Sabtu, 21 Desember 2013

Ospek : Sebuah Ritus Jalan Pintas (?)

Ospek : Sebuah Ritus Jalan Pintas (?)
Sebuah Tinjauan Antropologis

Oleh : Achmad Fadillah

            Belakangan ini, publik kita cukup dikejutkan dengan kejadian kekerasan yang terjadi dalam masa orientasi pengenalan kampus (Ospek) sebuah perguruan tinggi swasta di kota Malang. Betapa tidak, dalam acara orientasi pengenalan kampus tersebut diduga diwarnai berbagai aksi kekerasan, pelecehan seksual, yang berakibat hingga memakan korban jiwa. Selain kejadian yang terjadi pada ospek salah satu perguruan tinggi di kota Malang tersebut, publik kita juga mungkin belum lupa dengan kejadian meninggalnya beberapa siswa di sebuah sekolah tinggi kedinasan di kota Bandung, yang tewas karena dipukuli oleh seniornya ketika makan malam pada prosesi awal pengenalan kampus. Beberapa kejadian tersebut, tentunya mengundang tanda tanya besar bagi masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan Indonesia, apakah kegiatan yang sudah cukup mengakar dalam dunia pendidikan tersebut  masih relevan dalam konteks pendidikan saat ini. Lantas, apakah kegiatan ospek yang dilakukan saat ini sudah hilang arah dari tujuannya semula?.

Ospek dan Kolonialisme

         Tidak ada yang tahu secara pasti sebenarnya siapa yang memulai tradisi ospek dalam dunia pendidikan di Indonesia. Meskipun demikian, beberapa pendapat mengatakan bahwa pada mulanya tradisi ospek dalam dunia pendidikan ini dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda untuk “mendisiplinkan” warga pribumi dalam kerangka dunia pendidikan. Perlu diingat sebelumnya, ketika masa itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan stratifikasi berrdasarkan etnis dan ras  yang membedakan kelompok-kelompok etnis dan ras menjadi tiga macam tingkatan dalam masyarakat. Tingkatan paling bawah adalah masyarakat pribumi (inlander) yang diisi oleh kalangan orang-orang “asli Indonesia” . Tingkatan kedua adalah masyarakat timur jauh/asing (vreemde osterlingen) yang diisi oleh kalangan  “peranakan” arab dan cina, dan tingkatan tertinggi tentunya diisi oleh masyarakat kolonial Belanda dan “peranakannya”.
            Stratifikasi yang terjadi, kemudian mempengaruhi pula tentang bagaimana seseorang diperlakukan dalam lingkungannya termasuk dalam lingkungan pendidikan. Masyarakat pribumi, meskipun merupakan seorang keturunan bangsawan atau priyayi tetaplah dianggap tidak memiliki kedudukan yang setara dengan bangsa kolonial baik dalam sikap dan prilaku yang dilakukannya. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sebuah kebijakan “persamaan” bagi siswa-siswi pribumi dalam lingkungan pendidikan. Kebijakan “persamaan” ini kemudian bertujuan untuk memberikan pengenalan akan tata karma dan aturan-aturan etika ala “Belanda” sehingga siswa-siswi pribumi diharapkan dapat lebih “beradab” dan lebih loyal terhadap pemerintah kolonial nantinya. Kebijakan pengenalan persamaan “drajat” inilah yang kemudian dipercaya menjadi salah satu akar dari tradisi ospek yang ada dalam lingkup dunia pendidikan kita.

Ospek : Sebuah Ritus Jalan Pintas

            Kebijakan pengenalan persamaan “drajat” yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda tentunya bukalah satu-satunya alasan kuat dilaksanakan tradisi ospek hingga saat ini di dunia pendidikan Indonesia. Dalam khazanah antropologi, jika kita menilik lebih dalam, proses pengenalan seseorang kedalam sebuah kelompok sudah cukup sering mendapatkan perhatian. Beberapa antropolog sebut saja Victor Turner (1967) sudah membahas mengenai proses ritual “pengenalan” atau inisiasi yang terjadi di suku Ndembu di Afrika. Suku Ndembu, mempraktikan ritual ishoma pada para wanita untuk memberikan kesempatan bagi mereka mendapatkan posisi secara sosial dalam masyarakat sukunya. Selain Victor Turner, antropolog lain yang memberikan perhatian yang cukup besar dalam ritus inisiasi ini adalah Arnold Van Gennep dengan karyanya yang berjudul Rites de Passage (1909).
            Dalam karyanya tersebut, Van Gennep menyatakan bahwa dalam setiap tahapan-tahapan dalam kehidupan manusia sebagai seorang individu, yakni semenjak lahir, masa kanak-kanak, dewasa, hingga lanjut usia dan meninggal dunia, manusia mengalami perubahan-perubahan baik secara biologis maupun sosial yang kemudian mempengaruhi kondisi jiwa dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi kondisi biologis dan sosial yang baru tersebut, maka dari itu seorang manusia membutuhkan semacam regenerasi, yang diwujudkan dalam ritus-ritus tahapan kehidupan (life cycle rites). Lebih lanjut menurut Van Gennep, dalam setiap ritus-ritus regenerasi tersebut dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu (1) dipisahkan atau separation (2) peralihan atau merge dan kemudian dilakukan proses (3) pengintegrasian kembali atau agregation
            Dalam kerangka konsep Van Gennep tersebut, setidaknya kita dapat kemudian memahami bahwa setiap individu dalam masyarakat akan melalui proses-proses “ritus jalan pintas” tersebut agar dapat masuk dalam masyarakat sebagai seorang individu yang baru dan dianggap terlahir kembali. Beberapa contoh ritus yang banyak dipraktikan dalam masyarakat kita sebagai ritus jalan pintas tersebut misalnya, seperti tradisi khitanan, tradisi kikir gigi, tradisi memotong rambut bayi pertama dan sebagainya. Dalam analisis lebih lanjut, saya menilai bahwa kegiatan-kegiatan ospek (atau masa orientasi sekolah/MOS) di dunia pendidikan baik dari tingkat sekolah menengah pertama hingga tingkat perguruan tinggi merupakan bagian dari ritus jalan pintas dalam setiap tingkatan lingkungan sosial pendidikan yang baru.
             Dalam proses ritus yang disebut ospek tersebut, idealnya jika mengacu pada konsep “ritus jalan pintas” Van Gennep harusnya memberikan kelahiran dan pengetahuan baru bagi seorang individu sebagai acuan dalam menjalani kehidupan dalam tingkatan pendidikan yang baru yang akan dijalaninya. Menjadi pertanyaan kemudian, apakah ritus-ritus ospek tersebut saat ini masih relevan dalam memberikan kelahiran dan pengetahuan bagi seorang individu sebagai acuan dalam menjalani kehidupan dalam tingkatan pendidikan yang baru yang akan dijalaninya?. Ataukah ritus ospek yang ada saat ini hanya dijadikan sebagai sarana “plonco” dan wadah tindakan kekerasan antara senior kepada juniornya?

Kekerasan dan Ritus Peralihan

            Tidak dapat kita pungkiri, dalam beberapa kebudayaan kekerasan dan ritus peralihan merupakan sebuah hal yang sulit untuk dipisahkan. Beberapa kebudayaan misalnya, dalam tahapan separation  “membuang” anggota masyarakatnya ke dalam hutan berhari-hari agar dapat diuji apakah dia dapat bertahan hidup. Kebudayaan lain misalnya mentato bagian tubuh anggota badan, sebagai tahapan merge atau peralihan seorang individu agar diterima dalam masyarakat. Tahapan-tahapan tersebut memang terlihat menyakitkan dan penuh kekerasan namun apakah kekerasan tersebut dapat dijadikan juga sebagai alasan bahwa ritus ospek juga dapat dilakukan dengan kekerasan?. Pendapat saya mengenai hal tersebut adalah : relative.
            Mengapa relative?, beberapa dari anda mungkin tidak sependapat dengan pendapat yang saya ajukan. Saya berfikir tindakan kekerasan yang dilakukan dalam ospek relative dapat dilakukan dalam kerangka tujuan pendidikan nilai-nilai baru sehingga seorang individu dapat terlahir kembalidalam tingkatan yang lebih lanjut. Tidakan kekerasan yang saya maksudkan disini bukan berarti saya bermaksud mendukung tindakan-tindakan kontak fisik yang dapat menimbulkan cidera atau meninggal dunia. Kekerasan disini yang saya maksudkan adalah sebagai sebuah tindakan “keras” dalam melakukan internalisasi nilai-nilai yang baru. Bukankah memaksa seseorang untuk melakukan yang tidak dia inginkan termasuk “kekerasan” pula bukan?
            Pemberian tugas-tugas yang edukatif dan kontekstual menurut saya menjadi sebuah jalan untuk memberikan “kekerasan mendidik” seorang siswa baru. Siswa baru pada tahapan ini “diuji”  kembali sehingga dapat terlahir kembali dalam lingkungan yang baru pula.


Rabu, 13 November 2013

Insomnia

Insomnia

Karena kata yang tak sempat terucap.
atau tanya yang tak pernah terjawab.
Hingga waktu tahu..
Inilah saatnya untuk menutup mata dan terpejam

Mimpiku adalah kamu
13 November 2013

Pukul  3.14

Senin, 11 November 2013

Menjawab Ateisme

Menjawab Doktrin Ateisme

Ateisme atau faham yang tidak mempercayai adanya keberadaan tuhan tentunya bukan hal yang asing di tengah-tengah kita. Ateisme hadir dalam setiap sendi kehidupan, baik dalam tataran ideologis (dogma), praktis, maupun ilmu pengetahuan. Dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri, sudah banyak para pemikir yang menasbihkan dirinya sebagai seorang ateis. Sebut saja Richard Dawkins dengan The God Delusion yang menyedot perhatian  dunia Internasional dengan karyanya yang cukup “nyentrik” tersebut. Selain Dawkins, dunia ilmu pengetahuan juga mengenal nama-nama seperti Christopher Hitchens dengan judul karyanya yang provokatif yaitu God is Not Great dan yang terakhir adalah Sam Harris dengan bukunya yang berjudul The End of Faith
Dalam perpektif saya pribadi, menjadi menarik kemudian mempelajari bagaimana trend ateisme ini dapat terjadi khususnya dalam dunia ilmu pengetahuan? Adakah yang salah dengan ilmu pengetahuan? Atau agama sendiri yang selama ini yang digunakan sebagai alat “tuhan” tidak memberikan hasil apapaun terhadap kehidupan manusia?

Ilmu Pengetahuan VS Agama

Hal pertama yang menurut saya merupakan penyebab dari trend  ateisme di masyarakat adalah adanya wacana pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Wacana pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama sendiri bukanlah hal yang baru dalam khazanah berkehidupan masyarakat. Wacana pertentangan ini sendiri muncul akibat dari kedua fungsi mendasar dari ilmu pengetahuan dan agama sebagai sumber dari kebenaran (source of truth), yang sama-sama memiliki pandangan sendiri atas klaim kebenaran tersebut.
Dalam ilmu pengetahuan, sebuah kebenaran merupakan hal yang perlu diuji kebenarnya secara real, dan dapat diterima oleh nalar dengan prinsip-prinsip logika dan metode yang sahih dan dapat dipertanggung jawabkan. Sedangkan dalam agama, tentunya sumber kebenaran yang ada bersumber dari ajaran-ajaran ketuhanan yang lebih menekankan pada hal spiritual, tidak nampak secara materi, dan bersifat dogmatis.
Pertentangan antara sumber-sumber kebenaran itulah yang menurut saya menjadi salah satu hal yang memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan trend ateisme di masyarakat. Karena semakin dianggap “modern” sebuah masyarakat, maka masyarakat tersebut akan cenderung lebih mempercayai pada hal-hal yang berbau ilmiah, dan membentuk kategorisasi tersendiri akan kebenaran mana yang akan dia ambil sebagai sebuah jalan hidup.

Violance : In the name of God!

Disamping karena pertentangan antara sumber-sumber kebenaran yakni ilmu pengetahuan dan agama. Trend ateisme sendiri menurut saya muncul ditengarai karena meningkatkanya kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama dan juga ajaranya terhadap tuhan. Tentunya kita tidak dapat lupa kasus WTC pada September 2001, kasus bom Bali I dan II dan juga serangkaian kasus kekerasaan lain yang mengatasnamakan agama dan ajaran tuhan. Kasus-kasus tersebut, di tengah-tengah masyarakat “modern” seakan –akan menjadi sebuah “pecut” akan munculnya tend ateisme kontemporer, yang juga dibalut akan semangat kebencian bahwa agamalah yang merupakan biang keladi dari kasus-kasus kekerasan tersebut.

Menjawab dengan logika dan “bahasa”

Bagaimanakah kemudian kita menjawab akan munculnya trend ateisme karena hal-hal diatas?. Dalam hal ini saya menawarkan dua hal untuk menjawab hal tersebut yakni dengan menggunakan logika dan juga bahasa.
Jika kita teliti dalam membaca argumen kaum ateis, banyak yang menyandarkan argument ateisnya pada ilmu pengetahuan, bahwa keberadaan tuhan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Menurut saya inilah titik lemah argument dari kaum ateis. Jika berbicara tentang bukti bahwa tuhan tidak dapat dibuktikan keberadannya secara ilmiah, secara logika hal tersebut juga sejalan dengan pemikiran bahwa ilmu pengetahuan juga juga belum mampu untuk menjelaskan ketidakberadaan tuhan.  Logika materialis yang secara ilmiah sering dijadikan sandaran kaum ateis dalam argumennya, seakan menjadi lebih kerdil jika kita mengingat ketidakberdayaan manusia dalam alam material untuk melakukan eksplorasi pada alam semesta. Kaum ateis, dalam pandangan saya terlalu terburu-buru menyatakan ketidakberadaan tuhan tanpa memahami hakikat dan logikanya sendiri.

Selain menggunakan logika, untuk menjawab akan munculnya trend ateisme adalah dengan menggunakan bahasa. Dalam pengertian bahasa secara umum tentunya kita mengenal konsep Langue dan  parole melalui karya  Ferdinand de Saussure dalam karyanya yakni Course in General Linguistics. Langue sendiri merupakan konsep kata-kata dalam pikiran sedangkan parole merupakan ujaran/ ucapan dari konsep tersebut. Contohnya saja dalam pikiran kita, ada konsep yang disebut sebagai gelas. Gelas di alam konsepsi pikiran kita merupakan sebuah benda yang terbuat dari kaca yang berfungsi untuk minum, sedangkan dalam ujaran atau parole nya kita mengujarkan benda tersebut dengan kata GELAS. Meskipun, hubungan antara langue dan parole sendiri bersifat arbitrer (acak) namun, yang kita tahu pasti sebuah ujaran tidak akan pernah ada atau hadir tanpa adanya konsepsi yang mendasari dari ujaran tersebut. Dengan kata lain kata merupakan representasi symbol dari konsep yang berada di alam pikiran kita. Lantas apa hubungannya dengan ateisme?. Kaum ateis tentunya selalu berargumen bahwa tuhan itu tidak ada. Ada yang aneh dan tidak logis menurut saya dari pernyataan tersebut jika kita memahami bahwa kata tuhan sendiri merupakan simbol atau representasi dari konsep yang berada di alam pikiran kita. Jika kaum ateis menyatakan bahwa tuhan itu tidak ada, sebenarnya mereka sendiri sudah menegasikan argument mereka sendiri dengan kata tuhan yang mengindikasikan keberadaan tuhan itu sendiri minimal dalam alam pikiran mereka sendiri. 

Rabu, 31 Juli 2013

Catatan Pemaknaan Seni

Perspektif Antropologi Dalam Seni



Hakikat Seni
Seni, beserta segala macam aspek didalamnya merupakan hal yang hingga kini tidak berhenti untuk dibahas dan dibicarakan. Seni, menjadi sebuah objek kajian tersendiri yang lahir dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Mulai dari obrolan warung kopi hingga diskusi bertaraf internasional yang menghadirkan para ilmuan dan profesor seni, masih terus hidup dan bergeliat hingga saat ini. Geliat perbincangan mengenai seni, bukan hanya terbatas pada objek kajiannya saja atau hasil-hasil dari “tindakan” berkesenian tersebut, melainkan juga pada tataran definitif atau hakikat dari seni itu sendiri. Seni, banyak didefinisikan oleh masyarakat awan secara rancu dan bahkan tumpang tindih dengan definisi lainnya.
Pendefinisian yang rancu akan seni erat kaitanya dengan masalah pemahaman akan asal mula dari terminologi kata seni itu sendiri. Kata “seni” sendiri secara umum banyak dipadankan dengan kata art dalam bahasa Inggris. Secara sekilas, kita mungkin tidak banyak menemui perbedaan dalam padanan kata tersebut, namun jika kita meniliknya lebih lanjut ada nuansa yang berbeda dalam penggunaan dan asal mula dari kedua kata tersebut. Kata art, berasal dari bahasan latin yakni artem, yang memiliki arti keterampilan, kecakapan atau skill. Namun, di Eropa pada abad pertengahan kemudian kata art lebih banyak dirujuk kepada hal-hal pada muatan kurikulum pendidikan, seperti berkaitan pada hal-hal yang bermuatan logika, grammar,geometry, musik dan astronomi.
Berbeda dengan kata art yang memiliki nuansa arti yang cukup luas, kata seni yang berasal dari bahasa melayu sebenarnya hanya memiliki nuansa yang sempit yang memiliki arti “kecil”. Kata seni sendiri sebenarnya tidak terlalu banyak digunakan oleh bangsa-bangsa di Nusantara untuk merujuk kegiatan-kegiatan “berkesenian”. Contohnya saja pada masyarakat Batak Toba, pada masyarakat tersebut tidaklah dikenal istilah “seni” pada kegiatan yang merujuk pada hal-hal yang “kita” kenal sebagai kegiatan berkesenian. Meskipun demikian, walau  tidak ditemukan istilah seni pada masyarakat tersebut bukan berarti masyarakat tersebut (Batak Toba) tidak mengenal kegiatan berkesenian.
Dalam masyarakat Batak Toba dikenal istilah tortor, yakni sebuah kegiatan yang mengacu pada gerak tubuh yang berpola tertentu dan teratur yang seiring dengan musik yang mengiringinya. Pada masyarakat “kita” mungkin kita mengenalinya sebagai salah satu dari kategori “seni tari” namun, berbeda dengan apa yang mereka maksudkan dalam kegiatan tortor tersebut. Tortor pada masyarakat Batak Toba lebih dimaksudkan sebagai kegiatan upacara ritual keagamaan dibandingkan apa yang kita kenali sebagai kegiatan seni. Dari penjelasan diatas, dapatlah kita pahami kemudian bahwa penyamarataan istilah semisal seni dengan art dengan tindakan-tindakan lain yang mengacu pada hal yang serupa merupakan sebuah tindakan penyederhanaan atau simplifikasi yang mempunyai akibat pada kerancuan, kesalahpahaman, bahkan bisa pula pada pelecehan.
Perihal Estetika
Bicara mengenai seni, secara umum masyarakat awam kita selalu mengkaitkan seni dengan estetika. Estetika pada umumnya terlalu sempit dipandang sebagai ilmu mengenai keindahan; dan keindahan sendiri banyak dikaitkan oleh orang-orang dengan kualitas sebuah hal dalam hal bentuk( form). Sifat atau kualitas dari hal bentuk tersebut kemudian banyak distandardisasi dengan standar istilah   baik-buruk, indah-jelek, yang kemudian menyebabkan cara pandang yang baru bahwa estetika lahir dari luar diri manusia itu sendiri.
Cara pandang dalam melihat keindahan tersebut menurut saya kemudian akan menghasilkan masalah. Keindahan hanya dipandang dari bentuk dari luar diri manusia itu sendiri, sehingga keindahan atau estetika menjadi berada diluar dari diri manusia itu sendiri. Berbeda kemudian dengan pandangan Bourdieu dalam bukunya Distinction : A social Critique of The Judgement of Taste (1984), dia mengungkapkan bahwa pandangan mengenai keindahan sebenarnya lahir dan bersemayam dari subjek yang melihat keindahan itu sendiri yakni manusia. Pandangan mengenai keindahan tersebutlah yang kemudian dikenal sebagai “ideologi selera alamiah”. Ideologi selera alamiah yang lahir dari subjek penilai keindahan yakni manusia, tidak terlepas kemudian pada sistem hierarki yang ada pada diri manusia itu sendiri. Baik hierarki dalam hal pendidikan, ekonomi, dan sosial turut serta dalam membentuk ideologi selera alamiah seseorang.
Pandangan lain yang mendasari mengenai pembentukan penilaian akan keindahan, juga diungkapkan oleh seorang sosiolog berkebangsaan Amerika yakni Thorstein Bunde Veblen. Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class (1899) mengungkapkan bahwa  keindahan memiliki keterikatan dengan rasa kepuasaan dan kompetisi diri akan perasaan mahal. Maksudnya adalah, perasaan kepuasaan yg timbul akan penghayatan atas produk-produk berharga tinggilah kemudian yang menyebabkan sebuah hal dikatakan indah.
Seni dan Waktu Luang
Seni, sebagai salah satu unsur universal dalam sebuah kebudayaan (Koentjaraningrat, 1979) merupakan sebuah aspek yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Seni merupakan hal yang dinamis dan berubah sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat dan manusia itu sendiri. Salah satu hal yang memiliki keterkaitan yang cukup signifikan dalam pembentukan dan perubahan akan seni itu sendiri yakni mengenai waktu luang. Waktu luang atau leisure time merupakan sebuah konsep yang pernah dibahas oleh salah satu pendekar antrhopology yakni Frans Boaz dalam bukunya Primitive Art (1927).
Dalam bukunya tersebut dibahas tentang bagaimana sebuah masayarakat manusia sampai pada tahapan dalam berkesenian, ketika masyarakat tersebut sudah mampu dalam melakukan subsistensi kebutuhannya sendiri. Contohnya saja pada kehidupan masyarakat Kamoro (suku mumuika we) di Timika. Masyarakat Kamoro, banyak yang menjadi pemahat atau Maramowe ketika kehidupannya sudah tercukupi.
Subsistensi kebutuhan disinilah yang menyebabkan masyarakat kamoro memiliki waktu cukup luang, sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk ukiran dan pahatan-pahatan. Aktualisasi diri yang berbentuk ukiran ini, bukan hanya sekedar “seni” melainkan juga sebagai simbolisasi penghormatan kepada alam dan roh-roh nenek moyang.

Cabang Seni                
Bicara soal seni, rasanya kurang jika tidak membahas cabang-cabang dari seni itu sendiri. Dalam perspektif secara umum atau dalam kacamata orang awam, seni diklasifikasikan dalam banyak cabang dan ragam, tergantung bagaimana klasifikasi tersebut dibuat. Dalam hal cabang-cabang seni, secara umum kita dapat mengikuti pendapat ahli yakni Koentjaraningrat (1990) bahwa seni secara umum dibagi menjadi dua cabang yakni seni rupa atau kesenian yang dapat dinikmati oleh manusia dengan mata dan seni suara atau kesenian yang dapat dinikamti manusia dengan telinga. Koentjaraningrat (1990), kemudian membagi kembali dua lapang kesenian tersebut menjadi beberapa cabang. Dalam lapangan seni rupa terdapat seni patung, seni lukis, serta gambar dan seni rias. Seni musik ada yang berupa vokal dan ada pula yang berbentuk instrumental, serta seni sastra terdiri dari prosa dan puisi. Selanjutnya, masih oleh menurut Koentjaraningrat “Suatu lapangan kesenian yang  meliputi kedua bagian tersebut diatas adalah seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini dapat dinikmati baik oleh mata maupun telinga”

Pendekatan Fungsional dalam Seni
Berbicara tentang seni, tentunya tidak akan lepas dari kebudayaan. Selain karena seni merupakan salah satu unsur universal dalam sebuh kebudayaan, seni juga memiliki keterkaitan dalam hal fungsi dengan kebudayaan itu sendiri. Berbicara tentang fungsi, dan kebudayaan tidak lengkap rasanya untuk tidak menyinggung pendekatan fungsionalisme kebudayaan yang dikemukakan oleh Malinowski. Dalam bukunya yang berjudul  A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944), Malinowski menjelaskan berbagai macam kegiatan atau aktivitas kebudayaan yang kompleks sebenarnya ditujukan dalam rangka pemuasan sejumlah kebutuhan manusia yang berhubungan dengan keseluruhan kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari dari salah satu unsur kebudayaan sendiri lahir dari kebutuhan manusia akan nalurinya akan keindahan yang harus dipuaskan.
Dengan berpijak pada pendekatan fungsional tersebut, dapatlah jika ditilik lebih jauh bahwa kesenian pada perkembangannya kemudian berkembang bukan hanya untuk pemuasaan rasa keindahan manusia saja,  namun memiliki arti lebih didalamnya. Salah satu contohnya semisal fungsi salah satu cabang dari seni yakni musik, dalam buku Antropology of Music diapaprkan setidaknya ada 8 fungsi musik yakni (1) stimulate activity in work and play (music digunakan untuk menstimulasi dalam pekerjaan dan permainan) (2) Ungkapan ekspresi emosional (3) Kesenangan astetis (4) Hiburan (5) Komunikasi (6)Representasi simbolik (7)Respon fisik (8) Kontrol sosial.


 Daftar Pustaka

Bourdieu, P
(1984 ) .Distinction : A social critique of the judgement of taste.
       Merrian, A.P.
(1964). Anthropology of Music.Northwestern : Northwestern  University Press.
Simatupang.L.S
(2010)  Perspektif  Antropologi dalam Seni dan Estetika dalam Jurnal Asintya vol 2
No.1 Juni 2010. Yogyakarta : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Koentjaraningrat.
 (1979)  Pengantar Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
(1980) Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI-Press

        





Senin, 10 Juni 2013

Cinta Dalam Relasi Seksualitas dan Gender

Cinta Dalam Relasi Seksualitas dan Gender



Pendahuluan

Cinta merupakan sebuah hal yang sulit diterjemahkan dalam sebuah definisi yang ajeg. Cinta merupakan hal yang tidak terlihat, namun cara kerjanya kita ketahui bersama sebagai sebuah dorongan yang kadang dapat membuat seseorang lupa diri, termotivasi, bahkan hingga bunuh diri. Berbicara tentang cinta, berarti erat kaitannya dengan rasa, dan ekspresi adalah bentuk pengungkapan dari rasa itu sendiri.

Beberapa filsuf, sebut saja Arthur Schopenhauer filosof yang tenar pasca masa kantian di abad 17 mengatakan bahwa cinta merupakan hal yang tidak nyata dan hanyalah merupakan “pemanis” bagi dorongan-dorongan ekspresi seksual semata. Mungkin apa yang dikatakan Arthur ada benarnya, jika kita mengacu kembali pendapat Darwin mengenai keberadaan manusia pada ribuan tahun silam yang sebelum berevolusi seperti sekarang terus hidup berpindah-pindah dan berganti-ganti pasangan, dan tidak mengenal yang namanya cinta yang ada hanya hubungan seksual yang terus di ekspresikan.

Berbeda dengan Arthur atau Darwin, para kaum romantik mungkin senang membesar-besarkan apa itu cinta. Membesar-besarkan disini bukan berarti berusaha memahami makna cinta dengan baik, namun hanya terjebak dalam romantika diri semata, bahwa cinta 
merupakan hal yang harus penuh dengan drama, penderitaan, dan sangat menyiksa. Dalam tulisan ini, ada alasan saya ingin membahas mengenai cinta. Terlepas dari kebenaran biologis mengenai asal mula cinta atau drama romantika yang menyertainya, tulisan ini mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai hubungan antara cinta, seksualitas, dan gender manusia dalam kerangka berfikir yang tidak lagi banal, namun berusaha memerdekakan sebagai hakikat dalam sebuah kerangka kemanusiaan.

Tentang Cinta
Sebelum membahas mengenai bagaimana relasi antara cinta dengan seksualitas dan gender. Pembahasan pendahuluan yang ingin saya paparkan adalah mengenai cinta, esensi dan asal dari cinta itu sendiri. Secara esensi, cinta memiliki begitu banyak mistitisme yang melibatkan begitu banyak syair, melodrama, kisah penderitaan tanpa ujung, dan romantika cerita yang selalu penuh harap jika kisah cinta yang ada akan berakhir bahagia selama-lamanya. Pada kenyataannya cinta tidak selalu berjalan demikian adanya. Cinta di dalam dunia yang nyata membutuhkan hal yang nyata pula, dan kenyataan tersebut diproduksi melalui realitas yang berproses. Dalam memandang esensi cinta yang berproses secara nyata, seringkali kita terbuai dan terjegal kembali dengan mistitisme perasaan cinta yang penuh perasaan yang intim. Pada satu sisi, secara objektif kita memang harus melihat dan menempatkan cinta sebagai hal yang penuh dengan “perasaan-perasaan yang intim”, namun dalam melihat objeknya sebagai sebuah proses kita harus dapat melompatinya jauh lebih dari itu. Dalam buku Interpretation of Culture (1973), saya teringat mengenai definisi yang sempat diajukan oleh Geertz dalam memandang religi.


Menurutnya, religi merupakan sebuah sistem simbol yang dapat membangkitkan moods, emotion, and motivation. Lantas apa hubunganya dengan cinta?. Jika kita bisa lebih kritis lagi, sekilas definisi religi yang ditawarkan oleh Geertz dapat dipersamakan dengan cara kerja cinta sebagai sebuah proses. Cinta hadir dalam bentuk-bentuk simbolis baik dalam bentuk fisik, kebendaan, atau simbolisme lain yang kemudian dapat menimbulkan perasaan-perasaan yang hampir sama dengan religi. Cinta juga membuat seseorang berubah dengan drastis perasaanya (moods), memiliki emosi yang kuat pada objek cinta atau segala hal yang berhubungan dengan objek tersebut, serta selalu menimbulkan motivasi bagi seseorang yang sedang jatuh didalam baik itu motivasi yang negatif ataupun yang positif.
Memandang cinta dalam proses, selain melihat bagaimana kedudukan cinta itu sendiri sebagai sebuah objek yang abstrak cinta juga dapat dipandang sebagai hal yang biologis dengan mengesampingkan faktor-faktor emotif seperti yang telah dibahas sebelumnya. Antropolog Helen Fisher, merupakan salah satu orang yang dengan tegas dan meyakinkan menyangkal bahwa cinta merupakan hal yang berhubungan dengan faktor-faktor emotif atau perasaan. Menurutnya, cinta lebih pada hal yang berhubungan dengan hal yang biologis seperti dorongan untuk minum atau makan.
Dorongan biologis itu juga diproduksi oleh otak manusia. Menurut Helen, bahwa otak kita telah berevolusi menjadi tiga sistem besar, yang pertama adalah bagian otak yang berhubungan dengan dorongan seksual, bagian kedua adalah otak yang berhubungan dengan infatuasi, fantasi atau kemabukan, serta yang ketiga adalah yang berkaitan dengan kemampuan kita untuk berada dalam suatu ikatan yang menyangkut toleransi, dan rasa aman. Tiga sistem otak ini dikatakan oleh Fisher tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga beberapa hewan mamalia, itulah mengapa ia menyebutkan sebagai tiga sistem besar dari otak mamalia.
Melalui pemaham ini dapat dijelaskan bahwa ketiga bagian otak manusia tersebut juga menghasilkan zat kimia yang berbeda-beda juga bagi tubuh. Bagi yang menganggap bahwa cinta merupakan aktifitas seksual semata maka akan lebih sering menggunakan otak yang pertama yang menghasilkan testosteron, sedangkan untuk orang yang menganggap bahwa cinta merupakan kesetiaan, komitmen dan integritas maka akan menggunakan otak bagian ketiga yang memproduksi endofirm, dan tengah atau bagain kedua dianggap sebagai otak yang paling menarik dalam relasinya dengan cinta. Otak tengah ternyata menghasilkan zat yang bernama dophamin. Zat ini merupakan zat yang menyebabkan manusia begitu adiktif dan kuat menanggung penderitaan yang diakibatkan oleh cinta.

Tentang Tubuh
Pembahasan pertama yang akan saya ajukan mengenai konteks hubungan antara cinta, relasinyanya dengan gender dan seksualitas adalah mengenai tubuh. Tubuh, dalam konteks cinta dan hubungannya terhadap relasi gender dan seksualitas dapat dipahami sebagai wadah atau “alat” dalam menghadapi realitas kemanusiaan. Setidaknya, ada dua pandangan mengenai padangan tersebut. Pandangan pertama dalam filsafat Descartian misalnya, tubuh dilihat sebagai jembatan perantara dari kesadaran manusia Sedangkan dalam pendapat lain Mearleu-Ponty berpendapat sebaliknya, tubuh adalah ikhtisar manusia dalam menyerap dunia. Hanya oleh tubuhlah manusia dapat tahu apa itu dunia sebenarnya. Lewat tubuh manusia mencerap dunianya dan menciptakan persepsi atas dunia tersebut (Merleau-Ponty,1962)
Perdebatan mengenai pandangan antara tubuh yang mengkontruksi atau dikonstruksi sendiri merupakan perdebatan tiada akhir dalam paradigma seksualitas. Perdebatan tersebut yakni dalam paradigma kontruksionisme dan esensialisme. Kedua paradigma ini memberikan pandangan yang berbeda mengenai bagaimana seksualitas (lalu kemudian gender) harus dilihat dan disikapi. Disatu sisi, esensialisme memiliki anggapan bahwa seksualitas dan gender merupakan hal yang ajeg, taken for granted, dan bersifat apriori secara biologis. Sedangkan, paradigma kontruksionisme menganggap bahwa seksualitas merupakan persoal “bentukan secara sosial”hasil dari ekternalisasi diri manusia yang kemudian terjebak dalam eksternalisasinya tersebut.
Pandangan esensialisme sendiri, begitu mendapatkan tempat kemudian bagi para pemikir biologis. Lihat saja tulisan Lorber dalam Believing is Seeing : Biology as Ideology (2004), dalam tulisan tersebut dibahas mengenai bagaimana seksualitas dilihat sebagai hal yang biologis. Seksualitas menjadi begitu rigid, alami yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan biologis ilmuan bahwa manusia ada dan lahir dibedakan menjadi dua kromoson secara biner, yakni kromosom xxx (perempuan) dan xxy (laki-laki).
Pengetahuan yang secara biologis tersebut, selain membuat kategorisasi lelaki dan perempuan juga turut peran serta dalam membentuk “mitos-mitos” yang kemudian di konstruksi dalam masyarakat. Perempuan, selalu diibaratkan sebagai pihak yang lemah, inferior, dan selalu pasrah mengalah untuk menunggu sang pangeran “sperma” menghampirinya.
 Sedangkan, laki-laki atas dasar pengetahuan biologis yang diterimanya selalu merasa diri sebagai hal yang superior, aktif, yang selalu akan bertindak untuk mencapai sang “ratu ovum” untuk dibuahi. Berangkat kemudian pada paradigma tersebut, kemudian lahirlah paradigma lain yang merupakan antitesis dari pemikiran esensialis biologis tersebut yakni paradigma kontruksionisme sosial. Paradigma ini mencoba untuk mendekonstruksi anggapan-anggapan biologis yang dianggap ilmiah dan menjadi sumber pengetahuan yang lalu kekuasaan dalam masyarakat, terhadap pembentukan “mitos-mitos” yang dianggap rigid dalam masyarakat tentang seksualitas.
Kaitan antara dua paradigma tersebut dalam memandang hubungan antara cinta dan relasi dengan gender dan seksualitas adalah memberikan pemahaman bahwa cinta sendiri tidak akan pernah lepas dari konteks ketubuhan yang merefleksikan realitasnya. Cinta menjadi hal yang problematik kemudian dalam relasinya memahami sumbernya sebagai hal yang esensial, atau konstruktifis dari konteks ketubuhannya.

Cinta, Tubuh, dan Kenikmatan

Berbicara mengenai cinta dan konteks ketubuhan baik secara esensial maupun secara konstruktifis, rasanya tidak dapat dilepaskan dengan hal yang berhubungan dengan kenikmatan atau pleasure. Jika kita menilik lebih dalam, kaitan antara ketubuhan, dan seksualitas ini sendiri sebenarnya sudah cukup banyak dibahas dalam diskursus mengenai cara memandang kebenaran seksualitas dalam perspektif dikotomis barat dan timur.
Dalam masyarakat barat, seksualitas dipandang sebagai sebuah hal yang ilmiah (scientia sexualis), sedangkan pada masyarakat timur seksualitas dipandang sebagai hal yang lebih mementingkan unsur kenikmatan, “sex by pleasure” (ars erotica) . Perbedaan cara pandang dalam memandang kebenaran dalam seksualitas ini berdampak pula pada perbedaan dalam memandang  hakikat kenikmatan dalam hal hubungan seksual atau bercinta.
            Dalam konteks kenikmatan ini, marilah kita bersama-sama menengok apa yang disajikan masyarakat barat soal empirisme seksualitas, cinta dan kenikmatan melalui karya Michel Foucault yakni Use of Pleasure (merupakan bagian volume kedua dari karyanya History of Sexuality). Dalam karyanya tersebut, Foucault menyoroti tentang bagaimana masyarakat barat melihat kenikmatan yang dihasilkan dari tubuh manusia dengan dua cara yang berbeda secara garis besar. Cara pertama adalah dengan melalui perspektif kaum kristiani, dan perspektif kedua adalah menggunakan cara kaum pagan.
Dalam perspektif kaum kristiani, kenikmatan yang dihasilkan oleh tubuh manusia lebih pada simbolisme evil atau iblis, simbol dari hal-hal yang berdosa, juga sebagai sumber dari peyebab dosa. Sedangkan dalam perspektif kaum pagan, tubuh dan kenikmatan lebih dilihat sebagai hal yang dangkal. Bahkan jika boleh mengutip apa yang dikatakan oleh Plato, dia berkata bahwa tubuh tidak lebih dari imitasi yang imitan. Plato juga berkata bahwa tubuh dan kenikmatan didalamnya merupakan penjara jiwa, jadi untuk membebaskan jiwa kita harus lepas dari faktor ketubuhan dan kenikmatan yang menyertai tubuh tersebut.
Pada perkembangannya kemudian Foucault dalam karyanya yang berbeda yakni History of Sexuality (1990) memaparkan mengenai perkembangan seksualitas masyarakat Eropa ada abad ke 17. Pada masa itu, kenikmatan akan cinta, seksualitas merupakan hal yang tabu dan dikekang dimana-mana. Pengekangan akan kenikmatan cinta dan seksualitas ini berdasarkan diskursus yang diciptakan oleh pihak penguasa yang menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari gereja melalui mekanisme confession, meskipun menurut Foucault pada masa itu terjadi banyak kemunafikan terhadap hal tersebut. Para penguasa dan gereja seakan  hipokirt terhadap apa yang mereka lakukan.
Pertemuan relasi unsur antara pengetahuan dan kekuasaan yang menghasilkan diskursus, kemudian secara nyata melakukan represi bagi kebebasan ekspresi cinta yakni kenikmatan dan seksualitas. Represi-represi akan kenikmatan itulah yang kemudian menyebabkan seksualitas menjadi hal yang begitu rigid, dingin, dan mekanis pada masyarakat barat, yang kemudian disebut oleh Foucault sebagai Scientia Sexualis.
Berbeda dengan masyarakat barat yang mengutamakan scientia sexualis dalam pandanganya terhadap tubuh dan kenikmatan, masyarakat timur lebih mengutamakan unsur ars erotica atau unsur rasa dalam memandang tubuh dan kenikmatan yang terkandung didalamnya. Pemikiran yang mengungkapkan mengenai bagaimana cinta, kenikmatan, dan rasa bersatu padu dalam pandangan masyarakat timur, setidaknya dapat digambarkan dalam salah satu filsafat pemikiran timur yakni kamasutra.
Kamasutra, secara etmiologis terdiri dari dua kata yakni kama yang berarti cinta, gairah dan sutra yang berarti ajaran. Pemikiran kamasutra sendiri, bersumber pada mitologi agama hindu mengenai kisah Dewa Kama dan Dewa Siwa. Alkisah, dalam sebuah masa diceritakan bahwa dunia dewata sedang mengalami masalah karena permusuhannya dengan seorang rasaksa yang sakti didunia. Dewa Brahma, pada saat itu mengutus Dewa Kama untuk membuat Dewa Siwa yang sedang bermeditasi jatuh cinta pada seorang wanita manusia yang merupakan reinkarnasi dari Dewi Laksmi.
Tujuan dari Dewa Brahma membuat Dewa Siwa jatuh cinta adalah agar Dewa Siwa mau menikahi reinkarnasi Dewi Laksmi, yang diharapkan nantinya anaknya yang berwujud setengah dewa-manusia yang mampu memusnahkan raksasa sakti yang membuat keonaran di dunia. Untuk melaksanakan tugasnya, maka Dewa Kama datang ke tempat bersemedi Dewa Siwa, dan dari semak-semak memanahkan pusaka panah cintanya ke arah Dewa Siwa.
Setelah terkena panah, Dewa Siwa pun terbangun dari semedinya, dan menemukan wanita cantik reinkarnasi Dewi Laksmi dihadapanya. Karena sudah terkena panah cinta oleh Dewa Kama, Dewa Siwa bereaksi atas panah tersebut, ada hasrat, ketertarikan yang muncul dari Dewa Siwa kepada gadis reinkarnasi Dewi Laksmi. Nasib baik sayangnya tidak berpihak pada Dewa Kama. Dewa Siwa yang sakti ternyata menyadari dirinya “dipanah cinta” oleh Dewa Kama.
 Akan perlakuan tersebut, Dewa Siwa sangat marah dan mengutuk Dewa Kama menjadi abu hilang tak berbentuk. Dari kisah mitologi tersebut mengandung nilai bahwa dalam filsafat timur, khususnya dalam pemikiran hindu cinta dan kenikmatan itu merupakan hal yang tidak berbentuk (seperti wujud Dewa Kama yang menghilang). Meskipun tidak berbentuk, namun manusia dengan perasannya pasti akan tahu bagaimana mekanisme kerjanya cinta. Selain terkandung dalam mitologi, cinta sendiri menempati posisi khusus dalam pemikiran hindu mengenai tujuan dan filosofi hidup. Dalam veda sebagai teks suci umat hindu sendiri dikenal dengan yang namanya Catur Purusarthas.
Catur Purusarthas, atau empat tujuan hidup merupakan pandangan yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari pertama, Dharma atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan materiil, ketiga adalah Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan yang terakhir adalah Moksha, atau pembebasan diri menuju Tuhan.Dari Catur Purusathas, dapat dilihat bahwa moksa atau pembebasan diri terhadap tuhan lebih baik dibandingkan dengan kama atau cinta. Hal tersebut dapat diartikan posisi cinta dan kenikmatan tubuh dalam pemikiran timur khususnya teks hindu memiliki acuan terhadap kebahagiaan yang sifatnya transedental, dan luhur. Dalam perkembangnya, konsepsi kamasutra ini kemudian diadopsi oleh Foucault sebagai teori ars erotica

Menguggat “Normalitas” Cinta

Kata normal menjadi kata yang cukup berbahaya dalam mendefinisikan sesuatu. Kata itu begitu banal hingga saja kadang membuat  cemas dan ketakutan dalam penggunaannya. Normal, bisa berarti sebagai sebuah anugrah. Dan tidak normal, bisa menjadi sebuah musibah khususnya dalam berkehidupan bermasyarakat sebagai manusia. Kata “normal”, celakanya bukan hanya diterapkan oleh manusia dalam menilai perilaku seseorang dalam bermasyarakat, namun juga dalam melakukan kategorisasi-kategorisasi khususnya disini dalam menilai orientasi ekspresi kenikmatan seksual, dimana relasi heteroseksual merupakan relasi yang dianggap normal, tepat dan beradab. Diluar itu adalah abnormal, tidak tepat, dan tidak beradab.
Pemahaman dalam melihat ketegorisasi itu kemudianlah yang menyebabkan manusia secara mudahnya untuk menilai bagaimana seseorang berprilaku dalam kerangka kategori “kelaminnya”. Bagaimana seorang “laki-laki” dan seorang “perempuan” harus bertindak, diatur-atur dan dibuat-buat oleh masyarakat dalam sebuah konsepsi yang dinamakan gender. Cinta dalam konsepsi gender, memang bukanlah hal yang baru. Sebelum paham pasca-stukturalis muncul, persoalan gender dalam hal cinta menjadi salah satu alat yang hagemonik berhasil “mendisiplinkan” orientasi seksual dan ekspresi cinta dalam kerangka kekuasaan dan kebudayaan yang ada.
Pandangannya mengenai normalitas akan ekspresi cinta begitu esensialis, dia berkembang menjadi sebuah identitas yang dikotomis antara hal yang normal dengan tidak normal.Setelah kemunculan paham pascastrukturalis yang membebaskan kekangan orientasi seksual dan ekspresi cinta dari paham esensialis, persoalan kemudian adalah tentang bagaimana kemudian melakukan eliminarisasi kategorisasi-kategorisasi tentang normal dan tidak normal yang terlanjur hagemonik di dalam masyarakat?.
Dalam bukunya karyanya The Order of Things, Michel Foucault menjelaskan dengan kritis, bagaimana manusia mengandalkan hidupnya dengan adanya keteraturan serta kategorisasi. Kategorisasi tersebut menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang bisa diterima. Melalui aturan, ideologi, kebijakan, hingga nilai-nilai dalam masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan kategorisasi itu. Dalam mengeliminir hal tersebut, perlu adanya sikap yang lebih kritis dalam melihat dan memahami sepenuhnya apa sebenarnya yang menyebabkan kategori seks dan gender itu sendiri .
Apakah seks itu sendiri hanya sekedar ditentukan oleh kategori bentuk jenis kelamin?. Lalu bagaimana orang-orang yang memiliki penis namun juga memiliki rahim secara biologis. Apakah seks ditentukan dari kromosom seseorang?. Lantas, bagaimana kategori seksual seseorang yang berkromosom (XY), namun mengubah bentuk kelaminnya menjadi vagina. Kategori-kategori seks tersebut (laki-laki dan perempuan) , yang dianggap normal kemudian seakan menjadi begitu tidak jelas dan abu-abu ketika berhadapan dengan keadaan atau realita yang sebenarnya tentang seksualitas seseorang.
Masyarakat perlu disadarkan tentang realitas seksual sebenarnya, bukan hanya terpatok pada ideologi-ideologi gender berbasis teks suci atau politik dan kenegaraan semata. Masyarakat juga perlu tahu bahwa ketika kategori-kategori seksualitas menjadi begitu kaburnya untuk dikategorikan pada seksualitas manusia, lantas bagaimana mungkin kategori gender yang didasarkan pula pada ketegori seksualitas bisa menjadi lebih jelas dibandingkan dengan kategori seksual itu sendiri. Apalagi, jika kita mempunyai pemahaman bahwa gender seseorang merupakan konstruksi dari lingkungan sosialnya, maka kategorisasi dari gender seseorang menjadi semakin begitu bias dan tidak jelas kategorisasinya. Mengutip kembali pernyataan Judith Butler bahwa,  gender adalah sesuatu yang konstan berubah karena gender merupakan pengucapan, sikap, diskursus yang dilakukan secara repetitif. Kita pasti akan terus mencari definisi gender ke diri sendiri.

Penutup

            Cinta dengan berbagai problematiknya merupakan hal yang selalu menarik untuk disimak. Cinta memiliki begitu banyak dimensi dengan berbagai bumbu yang membuatnya memiliki nuansa sendiri, sehingga orang tidak akan pernah kehabisan ide dan bahasan untuk membahasnya. Membahas cinta dengan kaitannya pada seksualitas dan gender, adalah upaya melihat bagaimana cinta dapat dibahas dalam ruang-ruang problematika yang lebih nyata tanpa terjebak lagi pada nuansa romansa yang terlalu menggebu-gebu atau ruang-ruang filosofis yang begitu dingin dan kadang kaku.
Melalui pemaparan diatas kita dapat menyimpulkan juga bahwa, relasi antara cinta, gender dan seksualitas baik dalam dimensi ketubuhan, hasrat, maupun orientasi dan atau ekspresi seksual merupakan hal yang begitu cair, dinamis, dan juga memiliki logikanya sendiri dalam bertindak. Pemahaman akan logika cinta dalam kerangka seksualitas dan gender manusia, semoga dapat membuat kita menjadi manusia yang lebih manusiawi, yakni manusia yang mendahulukan afeksi diri dibandingkan dari bentuk- bentuk relasi itu sendiri.


*Penulis Mahasiswa S1 Antropolog Sosial FISIP UI

Daftar Pustaka

Butler, Judith.
1990.              Gender Trouble. New York. Routledge

DeLamater, J.D  and Hyde, J.S.

 1998.             Essentialism vs. Social Constructionism in the Study of Human   Sexuality’, Journal of Sex Research 35 (1): 10-18

Foucault, Michel.
1990.              The History of Sexuality. New York. Vintage
                        The Use of Pleasure. New York. Vintage
Geertz, Clifford.
1973.              Interpretation of Culture.Basic Books. New York

Maurice Merlau-Ponty.
1962.              Phenomenology of Perception. New York.

Lorber, J.
2004.              Believing is Seeing :Biology as Ideology in M.S. Kimmel (ed),The Gendered Society Raeder, Oford :Oxford University Press, 2nd edition.
Internet :
http://www.helenfisher.com/index.html ( Helen Fisher, “Lost Love : The Nature of Romantic Rejection.” ) diakses pada : 8-6-2013, pukul 18.50


Senin, 04 Maret 2013


Mempertanyakan Normalitas?

I  grew up understanding something of the violence of gender norms: an uncle incarcerated for his anatomically anomalous body, deprived of family and friends, living out his days in an “institute” in the Kansas prairies; gay cousins forced to leave their homes because of their sexsuality, real and imagined; my own tempestuous coming out at the age of 16; and a subsequent adult landscape of lost jobs, lovers, and homes. All of this subjected me to strong and scarring condemnation but, luckily, did not prevent me from pursuing pleasure and insisting on a legitimating recognition for my sexsual life.” -Judith Butle-
Pendahuluan
Kata normal menjadi kata yang cukup berbahaya dalam mendefinisikan sesuatu. Kata itu begitu banal hingga saja kadang membuat  cemas dan ketakutan dalam penggunaannya. Normal, bisa berarti sebagai sebuah anugrah. Dan tidak normal, bisa menjadi sebuah musibah khususnya dalam berkehidupan bermasyarakat sebagai manusia. Kata “normal”, celakanya bukan hanya diterapkan oleh manusia dalam menilai perilaku seseorang dalam bermasyarakat, namun juga dalam melakukan kategorisasi-kategorisasi khususnya disini dalam menilai orientasi seksual, dimana relasi heteroseksual merupakan relasi yang dianggap normal, tepat dan beradab.Diluar itu adalah abnormal, tidak tepat, dan tidak beradab.
Pemahaman dalam melihat ketegorisasi itu kemudianlah yang menyebabkan manusia secara mudahnya untuk menilai bagaimana seseorang berprilaku dalam kerangka kategori “kelaminnya”. Bagaimana seorang “laki-laki” dan seorang “perempuan” harus bertindak, diatur-atur dan dibuat-buat oleh masyarakat dalam sebuah konsepsi yang dinamakan gender.
Kategori 
            Upaya yang harus dilakukan dalam mengeiliminir kekuasaan normalitas dalam kerangka kategori seksual dan gender, adalah dengan mempertanyakan dan membongkar kategorisasi-kategorisasi itu sendiri. Di dalam karyanya The Order of Things, Michel Foucault menjelaskan dengan kritis, bagaimana manusia mengandalkan hidupnya dengan adanya keteraturan serta kategorisasi. Kategorisasi tersebut menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang bisa diterima. Melalui aturan, ideologi, kebijakan, hingga nilai-nilai dalam masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan kategorisasi itu. Dalam mengeliminir hal tersebut, perlu adanya sikap yang lebih kritis dalam melihat dan memahami sepenuhnya apa sebenarnya yang menyebabkan kategori seks dan gender itu sendiri .
Apakah seks itu sendiri hanya sekedar ditentukan oleh kategori bentuk jenis kelamin?. Lalu bagaimana orang-orang yang memiliki penis namun juga memiliki rahim secara biologis. Apakah seks ditentukan dari kromosom seseorang?. Lantas, bagaimana kategori seksual seseorang yang berkromosom (XY), namun mengubah bentuk kelaminnya menjadi vagina. Kategori-kategori seks tersebut (laki-laki dan perempuan) , yang dianggap normal kemudian seakan menjadi begitu tidak jelas dan abu-abu ketika berhadapan dengan keadaan atau realita yang sebenarnya tentang seksualitas seseorang.
Ketika kategori-kategori seksualitas menjadi begitu kaburnya untuk dikategorikan pada seksualitas manusia, lantas bagaimana mungkin kategori gender yang didasarkan pula pada ketegori seksualitas bisa menjadi lebih jelas dibandingkan dengan kategori seksual itu sendiri. Apalagi, jika kita mempunyai pemahaman bahwa gender seseorang merupakan konstruksi dari lingkungan sosialnya, maka kategorisasi dari gender seseorang menjadi semakin begitu bias dan tidak jelas kategorisasinya. Mengutip kembali pernyataan Judith Butle bahwa,  gender adalah sesuatu yang konstan berubah karena gender merupakan pengucapan, sikap, diskursus yang dilakukan secara repetitif.  Kita pasti akan terus mencari definisi gender ke diri sendiri (gender trouble).

Penutup
Melalui pemaparan diatas, hendaknya kita kembali mengkritisi kembali apa yang disebut sebagai hal yang normal dan abnormal, khususnya dalam melihat kategori seksual dan gender seseorang. Kritisisasi akan ketegori dengan menghadapkanya pada konteks realitas, merupakan salah satu cara untuk mengiliminir kesalahan berfikir yang kerdil akan kategoriasasi yang begitu sempit akan masalah seksualitas dan gender pada diri manusia.

Referensi :
Caplan, P. 1997. The Social Construction of Sexuality. Bab Introduction, hal. 1-25.
 
Fausto-Sterling, A. 1993. ‘The Five Sexes: Why Male and Female are not enough’,
The Sciences 33 (2): 20-24
Foucault Michel.1990. The History of Sexuality, hlm 17. New York. Vintage.


Jumat, 25 Januari 2013



Film Review


 Hotel Rwanda :
Konstruksi Kolonial, Revolusi, dan Genoside




Hotel Rwanda, merupakan sebuah film besutan sutradara Terry George, yang mengambil setting pada kejadian kejahatan genosida di Rwanda pada tahun 1994. Film ini mengisahkan kejadian nyata akan kejahatan genosida di Rwanda dari sudut pandang seorang manajer hotel bernama Paul Rusesabagina (diperankan Don Cheadle), seorang manajer hotel Sabena Hôtel des Mille Collines, adalah seorang Hutu namun istrinya, Tatiana (diperankan oleh Sophie Okonedo), adalah seorang Tutsi. Pernikahannya menjadikannya penghianat bagi ekstrimis Hutu yakni George Rutaganda, seorang kenalan baik dan penyalur kebutuhan hotel yang juga merupakan pemimpin dari Interahamwe, milisi Hutu yang anti Tutsi.
Dalam film ini diceritakan kemudian pada malam pembantaian, tetangga-tetangga dan keluarga Paul baik dari suku Hutu maupun Tutsi sangat berharap padanya supaya dapat ia selamatkan. Kemampuan negosiasi dan kepemimpinan yang dilakukan oleh paul, membuatnya dapat menyelamatkan keluarga dan tetangganya dari milisi Hutu bersenjata yang bertujuan menghabisi semua suku Tutsi. Setelah tawar menawar dengan seorang petugas militer Rwanda untuk keselamatan keluarga dan teman, Paul membawa mereka ke hotelnya. Setelah dapat menyelamatkan keluarga dan tetangganya, berita tersebut banyak tersebar sehingga semakin banyak orang yang menjadi pengungsi yang kemudian membanjiri hotelnya. Pihak PBB tidak dapat berdaya, dikarenakan kamp pengungsian PBB sangat berbahaya dan terlalu penuh pada saat itu.
Tentara Bizimungu  akhirnya dapat mengakhiri kekacauan dan Paul panik mulai mencari istri dan keluarganya, berpikir kalau mereka sudah bunuh diri seperti yang diperintahkan Paul apabila orang-orang Hutu dapat menyerang hotel. Setelah ketakutan setengah mati, Paul menemukan mereka bersembunyi di kamar mandi. Keluarga dan para pengungsi akhirnya dapat keluar dari hotel dengan kawalan konvoi pasukan PBB. Mereka menempuh perjalanan melewati pengungsi Hutu dan milisi Interhamwe menuju ke belakang garis depan pihak pemberontak Tutsi. Di akhir cerita,  dengan bantuan dari Madame Archer Paul menemukan kedua keponakannya yg masih kecil, yang keberadaan orang tuanya tidak diketahui, dan mengajak mereka dengan keluarganya keluar dari Rwanda.
Salah satu penyebab mendasar dari genosida yang terjadi di Rwanda tahun 1994 merupakan konflik yang terjadi antara 2 suku besar di Rwanda yakni Konflik antara suku Hutu dan Tutsi. Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya.
Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung[1]. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek. Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya misalnya menjadi petugas administrasi .
Sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia selaku pihak kolonial menkonstruksi perbedaan-perbedaan besar tak berdasar yang digunakan mengadu domba ke 2 suku ini.  Konstruksi kolonial yang membagi mana suku yang lebih tinggi derajatnya mana yang lebih rendah menyebabkan kebencian yang mengakar khususnya bagi suku Hutu yang dianggap lebih rendah. Hal itu, kemudian dibalas oleh suku Hutu dengan justifikasi diri sebagai yang “dominan” ketika Rwanda sudah merdeka.
Klasifikasi “dominan-minoritas” inilah yang saya lihat sebagai salah satu aspek yang menambah kebencian Hutu kepada Tutsi, bahwa orang-orang Tutsi adalah minoritas pendatang yang juga merupakan penghianat, mereka dianggap tidak lebih dari “Cocoroaches”[2]. Proses dehumanisasi ini sangat terlihat disini, orang-orang Tutsi sudah dianggap tidak lebih dari hewan, yakni kecoa.
Penghapusan perbedaan yang berada di masyarakat Rwanda, merupakan sebuah gambaran mengenai modernitas yang  juga dipaparkan oleh A.L. Hinton (2002) dalam bukunya “The Dark Side of Modernity: Toward an. Anthropology of Genocide.







[1]Hal ini ada dalam dialog ketika wartawan asing sedang berbincang di hotel dan menanyakan perbedaan antara suku hutu dan tutsi. Pembentukan konstruksi sosial oleh kolonial inipun ada pada buku “The Specther Of Genocide” hal  326-330
[2] Dalam film Hotel Rwanda, beberapa kali milisi Interahamwe dan pemimpinnya  Rutaganda menyebut suku tutsi sebagai “Cocoroaches” atau kecoa.