Sabtu, 19 Februari 2011

Wayang Beber


Wayang Beber :
Sebuah Jejak Peradaban Masa Lampau dan Eksistensi Masa Kini



 
Jejak Peradaban
 Indonesia memiliki beragam seni pertunjukan diantaranya adalah seni pertunjukan wayang. Prof. Franz Magnis Suseno S.J., menilai bahwa wayang merupakan perwujudan ekspresi kebudayaan yang bernilai tinggi, baik pada seni pertunjukannya maupun dari sisi filosofi yang terkandung di dalamnya. Berdasar hal ini, maka pada tanggal 7 November 2003, UNESCO mengukuhkan wayang Indonesia sebagai warisan budaya tak benda dunia. Pengakuan UNESCO terhadap wayang Indonesia membuktikan bahwa wayang merupakan de haute culture (high culture) dan merupakan karya monumental bangsa Indonesia untuk dunia (Tulus Warsito, Wahyuni Kartikasari., 2007: 177-178).
Di Jawa khususnya, terdapat beragam jenis wayang antara lain wayang beber, wayang klitik, wayang purwo, wayang golek, wayang suluh, wayang wahyu, wayang budha dan lain-lain. Wayang mengalami perkembangan yang pesat sekarang ini pada ragam, bentuk, dan fungsinya. Perkembangannya menjadikan optimis semua kalangan bahwa ada harapan terang bagi pelestarian, perlindungan dan pengembangan wayang Indonesia.
Wayang beber berbeda dengan wayang-wayang lainnya yang sama-sama digunakan untuk kepentingan pertunjukan. Perbedaan tersebut diantaranya adalah pada bentuk wayangnya. Pementasan wayang purwa misalnya, menampilkan bentuk manusia, raksasa, binatang, tumbuh-tumbuhan, senjata dan lain-lain, ditampilkan sendiri lengkap dengan tangkai pemegang wayang dan atau tangkai penggeraknya. Sedangkan pada wayang beber menampilkan episode cerita/ pejagongan/ adegan berupa gulungan lembaran gambar dalam pementasannya. Keunikan inilah yang menjadikan wayang beber merupakan perwujudan hasil budaya yang istimewa dan perlu mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan.
Konsepsi mengenai kebudayaan penting untuk dipaparkan sebelumnya sebagai pijakan dalam kita memahami proses dan program pelestarian suatu entitas kebudayaan. Koentjaraningrat (2002: 186) mendefinisikan wujud kebudayaan menjadi 3 yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-  norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia

Wayang beber merupakan formulasi dari ketiga wujud kebudayaan yang tersebut diatas. Ketiganya saling berkait erat satu dengan yang lainnya. Pikiran, ide, nilai kehidupan, tindakan dan karya manusia yang dituangkan dalam dan menjadi wayang beber merupakan salah satu bentuk manifestasi peradaban yang perlu mendapat apresiasi dan pelestarian karenanya. Analogi ini dikuatkan dengan pendapat Ki Sarino Mangunpranoto dari Majelis Luhur Taman Siswa yang mengatakan bahwa budaya manusia terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau lingkungannya.
Asal usul sejarah keberadaan wayang beber hingga kini belum diketahui dengan pasti. Menurut Serat Centini, ketika Jaka Susuruh bertakhta di Majapahit dengan gelar Raja Bratama, dia membuat gambar wayang mencontoh gambar wayang dari Kediri atau Jenggala. Namun gambar wayang tersebut tidak digoreskan pada daun rontal melainkan pada kertas Jawa (dluwang) yang digulung menjadi satu. Pengerjaan wayang tersebut selesai pada tahun 1361 M. Wayang beber kemudian berkembang hingga zaman Majapahit akhir. Konon pada saat itu ada putra Prabu Brawijaya yang sangat pandai menggambar hingga hasil gambarnya terkenal dengan nama Sungging Prabangkara. Dia bertugas melengkapi dan membuat pakaian wayang beber yang tertera diatas kertas dengan menggunakan cat yang beraneka warna dan disesuaikan dengan wujud dan tingkatannya. Karya ini selesai pada tahun 1378 M (Heru S Sudjarwo, dkk., 2010: 51).
Namun, berdasarkan catatan Ma Huan, wayang beber Pacitan diperkirakan dibuat pada tahun 1614 tahun Jawa atau 1692 Masehi. Ma Huan adalah seorang pelaut dari cina yang mengiringi perjalanan Laksamana Ceng Ho dalam perjalanannya mengelilingi dunia. Usia tersebut dipadukan dengan salah satu sengkala yang ada pada wayang beber yang berbunyi, “Gawe Srabi Jinamah ing Wong”, yang berarti gawe: 4, Srabi: 1, Jinamah: 6 dan Wong: 1, kalau dibalik dan disusun angkanya menjadi 1614. Melihat penafsiran dari sengkala tersebut maka dapat diambil kesimpulan adanya kesamaan antara catatan ma huan dengan apa yang disampaikan dalam laporan Ma Huan.
Dr.G.A.J.Hazeu pernah menulis mengenai wayang beber yang dipertotonkan di yogyakarta. Tertera dalam Notulen deel XI dari Bat.Gen.van Kunsten en Wetenschappen tahun 1909. Dalam laporannya, dituliskan bahwa wayang beber pacitan dianggap sebagai wayang yang sporadis namun masih sesekali dipertontonkan di Pacitan dan dianggap sebagai benda yang bertuah. Orang-orang yang mempunyai nadzar, kaul dan sebagainya datang kerumah dalang dengan membawa kembang boreh, kemenyan dan barang lainnya yang dianggap perlu. Dalang kemudian diminta untuk membacakan mantra-mantra terhadap sesajen yang dibawa agar keinginan orang yang mempunyai hajat tersebut terkabul.

Pelestarian dan Eksistensi Masa Kini
Sebagai warisan budaya bangsa, sudah seharusnya wayang beber mendapatkan tempat  dalam ranah pelestarian budaya yang sudah harus segera diselamatkan dari kepunahannya. Sudah banyak langkah strategis yang dilakukan oleh banyak pihak untuk melakukan pelestarian wayang beber, agar tetap lestari. Hambatan-hambatan seperti sedikitnya kesadaran publik akan pentingnya mempertahankan eksistensi wayang beber menjadi salah satu hambatan utama dalam proses pelestariannya. Ditambah lagi, proses “kaderisasi” dalang wayang beber yang terkesan eksklusif semakin menambah kesulitan dalam rangka mempertahankan eksistensi wayang beber.
Oleh karena itu, dari paparan singkat mengenai sejarah dan urgensi dari wayang beber itu sendiri, dapat diperoleh beberapa pertanyaan untuk diangkat dan didiskusikan yakni :
1.      Apa langkah strategis yang dapat kita lakukan, dalam rangka menginventarisir wayang beber  agar terhindar dari kepunahaan?
2.      Bagaimana langkah konkrit kita dalam rangka pelestarian wayang beber?
3.      Usulan kebijakan seperti apa yang dapat kita berikan kepada para pembuat kebijakan atau stakeholder dalam rangka penyelamatan warisan budaya kita, wayang beber?

Jumat, 18 Februari 2011

"Kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan"

Sabtu, 12 Februari 2011

"Ketika jalan dan darah bukan lagi jalan perjuangan kata dan cinta merupakan sebuah pendobrak perubahan!!!"
 

Jumat, 11 Februari 2011

Bentrok Ahmadiyah Cikeusik : Negara VS Agama




Oleh : Achmad Fadillah
Mahasiswa Antropologi, FISIP UI




Tantangan terbesar bagi sebuah kelompok mayoritas adalah menjaga toleransi, dan sebaliknya tantangan terbesar bagi sebuah kelompok minoritas adalah mempertahankan hak-haknya sebagai manusia untuk tetap ditegakan”

Konsep mayoritas dan minoritas saat ini kembali jadi soal. Warga Ahmadiyah, yang notabene adalah warga minoritas kembali mendapatkan perlakuan kekerasaan yang tidak manusiawi dari warga mayoritas, yang mengaku sebagai umat “islam”. Hal ini terjadi, dalam sebuah tragedi penyerangan dan kekerasaan yang terjadi di daerah Cikeusik, Kota Pandeglang, Provinsi Banten. Walaupun penulis sendiri adalah seorang yang beragama islam, dalam hemat penulis rasanya tidak  fair jika seseorang yang mengaku beragama islam namun melakukan kekerasaan dan penyerangan yang tidak manusiawi seperti demikian dan agama apapun termasuk agama islam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan kekerasaan seperti demikian.
Aliran Ahmadiyah, walaupun ditetapkan sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan namun seharusnya kita harus tetap  memperhatikan konteks HAM mereka, baik sebagai manusia dan sebagai warga negara minoritas. Tragedi kekerasaan dan penyerangan ini seakan-akan mengingatkan kita kembali, akan catatan hitam bangsa ini dalam sikap kekerasaan dan sikap intoleransi beragama yang dilakukan oleh negara atau oleh kaum mayoritas. Lihat saja data yang diungkapkan oleh Moderate Muslim Society, sebuah lembaga studi dan kajian komprehensif atas kehidupan sosial keagamaan di Indonesia pada tanggal 22 Desember lalu yang melaporkan bahwa pada tahun 2010 saja tercatat 81 kasus intoleransi beragama, separuhnya (49 kasus) terjadi di wilayah yang selama ini memang sering terdengar melalui media sebagai lokasi tindakan kekerasan berlatarbelakang agama yakni Provinsi Jawa Barat khususnya di Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan. Jumlah kasus ini meningkat dari “hanya” 11 kasus di tahun 2009 lalu. Masih menurut MMS melalui ketuanya menyatakan bahwa terdapat dua faktor kenapa eskalasi kekerasan tinggi di Jawa Barat yakni adanya pembiaran oleh negara, dan faktor kedua adalah rendahnya pendidikan toleransi beragama di provinsi ini (Kompas, 22 Desember 2010). Data tersebut, merupakan data yang cukup mencengangkan dan memprihatinkan bagi kita semua. Betapa mudahnya di negara yang mengaku bersemboyan Bhineka Tunggal Ika, atau berbeda - beda namun tetap satu, tindakan intoleransi dan kekerasan atas nama perbedaan sangat sering terjadi. Data tersebut juga diasumsikan dapat bertambah pula, jika melihat bahwa adanya peran negara dalam pembiaraan tindakan intoleransi dan kekerasaan didalamnya. Kebijakan negara yang gamang dalam mengambil sikap, diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan dan sikap intoleransi yang terjadi selama ini.

SKB 3 Menteri : Sebuah Api dalam Sekam
Seperti yang kita ketahui, hukum yang berlaku di negara kita adalah hukum positif. Segala tindakan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur didalamnya termasuk dalam kehidupan beragama. Agama sebagai sebuah kebutuhan rohani, disadari betul oleh para pendiri bangsa ini sebagai sebuah kebutuhan yang tidak dapat tertahankan dan dibatasi oleh apapun.  Oleh karena itu, hal tersebut diimplementasikan dalam konstitusi UUD 1945 pasal 29  tentang kebebasan berkeyakinan dan beragama. Sudah barang hal yang wajar, isi Undang-Undang tersebut pula harus diinstrumentasikan pemerintah dalam menjaga kebebasaan tersebut tetap dalam koridornya. Koridor kebebasaan beragama disini berarti, kebebasaan itu tidak seenaknya yakni dengan tetap memperhatikan batasan-batasan kebebasan sehingga kerukunan antar umat beragama tetap terjaga.
Ajaran Ahmadiyah, yang inti ajarannya dianggap sesat dan menyesatkan sudah lama menjadi bahan perdebataan mengenai bagaimana cara penyikapannya dalam masyarakat. Menjadi sebuah polemik, ketika penyikapan tersebut diharapkan dapat mampu memuaskan semua pihak khusunya umat islam secara mayoritas dan warga ahmadiyah itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, dibutuhkan sebuah penengah dan juri yang mampu memberikan solusi konkrit akan keberadaan ajaran Ahmadiyah ini ditengah-tengah masyarakat. Harapan besar sebagai penengah dan juri akan polemik tersebut pada akhirnya dialamatkan pada negara sebagai “penanggung” amanat konstitusi. Negara, sebagai penanggung amanat konstitusi diharapkan mampu menengahi masalah Ahmadiyah tersebut. Namun ternyata harapan yang ada pada masyarakat untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah tidak terlalu banyak direalisasikan oleh negara. Negara seakan-akan gamang membuat keputusan, hal ini terbukti dari isi SKB 3 menteri yang isinya banyak yang multi tafsir atau ambigu. Sehingga bukannya menyelesaikan masalah, tetapi malah menimbulkan masalah baru yang rawan akan konflik. Hal ini juga diperparah dengan sosialisasi SKB 3 menteri yang sangat kurang dilakukan oleh negara, sehingga SKB 3 menteri tersebut banyak yang mentafsirkan secara sepihak sehingga seakan-akan melegitimasi dan memberikan ruang bagi golongan radikal untuk berbuat kekerasaan. Pemberian ruang bagi kaum radikal untuk berbuat kekerasaan, secara keras dapat diasumsikan lebih lanjut sebagai “genosida” yang secara halus “direstui” oleh negara. Menurut sebuah Lembaga Swadaya Pemerintah (LSM) yang bergerak dibidang pemeliharaan kerukunan antar umat beragama yakni, Karuna Center for Peacebuilding terdapat beberapa tingkatan intoleransi yakni; a) Restriction atau penolakan atas status dan akses terhadap suatu kelompok; b) De-humanization atau merendahkan kelompok agama lain; c) Opression atau pengabaian hak-hak sipil, politik, dan ekonomi; d) Act of Aggresion atau penyerangan secara fisik; dan e) Mass Violence atau pengorganisasian dalam skala besar untuk melakukan kekerasan massal (Zuhairi dalam Kompas 21 Desember 2010). Jika semua tingkatan itu sudah nyata-nyata terjadi maka level berikutnya adalah pembunuhan secara fisik pada kelompok atau orang yang tidak disukai untuk berada dalam suatu wilayah maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa genosida hanya  menunggu waktu jika negara tetap tak melakukan apa-apa. Sebuah ironi yang sungguh menyesakkan di era demokrasi ini.
Pada akhirnya, semoga ketidakefektifan SKB 3 menteri dalam polemik  dan bentrokan Ahmadiyah dimanapun itu seharusnya menjadi sebuah pelajaran bagi pemerintah atau negara untuk belajar dalam membuat kebijakan yang lebih win-win solution­, tidak “impoten” dalam penerapannya sehingga pemerintah tidak lagi menyalakan api dalam sekam yang dapat menyulut pertikaian, dendam dan permusuhan  yang tidak membawa manfaat apapun bagi kemajuan persatuan dan kerukanan bangsa.