Jumat, 16 Januari 2015

Kekerasan dan Kungkungan Identitas

Kekerasan dan Kungkungan Identitas:
Sebuah Catatan Tepi
          
 Kekerasan yang terkait dengan konflik identitas tampaknya terus terjadi dan meningkat belakangan ini. Belum hilang dari ingatan kita bersama, kejadian yang menimpa majalah satir Prancis charlie hebdo yang menewaskan 12 orang termasuk 2 orang polisi didalamnya. Jika melihat lebih kebelakang dengan konteks yang lebih lokal, tentunya kita belum lupa dengan kejadian pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik, pengusiran Syiah di Sampang, kerusuhan di Ambon, Poso, Sambas, Sampit dan banyak kejadian lainnya. Kejadian-kejadian tersebut, tentunya mengingatkan kita bersama tentang betapa mengerikannya konflik dengan balutan identitas di dalamnya. Identitas yang seharusnya dapat dijadikan sebagai sumber kebanggaan, kebahagiaan, tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri sebuah kelompok pada akhirnya dapat pula memicu pembunuhan-pembunuhan mengerikan diluar batas nalar dan kemanusiaan. Melihat fenomena-fenomena kekerasan dengan balutan identitas tersebut, tentunya timbul sebuah pertanyaan mengenai apa penyebab secara umum dari timbulnya kekerasan-kekerasan berbasis identitas tersebut. Selain mencari penyebabnya secara umum, timbul pula pertanyaan lain mengenai bagaimanakah kemudian penawar dari konflik-konflik identitas tersebut di era masyarakat majemuk dan global seperti saat ini. Sebelum saya mendiskusikannya lebih lanjut, saya ingin terlebih dahulu mendiskusikan mengenai identitas dan masyarakat majemuk itu sendiri.       

 Identitas dan Masyarakat Majemuk
 Dalam khazanah ilmu-ilmu sosial, pembahasan mengenai identitas tentunya sudah menjadi hal yang umum dibahas oleh ilmuan-ilmuan sosial. Mulai dari pembahasan-pembahasan yang tingkatannya umum mengenai solidaritas dalam kelompok, hingga pada pembahasan mengenai hubungan antar identitas dan modal sosial di dalamnya. Identitas memberikan gagasan tentang siapakah “kita” dan bagaimana secara aktif berhubungan dengan “mereka yang bukan kita”. Identitas terbentuk karena adanya hubungan posisional antara “kita” dan “bukan kita” dalam situasi sosial dan situasi kebudayaan. Identitas terbentuk bersamaan dengan relasi dan posisi identitas lainnya (Woodward, 1997:14). Identitas dapat diaktifkan dan dimatikan secara situasional tergantung pada kebutuhan seseorang saat menghadapi konteks sosial dan realita yang dihadapinya. Identitas juga berkaitan dengan beberapa hal yakni: adanya persamaan dan perbedaan, bagaimana subjek melihat dirinya sendiri dalam suatu representasi, bagaimana subjek dan menempatkan perbedaan representasinya dengan representasi subjek lain, serta adanya hubungan dari ketidaksamaan representasi tersebut (Heterington, 1998 :15). Dalam memahami mengenai identitas, ilmuan-ilmuan sosial sendiri kemudian membagi kembali dimensi-dimensi dalam identitas termasuk hubungan antar kelompok yang berbeda identitas dengan konsep lain seperti, kelompok ras, kelompok gender, kelompok politik, kelompok religi, etnik (sukubangsa), stereotipe, integrasi, asimilasi, akulturasi dan konsep-konsep lainnya. Dalam kajian-kajian yang lebih empirik, konsep-konsep mengenai identitas tersebut dapat dikaji dinamikanya dalam sebuah lanskap sosial yang disebut sebagai masyarakat majemuk.
         
Masyarakat majemuk atau plural society dikatakan oleh Furnivall sebagai “sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih tatanan sosial yang hidup bersama dalam sebuah kesatuan politik, namun tanpa berbaur” (Furnivall, 1976 : 446). Penjelasan Furnivall ini terlihat jelas menekankan pada determinisme secara satuan politik (wilayah kota atau provinsi) bahwa ada beberapa tatanan sosial yang hidup secara bersama namun tanpa berbaur. Berbeda dengan Furnivall yang melihat masyarakat majemuk dengan menggunakan determinisme satuan politik, Barth (dalam Kottak, 2002:94) lebih memilih menggunakan determinisme ekonomi dalam melihat masyarakat majemuk atau plural. Bagi Barth, masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok etnik yang berbeda, masing-masing punya spesialisasi ekonomi dan garapan lingkungan ekonomi yang berbeda, seterusnya masing-masing kelompok saling tergantung secara ekonomi. Tidak ada kompetisi antar kelompok dalam bidang ekonomi, yang ada adalah saling tergantung dan pertukaran.
     
 Dari penjelasan-penjelasan diatas, setidaknya kita dapat mengambil beberapa kesimpulan mengenai identitas dan masyarakat majemuk. Pertama, identitas merupakan hal yang cair dan situasional. Kedua, setiap orang baik sebagai individu maupun sebagai person memiliki dimensi identitas yang tidak tunggal. Misalnya saja, pada satu saat yang sama anda dapat menjadi seorang yang memiliki sukubangsa Tionghoa dan beragama Islam atau anda merupakan bagian dari sukubangsa Sunda dan juga seorang buruh. Ketiga, kita harus memahami bahwa identitas hanya dapat hidup dalam sebuah lanskap sosial yang dinamis yang disebut sebagai masyarakat majemuk. Mengapa demikian? Karena untuk mengaktifkan identitas (yang didasarkan pada persamaan-persamaan) seseorang atau kelompok perlu mendapatkan stimulus ‘perbedaan’ dari luar orang atau kelompok tersebut.
                    
Kekerasan dan ‘Benturan Peradaban’
Para pemikir ilmu-ilmu sosial abad 21, tentu tidak asing dengan tesis Huntington (1996) dalam bukunya The Clash of Civilation and the Remaking of World Order mengenai perbenturan peradaban. Tesis tersebut, di samping memiliki pengaruh yang cukup besar bagi para ilmuan sosial untuk mengafirmasi pemikirannya mengenai keberadaan perbenturan peradaban, tesis tersebut juga tidak lepas dari banyak kritik yang mencoba membantah kebenaran dari tesis Huntington tersebut. Salah satu kritik yang cukup keras mengenai tesis perbenturan peradaban tersebut dilontarkan oleh seorang ekonom dan filsuf kenamaan Amartya Sen melalui bukunya Identity and Violance: The Illusion of Destiny (2006). Dalam bukunya, Amartya Sen memaparkan setidaknya ada dua kesalahan besar dalam tesis perbenturan peradaban yang dikemukakan oleh Huntington. Pertama, tesis ini mereduksi identitas menjadi kategorisasi yang bersifat tunggal tanpa melihat relasi seseorang dengan identitas lain dalam dirinya. Kedua, tesis ini terlalu serampangan memberikan karakterisasi pada sebuah peradabaan dengan mengeneralisir dan melihat sebuah peradaban dengan suatu hal yang sifatnya homogen.
      
Lantas apa relevansi tesis perbenturan peradaban Huntington ini dengan kekerasan berbalut identitas yang terjadi akhir-akhir ini? Jika kita menilik lebih jauh, tesis perbenturan peradaban ini lahir dari akar pemikiran oposisi biner yang dihasilkan oleh pemikiran-pemikiran postkolonial khususnya pemikiran para orientalis (lihat Said, 1978). Dalam kerangka pemikiran oposisi biner ini, para orientalis melihat dan mendefinisikan dunia menjadi dua macam kategori peradaban yang berbeda yakni ‘Timur’ dan ‘Barat’. Pembedaan dan kategorisasi inilah yang kemudian secara tidak langsung juga membentuk persepsi dan anggapan mengenai kategorisasi tunggal sebuah peradaban dan menimbulkan ilusi ketunggalan sebuah identitas.
         
Dalam konteks masyarakat majemuk yang semakin lama makin mengglobal seperti saat ini, ilusi akan ketunggalan identitas tentunya merupakan hal yang sangat berbahaya. Masyarakat dunia makin mendikotomikan dirinya dalam federasi-federasi identitas tunggal tanpa melihat identitas lainnya dalam dirinya. Keterkungkungan identitas akan ilusi identitas tunggal tersebut kemudian yang menjadi penyebab utama banyaknya kekerasan-kekerasan dengan balutan identitas terjadi. Masyarakat dunia semakin ‘tidak ramah’ terhadap perbedaan-perbedaan identitas apalagi jika terjadi kompetisi (baik kompetisi sumber daya maupun simbolik) antar identitas yang memiliki karakteristik berbeda. Lantas, pertanyaannya kemudian adalah, bagaimanakah masyarakat dunia mencari penawar dari kungkungan ilusi tunggal identitas dan membebaskan diri dari federasi-federasi tunggal identitas yang memerangkap dirinya?

 Sebuah Penawar: Meretas Jalan Multikulturalisme
Dalam era global seperti saat ini tentunya keberadaan masyarakat majemuk merupakan keniscayaan yang pasti akan terjadi. Besarnya migrasi manusia antar wilayah (benua/negara) menyebabkan terjadinya kontak antar kebudayaan yang berbeda. Masyarakat dunia saat ini dihadapkan pada situasi harus hidup berdampingan dengan tradisi dan gaya hidup yang berbeda. Dalam situasi tersebut, kemudian timbul sebuah ide (atau dapat dikatakan ideologi) mengenai gagasan yang mengagungkan perbedaan budaya dan mengakui bahkan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Ide atau gagasan tersebut dikenal sebagai gagasan multikulturalisme. Ide multikulturalisme dijelaskan oleh Kottak, “Multiculturalism seeks ways for people to understand and interact that don’t depend on sameness but on respect for diversity. Multiculturalism asssumes that each group has something to offer and to learn from the others” (Kottak 2002: 95). Dalam kaitannya dengan kekerasan berbalut identitas, dalam hemat saya ide atau gagasan ini dapat menjadi penawar dalam membebaskan diri dan kelompok identitas dari ilusi tentang ketunggalan identitas. Ide multikulturalisme yang memberikan kesempatan bagi identitas (dan gaya hidup) yang berbeda untuk hidup tentunya merupakan penawar bagi ilusi ketunggalan identitas yang hidup dan dibangun berdasarkan atas pemikiran oposisi-oposisi biner postkolonial. Pertanyaan selanjutnya adalah, jika ide atau gagasan tersebut sudah ada lantas bagaimanakah mengartikulasikan ide-ide tersebut menjadi sebuah praksis yang dapat diterapkan oleh masyarakat dunia?
          
Dalam konteks lokal (Indonesia), tentunya ide mengenai multikulturalisme ini dapat diterapkan melalui kebijakan-kebijakan politik identitas. Secara ideologi politik, Indonesia sudah memiliki dasar landasan bagi kebijakan politik multikulturalisme ini melalui nilai-nilai pancasila dan semboyan kebangsaan Bhinneka Tunggal Eka. Melalui dasar falsafah dan semboyan bangsa tersebut tentunya negara dapat mendorong gagasan multikulturalisme diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya saja dalam pendidikan kewarganegaraan,penegakan aturan hukum (termasuk pemberantasan KKN), dan propaganda-propaganda sosial yang menyerukan kesetaraan masyarakat tanpa harus membeda-bedakan warna kulit, agama, ras, maupun kelompok gender. Dalam konteks yang lebih global, dalam hemat saya yang perlu dilakukan oleh warga dunia adalah dengan mengedepankan rasionalitas dan nalar sebagai manusia tentang kesetaraan. Warga dunia perlu memahami mengenai kesetaraan dan menghargai perbedaan yang ada. Tampak normatif memang, namun hal tersebut merupakan sebuah proses belajar yang panjang untuk membebaskan diri dari kungkungan ilusi ketunggalan identitas menuju masyarakat dunia yang harmonis (tanpa kekerasan?). Mungkinkah? Semoga.
                      









Minggu, 04 Januari 2015

Mentalitas dan Keselamatan Penerbangan

             Mentalitas dan Keselamatan Penerbangan

The Sky is Vast But There is No Room for Error
-STPI Motto-


 Dalam sebuah industri yang penuh resiko seperti industri transportasi penerbangan, keselamatan merupakan modal utama dalam menjalankan industri tersebut. Faktor keselamatan dalam industri transportasi penerbangan, tentunya berkaitan dengan masalah regulasi yang sifatnya rigid dan presisi yang berusaha untuk menutup celah kemungkinan kesalahan di dalamnya. Pengabaian akan regulasi tersebut tentunya dapat berakibat fatal, mulai dari kesalahan teknis ringan seperti kerusakan mesin, hingga pada kesalahan berat yang mengakibatkan kematian dan atau korban jiwa.

Hal tersebut, yang tentunya dapat diambil pelajarannya dari kejadian musibah hilangnya pesawat AirAsia QZ8501 tujuan Surabaya-Singapura yang hilang Minggu (28/12) pagi lalu. Mungkin terlalu dini jika kita menyimpulkan penyebab utama (jatuh) hilangnya pesawat AirAsia QZ8501, namun berdasarkan kabar yang berkembang di media tentunya kita sudah dapat mengetahui bahwa ada beberapa pengabaian regulasi yang dilakukan dibalik (jatuh) menghilangnya pesawat AirAsia QZ8501. Pertama, perlu diketahui bahwa ternyata pesawat AirAsia tujuan Surabaya-Singapura tidak memiliki izin untuk melakukan penerbangan pada hari Minggu. 

 Jika menengok izin yang diberikan oleh Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub dengan nomor  AU. 008/30/6/DRJU.DAU.2014 tertanggal 24 Oktober 2014, seharusnya maskapai AirAsia hanya dapat melakukan penerbangan pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Lantas, siapakah yang memberikan izin pesawat AirAsia QZ8501 untuk terbang pada hari Minggu pagi tersebut? Tentunya pelanggaran perizinan penerbangan merupakan hal yang cukup serius terlepas terjadi kecelakan atau tidak kemudian. Kedua, jika membahas secara spesifik mengenai hipotesis jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, kabar yang berkembang adalah pesawat AirAsia QZ8501 jatuh karena masalah cuaca buruk. Bukan bermaksud untuk mengesampingkan ‘kuasa tuhan’, namun yang menjadi pertanyaan adalah “apakah sang pilot telah sebelumnya mengetahui medan terbang yang akan dilaluinya tengah mengalami cuaca buruk?”. 

Dalam standar penerbangan komersial secara umum (CASR), tentunya setiap pilot tahu bahwa ada prosedur bahwa mereka harus terlebih dahulu mempelajari kondisi medan penerbangan yang akan dilewatinya sebelum terbang. Jika mengacu pada CASR (Commercial Aviation Safety Regulations) nomor 91 dan 121, setiap pilot sebelum terbang diharuskan mengetahui kondisi cuaca melalui forecasting dari BMKG dibawah arahan dari FOO (Flight Operation Officer) secara langsung. Dalam kasus AirAsia QZ8501, diketahui ternyata sang-pilot tidak mendapatkan forecasting dari BMKG secara langsung. Sang-pilot hanya mendapatkan petunjuk cuaca melalui informasi yang di-download, tanpa adanya arahan dari FOO secara langsung. Tentunya, kedua hal diatas kemudian dapat diduga menjadi penyebab awal bencana yang meinmpa pesawat AirAsia QZ850. 

Terlepas dari dua hal teknis diatas, sebagai orang awam dalam hal penerbangan saya melihat ada hal yang lebih jauh dibandingkan pada hal-hal teknis tersebut, yakni soal mentalitas. Mengutip Koentjaraningrat (1974),  mentalitas sendiri merupakan totalitas produk akal dan nurani sehat manusia yang bernilai dan bermanfaat. Mentalitas juga berkaitan dengan sikap kerja (ethos) yang mendasari bagaimana sebuah kebudayaan memandang sebuah proses kerja dan hasil dari pekerjaan tersebut.Masih mengutip Koentjaraningrat (1974), menurutnya bangsa Indonesia selain memiliki sikap-sikap mentalitas yang positif namun juga memiliki sikap-sikap mentalitas negatif seperti; suka   meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan   tanggungjawab yang kokoh.

Sikap-sikap mentalitas bangsa Indonesia menurut Koentjaraningrat (1974) diatas tentunya tidak dapat digeneralisir secara umum bagi seluruh bangsa Indonesia, namun jika kita mengacu pada kejadian yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501, agaknya sikap mentalitas negatif diatas memiliki kaitan yang cukup erat. Sikap maskapai AirAsia yang menerabas ‘jadwal’ penerbangan pada hari Minggu mencerminkan dari sikap mentalitas negatif yang suka menerabas aturan dan tidak bertanggungjawab. Sikap tidak mematuhi SOP mengenai forecasting BMKG dan direct advices dari FOO juga merupakan tindakan yang memiliki mentalitas negatif yang meremehkan mutu dan tidak memiliki disiplin murni.Sikap meremehkan mutu ini, bahkan bukan hanya dilakukan oleh jajaran teknis maskapai saat kejadian namun juga oleh pihak manajerial. Hal ini terlihat dari peristiwa ‘didampratnya’ salah satu Direktur AirAsia oleh Menteri Perhubungan dalam sebuah inspeksi mendadak dan diketahui bahwa ada anggapan bahwa mengambil informasi forecasting secara fisik dari BMKG merupakan hal yang sudah ‘tradisional’.

Dari sikap mentalitas negatif tersebut, tentunya kita perlu berkontemplasi kembali mengenai mahalnya harga sebuah keselamatan dibalik ‘keuntungan’ yang ingin diraup dalam sebuah industri termasuk industri penerbangan. Sikap dan orientasi yang menginginkan keuntungan besar tanpa disertai dengan mentalitas kerja yang positif dapat meyebabkan bencana bahkan hingga menimbulkan korban jiwa. Semoga kejadian ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pembangunan fisik tidak akan berarti jika tidak disertai dengan pembangunan mentalitas insan-insan yang terlibat di dalamnya. Semoga.