Rabu, 31 Oktober 2012

Kerusakan Taman Nasional Danau Sentarum dan Penyelamatan Kolaboratif


Kerusakan Taman Nasional Danau Sentarum dan Penyelamatan Kolaboratif

Kasus yang saya angkat untuk menjawab mengenai kasus pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang menyebabkan kerusakan kondisi ekosistem saya mengambil contoh pada kasus kerusakan taman nasional danau sentarum, di Propinsi Kalimantan Barat. Taman Nasioanl Danau Sentarum (TNDS), menurut  data yang saya dapatkan dari situs resmi Departemen Kehutanan RI[1],  merupakan sebuah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam.Danau itu adalah celengan air raksasa. Di musim hujan, Sentarum menabung 25 persen air Sungai Kapuas. Saat kemarau, Sentarum memasok separuh air yang mengaliri Kapuas. 
Luas seluruh kawasan Danau Sentarum 132.000 ha ditambah dengan 64.000 ha yang diusulkan sebagai daerah penyangga. Sekitar 20 ha merupakan danau musiman yang menjadi penutup daerah seluas 30.500 ha, sisanya merupakan hutan rawa gambut. Danau Sentarum merupakan daerah retensi/luapan banjir (retarding basin)dari Sungai Kapuas yang merupakan daerah tangkapan air dan sekaligus sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Dengan demikian, daerah-daerah yang terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di danau tersebut. Danau Sentarum merupakan komplek danau-danau, lebih dari dua puluh buah danau secara alami bertindak sebagai reservoar. Luapan banjirnya yang melanda bentang Sungai Kapuas secara otomatis akan tertampung di sini. Saat itulah limpahan airnya menggenangi hutan rawa air tawar primer yang ada di kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum.
Adapun hal yang menjadi penyebab kerusakan TNDS, mayoritas  adalah maraknya penebangan kayu ilegal. Kerusakan ekosistem Taman Nasional Danau Sentarum, kini semakin parah. Kondisi ini disebabkan karena adanya pembukaan lahan secara besar-besaran untuk 15 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan penangkapan ikan secara berlebihan di danau tersebut.
Akibat pembukaan lahan oleh perkebunan-perkebunan besar ini, terjadi degradasi lingkungan di sekitar TNDS. Daerah yang sudah telanjur dibuka tidak ditanami, bahkan ditinggalkan. Perubahan yang terjadi di TNDS itu juga berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas air danau yang menjadi konservasi lahan basah internasional. Padahal keberadaan Danau Sentarum memiliki keterkaitan dan tidak bisa dilepaskan dengan ekosistem Sungai Kapuas. Danau itu terbentuk akibat terjadinya meander and oxbow lake atau perluasan dari dataran banjir. Misalnya, danau ini menampung kelebihan air Sungai Kapuas pada musim banjir dan mengisi kembali ke alur Sungai Kapuas pada musim kemarau.
  
 Kerusakan TNDS : Dari Politics Of Unsustainability hingga Sebuah Pilihan Rasional

Kerusakan pada TNDS, dapat kita lihat sebagai sebuah kerusakan yang mayoritas dilakukan oleh manusia. Kerusakan-kerusakan tersebut, salah satunya disebabkan oleh tidak jelasnya peranan pemerintah tentang bagaimana regulasi untuk melindungi kawasan TNDS. Otoritas pengelolaan taman nasional idealnya mengacu pada Menteri Kehutanan (Lihat Peraturan Menteri Kehutanan No.P19/Menhut- II/2004). Akan tetapi pemerintah pusat belum berhasil membentuk mekanisme pengelolaan taman nasional yang efektif. Sebaliknya dalam era desentralisasi ini, pemerintah kabupaten mengharapkan pemerintah pusat menyerahkan sebagian urusan pengelolaan taman nasional kepada pemerintah kabupaten untuk secara bersama-sama mengelola taman nasional, dengan pembagian wewenang, peran dan fungsi antara pemerintah pusat, dan kabupaten.
Ketidakjelasan akan regulasi atau aturan yang menjadi payung dalam pengelolaan TNDS ini antara regulasi pusat dan daerah yang kemudian menyebabkan apa yang disebut sebagai Politics Of Unsustainability[2]. Politics Of Unsustainability, didefiniskan oleh Shoreman, Elanor E., & Nore Haenn (2009), dalam tulisannya “Regulation, Conservation, and Collaboration : Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” sebagai sebuah keadaan non ekologis (sosial, politik, hukum, ekonomi, kultural ) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis (lingkungan primer, alam). Selain, ketidakjelasan aturan (secara politis) yang disebabkan oleh tumpang tindihnya aturan antara pemerintah lokal dan pusat, keadaan non ekologis lain yang menyebabkan buruknya keadaan ekologis pada TNDS adalah keadaan sosial dan ekonomi yang menunjang kerusakan TNDS.
            Dari data yang berhasil saya himpun, salah satu  penyebab kerusakan terbesar dari TNDS adalah salah satunya kegiatan ekonomi yakni pembukaan lahan oleh beberapa perusahaan untuk kepentingan lahan kelapa sawit . Salah satu perusahaan, yang mendapatkan konsesi pembukaan lahan bagi 7 anak perusahaannya yakni perusahaan PT Sinar Mas[3]. Pembukaan dan penanaman kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Sinar Mas dan perusahaan lainnya akan dapat merusak flora, fauna, dan habitat lain di wilayah TNDS. Selain kerusakan yang disebabkan karena kondisi ekonomi yakni pembukaan lahan kelapa sawit, faktor non ekologis lain yang merusak salah satunya adalah faktor sosial. Faktor sosial yang saya maksudkan disini adalah kebiasaan dari masyarakat sekitar TNDS untuk membuat keramba ikan dan menebang kayu di kawasan TNDS.
            Harus kita ketahui bersama sebelumnya, ada dua suku, yaitu Melayu dan Dayak
Iban, yang berdiam di dalam TNDS. Kedua suku tersebut merupakan penduduk asli karena sebagian besar suku Melayu keturunan dari suku Dayak[4]. Total jumlah penduduk yang tinggal dalam kawasan ini diperkirakan pada saat ini antara 10 sampai dengan 11 ribu jiwa , yang tersebar dalam 40 kampung. Jumlah masyarakat yang cukup banyak yang bergantung pada TNDS juga memiliki banyak dampak, salah satunya kerusakan alam yang disebabkan karena penggunaan keramba ikan yang dilakukan secara sembarangan dan penebangan pohon  yang dilakukan secara berlebihan oleh masyarakat lokal. Politics Of Unsustainability, atau faktor non ekologis yang buruk secara ekonomi dan sosial tersebutlah yang saya lihat sebagai beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan di TNDS. Lantas, kemudian yang menjadi pertanyaan saya adalah, mengapa Politics Of Unsustainability dari faktor ekonomi dan sosial itu dapat terjadi dan dapat menyebabkan kerusakan alam di TNDS?
            Salah satu hal, yang menurut saya dapat menjawab mengapa Politics Of Unsustainability dengan faktor politik, sosial dan ekonomi itu terjadi karena adanya pemikiran atau prinsip pilihan rasional baik pada pemerintah, masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. Sebelumnya, prinsip rasionalitas jika mengacu pada tulisan John W. Bannet[5] (1980), dalam Human Ecology as Human Behaviour dijelaskan sebagai sebuah proses mengenai bagaimana manusia memiliki pemikiran dan atau pendekatan pilihan rasional dalam kaitannya dengan lingkungan dan pemanfaatannya. Pendekatan pilihan rasional sendiri merupakan sebuah bentuk pendekatan  yang mengacu pada rasionalitas (akal sehat), dimana pada intinya pendekatan ini selalu melihat optimalisasi dari kepentingan manusia dan peningkatan pada efisiensi kerja.
            Optimalisasi dari kepentingan manusia dan efisensi inilah yang harusnya kita garis bawahi dalam rangka melihat Politics Of Unsustainability, dari faktor politik ekonomi dan sosial sebagai variabel yang menyebabkan kerusakan di TNDS. Optimalisasi keuntungan secara politik yang ingin dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah juga keuntungan ekonomi dan sosial yang berlebihaan tanpa melihat dampak yang ditimbulkan (dalam rangka efisiensi), inilah yang kemudian menyebabkan kerusakan alam di TNDS. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, solusi apa yang dapat dilakukan khususnya oleh para antropolog untuk mengurangi dampak kerusakan alam TNDS, yang disebabkan oleh Politics Of Unsustainability faktor sosial ekonomi yang didasarkan atas pemikiran rasional manusia?
Penyelamatan Kolaboratif : Sebuah Solusi Antropologis Penyelamatan TNDS
Politics Of Unsustainability dengan faktor politik, sosial dan ekonomi yang menjadi masalah dalam kerusakan TNDS, sudah seharusnya segera mendapatkan solusi yang tepat dalam mengatasinya. Sebagai seorang antropolog yang memiliki pendekatan secara holistik sudah seharusnya kita melihat solusi dari sebuah masalah secara holistik pula, salah satu cara dalam memecahkan masalah secara holistik salah satunya adalah dengan cara solusi yang kolaboratif dalam hal ini lebih tepatnya penyelamatan yang kolaboratif. Penyelamatan kolaboratif, menurut Peraturan Menteri Kehutanan P.19/2004 merupakan sebuah tindakan penyelamatan dengan mempertimbangkan keterlibatan dari banyak pihak yang memiliki kepentingan atas sebuah objek atau sumber daya tersebut. Lain halnya dengan apa yang dijelaskan oleh Moseley, C. (2003[6]). Menurtunya, pendekatan penyelamatn kolaboratif merupakan proses dimana pihak yang berlatar belakang plural berunding dan bereskperimen untuk mendefinisikan prioritas, mengembangkan solusi termasuk hubungan masing-masing pihak terhadap pengelolaan sumber daya alam. Mengikuti pola pikir dari Moseley kemudian, hal pertama yang kita lakukan dalam penyelamatan kolaboratif adalah mendefinisikan prioritas pihak-pihak yang berkepentingan, atau kemudian yang disebut sebagai analaisis pemangku kepentingan.
Dalam analisis pemangku kepentingan, perlu dipetakan kemudian kepentingan-kepentingan, solusi dan hambatan apa sajakah yang ada dilapangan. Mapping dalam analisis pemangku kepentingan ini pula penting halnya khususnya dalam menghindari konflik dalam usaha penyelamatan TNDS. Setelah melakukan analisis kepentingan pihak-pihak yang terkait, masih mengikuti pola pikir Moseley, langkah selanjutnya adalah dengan cara menciptakan komunikasi dan partisipasi dari setiap pihak yang berkepentingan dalam hal ini saya melihat yang harus terlibat dengan intens adalah pihak pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, dan pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan secara ekonomi seperti PT Sinar Mas, sebagai pemegang konsesi pembukaan lahan kelapa sawit.
Proses komunikasi yang dilakukan perlu memberikan sebuah hasil belajar yang dapat memberikan solusi yang kolaboratif terhadap pemecahan kerusakan TNDS. Secara umum, saya mengusulkan proses komunikasi pihak-pihak yang terkait seperti skema di bawah ini





Setelah melakukan proses analisis kepentingan, lalu melakukan proses komunikasi yang melibatkan partisipasi dan proses belajar didalamnya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam sebuah penyelamatan kolaboratif menurut Moseley adalah melakukan evaluasi pelaksanaan yang kemudian dijadikan bahan dalam melihat faktor pendukung dan penghambat dalam proses penyelamatan kolaboratif tersebut.

Kesimpulan

Kerusakan TNDS, merupakan kerusakan yang dominan terjadi karena pengaruh manusia. Faktor Politics Of Unsustainability atau keadaan non ekologis (dalam kasus kerusakan TNDS yakni faktor sosial, ekonomi) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis menjadi penyebab utama dari dituding menjadi penyebab utama kerusakan TNDS. Pola pikir rasionalitas yang mengedepankan pencarian keuntungan sebesar-besarnya dengan efisiensi yang besar turut serta menjadi faktor pendorong dalam merusak alam TNDS. Pola Penyelamatan yang holistik, yakni penyelamatan kolaboratif perlu segera dilakukan dalam menyelesaikan kerusakan alam di TNDS. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam penyelamatan kolaboratif antara lain (1) Analisis pemangku kepentingan (2) menciptakan proses belajar komunikasi dan partisipasi dalam rangka penyelamatan (3) Melakukan evaluasi terhadap faktor penghambat dan pendukung proses penyelamatan yang kolaboratif.
Pada akhirnya setelah langka-langah itu dilakukan diharapkan TNDS, dapat diselamatkan dengan win-win solution, dengan selalu mengedepankan usaha dalam rangka memperbaiki alam untuk masa depan anak-cucu kita.











Daftar Pustaka

Bennet, J.W (1980)
“Human Ecology as Human Behaviour : A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”. Hal 243-278

Moseley, C. (2003)

“Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.

Shoreman, Eleanor (2009)

“Regulation, Collaboration, and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 .90-107.


Referensi Internet :
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_sentarum.htm  dikutip pada tanggal 28 Oktober 2012, pukul 15.30

http://www.walhi.or.id/ dikutip pada tanggal 28 Oktober 2012, pukul 16.00


http://pariwisata.kapuashulukab.go.id/page/cagar_budaya.html dikutip pada tanggal 28 Otober 2012, pukul 20.24





[2] Diintisari dari : Shoreman, Eleanor. “Regulation, Collaboration, and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 (2009): 90-107.
[5] Dikutip dari :  Bennet, J.W (1980) “Human Ecology as Human Behaviour : A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”. Hal 243-278
[6] Moseley, C. 2003. “Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.

Belajar dari Konflik Tanah Mesuji : Tanah Pemodal atau Tanah Rakyat?


Belajar dari Konflik Tanah Mesuji :
Tanah Pemodal atau Tanah Rakyat?

Tanah, semenjak dahulu sudah menjadi salah satu medan konflik yang abadi. Semenjak masa pra kolonial hingga sekarang sudah banyak konflik yang mengatasnamakan tanah yang menjadi medan konfliknya. Belakangan ini semenjak kehancuran ekonomi pasca tahun 1997, kita sering mendengar adanya “bualan” mengenai pentingnya investasi asing untuk mendukung ketahanan ekonomi negara. Lahan-lahan harus dibuka, sebagai konsekuensi dari penanaman modal asing di Indonesia. Orientasi sebagai “budak” modal asing pun sudah merangsek hingga pada UU yang dibuat oleh para wakil rakyat, salah satunya yakni UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, dimana prinsip non diskriminasi antara kedudukan pemodal asing dan pemodal dalam negeri baik perusahaan dan perseorangan menjadi sama. Sebuah aturan yang cukup mengecewakan ketika kita harus kembali mengingat perjuangan para nenek moyang kita dalam melawan kekuataan asing (kolonialisme), namun kita dengan mudahnya menerima hal tersebut walaupun muncul dengan “jubah-jubah” barunya.
Dalam situasi intervensi modal asing tersebut, agaknya pemerintahan Indonesia dibawa rezim SBY memilih untuk “menyerah” dan membuka dirinya terhadap modal-modal asing yang merangsek masuk. Salah satu contoh dari menyerahnya rezim SBY, terhadap modal-modal asing yang masuk adalah dengan disetujuinya  program MP3EI  (Master Plan Economic), yang membagi banyaknya wilayah tanah “kosong” untuk dieksploitasi modal asing. Sebanyak 6 wilayah yang dinilai kosong dan kurang produktif, dibagi-bagikan layaknya kue untuk ditanami dengan modal-modal asing dan dijadikannya sebagai sebuah penguasaan akan aset. Sepertinya pemerintah tidak sadar, bahwa apa yang menurut mereka kurang produktif dan “kosong” inilah sebenarnya merupakan rumah dan kehidupan bagi banyak masyarakat khsusunya masyarakat adat kita.

Konflik-Konflik Tanah dan Ekspansi Kelapa Sawit

Program pemerintah yakni MP3EI, merupakan salah satu program yang dimana memiliki 22 sektor ekonomi andalannya, yang salah satunya adalah produksi  Crude Palm Oil (CPO) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan produksi CPO tentunya berbanding lurus dengan peningkatan luasan dari perkebunan sawit itu sendiri. Dari data yang saya dapatkan dari Direktorat Jendral Perkebunan  (2012) menunjukan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah sebesar 8,1 Juta Hektare. Berbeda dengan data yang disampaikan oleh Direktorat Jendral Perkebunan, menurut sawit watch(2012)  jumlah lahan yang digunakan untuk lahan perkebunan sawit adalah lebih luas yakni sebesar 11,5 juta hektar. Selain data tersebut data menarik lainnya adalah mengenai data yang diungkapkan oleh Hendrajat Natawidjaya (2012) Ditjen Perkebunan pada Kementrian Pertanian yang menyampaikan pada sebuah rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak pada tanggal 25 Januari 2012  .
Ia menyebutkan bahwa sekitar 59 persen dari 1000 perusahaan sawit  di wilayah Indonesia terkait masalah sengketa lahan dengan masyarakat. Konflik itu terjadi di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada 591 konflik, dengan urutan pertama di Kalimantan tengah dengan 250 kasus, Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus. Dan beberapa konflik lainnya yang tidak diketahui atau tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
Data-data diatas setidaknya memberikan kita sebuah gambaran bagaimana ekspansi modal dan perkebunan kelapa sawit secara makro dan mikro memberikan dampak bagi terjadinya konflik khususnya konflik mengenai lahan. Dan konflik Mesuji kemudian menjadi salah satu dari “fenomena gunung es” konflik-konflik akan lahan dan  ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Konflik Mesuji : Modal, Tanah Ulayat dan Akses Rakyat

Konflik Mesuji, secara umum dapat dipahami sebagai sebuah konfigurasi akan  perbenturan dari kepentingan modal, dan akses rakyat untuk mengakses lahannya.Konflik mesuji secara kronologis sebenarnya cukup komplek untuk dijelaskan. Sengketa lahan  di Kabupaten Mesuji terjadi di dua titik. Pertama, sengketa lahan antara perambah hutan di Desa Moro-moro, Pelita Jaya, dan Pekat Raya dengan PT Silva Inhutani. Mereka memperebutkan lahan seluas 43.900 hektare di Kawasan Register 45. Kedua, sengketa lahan antara warga di Desa Kagungan Dalam, Nipah Kuning, Tanjungraya di Kecamatan Tanjung Raya, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo yang memperebutkan lahan tanah ulayat. Pada 1997 sejumlah warga mulai mendiami kawasan yang ditanam sengon dan tanaman industri lain peninggalan PT Inhutani V. Mereka menebangi tanaman yang ada di kawasan itu hingga gundul. Perambah marak berdatangan setelah tahun 1999. Mereka datang dari berbagai daerah sepeti Lampung Timur, Tulangbawang, Metro bahkan dari Jawa Barat, Bali, dan Makassar.. Saat masih masuk wilayah Kabupaten Tulangbawang, pemerintah dan aparat kerap menertibkan para perambah itu. Singkat cerita jumlah perambah yang ada semakin banyak, hingga akhirnya menjadi penduduk daerah tersebut dan kemudian mengalami konflik dengan pihak perkebunan sawit.
Dalam melihat konflik ini,  saya menggunakan  pendekatan teori akses yang dikemukakan oleh Ribot, J.C., & N.L. Peluso (2003) , sebagai pisau analisis dalam konflik tersebut. Sebelumnya, saya ingin menjelaskan kembali apa yang disampaikan oleh Ribot dan Peluso mengenai apa yang disebut sebagai akses. Menurutnya, akses didefiniskan sebagai kemampuan untuk memanfaatkan dari sesuatu- termasuk objek material, orang, institusi, dan simbol-simbol. Dengan fokus pada ’kemampuan’, perhatian tertuju pada jangkauan yang lebih luas dari hubungan sosial yang dapat memungkinkan sesorang mengambil manfaat dari sumberdaya tanpa melihat pada hubungan kepemilikan. Akses berfokus pada isu siapa yang dapat dan siapa yang tidak menggunakan sesuatu, dan kapan saatnya. Perbedadaan kunci antara akses dan kepemilikan bersandar pada perbedaan antara ’kemampuan’ dan ’hak’. Kemampuan adalah identik dengan kekuatan, yang dapat didefinisikan ke dalam dua kalimat, pertama kapasitas seorang aktor untuk mempengaruhi ide dan tindakan orang lain, dan kedua dari mana kekuatan itu berasal. Akses adalah tentang makna semua kemungkinan yang dengannya seseorang dapat mengambil manfaat dari sesuatu. Sedangkan kepemilikan lebih berorientasi pada klaim terhadap hak, cenderung diartikan dengan hukum, aturan, atau konvensi.
Dengan berfokus pada kemampuan untuk mengambil manfaat tanpa melihat hubungan kepemilikan, saya melihat bahwa tanah yang didiami oleh masyarakat pada satu sisi merupakan sebuah akses. Masyarakat memiliki kemampuan untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut tanpa harus memiliki hubungan kepemilikan. Namun, disisi lain juga tanah itu adalah kepemilikan negara atau tanah negara jika kita mengacu pada klaim dan hak yang tertuang dalam PP No. 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara.
Yang menjadi menarik kemudian, menurut saya adalah, bukan pada menentukan kategorisasi apakah tanah tersebut masuk kedalam kategori akses atau sebuah kepemilikan, melainkan lebih pada  melihat pengaruh modal yang dapat mengubah prinsip “akses” pada tanah menjadi konsep “kepemilikan” tanah negara (public goods to private goods), dan lebih menarik lagi ketika kepemilikan dari negara tersebut kemudian diserahkan kepada pemodal untuk dikelola. Yang menjadi pertanyaan bagi saya, apakah dengan mudahnya negara bisa mengorbankan kepentingan “akses” rakyatnya akan tanah,  hanya untuk membela kepentingan “kepemilikan” para pemodal?

Kembali Ke Politik Agraria

Untuk menjawab pertanyaan saya diatas, saya akan mengajak sedikit berdialektika tentang konsepsi reformasi agraria dan pengaplikasiannya dalam politik agraria itu sendiri. Konsepsi reformasi agraria secara historis sebenarnya sudah di “kerucutkan” dalam sebuah pidato dari Bung Karno pada tanggal 16 Agustus 1945 berjudul “Djalannya  Revolusi Kita”  , Pertama, melakukan perombakan hak atas tanah dan penggunaan tanah agar dicapai keadilan dan kemakmiran. Kedua, land reform adalah pondasi revolusi yang berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapa feodal berangsur-angsur. Ketiga, landreform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani.
Ketiga poin pemikiran Bung Karno tersebut sebenarnya juga harus diberikan penekanan dan korelasi dengan semangat yang dibawa pada UUD 1945 pasal 33 (3) “bumi air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” .Secara sederhana kita dapat melihat bahwa semangat UUD juga sebenarnya mengamanatkan untuk mempergunakan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, bukan para pemodal, apalagi pemodal asing.
Selanjutnya, jika kita sudah sampai pada semangat pasal 33 UUD 1945, maka secara paham dan sederhananya untuk mengatasi masalah-masalah yang akan muncul seperti konflik lahan di mesuji kita akan sampai pada tahapan bukan lagi mengkategorisasi tanah mana yang merupakan “akses” yang mana merupakan “kepemilikan”, melainkan sudah pada tanah mana yang dapat didistribusikan dan bagaimana cara mendistribusikan tanah tersebut demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya
Terakhir, dalam tulisan ini saya ingin mengutip sebuah definisi mengenai land reform dari Michael Lapton (2009),  yang besar harapannya land reform  ini dapat segera dilaksanakan di Indonesia, sehingga tidak ada lagi kasus mesuji-mesuji lain dimana kesejahteraan rakyat harus diletakkan diatas kepentingan apapun. Definisinya sebagai berikut:

“We define land reform as legislation intended and likely to directly redestribute ownership of, claim on, rights to current farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and/or income, compared wtih likely situations wtihout the legislation”










Daftar Pustaka 


Ribot, J.C., & N.L. Peluso (2003)
“A Theory of Access”, dalam Rural Sociology 68/2 : 153-170.

Michael Lipton, (2009)
"Land Reform in Developing Countries : Property Right and Property Wrongs, “Routledge, hal 328.        


Referensi Internet :

http://mp3ei.info/  diakses pada  28 Oktober 2012, pukul 20.00

http://ditjenbun.deptan.go.id/ diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 20.02

http://sawitwatch.or.id/ diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 20.05

http://www.agroasianews.com/commodities/palm-oil/11/11/14/oil-palm-firms-must-develop-plantations-local-community diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 21.30

http://www.wirantaprawira.net/bk/hutbk_5h.htm diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 21.45







Kamis, 26 Januari 2012

Keping Kenangan Elite Indonesia


Keping Kenangan Elite Indonesia


Belum lama ini untuk menyambut 100 Tahun Kebangkitan Nasional (1908-2008) dicetak ulang buku terjemahan karya Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, studi langka yang membahas pembentukan dan kemunculan elite Indonesia. Sasterawan Ajip Rosidi sebagai pimpinan Pustaka Jaya yang menerbitkan buku itu dalam sebuah pertemuan bilang tujuannya: “menyediakan lorong waktu sebagai inspirasi dan aspirasi”. Dalam konteks itu bagaimanakah membaca buku ini di tengah hiruk pikuk Indonesia fenomena hilangnya pemimpin?

Salahsatu dosa besar dan warisan Orba yang tak tertangani, kata para pengamat, adalah meniadakan pembibitan pemimpin yang sehat dan wajar. Orba bergaya one man rule dengan rekayasa dan tekanan dalam mengkonsolidasi kekuasaan. Akibatnya bukan saja membatasi kebebasan berorganisasi serta berpendapat, tetapi juga menguatnya hegemony of meaning. Alhasil kalau pun ada tempat pembibitan pemimpin dari bawah, maka itu cuma buat mereka yang bersedia mengabdi belaka. Budaya kroni dengan kolusi, korupsi dan nepotisme pun merebak. Merajalelalah para (ABS) Asal Bapak Senang, abdi dalem Kraton Cendana. Pemimpin yang inspiratif pun tinggal kenangan.
Sekarang ini meskipun Orba sudah diganti semangat reformasi dengan gegap gempita demokrasi, ironisnya isu pemimpin inspiratif hanya ramai dan kuat di tingkat bawah,tetapi tidak popular serta sepi saja di tingkat atas. Dalam konteks itu santer suara di Indonesia kini yang keliatan memang cuma penguasa dan pembesar. Tiada pemimpin. Prilaku pemimpin tak nampak di tingkat atas. Hanya ada akrobat penguasa yang sibuk mengumbar syahwat politik untuk bisa tidur di ranjang kekuasaan bersama. Tapi di bawah suara rindu pemimpin justru menguat. Ada kesadaran ingin menemukan pemimpin sebagai kekuatan ispiratif dan pencerah di masa yang gawat.

Tapi siapakah pemimpin itu? Bagaimana pemimpin itu terbentuk dan muncul? Disinilah pentingnya karya Van Niel. Studi yang mengkhususkan diri pada elite Indonesia memang amat langka. Salahsatunya adalah The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1960) karya Robert van Niel. Sebuah keping kenangan yang penting ihwal munculnya elite baru dan pemimpin-pemimpin nasionalis dalam dunia kolonial Hindia Belanda awal abad ke-20. Van Niel bukan saja menelusuri akar-akar penyebab lahirnya elite modern pertama dalam sejarah Indonesia, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pola-pola tingkah laku (konflik-adaptasi) dan kebudayaan politik dalam artian orientasi serta tradisi politik yang menjelma menjadi “kebudayaan politik elite”. Bahkan manifestasinya diselami lebih jauh dalam percaturan politik yang diwarnai oleh perbedaan latarbelakang perbedaan orientasi itu.
Sebab itu karya Van Niel dapat menjadi mistar yang baik buat mengukur dan menilai tuntutan kehadiran pemimpin. Van Niel menyediakan pengukur sejati–bukan artifisial berdasar popularitas seperti buatan lembaga survey. Ia memberikan kacamata ideologis dan kultural yang historis ihwal pemimpin. Sebab sesungguhnya suara ingin pemimpin itu berakar pada ingatan kolektif yang terkait dengan identitas pemimpin atau elite yang membanggakan dalam sejarah.

Sejarah munculnya elite baru dan pemimpin nasionalis Indonesia mengakar dari sebuah zaman gelap. Menjelang wafat pada 1873, R.Ng. Ronggowarsito menulis Serat Kala Tida (Syair Zaman Kegelapan). Kemiskinan dan kemandekan memang citra Hindia saat itu. Tapi seperempat abad kemudian – ketika kolonialisme itu berpapasan dengan perobahan besar akibat semangat aufklarung atau pencerahan Eropa – biangkeladinya yaitu politik kolonial abad ke-19 yang rakus dan kejam dihujani kritik. Bahkan ethicus C.T. van Deventer pada 1899 mengingatkan Eereschuld (utang budi) dan perlunya “orang kulit putih menerangi kegelapan pribumi jajahan”. Setelah tahun 1900, politik etis diterima banyak kalangan sebab dari ragam tafsir satu saja definisinya: “kebijakan yang diarahkan untuk meletakkan seluruh kepulauan Hindia di bawah kekuasaan Belanda secara nyata, superioritas kulit putih dan untuk mengembangkan negeri dan bangsa di wilayah itu ke arah pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Negeri Belanda menurut model Barat.”

Arsitek kolonialisme Snouck Hurgronje pun bicara. Katanya, perluaslah sekolah untuk menanamkan “jiwa Eropa”, sehingga anak jajahan menumbuhkan diri sendiri, bermanfaat dan setia kepada Belanda. Sebab itu sejak 1900, ide ethicus diterima. Hoofden School, sekolah guru dan dokter Jawa, diperluas. Anak priyayi rendah pun bisa sekolah. Bergeraklah mesin cetak orang Hindia “berjiwa Eropa” yang dikiaskan Frant Fanon “peau noire, masques blancs” alias “kulit hitam, topeng putih”.

Ternyata hasil cetakan tak seragam. Politik Etis, kata Van Niel, memang berhasil mencetak “elite fungsional”, yaitu jelmaan-jelmaan yang siap meniru dan mengabdi demi menegakkan pikiran selamanya Belanda pengasuh Hindia. Tapi muncul juga “elite politik” atau figur politik modern yang tampak ngotot melawan wacana kolonial secara tertutup atau terbuka. Elite yang berlaku sebagai splendor varitatis, sosok yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan cahaya kebenaran.

Sebagaimana pengkaji Indonesia awal abad ke-20, Van Niel pun memakai frase cahaya. Sebab itulah yang mendominasi jiwa dan pikiran elite awal kebangkitan nasional. Lagi pula antara 1900-1925, bukan saja para tokoh utamanya yang mengambarkan pemikiran dengan kias bersifat terang, tapi juga banyak pers yang tumbuh mengiringi politik modern elite baru itu mengambil nama dengan mencomot kata matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya dan api. Semua kias ini adalah tanda-tanda yang lebih luas dari kebangkitan kembali dan regenerasi.

Para elite hadir dengan kias bersifat terang bukan saja simbol untuk menguatkan citra diri, tapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik dan perbedaan generasi. Wajar jika dalam publikasi elite di awal kebangkitan diwarnai teriak lantang paradok kata: muda/tua, maju/kolot dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, para elite sampai pada kesadaran fundamental akan perobahan. Alhasil 20 tahun awal abad ke-20 pergerakan Indonesia begitu dinamis, kaya ide yang diliputi sifat muda, maju dan sadar.

Muda tak hanya usia biologis para elite itu duapuluhan, bahkan belasan. Tapi juga pemikiran dan kejiwaannya yang diliputi spirit merombak struktur masyarakat lama untuk menciptakan suasana dan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat. Ini tercermin dalam polemik tahun 1914 antara pendiri Indische Partij (IP) dengan Noto Soeroto, motor ide Hindia terus di bawah Belanda. Juga polemik tahun 1918 antara Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai pimpinan terkemuka “nasionalisme Hindia” dengan Soetatmo Soerjokoesoemo, ketua Komite Nasionalisme Jawa.

Bayangan masyarakat baru memacu para elite bersikap maju. Nah, maju itu adalah hasrat menemukan kembali harkat diri. Tapi buat maju disadari ada kolonialisme dan feodalisme berdasar ras dan kelas. Tak ayal demokrasi pun dirasakan jadi bagian esensial hasrat buat maju. Sebab itu pada 1912 mencuat Sarekat Islam, ‘gerakan nationalistisch-demokratisch-ekonomisch’ ala ratu adil bermassa terbesar anti penindasan dan keangkuhan rasial. Pada 1918, segera meluas motto Mas Marco “sama rata sama rasa”. Berbareng hadir gerakan Djawa Dipa melawan keharusan tradisional yang hirarkis. Bagaimana bisa masuk “dunia maju” yang bertolak dari teori sosial yang egaliter dan demokratis jika tatanan tradisional yang hirarkis masih bercokol?

Akhirnya semua mesti dilakukan dengan sadar. Semula sadar berarti peralihan dari keadaan tertidur kepada rasa siuman. Persis kias sohor ethicus Belanda, “Si jelita yang tertidur telah terjaga”. Tapi, di awal abad ke-20, sadar meluas artinya. Kalau baca otobiografi Soetomo, Kenang-kenangan, sadar punya pengertian-pengertian yang saling berkaitan. Pertama “daya” yang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo–sahabat Soetomo–dijelaskan “menjadi motor pendorong”. Kala pemuda jadi motor pendorong perobahan, maka harus dijalani dengan ngurban. Ini kata Jawa dengan pegertian moral dan emosional yang dalam, berarti “bertindak tanpa pamrih”. Akhirnya sadar adalah “perubahan perangai” yang dirumuskan sebagai terus dalam suasana “memperlombakan diri berjaga dengan batin” dan “menerima [itu] sebagai kewajiban moril”.

Dalam konteks itu ada kesejajaran pemikiran Soetomo dengan Tjipto, sosok yang mengidentifikasi diri sebagai satria yang memenuhi panggilan moril berjuang melawan kebobrokan moril. Menurut Tjipto, dalam berjuang melawan kebejatan moril penjajahan Belanda dan priyayi feodal dihadang kesulitan, tapi semua itu kudu diterjang sebab cuma dengan begitu, maka tercipta ksatria dan dialah yang patut disebut “orang Hindia”. Dengan mengaitkan panggilan moril dan identifikasi sebagai “orang Hindia”, Tjipto telah menambahkan nilai yang menentukan dalam periode yang disebut “the decade of identities” yang dimulai sejak Abdul Rivai pada 1900 mempertanyakan, “siapakah kita?”. Bagi Tjipto pokok soalnya bukan identifikasi diri, tapi peningkatan harkat diri dan pengingkaran terhadap segala hal yang berlawanan dengan keadilan.

Van Niel menyimpulkan sukses para elite modern pertama itu terletak pada political will mereka sendiri dalam melembagakan nilai dan hasrat meraih kemanusiaan yang modern, maju dan progresif. Ada subjektivitas di sini tapi lahir dari panggilan yang universal. Melewati yang nafsi-nafsi. Demi kemaslahatan bersama. Dalam konteks itu pada mereka ada keberanian moral buat menunda datangnya imbalan dari jerih payah belajar dan menempuh jalan panjang penuh rintangan serta kesulitan.

Stovianen (siswa Stovia) adalah contoh terbaik atas apa yang terjadi itu. Stovia didirikan guna menciptakan “hamba sahaya” pelayan kepentingan tuan-tuan putih perkebunan di Sumatra Timur agar “mesin uang”-nya terus jalan sebab kesehatan buruhnya terjaga. Tapi siapa sangka jika ternyata dari sanalah muncul “hamba sahaya” yang tak membiarkan dirinya terbuai dalam keterpencilan kultural yang diciptakan dan dipelihara untuk menetralisir kenyataan akan kebangkrutan politik dan ekonomi tanah jajahan dan masyarakatnya. Sementara di sisi lain serba keterpurukan dan keterbelakangan itu, mereka lihat sukses peradaban dan kekuasaan Barat. Dalam suasana inilah pengetahuan akan “keterbelakangan masyarakat” menjadi dorongan untuk memasuki “dunia maju”. Membayanglah sebuah komunitas baru yang bebas dari segala yang menghambat jalan ke arah “kemajuan” dan betapa mendesaknya itu untuk diwujudkan. Maka lahirlah pemikiran ihwal “bangsa”.

Demi “bangsa” yang dibayangkan, para elite sebagai komunitas politik minoritas yang kreatif, dituntut menjadi ujung tombak gerakan. Otomatis mesti berperan antagonistis terhadap kolonialisme-feodalisme. Nyalalah gelora keberanian, militansi. “Jangan takut,” kata H.M. Misbach. “Rawe-rawe rantas malang-malang putung (hancurkan semua penghalang)” semboyan IP. Para elite itu pun terlihat liar dan memberontak, sebab mereka sadar setiap ide atau ideologi besar mesti diawali oleh gerakan protes atau gerakan sosial sebagai cara utama membongkar institusi-struktur lama dan membangun yang baru.
Kaum protagonis memiliki moral commitment untuk melakukan ide itu. Sebab itu mereka datang dengan fortiter in re atau kekuatan keyakinan bukan hitungan. Bertindak sebagai benteng moral, ketimbang pemburu kekuasaan. Alhasil politik adalah perjuangan bukan kepentingan. Dan cuma sebagai true believer sajalah nilai dan kewajiban itu dapat dijalankan, bila perlu dengan mengorbankan dirinya. Disinilah terletak nilai elite yang historis.

Adalah ironi besar nilai-nilai itu kini tinggal keping kenangan saja. Keping kenangan yang karatan dan rusak oleh iklim politik zaman gelap “Prabu Soeharto” yang rupanya masih melanjut dan menyediakan hawa bagus bagi elite-elite kekuasaan dekaden berbudaya kroni, bapakisme dengan kolusi, korupsi, nepotisme serta provitur, karbitan-dongkrakan yang tanpa pengetahuan dan wawasan luas serta moral.

Nasionalisme Vietnam : Sebuah Narasi “Kiri” Masyarakat Pemberontak


Nasionalisme Vietnam : Sebuah Narasi “Kiri” 
Masyarakat Pemberontak

“Nationalism is the term used in two related sense, first to identify an ideology and secondly, to describe a sentiment. ( Dictionary of International Relations : G.Evans & J.Newnham)”[1]

Dengan berpijak pada definisi atau batasan diatas, bahwa nasionalisme merupakan sebuah kata yang mengacu dalam dua buah pengertian yakni pertama, mengidentifikasi sebuah ideologi dan kedua, untuk menggambarkan sebuah sentimen, maka tulisan ini ditulis dengan tujuan memberikan gambaran sebuah narasi umum pembentukan nasionalisme di Vietnam dengan berkaca pada ideologi dan sentimen negara tersebut.
1. Sentimen : Akar Imaji Nasionalisme
            Radcliffe Brown seorang antropolog dalam bukunya, The Method of Ethnology and Social Antrhopology (1958)[2], menjelaskan mengenai sebuah pembentukan masyarakat yang dianggapnya bukan merupakan sebuah entitas namun melalui sebuah proses. Dalam proses pembentukan masyarakat tersebut, Brown melihat bahwa pembentukan masyarakat dilahirkan dari adanya relasi sosial dari person to person dalam masyarakat. Relasi sosial tersebut juga, baru akan terjadi dalam masyarakat jika adanya solidaritas antar person untuk saling menjaga peran dan statusnya masing-masing untuk tetap berjalan. Namun, untuk menjalankan solidaritas tersebut ada hal yang sangat penting untuk dimiliki setiap person dalam masyarakat yakni sentimen atau perasaan yang mengandung nilai-nilai didalamnya. Terlepas kemudian dari apa yang dibicarakan Brown dalam bukunya, kita dapat melihat bahwa sentimen yang mengandung nilai-nilai, memiliki arti penting dalam membentuk struktur , pola pemikiran, dan prilaku dalam masyarakat, termasuk pada pembentukan imaji nasionalisme dalam masyarakat tersebut. Sentimen dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai, kemudian tentu saja dapat dilihat dari struktur dan adat istiadat masyarakat tersebut. Dalam tulisan ini, untuk melihat sentimen pembentuk nasionalisme dalam masyarakat Vietnam kiranya kita perlu untuk melihat terlebih dahulu struktur masyarakat dan nilai-nilai yang terdapat didalamnya.
1.1 Struktur Masyarakat Vietnam
            Dalam melihat struktur dalam masyarakat Vietnam sebagai dasar dalam pembentukan imaji nasionalisme kebangsaan bukanlah hal yang mudah. Struktur masyarakat yang bersifat  dinamis hendaknya dilihat dengan menggunakan sebuah klasifikasi umum yang dapat merangkul segi dinamis dari struktur tersebut. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk menggambarkan struktur yang menimbulkan sentimen tersebut dengan menggunakan klasifikasi, periodisasi waktu. Berikut merupakan gambaran struktur masyarakat Vietnam dari waktu ke waktu.

a. Struktur Sejarah Awal
Orang-orang Vietnam merupakan perpaduan dari ras, bahasa, dan budaya, unsur-unsur seperti yang diurutkan oleh etnolog, ahli bahasa, dan arkeolog. Seperti itu benar untuk sebagian besar wilayah Asia Tenggara, Semenanjung Indocina persimpangan jalan untuk migrasi banyak orang, termasuk penutur bahasa Austronesia, Mon-Khmer, dan Tai. Bahasa Vietnam menyediakan beberapa petunjuk untuk campuran budaya orang-orang Vietnam. Meskipun bahasa yang terpisah dan berbeda, Vietnam meminjam banyak kosa kata dasar dari Mon-Khmer, tonalitas dari bahasa Tai, dan beberapa fitur tata bahasa dari kedua Mon-Khmer dan Tai. Vietnam juga menunjukkan beberapa pengaruh dari bahasa Austronesia, serta infus besar istilah sastra, politik, dan filsafat Cina periode selanjutnya.  Daerah yang sekarang dikenal sebagai Vietnam telah dihuni sejak zaman Paleolitik, dengan beberapa situs arkeologi di Provinsi Thanh Hoa dikabarkan datang kembali beberapa ribu tahun. Menurut tradisi Vietnam awal, pendiri bangsa Vietnam Hung Vuong[3], penguasa pertama dari dinasti semi legenda Hung (2879-258 SM, tanggal mitologis) dari kerajaan Van Lang. Hung Vuong, dalam mitologi Vietnam, adalah anak tertua dari Lac Quan Panjang (Lac Dragon Lord), yang datang ke Delta Sungai Merah dari rumahnya di laut, dan Au Co. Panjang lac Quan, seorang pahlawan budaya Vietnam, yang dilegendakan dengan mengajar orang bagaimana untuk menanam padi.
b. Stuktur Masyarakat Tradisional
          Selanjutnya, dari masyarakat dengan struktur awal tersebut masyarakat Vietnam kemudian berkembang menuju struktur masyarakat yang disebut sebagai struktur masyarakat yang tradisonal. Masyarakat tradisonal Vietnam sendiri memiliki beberapa ciri-ciri yakni hidup sebagai besar bergantung pada hasil sawah (agraris), dan umumnya tunduk pada nilai-nilai konfusuisme. Nilai-nilai konfusuisme yang dianut oleh masyarakat tradisional Vietnam, meletakkan dasar-dasar ajarannya pada lima hubungan yang mendasar[4] :1. Jelata tunduk pada penguasa, 2. Anak tunduk kepada ayah, 3. Istri tunduk kepada suami, 4.Saudara muda tunduk pada saudara tua, 5. Saling menghormati sesama teman. Hubungan-hubungan subordinasi demikianlah yang dipegang teguh kemudian oleh masyarakat Vietnam pada stuktur masyarakat tradisional. Pada perkembangannya kemudian tradisi ajaran-ajaran subordinasi konfusuisme tersebut menjadi bagian besar dari evolusi besar nilai-nilai dimasyarakat, dimana mengarahkan masyarakat Vietnam menjadi masyarakat yang  penuh dengan hierarki yang otoriter, yang kemudian menciptakan masyarakat  monarki yang absolut.
c. Struktur Masyarakat 1954-1975
Setelah pernyataan kemerdekaan pada tanggal 2 September 1945 dari penjajahan Prancis, ternyata Vietnam sebagai sebuah bangsa belum dapat lepas sepenuhnya dari poiltik kolonial Prancis. Dengan berbagai cara, Prancis mencoba mengembalikan “taring” kekuasaanya di Tanah Vietnam. Pada akhirnya, Prancis dapat melakukan berbagai perundingan yang berujung adu domba, dan penetapan keputusan partisi kolonial di Vietnampada tahun 1954 . Keputusan partisi kolonial merupakan keputusan sepeihak dari pemerintah kolonial yang membagi Vietnam kepada 2 wilayah besar yakni Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Keputusan tersebut, sebenarnya merupakan salah satu strategi kolonial, dalam mengadu domba dua buah ideologi besar di Vietnam yakni Ideologi Nasionalis, yang kemudian berkembang di Vietnam Selatan dan ideologi Komunis yang berkembang di Vietnam Utara.
Pembagian wilayah yang berbasis Ideologis tersebut, bukan hanya mengubah bentuk dari wilayah Vietnam namun juga mengubah struktur dan nilai-nilai masyarakat didalamnya. Vietnam Utara atau yang sering disebut Viet Chong, wilyah Vietnam berbasis Ideologis Komunis, dalam struktur masyarakatnya melakukan perubahan yang amat daramatis, atau mengutip bahasa masyarakat komunis yakni melakukan perubahan yang sangat “revolusioner”. Segala macam perubahan yang terjadi di Vietnam Utara merupakan perubahan yang didasarkan atas prinsip perjuangan kelas Marxis, dan melibatkan tidak kurang dari penciptaan struktur sosial yang sama sekali baru. Kelas-kelas kepemilikan dihilangkan, dan kediktatoran proletar didirikan di mana buruh dan tani muncul sebagai master baru nominal negara sosialis dan akhirnya tanpa kelas.
Perubahan yang terjadi secara “revolusioner” pada masyarakat Vietnam Utara, ternyata tidak berlaku pada masyarakat Vietnam Selatan. Setelah partisi tahun 1954, struktur masyarakat Vietnam Selatan tidak mengalami perubahan yang begitu banyak. Perkotaan-pedesaan jaringan Selatan peran, sangat bergantung pada perekonomian petani, tetap utuh meskipun masuknya hampir satu juta pengungsi dari Utara, dan reformasi tanah, dimulai tidak antusias pada tahun 1956, memiliki sedikit dampak sosial ekonomi dalam menghadapi obstruksi oleh pemilik tanah kelas. Berbeda dengan Utara, tidak ada doktriner, upaya terorganisir untuk mereorganisasi masyarakat secara fundamental atau untuk menanamkan nilai-nilai budaya baru dan sanksi sosial. Rezim Ngo Dinh Diem lebih peduli dengan kelangsungan hidup sendiri dibanding dengan langsung perubahan sosial revolusioner, dan jika memiliki visi reformasi sosial politik sama sekali, visi yang difusif. Selain itu, tidak memiliki organisasi politik yang sebanding dalam semangat kepada aparatur partai Hanoi dalam rangka mencapai tujuannya. Pada akhirnya, stagnansi yang terjadi di Vietnam Selatan mengarahkan struktur masayrakat Vietnam Selatan pada ketidakberubahan dari sistem hierarkis yang feodal dimana kepemilikan tanah masih dimiliki oleh para penguasa dan orang kaya, dan petani atau masyarakat pedesaan tetap menjadi masyarakat miskin yang tertinggal.
d. Struktur Setelah 1975
            Runtuhnya pemerintahan Saigon(Vietnam selatan) pada bulan April 1975 menetapkan panggung untuk sebuah babak baru dan tidak pasti dalam evolusi masyarakat Vietnam. Kekuasaan Vietnam diambil alih oleh pemerintahan komunis, dimana pemerintahan komunis melarang adanya hak kepemilikan pribadi dan menekankan kepemilikan kolektif di masyarakat. Rekonstruksi pasca perang saudarapun berlangsung dengan sangat lama, bahakan sempat mengalami saat-saat terburuk ketika Vietnam mencoba intuk menginvasi Kamboja dalam rangka membebaskan rekan mereka yakni, Khmer Rouge yang mengalami penindasan. Akibatnya, hal tersebut memperburuk kondisi politik dan ekonomi Vietnam, yang mengakibatkan Vietnam semakin tergantung pada bantuan dari Uni Soviet.
            Pada tahun 1986, pemerintahan komunis menerapkan kebijakan pasar bebeas (free [5]market), yang kemudian lebih dikenal oleh masyarakat sebagai kebijakan Doi Moi (renovasi), dimana pemerintah melakukan penataan ulang terhadap regulasi- regulasi kepemilikan. Ketika Doi Moi itu pula arus investasi asing diizinkan masuk ke Vietnam. Meski demikian, negara tetap menjadi kekuatan terbesar dalam kehidupan masyarakat Vietnam hingga sekarang.


2. Ideologi : Sebuah Katalis Nasionalisme
            Setelah membahas mengenai struktur dan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Vietnam dari waktu ke waktu. Selanjutnya saya akan membahas salah satu,   yang mendasari munculnya semangat nasionalisme selain sentimen yang mengandung nilai dalam struktur masyarakat, yakni Ideologi. Ideologi disini diartikan sebagai seperangkat asumsi dan ide tentang perilaku sosial dan sistem sosial[6]. Berkenaan tentang arti dari ideologi tersebut, dapat dilihat bahwa prilaku sosial dan sistem sosial yang ada di masyarakat Vietnam, termasuk imaji dari nasionalisme itu sendiri bermula dan dipercepat penyebaraannya atas dasar semangat ideologi yang menjadi corak didalamnya. Ideologi tersebut mewaranai khususnya urat syaraf kehidupan masyarakat yakni tradisi kekuasaan atau tradisi politik. Tradisi politik negara merupakan salah satu penerapan ide meminjam dengan kondisi masyarakat adat.
Dalam banyak hal, Marxisme-Leninisme hanya merupakan sebuah bahasa baru di mana untuk mengekspresikan orientasi budaya lama tetapi memeiliki konsistensi dan kecenderungan didalamnya . Proses politik Vietnam,  karena itu, banyak menggabungkan mitologi nasional sebagai dari keprihatinan pragmatis yang ditimbulkan oleh isu-isu saat ini. Pengaruh besar pada budaya politik Vietnam yang berasal dari Cina. Lembaga-lembaga politik Vietnam yang ditempa oleh 1.000 tahun pemerintahan China (111 SM sampai AD 939). Sistem Cina kuno, berdasarkan Konfusianisme, mendirikan pusat politik yang dikelilingi oleh subjek yang setia. Para Konghucu menekankan pentingnya desa, endowing dengan otonomi tetapi jelas mendefinisikan hubungannya dengan pusat. Mereka yang memerintah melakukannya dengan "mandat dari langit." Meskipun mereka sendiri tidak dianggap ilahi, mereka diperintah oleh hak ilahi dengan alasan kebajikan mereka, yang diwujudkan dalam kebenaran moral dan kasih sayang bagi kesejahteraan rakyat. Sebuah monarki memiliki sifat-sifat menerima tanpa syarat kesetiaan rakyatnya. Pemilihan pejabat birokrasi adalah berdasarkan ujian pelayanan sipil, bukan keturunan, dan lembaga pemerintah dipandang hanya sebagai saluran untuk kebijaksanaan unggul dari penguasa.
Vietnam mengadopsi sistem politik dari satu milik tetangga di Asia Tenggara mereka, yang diidentifikasi penguasa sebagai dewa yakni China. Namun demikian, interpretasi Vietnam dari sistem berbeda dari orang-orang Cina baik di tingkat kesetiaan diperluas ke dalam aturan dan dalam sifat hubungan antara lembaga pemerintahan dan orang-orang yang memerintah. Di Vietnam, kesetiaan kepada seorang raja itu bersyarat atas keberhasilan dalam membela wilayah nasional. Sebuah sejarah dominasi China telah peka Vietnam untuk pentingnya mempertahankan integritas wilayah mereka. Di Cina, kontrol teritorial tidak membangkitkan semangat derajat yang sama. Dalam menafsirkan peran lembaga pemerintah, kepercayaan Vietnam juga bertentangan dengan teori Konfusianisme. Sedangkan Konghucu berpendapat bahwa lembaga yang tentu bawahan penguasa yang saleh, praktek Vietnam memegang berlawanan untuk menjadi kenyataan. Lembaga yang diberkahi dengan otoritas bawaan tertentu atas individu, suatu sifat diwujudkan dalam kecenderungan untuk menciptakan institusi Vietnam yang kompleks dan berlebihan. Meskipun pengaruh Konfusianisme, praktek Vietnam menunjukkan iman dalam struktur administrasi dan dalam pendekatan legalis untuk masalah politik yang jelas Vietnam, tidak Confucianist.
Namun demikian, sifat Konghucu masih terlihat di Vietnam pada pertengahan 1980-an. Dalam hubungan antara penguasa dan rakyat, sistem Konghucu dan komunis tampaknya berdampingan lebih mudah antara petani Vietnam Utara daripada di antara saudara-saudara mereka yang konon lebih mudah tersinggung di Selatan, dimana pengaruh India dan Prancis melebihi yang dari Cina. Mencari alasan untuk menjelaskan fenomena tersebut, beberapa pengamat menyatakan bahwa kesulitan yang lebih besar yang dihadapi dalam transformasi provinsi selatan Vietnam menjadi masyarakat komunis bertangkai, di bagian, dari daerah ini yang telah paling Sinicized. Selain itu, pengaruh Asia Tenggara di Vietnam Selatan, seperti Buddhisme Theravada, telah menciptakan sebuah iklim budaya di mana hubungan dengan pusat kekuasaan yang jauh norma. Selain itu, sistem politik Selatan telah cenderung untuk mengisolasi pusat, baik secara simbolik dan fisik, dari mayoritas rakyat, yang tidak punya cara yang jelas akses ke pemerintah mereka. Selatan juga telah yang pertama jatuh ke Prancis, yang telah memperluas pengaruh mereka di sana dengan mendirikan pemerintahan kolonial. Di Utara, bagaimanapun, Prancis telah dipertahankan hanya protektorat dan telah memungkinkan ukuran pemerintahan sendiri. Akibatnya, pengaruh Perancis di Utara kurang dari di Selatan dan merupakan halangan kecil untuk pengenaan komunisme.
Pengaruh China modern, dan khususnya doktrin Mao Zedong dan Partai Komunis China, pada budaya politik Vietnam adalah masalah lebih rumit. Para pemimpin Vietnam, termasuk Ho Chi Minh, menghabiskan waktu di Cina, tetapi mereka telah membentuk kesan-kesan mereka komunisme di Paris dan Moskow dan melalui Moskow-diarahkan pada koneksi Komintern. Keberhasilan Revolusi Komunis China pada tahun 1949, bagaimanapun, diilhami komunis Vietnam untuk melanjutkan revolusi mereka sendiri. Hal ini juga memungkinkan mereka untuk melakukannya dengan memperkenalkan Republik Rakyat Cina sebagai sumber penting dukungan material. Kedua Nasional Partai Kongres, yang diselenggarakan pada tahun 1951, mencerminkan tekad yang baru untuk mendorong maju dengan tujuan partai, termasuk rekonstruksi masyarakat untuk mencapai tujuan komunis dan reformasi tanah.
Model Soviet, juga, bisa dilihat dalam praktek politik Vietnam. Di bidang prosedur hukum, praktek birokrasi, dan manajemen industri, sistem Vietnam lebih dekat menyerupai sistem Soviet daripada Cina. Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, para pemimpin VCP tertarik terutama dengan kemajuan yang dibuat dalam pembangunan ekonomi Soviet. Pada kebanyakan kasus, bagaimanapun, kebijakan dan institusi Vietnam, daripada mengikuti ketat untuk model baik Cina atau Uni Soviet, cenderung menjadi respon dasarnya Vietnam untuk masalah Vietnam. Hubungan permusuhan tradisional dengan negara-negara tetangga juga membantu mendefinisikan budaya politik Vietnam. Lama negara keretakan dengan Kamboja dan Cina, yang berkembang menjadi konflik terbuka pada tahun 1978 dan 1979 masing-masing, menunjukkan kebutuhan untuk melihat hubungan kontemporer dalam perspektif sejarah. Sikap Hanoi mengenai hubungan dengan kedua tetangga didasarkan sebanyak terbiasa dalam pola pertukaran seperti dalam keprihatinan saat ini untuk keamanan nasional. Hal ini juga tegas berbasis di Vietnam tradisi perlawanan terhadap kekuasaan asing, yang telah menjadi tema daya tarik besar untuk patriot Vietnam sejak zaman dominasi Cina. Para anggota pendiri VCP adalah elit setuju dari sebuah negara terjajah. Mereka tertarik pada Marxisme-Leninisme tidak hanya untuk teori-teori sosial, tetapi juga karena respon Leninis untuk penaklukan kolonial. Ho sendiri dilaporkan lebih peduli dengan masalah imperialisme Perancis dibandingkan dengan perjuangan kelas.
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa Ideologi sebagai seperangkat ide mengenai asumsi struktur sosial dan prilaku masyarakat yang diinginkan juga, dapat membentuk, mengarahkan, bahkan menjadi katalis dalam perubahan dalam masyarakat termasuk semangat kebangsaan dan nasionalisme kepada negara.


Kesimpulan
1.      Dalam Nasionalisme Vietnam ada dua faktor  besar yang mendasari pembentukan nasionalisme tersebut yakni sentimen yang mengandung nilai dalam masyarakat, dan juga ideologi yang berfungsi sebagai katalis dalam perubahan ide asumsi pemikiran tentang negara dan bermasyarakat
2.      Sentimen yang mengandung nilai, yang menjadi salah satu faktor penting timbulnya nasionalisme contohnya    dalam masyarakat Vietnam ada nilai-nilai keterikatan akan nenek moyang yang sama (Hung Vuong) dan juga pembawa kebudayaan (Cultural hero) yang sama yang mengajarkan kebudayaan dan peradaban pertama bagi masyarakat Vietnam.
3.      Sentimen dan nilai-nilai dalam masyarakat Vietnam yang salah satunya menjadi faktor penting dalam pembentukan nilai-nilai nasionalisme adalah hubungan-hubungannya dengan nilai-nilai dasar konfusuisme yang hierarkis dalam masyarakat. Hubungan-hubungan masyarakat yang hierarkis, membentuk pola-pola masyarakat yang subordinat dan dalam bentuk ektremnya mengahasilkan masyarakat yang otoriter. Hal ini sangat berhubungan, pada proses transformasi kemudian masyarakat Vietnam dalam hal Ideologis dimana infiltrasi nilai-nilai komunisme menjadi mudah berkembang karena sesuai dengan semangat perlawanan masyarakat yang terlalu hierarkis menjadi masyarakat yang tanpa kelas.
4.      Nilai-nilai ideologis dari komunisme menjadi sebuah katalis bagi nationalisme bangsa Vietnam. Bangsa Vietnam semenjak dahulu sudah merasa terkungkung dalam sistem masyarakat yang hierarkis sehingga sistem ideologis komunis menjadi salah satu angin segar bagi masyarakat Vietnam untuk membebaskan diri mereka dari kungkungan sistem yang hierarkis.





Daftar Pustaka
Referensi Buku :
Evans, G & Newnham, J. 1998. Dictionary of International Relations. London : Penguin Books.
Brown, Radcliffe. 1958. Method In Social Anthropology.Chicago :The University Of Chicago Press.
Huynh Sanh Thong, ed. trans The Heritage of Vietnamese Poetry.New Haven, 1979
Ronald J. Cima, ed Vietnam:. Sebuah Studi Negara. Washington: GPO untuk Perpustakaan Kongres, 1987.
Ebenstein, William. 1994. Today`s ISMS. Jakarta :Erlangga.
Referensi Internet :






[1] Evans, G & Newnham, J. 1998. Dictionary of International Relations. London : Penguin Books.
[2] Brown, Radcliffe. 1958. Method In Social Anthropology.Chicago :The University Of Chicago Press
[3] Dikutip dari : Huynh Sanh Thong, ed. trans The Heritage of Vietnamese Poetry.New Haven, 1979.
[4] Dikutip dari : Ronald J. Cima, ed Vietnam:. Sebuah Studi Negara. Washington: GPO untuk Perpustakaan Kongres, 1987.
[5] Dikutip dari : www.countrystudies.us ( diakses pada : 10-11-2011)
[6] Ebenstein, William. 1994. Today`s ISMS. Jakarta :Erlangga.