untuk memiliki akses terhadap lahan dan perumahan. Ini akan memperkuat konsensus proses dan struktur di antara mereka, tidak hanya pada tingkat masyarakat, tetapi juga pada tingkat kota, wilayah dan bangsa. Munculnya pemimpin wanita juga akan didorong di semua struktur. Bantuan akan fokus pada pengembangan organisasi, kesetaraan  gender,  dan peningkatan kapasitas  Proyek ini akan mendukung, membangun atau memperkuat 14 kota berbasis kemitraan nasional. Cara-cara yang dilakukan organisasi Al-Khairah dalam proyek ini antara lain melalui jalur advokasi dan dialog.
Advokasi publik, dialog dan jaringan akan dilakukan di kota, regional dan tingkat nasional untuk mengatasi masalah kemiskinan dan perumahan, seperti penggusuran dan resettlements, perencanaan penggunaan lahan, perencanaan perumahan sosial dan keuangan, dan pelayanan sosial bagi kaum miskin.  Proyek ini juga akan berusaha untuk mengembangkan kemitraan dengan jaringan, program dan proyek di negara-negara lain untuk memaksimalkan peluang untuk memanfaatkan pengalaman mereka dan pembelajaran, serta berbagi pengalaman kita sendiri dan pelajaran dalam proyek ketika kita melakukan dialog yang bermakna untuk saling belajar, pemberdayaan, kerjasama dan solidaritas. Ini mungkin termasuk kunjungan dan dialog kawasan internasional dan partisipasi dalam konferensi dan seminar.




Madrasah dan Kemandirian

Salah satu program yang sangat konsern dilakukan oleh organisasi Al-Khairiyah dalam memberdayakan masyarakat Mindanao, salah satunya dengan jalan pendidikan yakni melalui sebuah institusi Islam yang disebut sebagai madrasah. Madrasah, sendiri jika diartikan memiliki arti madrasah” dalam bahasa Arab adalah bentuk kata “keterangan tempat” (zharaf makan) dari akar kata “darasa“. Secara harfiah “madrasah” diartikan sebagai “tempat belajar para pelajar”, atau “tempat untuk memberikan pelajaran”. Dari akar kata “darasa” juga bisa diturunkan kata “midras” yang mempunyai arti “buku yang dipelajari” atau “tempat belajar“; kata “al-midras” juga diartikan sebagai “rumah untuk mempelajari kitabTaurat’. Kata “madrasah” juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu “darasa”, yang berarti “membaca dan belajar” atau “tempat duduk untuk belajar”. Dari kedua bahasa tersebut, kata “madrasah” mempunyai arti yang sama: “tempat belajar”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata “madrasah” memiliki arti “sekolah” kendati pada mulanya kata “sekolah” itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, organisasi Al-Kairiyah percaya bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek penting untuk membuat masyarakat lebih mandiri. Mereka percaya bahwa ketika seseorang mendapatkan pendidikan maka seseorang itu dapat lebih mandiri dalam menjalani hidupnya.
Pendirian dan pengembangan madrasah sendiri pada organisasi ini bukan tanpa sebuah pengaturan dan sistem. Organisasi Al-Khairiyah membentuk sebuah pelatihan dan sistem bagi para pengajar madrasah, yakni Madrasah System Learning and Training Centre dalam rangka juga untuk mensukseskan salah satu program pendidikan organisasi yakni Mindanao Basic Education Development Project (MBEDP). Untuk masalah pembiayaan, dana untuk program ini lagi-lagi berasal dari dana waqaf yang berasal dari ummah.





Kesimpulan

Pembentukan Civil Society di Mindanao sangat didukung oleh adanya nilai-nilai Islam yang diinstitusikan dalam masyarakat.
Salah satu faktor pendukung terciptanya masyarakat “berdaya” yang menuju masyarakat Civil Society di Mindanao salah satunya adalah dengan melalui waqaf.
Waqaf dalam agama islam merupakan sebuah cara dalam menghibahkan harta untuk kemudian “diolah” demi kepentingan publik.
Dalam Waqaf  terjadi adanya keseimbangan kemudian antara kepemilikan privat dan kepemilikan pribadi.
Al-Khairiyah merupakan salah satu organisasi pengelola Waqaf di Mindanao yang cukup sukses, mengelola harta wakaf yang digunakan demi kepentingan Ummah.
Institusionalisasi waqaf  yang akuntable dan profesional menghasilkan keuntungan, yang dialokasikan sebagai dana sosial baik dalam bentuk fisik, maupun kegiatan-kegiatan.
Alokasi dana hasi waqaf dalam bentuk fisik salah satunya dengan pendirian-pendirian masjid dan madrasah, sedangkan alokasi dalam bentuk kegiatan sosial digunakan dalam membiayai kegiatan-kegiatan melawan kemiskinan, pemberdayaan wanita, dan pendidikan.







Daftar Pustaka
Buku     :
Mitsuo, Nakamura, et.al
    2001     Islam and Civil Society in Southeast Asia.
                Singapore : Seng Lee Press Pte Ltd.
Diamaond, Larry
1999   Developing Democracy.
    London : The John Hopkins University Press.
Geertz, Clifford,
1981    Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.
        Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Rijal, Syamsul,
            1999    Buku Pintar Agama Islam.
        Jakarta : PT Penebar Salam
Hikam, Muhammad
            1999      Demokrasi dan Civil Society.
        Jakarta : LP3ES
Internet    :
http://asruldinazis.wordpress.com (Diakses pada : 11-01-2012, Pukul 13.30)
http://muslim.mindanao.com/ (Diakses pada : 11-01-2012, Pukul 14.00)
http://www.neencabangis.com/testsites/philssa/ (Diakses pada : 11-01-2012, Pukul   14.10)


Book Review : Involusi Pertanian


Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia
                                               
Clifford Geertz

          Tulisan ini merupakan sebuah buku karya seorang antropolog bernama Cliford Geertz. Tulisan setebal 181 halaman ini menggambarkan pemikiran Geertz dalam melihat proses transformasi ekologi di Indonesia saat itu, dimana Geertz melihat adanya involusi yakni “kemunduran” dalam bidang ekologis khusnya dalam bidang pertanian. Buku involusi pertanian, merupakan buku yang teoritik yang menjelaskan detil sejarah mulai dari tahun 1958. Buku ini mengusung analisis sejarah dan ekologi tentang munculnya dan berkembangnya dualisme ekonomi (seperti yang dibahas oleh tesis Boeke) di Jawa, yang dicerminkan sebagai “inner indonesia” atau bagian dalam dari Indonesia. Tulisan ini pula secara tegas memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk ekosistem yang ada pada “indonesia dalam” dan “indonesia luar tersebut” dengan memberikan gambaran, ekosistem penunjang utamanya yakni sawah dan ladang.
        Selanjutnya dalam buku ini studi Geertz dalam mencoba menjelaskan juga mengenai pola-pola ekologis Indonesia, yang diceritakan secara historis mulai dari zaman purba hingga pada zaman penjajahan besar (kolonialisme Belanda), dimana secara singkat selanjutnya isi dalam buku ini dapat dijelaskan dalam beberapa poin yakni : Pertama, kebijakan kolonial Hindia Belanda (1619-1942) adalah membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia, di mana produk-produk tersebut sangat dibutuhkan dan laku, tanpa mengubah secara fundamental struktur ekonomi pribumi.
       Namun, pemerintah kolonial tak pernah berhasil mengembangkan ekonomi ekspor secara luas di pasar dunia, seperti halnya Inggris pada masa yang sama, sehingga kepentingan utama Pemerintah Belanda tetaplah bertumpu pada koloninya: Hindia Belanda.

Kedua, upaya pemerintah kolonial untuk meraih pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi memenuhi kebutuhan pasar dunia. Keadaan ini mewujudkan struktur ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi. Ketiga, pada sektor domestik, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Kalau pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga komoditas dunia, maka sektor domestik justru mengalami kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia Belanda untuk perdagangan dunia.
          Keempat, akibatnya adalah semakin meningkatnya populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang-hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan-dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di pedesaan Jawa dijelaskan Geertz dalam konteks ini. Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi (petani di Jawa) dan struktur kolonial pada tingkat nasional dalam konteks politik-ekonomi. Adapun keterkaitan proses pemiskinan dan tesis involusi pertanian di Jawa, dijelaskan Geertz sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki suatu bentuk yang definitif, yang terus berkembang menjadi semakin rumit ke dalam. Pertanian dan petani Jawa secara khusus, dan kehidupan sosial orang Jawa secara umum, harus bertahan untuk menghadapi realita meningkatnya jumlah penduduk dan tekanan kolonial melalui proses kompleksifikasi internal.


Masih Perlukah Dibedakan?


Etnis Tionghoa Indonesia
Masih Perlukah Dibedakan?
Oleh : Achmad Fadillah 






Isu pembedaan atau diskriminasi etnis Tionghoa menjadi tema yang kami angkat pada poster kami kali ini. Poster ini menggambarkan 2 pasang wajah dari 2 orang yang berbeda yang menunjukan bagaimana wajah secara harafiah etnis Tionghoa, dan membandingkannya dengan wajah lain yang dianggap “sangat keindonesiaan”. Dalam poster ini kami ingin memperlihatkan bagaimana perbandingan wajah yang sering dijadikan alasan diskriminasi tak berdasar kepada warga keturunan etnis Tionghoa, memang benar-benar tidak berdasar. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa seperti yang telah kita ketahui sangat kental rasanya dilakukan  ketika masa orde baru. Ketika rezim orde baru, banyak kebijakan yang bersangut-paut dengan orang Indonesia keturunan Tionghoa dikeluarkan.
Beberapa kebijakan yang perlu mendapat penekanan di sini adalah: (1) pelarangan penggunaan bahasa Cina, (2) pelarangan praktik budaya Cina di tempat umum, (3) himbauan untuk berganti nama, dan (4) penutupan sekolah-sekolah Cina. Semua kebijakan tersebut dibuat adalah dalam rangka asimilasi orang Cina sehingga akan terjadi “pembubaran” orang Tionghoa sebagai kelompok dan penyerapan mereka ke dalam berbagai kelompok etnik pribumi. Pemerintah orde baru, menyimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut telah membuat orang Indonesia Tionghoa berupaya untuk lebih menjadi Indonesia dengan kadar jati diri ketionghaan yang beragam yang sangat dipengaruhi oleh daerah asal, keluarga dan agama. Walaupun demikian orang Tionghoa masih menghadapi perlakuan diskriminasi sehari-hari meskipun mereka sudah berusaha melakukan “peng-Indonesiaan diri”.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi ketika rezim orde baru tidak berhenti pada upaya-upaya represif dari pemerintahan orde baru dalam membuat aturan. Stereotip dan kerusuhan Anti Cina kerap terjadi ketika masa itu dengan berbagai alasan dan kecurigaan yang lebih banyak tidak berdasar. Dari peristiwa bahwa etnis Tionghoa mulai dikejar dan diasingkan semenjak peristiwa G-30S, kita bisa melihat bahwa etnis Tionghoa dikaitkan dengan komunis. Cina dekat dan mendukung komunisme. Ini terjadi karena dalam kenyataannya RRC memang sering mendukung partai-partai komunis di beberapa negara Asia Tenggara. Pada zaman Soekarno menjadi Presiden, Soekarno begitu dekat dengan partai komunis sehingga mengeluarkan gagasan NASAKOM. Selain itu, Soekarno juga membangun poros Jakarta-Peking. Partai komunis itu didukung oleh RRC. Maka, muncul pandangan bahwa etnis Tionghoa adalah komunis, atau minimal dekat dengan komunisme. Di kalangan orang pribumi, berkembang stereotip bahwa etnis Tionghoa adalah penguasa dalam bidang ekonomi. Etnis Tionghoa dipersepsi sebagai kelompok yang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Ini menimbulkan kecemburuan bagi para pengusaha pribumi. Karena kecemburuan itu, para pengusaha pribumi mengusulkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomi etnis Tionghoa. Pemerintah kemudian juga mengeluarkan keputusan atau larangan bagi etnis Tionghoa untuk bergerak dalam bidang ekonomi. Pada persoalan agama, budaya, dan ada istiadat, pemerintah melihat bahwa semua hal itu memiliki afinitas dengan tanah leluhur mereka. Karena RRC mendukung komunisme, maka segala yang mengarah pada tanah leluhur yaitu Cina adalah hal yang berbahaya bagi pembauran (asimilasi). Oleh karena itu, dapat dilihat adanya berbagai macam peraturan yang isinya adalah melarang perkembangan budaya, adat, dan agama  Cina.
Dari segala tuduhan dan tudingan terhadap warga etnis Tionghoa padahal nyatanya mayoritas merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Diskriminasi yang ada, hanyalah bagian dari kecemburuan dan steriotipe yang tidak berdasar dan membabi buta yang dilegitimasikan dan dikonstruksikan oleh rezim busuk yang berkuasa lebih dari 32 tahun lamanya. Nyatanya seharusnya kita harus dapat membuka mata dan melihat kenyataan secara objektif bahwa tidak semua yang dikatakan tentang etnis Tionghoa itu benar adanya. Keindonesiaan, nasionalisme, dan loyalitas kepada negarapun tidak dapat diukur dari wajah dan klasifikasi etnik-etnik tertentu. Pada akhirnya, kami berharap dengan poster ini setidaknya kami dapat mengambil sedikit bagian untuk menyuarakan penghapusan segala macam diskriminasi rasial dan etnik yang ada, sehingga masyarakat Indonesia dapat menuju masyarakat yang lebih “waras”, bukan hanya masyarakat yang berbasiskan kemajemukan namun lebih menuju masyarakat yang toleran dan menghargai arti sebuah perbedaan.