Jumat, 31 Desember 2010

Refleksi dan Representasi Pendidikan dalam Film Laskar Pelangi

Film dan Apresiasi

               Sebelum membahas mengenai refleksi  dan representasi masyarakat dalam film, kami akan membahas terlebih dahulu mengenai apa itu film itu sendiri. Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata cinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.
            Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat  sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang.
             Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film  cerita dapat  diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan Pada media selluloid, analog maupun digital.
               Menurut Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art of Watching Film[1] film seperti halnya seni lukis dan seni pahat, film dalam susunannya menggunakan susunan garis, warna, bentuk. Seperti drama, film melakukan komunikasi verbal melalui dialog. Selain itu film juga hamper sama dengan musik yang mana film berkomunikasi melalui citra dan lambing-lambang tertentu. Seperti juga pantomisme, dalam film berpusat pada gambar bergerak dan memiliki sifat-sifat ritmis.
Secara keseluruhan  film merupakan perpaduan berbagai bentuk seni, seperti :
  1. Seni rupa. Film merupakan seni berttur dalam gambar, juga meliputi titling dan grafis. Termasuk sinematografi, seni pemotretan atau seni perekaman gambar bergerak.
  2. Seni peran atau seni pertunjukan, meliputi permainan pemeran
  3.  Seni sastra, berupa monolog, dialog, narasi.
  4. Seni musik, berupa ilustrasi musik.

            Dalam menikmati sebuah film, kita melakukan tahap-tahapan yang mencoba menilai film tersebut yang disebut dengan apresiasi film.Apresiasi secara harfiah berarti suatu penghargaan. Apresiasi film adalah sebuah cara dalam menilai sebuah film melalui proses melihat, menganalisis dan mengevaluasi. Ada juga yang mengatakan apresiasi adalah sebuah proses memahami, menikmati dan menghargai sebuah karya. Puncak dari apresiasi atau proses lanjut darinya adalah kritik film. Seorang kritikus film harus mempunyai kemampuan kritis, yaitu kemampuan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang seni.
            Melakukan kegiatan analisa terhadap sebuah film tidak akan menghancurkan keindahan dan kemenarikan dari film tersebut. Walaupun pada masa awal film terdapat penolakan untuk menganalisa film oleh pihak tertentu, dengan alasan akan mengurangi rasa cinta terhadap objek yang dianalisa. Analisa yang dilakukan tidak perlu merusak rasa cinta kita kepada film, namun justru akan menguatkan dan bertahan. Oleh karenanya kegiatan menganalisa sebuah film kita

sebut sebagai apresiasi film. Berasal dari kata “apreciate” yang artinya memberikan penghargaan atau menghargai.
            Salah satu keuntungan dari menganalisa film adalah kita dapat mengawetkan pengalaman yang diberikan sebuah film dalam fikiran kita sehingga dapat kita simpan lebih lama dalam ingatan. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang film tersebut. Jika kita sering melihat film dan menganalisanya maka kita akan lebih selektif dalam memilih film yang akan kita tonton dan kagumi. Kemampuan kita dalam menganalisa pun akan semakin meningkat dan tajam.


Film : Moral Value and Social Control!

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa film merupakan suatu bentuk dari representasi kehidupan nyata. Film menampilkan dan menghadirkan kembali apa yang kita alami, lihat, rasakan dan pikirkan (film fiksi). Jika merujuk dari pernyataan Light, Keller dan Calhoun (1989)[2], mereka mengemukakan bahwa media (termasuk film didalamnya), merupakan salah satu media dalam sosialisasi.
Sosialisasi disini berarti film memiliki peran yang penting sebagai penyampai nilai-nilai moral, dan norma pada masyarakat. Yang harus jadi perhatian adalah, apakah nilai-nilai dan norma yang disampaikan oleh sebuah film merupakan nilai-nilai, dan norma yang baik yang dapat mendorong terbentuknya karakter yang baik atau tidak, oleh karena itu selain peran film sebagai”penyampai pesan” moral, film juga dituntut memiliki peran yang lebih yakni peran sebagai agen kontrol sosial atau social kontrol.
Social control yang dilakukan oleh film kepada masyarakat, adalah bentuk stimulus dari penanaman nilai, dan pemikiran yang diaplikasikan dalam tayangan-tayangan film tersebut.Oleh karena itu ada baiknya, bagi para sineas jika ingin memperbaiki keadaan dan moral bangsa ini hendaknya membuat film yang memiliki moral value yang positif. Bukan hanya berkisar pada tema-tema horor, sex, atau komedi yanng terkesan porno.



Film Laskar Pelangi : Representasi Pendidikan Indonesia.

Film adaptasi novel best seller karya Andrea Hirata yang berjudul sama yakni laskar pelangi merupakan film yang sangat menarik. Film yang mengambil latar tahun 70an ini mengangkat tema mengenai kehidupan 10 anak asal belitong yang berjuang dalam kesederhanaan, dan keterbatasaan dalam memperjuangkan pendidikan. Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup. Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.
Lima tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan ke 10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka.
Film ini dipenuhi kisah tentang kalangan pinggiran, dan kisah perjuangan hidup menggapai mimpi yang mengharukan, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia, dengan latar belakang sebuah pulau yang indah.
Yang harus menjadi catatan adalah mengenai kisah para “laskar pelangi” yang memperjuangkan cita-cita dan pendidikannya. Hal ini merupakan potret kelam pendidikan bangsa Indonesia, lihat saja film laskar pelangi yang walaupun berkisah mengenai keaadan pendidikan tahun 70an, namun hingga saat ini belum ada peningkatan akan kualitas pendidikan yang berarti. Menurt data dari Badan Pusat Statisti (BPS)[3]  Hingga akhir 2009 masih sekitar 8,7 juta atau 5,3 persen penduduk Indonesia di atas 15 tahun buta aksara. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berusia di atas 45 tahun. Data diatas menunjukan, bagaimana bangsa ini tidak berdaya menghadapi kebutaan huruf, padahal seperti yang sama-sama kita ketahui program belajar 9 tahun yang dahulu digelontorkan oleh pemerintah, namun kejelasan hasil program tersebut tidak jelas rimbanya entah kemana.
Untuk masalah anggaranpun tidak kalah memprihatinkan, amanat undang-undang yang mengamanatkan pemerintah untuk menganggarkan 20% APBN sebagai anggaran pendidikan hanyalah isapan jempol belaka. Padahal seperti yang kita ketahui, bahwa pendidikan adalah amanat undang-undang dasar 45, dan juga merupakan tujuan bangsa, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika hal tersebut tidak dilaksanaka, lantas apa yang menjadi tujuan bangsa sekarang? Kekuasaan, Uang, ah itu semua retorika belaka.
Kembali pada film laskar pelangi, pada intinya film itu seperti mengingatkan bangsa kita mengenai arti pendidikan, arti kepuasaan akan berfikir dan mendapatkan pengetahuan, dalam film ini pun kita akan diajak berfikir dan merenung betapa bodohnya kita yang saat ini mendapatkan pendidikan yang lain, malah membuatnya menjadi suatu hal yang sia-sia.                                                             .






    
    












[2]Kamanto Sunarto,Pengantar Sosiologi : Lembaga Penerbit FE UI (2004),hlm 16

[3] http://www.berita8.com/news.php?tgl=2010-09-07&cat=5&id=28502

Sebuah cerita di negeri antah berantah...

Alkisah ada sebuah negeri yang dipimpin oleh para cecurut
Kehidupan negerinya carut marut
Anggaran dananya habis diurut-urut
Wakil rakyatnya cuma bisa ikut-ikut

Rakyatnya hanya bisa diam, bingung manggut-manggut
Kelaparan sudah jadi hal biasa, akhirnya hanya makan angin dan jadi kentut-kentut
Karena lapar rakyatnya jadi sering kesal akhirnya jadi ribut-ribut.
Kesehatan rakyatnya pun tidak kalah kacrut
Harga obat dan biaya rumah sakit pun mahal, hingga akhirnya banyak yang sakit burut-burut.

Oh para pemimpin cecurut
berhentilah jadi pencatut
rakyat tidak selamanya jadi penurut
sebelum tuhan murka dan ikut-ikut..




Ditulis, dan diilhami atas keprihatinan pada negeri atah berantah

Partai Politik, Kaderisasi, dan Kepemimpinan Bangsa.


Universitas adalah tempat untuk memahirkan diri kita,
bukan saja di lapangan technical and managerial know how,
tetapi juga di lapangan mental, di lapangan cita-cita,
di lapangan ideologi, di lapangan pikiran.
Jangan sekali-kali universitas menjadi tempat perpecahan.
***
(Soekarno, Kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung, 1958).
Kutipan pidato Bung Karno diatas, dalam sebuah kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung tahun 1958, sengaja saya kutip dalam awal tulisan saya ini. Kutipan pidato diatas, saya kutip sebab isinya yang visioner dan untuk mengingatkan kita kembali mengenai substansi fungsi dari Universitas atau kampus itu sendiri. Universitas atau kampus, yang saat ini hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu(transfer of knowledge), pada mulanya diharapkan mempunyai fungsi lebih yakni untuk menjadi “ladang” bagi para generasi muda untuk membentuk kepribadian, pemikiran, cita-cita, dan pandangan hidup atau ideologi, dimana penggemblengan tersebut untuk mendapatkan kader-kader terbaik bangsa yang nantinya akan menjadi pemimpin bagi bangsa ini sendiri.
Namun, yang terjadi sekarang malah sangat memprihatinkan. Kampus, yang diharapkan membentuk pemikiran (way of thinking) dan kepribadian (way of life)sekarang mempunyai kecenderungan yang sangat memprihatinkan.
Mahasiswa sekarang cenderung lebih individualis dan hedonis. Individualis, dimana mahasiswa kini hanya peduli pada dirinya sendiri, intinya ingin cepat lulus cepat bekerja, dan pergaulan kampus cenderung hanya digunakan sebagai ajang gaul, membuktikan eksistensi diri, sambil mencari pacar atau teman hidup. Ditambah dengan gaya hidup yang hedonis, demi menambah prestise akan pergaulan, dimana pesta, dugem(dunia gemerlap), rokok dan alkohol sudah menjadi hal yang biasa. Mahasiswa yang kritis, dan peduli terhadap bangsanya sudah menjadi barang langka, cenderung terlihat aneh, dan menjadi bahan olok-olokan, sebagai mahasiswa yang kurang kerjaan, gak gaul, dan kutu buku. Selain kondisi sosio-kultural yang demikian, pengkaderan akan calon pemimpin bangsa yang berkualitas makin dihambat dengan hambatan sistemik yang dilakukan oleh state atau negara pada rezim orde baru.
Rezim orde baru, menghambat secara sistemik proses kaderisasi politik, dan kepemimpinan bangsa sebagai salah satu upaya rezim orde baru untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Upaya yang mereka lakukan antara lain dengan membuat aturan seperti aturan normalisasi kehidupan kampus[1], atau biasa yang disebut dengan NKK. Dengan NKK tersebut, rezim orba berusaha untuk “mengkebiri” kekritisan pemikiran para intelektual muda, dimana setiap yang melanggar aturan baik dalam sebuah diskusi sekalipun akan ditangkap dan dikenakan tuduhan subversi, atau dapat pula dituduh sebagai antek-antek PKI.
Selain aturan NKK yang diberlakukan pada setiap universitas, rezim orba-pun ingin bermain aman atau istilahnya save play dengan tidak menyimpan “harimau-harimau” kritis intelektual dekat dengan pusat-pusat pemerintahan dan realitas sosial yang sebenarnya. Hasilnya, hampir semua Universitas yang dikenal “bertaring tajam”, pada pemerintah dijauhkan dari pusat-pusat pemerintahan dan realitas sosial yang sebenarnya. Dapat dilihat, Universitas Indonesia yang tadinya ada di Kota Jakarta (Cikini,Salemba), dipindahkan ke Kota Depok yang dulu masih ndeso.
Hal ini pula, dilakukan pada beberapa Universitas lainya seperti UNPAD (Dipati Ukur-Jatinagor), IPB (Pajajaran-Dramaga) dan kampus-kampus lainya di seluruh Indonesia. Dapat dilihat hasilnya dari fakta sejarah yang ada, orde baru berhasil melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun, tanpa lawan yang berarti. Sarjana-sarjana seolah dikembalikan pada fungsinya seperti zaman politik etis kolonial yakni disiapkan sebagai buruh pabrik, birokrat, dan teknokrat. Suatu hal yang sangat wajar, jika setelah rezim orde baru berhasil digulingkan pada tahun 1998, terjadi suatu krisis yang sangat besar. Krisis yang terjadi bukan hanya krisis pada sektor ekonomi,namun krisis juga terjadi dalam berbagai lini kehidupan bangsa, termasuk krisis pada segi kepemimpinan bangsa. Krisis tersebut masih berlangsung hingga saat ini.
Para pemimpin yang ada hingga saat ini, cenderung banyak yang lebih mengutamakan kepentingan pribadinya, coba saja lihat praktek korupsi yang terjadi di banyak instansi pemerintahan. Tindakan tersebut, adalah salah satu hasil dari pola pendidikan yang individualis, dan hedonis ketika semasa kuliah atau sekolah. Tidaklah heran jika melihat realita sosial tersebut, kita haruslah sadar bahwa kita butuh cara untuk mengatasi krisis kepemimpinan yang tengah terjadi.

Mahasiswa : Agent of Change, Moral Force, dan Iron Stock

Sejak masa kolonial etis Belanda dahulu, mahasiswa adalah merupakan kaum yang dianggap elit yang memiliki tingkat intelektual yang mumpuni dibandingkan dengan golongan atau lapisan masyarakat lainya. Tingkat intelektual mahasiswa, yang saat itu dianggap lebih oleh masyarakat membuat sebuah harapan akan kebermanfaatan dari tingkat intelektualitas tersebut sebagai suatu langkah yang nyata aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aplikasi nyata yang diharapkan masyarakat pada mahasiswa, nyatanya terpola menjadi beberapa peran sosial (social role), dan peran-peran mahasiswa pun memiliki peran yang kompleks dan menyeluruh sehingga dikelompokkan dalam tiga fungsi : agent of change, moral force and iron stock[2]. Dengan fungsi tersebut, tentu saja tidak dapat dipungkiri bagaimana besar peran yang dipikul oleh mahasiswa secara idealnya. Sikap kritis mahasiswa sering membuat sebuah perubahan besar dan membuat para pemimpin yang tidak berkompeten menjadi gerah dan cemas. Dan satu hal yang menjadi kebanggaan mahasiswa mahasiswa adalah semangat membara untuk melakukan sebuah perubahan.
Sebagai agen perubahan, mahasiswa bertindak bukan ibarat “superman” yang tampil dalam tayangan film, dimana “superman” tersebut dapat datang ke sebuah negeri lalu dengan gagahnya sang “superman” mengusir penjahat-penjahat yang merajalela dan dengan gagah pula sang “superman” pergi dari daerah tersebut diiringi tepuk tangan penduduk setempat.
Mahasiswa bukan hanya sekedar agen perubahan seperti pahlawan tersebut, mahasiswa sepantasnya menjadi agen pemberdayaan setelah perubahan yang berperan dalam pembangunan secara menyeluruh sebuah bangsa yang kemudian ditunjang dengan fungsi mahasiswa selanjutnya yaitu moral force, mahasiswa harus dapat menjadi alat kontrol; kontrol budaya, kontrol masyarakat, dan kontrol individu sehingga menutup celah-celah adanya penyimpangan dan kezaliman dalam masyarakat. Mahasiswa dituntunt bukan hanya sebagai pengamat dalam peran ini, namun mahasiswa juga dituntut sebagai pelaku dalam masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa merupakan bagian masyarakat.
Idealnya, mahasiswa menjadi panutan dalam masyarakat, berlandaskan dengan pengetahuannya, dengan tingkat pendidikannya, norma-norma yang berlaku disekitarnya, dan pola berfikirnya. Namun, kenyataan dilapangan berbeda dari yang diharapkan, mahasiswa cenderung hanya mendalami ilmu-ilmu teori di bangku perkuliahan dan sedikit sekali diantaranya yang berkontak dengan masyarakat, walaupun ada sebagian mahasiswa yang mulai melakukan pendekatan dengan masyarakat melalui program-program pengabdian masyarakat.
Peran terakhir yang dimiliki mahasiswa adalah sebagai Iron force. Yang dimaksud mahasiswa sebagai Iron force, adalah disini mahasiswa memiliki peran sebagai calon-calon pemimpin bangsa. Mahasiswa dituntut, harus siap untuk menjadi “tulang punggung” bagi ibu pertiwi, melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa, menegakan selalu sayap-sayap garuda pancasila, dan menjadi ujung tombak bagi perubahan positif kemajuan bangsa.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, mungkinkah mahasiswa dapat melakukan peran-peran kompleks yang dialamatkan kepadanya, atau mungkin tenggelam dalam, dan hilang idealismenya terseret arus sistem politik yang pragmatis.
Kampus : Sarana Kaderisasi Politik.
Jika merujuk pada fungsi kampus atau perguruan tinggi secara idealnya, kampus memiliki 3 fungsi utama yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat yang biasa disebut dengan tri dharma pendidikan[3]. Selain itu kampus secara idealnya merupakan tempat atau sarana bagi para mahasiswa untuk mengembangkan kemampuannya secara luas, baik kemampuan secara kognitif (hard skill),maupun kemampuan secara afektif(soft skill). Kemampuan kognitif disini, meliputi pengembangan atas kemampuan secara keilmuan (belajar-mengajar,penelitian),dan kemampuan afektif (sikap-karakter, organisasi, kemampuan sosial).
Seperti yang telah penulis bahas diatas, salah satu fungsi dari mahasiswa yakni sebagai iron stock, atau sebagai calon-calon pemimpin bangsa. Jika kita lihat korelasi antara fungsi iron stock pada mahasiswa, dengan fungsi ideal dari kampus itu sendiri, dapat kita tarik suatu benang merah bahwa, fungsi ideal kampus menjadi bertambah yakni sebagai tempat atau sarana bagi pembentukan dan medan arena “penggemblengan” para kader pemimpin bangsa.
Sebagai suatu tempat penggemblengan para kader pemimpin bangsa, kita sudah seharusnya mengembalikan fungsi kampus sebagai tempat yang sadar, faham atau “melek” akan politik. Berkebalikan dengan sikap yang dilakukan ketika zaman orde baru, dimana politik merupakan hal yang dianggap tabu bagi para mahasiswa, maka seharusnya saat ini kita melakukan repolitisasi di berbagai perguruan tinggi, sehingga minat,pengetahuan, dan partisipasi politik para mahasiswa sebagai kader pemimpin bangsa akan politik dapat bertambah. Mahasiswa diberikan pemahaman akan tanggung jawabnya akan masa depan bangsa, bahwa politik mahasiswa adalah politik moral dimana mahasiswa merupakan kepanjangan tangan, lidah, dan hati dari rakyat.
Politik yang selama ini mendapat “stigma” yang negatif, sebagai hal yang kotor, dan jahat, seharusnya dikembalikan lagi citranya sebagai suatu yang positif, dan dilihat sebagai suatu proses. Politik disini dilihat sebagai suatu proses akan sebuah penentuan kebijakan-kebijakan dan tujuan, bukan hanya sebagai suatu alat dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan semata.
Organisasi Kemahasiswaan Intra Kampus ≠ Afiliasi Partai Politik
Kampus sebagai bagian dari pendidikan berpolitik, sudah seharusnya dapat mengakomodir keinginan dari para mahasiswanya untuk melakukan partisipasi politik. Partisipasi politik yang dimaksud disini, merujuk pada pernyataan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif,terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. [4]
Organisasi kemahasiswan, jika merujuk dari pendapat Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson diatas, dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk usaha partisipasi politik yang bersifat kolektif dan terorganisir. Bila dilihat dari fungsinya, organisasi kemahasiswaan sebagai suatu bentuk partisipasi politik, juga memiliki banyak aspek positif yang yang dapat menjadi sarana pendidikan keterampilan kepemimpinan bernegara. Misalnya saja dalam sebuah perguruan tinggi, memiliki Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang menjalankan fungsi-fungsi eksekutif, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, atau Mahkamah Mahasiswa (MM) yang menjalankan fungsi-fungsi yudikatif.
Namun yang harus digaris bawahi saat ini adalah, berkembangnya suatu wacana akan kaderisasi politik yang pragmatis (selanjutnya disebut kaderisasi partai politik), pada tingkat kampus atau perguruan tinggi. Harus diketahui bersama sebelumnya , bahwa secara garis besar organisasi kemahasiswaan sebenarnya terbagi dalam dua jenis organisasi, yakni organisasi intra kampus, dan organisasi ekstra kampus. Organisasi intra kampus adalah organisasi mahasiswa, pada tingkat intern dan struktural kampus seperti BEM,DPM, dan MM seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus adalah organisasi kemahasiwaan yang bergerak pada tingkat ekstern dan diluar struktural kampus itu sendiri, yang biasanya terbentuk dan bergerak atas dasar kesamaan kepentingan pergerakan, dan kesamaan ideologis. Contoh dari organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti, PMKRI, HMI, GMNI, PMII.
Pergerakan yang dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, harus dapat dimaklumi bahwa ada beberapa kecendrungan kepentingan didalamnya, termasuk kepentingan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Partai politik, bahkan banyak yang dengan sengaja mendirikan organisasi-organisasi massa (sebagaionderbouw), yang melibatkan mahasiswa didalamnya[5]. Apa yang dilakukan oleh partai-partai politik dengan membuat organisasi-organisasi onderbouw atau yang berafiliasi dengan partai politik itu sendiri, pada tataran organisasi kemahasiswaan ekstra kampus merupakan hal yang sah-sah saja, dengan catatan selama tidak menggunakan fasilitas kampus yang notabene dibiayai oleh uang rakyat.
Yang menjadi fokus, dan perhatian saat ini adalah adanya kecendrungan dari beberapa partai politik untuk melakukan afiliasi, bahkan dapat disebut “menyusup”pada berbagai organisasi intra kampus. Sebut saja salah satu partai yang sangat sukses, “merasuk” dalam organisasi kemahasiswaan yakni Partai Keadilan Sejahtera[6]. PKS secara basis massa memang berangkat dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) sebuah gerakan mahasiswa revivalisme Islam yang kemudian menamakan diri mereka aktivis tarbiyah atau Jemaah Tarbiah.
Fenomena Lembaga Dakwah Kampus (LDK)dan PKS adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Basis massa PKS adalah (LDK) dan di sanalah PKS dilahirkan. Namun di sisi yang lain kehadiran PKS di kampus sering dipermasalahkan banyak orang, apakah ini adalah sebuah politisasi kampus? Padahal kampus adalah milik publik dibiayai oleh uang mahasiswa dan negara, yang harus disterilkan dari kepentingan individu, kelompok dan partai politik tertentu. Menjadi menarik untuk diketahui adalah bagaimana aktivis-aktivis PKS di kampus dan memposisikan diri mereka dalam merekrut kader dan tentu saja mencitrakan PKS di publik kampus dengan cara-cara yang elegan agar tidak dicap sebagai sebuah bentuk politisasi kampus.
Harus dilihat dan dicermati, bahwa fenomena merasukinya parpol secara pragmatis pada organisasi kemahasiswaan intra kampus merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Mengapa memprihatinkan? Karena jika fenomena kaderisasi parpol pada organisasi intra kampus ini terus dibiarkan, maka suatu hal yang sangat mungkin terjadi proses politisasi kampus secara pragmatis, perjuangan mahasiswa yang merupakan perjuangan moral menjadi berubah menjadi perjuangan kepentingan elit semata, dan akhirnya mahasiswa pun akan dikembalikan lagi pada proses pembodohan-pembodohan yang lebih halus untuk takluk pada kekuasaan elit politik seperti yang terjadi ketika zaman orde baru.
Mahasiswa sekarang seharusnya dapat sadar, bahwa mahasiswalah para calon kader pemimpin bangsa, dan kampus adalah tempat perjuangan bagi para mahasiswa, perjuangan akan harapan-harapan pemikiran,idealisme bangsa, dan sudah seharunya menghindarkan diri dari kepentingan para elit yang merusak cita-cita positif mahasiswa akan kemajuan bangsa, dan kepentingan rakyat.
HIDUP MAHASISWA!!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!!


[1] www.ariabima.blogspot.com (diakses 14 -12-2010 Pukul 13.25)
[2]www. Khairulalfikri's.blogspot.com (diakses (diakses 14 -12-2010 Pukul 13.25)
[3] www.kabarindonesia.com (diakses 15 -12-2010 Pukul 19.05)
[4] Samuel P Hutington dan Joan M.Nelson, No Easy Choice : Political Participation in Developing Countries(Chambridge, Mass : Harvard University Press, 1977),hlm 3
[5] Prof. Miriam Budiardjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik,ed ke-3(PT.Gramedia Pustaka Utama,2008),hlm 408
[6] www.Drs. Aman Toto Dwijono, M.H.blogspot.com

Apakah Hidup Ini Adil?

Taukah teman kadang kita sering mendapatkan konflik dalam hidup??
dan kadang dalam suatu konflik kadang kita menyalahkan pada hidup dengan bertanya,
“Kenapa sih hidup ga adil banget, atau apakah hidup ini harus adil?!!
Pertanyaan itu bagus banget dan membuat gw jadi berfikir,, memang hidup ini adil ya??
dan ironisnya jawabanya adalah :
Hidup ini tidak adil! Hidup ini tidak menyenangkan!! tetapi hidup ini nyata!!
Ironisnya,menyadari fakta-fakta tersebut dapat membuat mata kita terbuka dan memberikan sesuatu wawasan yang sangat membebaskan.
Salah satu kesalahan dari gw, lw, dan kita, yang sering dilakukan adalah merasa kasihan pada diri kita sendiri,atau kasihan pada orang lain, dan berfikir kalau hidup ini seharusnya adil,atau suatu hari nanti hidup ini pasti adil. Rasanya tidak benar seperti itu dan seharusnya tidak begitu. Karena bila kita terus berfikir demikian maka kita akan terus terjerembab atau berkubang pada waktu untuk mengeluh tentang apa yang salah pada hidup bukan apa yang salah pada diri kita!!
Salah satu hal yang menurut gw adalah hal yang baik adalah bila kita bisa melepasklan pikiran BAHWA HIDUP INI TIDAK ADIL, karena dengan demikian kita terhindar dengan mengasihani diri kita karena dengan demikian kita mendorong diri kita berusaha sebaik mungkin dengan apa yang kita bisa dan kita miliki!!
Dan kita harus tahu bahwa buka “tugas hidup” untuk membuat segalanya sempurna, ini adalah tantangan kita, dan kita juga harus sadar bahwa setiap orang memiliki suratan tangan masing-masing dan setiap orang memiliki kekuatan dan tantangan yang tidak sama dengan orang lain.
Jadi faktanya jangan pernah berfikir bahwa hidup ini tidak adil, berfikirlah bahwa hidup ini adalah perjuangan, dan berhenti untuk mengasihani diri sendiri..
Mengutip kata-kata teman gw : “Life is a journey, and journey is a life”

Bangsa Retorika.....

Saya benci dengan hipokrasi, demokrasi atau segala macam hagemoni politik yang salah kaprah. benci aku.Nasionalisme dan idelisme yang hanya kata-kata yang ditulis diatas semur jengkol, dan dijilat, juga dikangkangi pada sebuah lingkaran setan atas nama kekuasaan. Republik ini, bukan dibangun dengan tinta-tinta rayuan gombal para “badut” yang duduk dan tertidur diatas kemewahan kursi empuk dan dingin di senayan,tapi republik ini dibangun atas tinta-tinta darah para pahlawan, yang keluar dan mengucur dari jantung-jantung mereka yang selalu berdegup kencang ketika nama Indonesia dilantangkan. Tapi apa buktinya sekarang? Jantung-jantung, dan darah para pahlawan terasa tidak berarti saat ini, ketika pepatah lama mengatakan : Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawanya, CUH!! hanya sebuah isapan jempol dan retorika belaka!!

Saya benci ketika para ibu mengeluh.Saya benci, bukan karena saya benci pada keluhan para ibu yang mengeluh dengan cerewetnya. Namun, saya benci ketika para ibu mengeluh mengenai betapa mahalnya harga susu, dan sembako untuk anak-anak dan suami mereka, dan saya begitu bencinya ketika menyadari bahwa keluhan para ibu adalah keluhan sebagain besar bangsa ini, bangsa yang kelaparan, karena begitu banyak yang hanya bisa makan angin, ketika mereka lapar.

Saya juga benci ketika para petani mengeluh.Saya benci, bukan karena saya benci pada para petani yang salah satunya adalah nenek dan kakek saya yang sering menyuruh banyak hal, ketika saya kecil. Namun, saya benci ketika para petani mengeluh betapa mahalnya harga bibit, atau betapa murahnya hasil panen mereka dipasar, dan saya begitu bencinya ketika menyadari bahwa keluhan para petani berarti ada yg salah pada ekonomi bangsa ini, bangsa yang katanya jambrut katulistiwa ternyata tidak lebih dari sapi perah! yah sapi perah. Sapi perah para bangsa kapitalis, yang haus seperti para vampir atas “darah-darah” sumber daya alam dan sumber daya manusia murah bangsa-bangsa penghutang seperti kita.Dan lagi-lagi Jambrut katulistiwa hanya sebuah retorika belaka.
Saya benci!
Saya kesal!
Oh para pemimpin mau kalian bawa kemana lagi bangsa ini?
Bangsa yang selalu saya benci pada kezalimanya
Bangsa yang selalu saya cinta akan keindahanya
Bangsa yang penuh dengan retorika.
atau memang benar bangsa ini adalah bangsa yang pantas disebut
dengan bangsa retorika..

Hidup Adalah






Sebuah perenungan akan sebuah mimpi dan harapan..
Bahwa..
Hidup adalah masalah pilihan..
Memilih untuk bahagia atau sengsara..
Memilih untuk dipulihkan atau menyimpan kepahitan..
Memilih untuk memaafkan atu menyimpan dendam..
Hidup adalah masalah pilihan.
Kebahagiaan yang semu dapat kita dapatkan, yang sejati tak jauh dari jangkauan
Cinta dan kasih bisa kita miliki, namun amarah dan dendam dapat pula kita alami
Cinta nan indah bukan impian,penghianatan dan kepahitan mungkin kita dapati
Hidup adalah masalah pilihan..
Mengenai bagaimana kita menjalani hidup, mengenai bagaimana kita menghabiskan seluruh waktu, mengenai bagaimana kita mencapai impian, dan mengenai bagaimana kita memandang kehidupan..
Banyak orang yang menganggap kehidupan seperti angin yang berhembus. Banyak yang datang dan pergi.Tak dapat ditebak. Tak dapat diselami.
Sementara yang lain menganggap kehidupan sebagai suatu kutukan. Hidup yang tak berarti. Ratapan tak pernah jauh dari mulutnya. Air mata tangis meringis mengalir nestapa siang dan malam, sebab hanya ada duri duka dalam hatinya..
Namun...
Orang yang berbahagia menganggap hidup adalah intan berlian,harta nan sangat berharga. Anugrah yang tak akan pernah kembali..
Dijalaninya hidup dengan asa dan impian, dalam jalan setapak menuju jalan kemuliaan tuhan yang abadi..
Hidup adalah masalah pilihan.Yang manakah yang akan kita pilih??
Tanyalah pada diri kita masing-masing..
Dan buatlah sebuah pilihan..

Hikmah Penciptaan Wanita

Tentangmu makhluk bernama wanita

Tuhan tidak menciptakan wanita dari tulang kaki adam. Mengapa? Karena wanita diciptakan bukan untuk menjadi bawahan laki-laki. Tuhan tidak pula menciptakan wanita dari tulang kepala adam. 
Mengapa?   Karena wanita bukan diciptakan untuk menjadi lebih tinggi derajatnya dibandingkan laki- laki. Namun tuhan menciptakan wanita dari tulang rusuk adam, karena tuhan menciptakan wanita untuk menjadi pendamping laki-laki yg setara dan untuk dilindungi dan dicintai oleh seorang laki-laki
Berdua selamanya