Rabu, 31 Juli 2013

Catatan Pemaknaan Seni

Perspektif Antropologi Dalam Seni



Hakikat Seni
Seni, beserta segala macam aspek didalamnya merupakan hal yang hingga kini tidak berhenti untuk dibahas dan dibicarakan. Seni, menjadi sebuah objek kajian tersendiri yang lahir dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Mulai dari obrolan warung kopi hingga diskusi bertaraf internasional yang menghadirkan para ilmuan dan profesor seni, masih terus hidup dan bergeliat hingga saat ini. Geliat perbincangan mengenai seni, bukan hanya terbatas pada objek kajiannya saja atau hasil-hasil dari “tindakan” berkesenian tersebut, melainkan juga pada tataran definitif atau hakikat dari seni itu sendiri. Seni, banyak didefinisikan oleh masyarakat awan secara rancu dan bahkan tumpang tindih dengan definisi lainnya.
Pendefinisian yang rancu akan seni erat kaitanya dengan masalah pemahaman akan asal mula dari terminologi kata seni itu sendiri. Kata “seni” sendiri secara umum banyak dipadankan dengan kata art dalam bahasa Inggris. Secara sekilas, kita mungkin tidak banyak menemui perbedaan dalam padanan kata tersebut, namun jika kita meniliknya lebih lanjut ada nuansa yang berbeda dalam penggunaan dan asal mula dari kedua kata tersebut. Kata art, berasal dari bahasan latin yakni artem, yang memiliki arti keterampilan, kecakapan atau skill. Namun, di Eropa pada abad pertengahan kemudian kata art lebih banyak dirujuk kepada hal-hal pada muatan kurikulum pendidikan, seperti berkaitan pada hal-hal yang bermuatan logika, grammar,geometry, musik dan astronomi.
Berbeda dengan kata art yang memiliki nuansa arti yang cukup luas, kata seni yang berasal dari bahasa melayu sebenarnya hanya memiliki nuansa yang sempit yang memiliki arti “kecil”. Kata seni sendiri sebenarnya tidak terlalu banyak digunakan oleh bangsa-bangsa di Nusantara untuk merujuk kegiatan-kegiatan “berkesenian”. Contohnya saja pada masyarakat Batak Toba, pada masyarakat tersebut tidaklah dikenal istilah “seni” pada kegiatan yang merujuk pada hal-hal yang “kita” kenal sebagai kegiatan berkesenian. Meskipun demikian, walau  tidak ditemukan istilah seni pada masyarakat tersebut bukan berarti masyarakat tersebut (Batak Toba) tidak mengenal kegiatan berkesenian.
Dalam masyarakat Batak Toba dikenal istilah tortor, yakni sebuah kegiatan yang mengacu pada gerak tubuh yang berpola tertentu dan teratur yang seiring dengan musik yang mengiringinya. Pada masyarakat “kita” mungkin kita mengenalinya sebagai salah satu dari kategori “seni tari” namun, berbeda dengan apa yang mereka maksudkan dalam kegiatan tortor tersebut. Tortor pada masyarakat Batak Toba lebih dimaksudkan sebagai kegiatan upacara ritual keagamaan dibandingkan apa yang kita kenali sebagai kegiatan seni. Dari penjelasan diatas, dapatlah kita pahami kemudian bahwa penyamarataan istilah semisal seni dengan art dengan tindakan-tindakan lain yang mengacu pada hal yang serupa merupakan sebuah tindakan penyederhanaan atau simplifikasi yang mempunyai akibat pada kerancuan, kesalahpahaman, bahkan bisa pula pada pelecehan.
Perihal Estetika
Bicara mengenai seni, secara umum masyarakat awam kita selalu mengkaitkan seni dengan estetika. Estetika pada umumnya terlalu sempit dipandang sebagai ilmu mengenai keindahan; dan keindahan sendiri banyak dikaitkan oleh orang-orang dengan kualitas sebuah hal dalam hal bentuk( form). Sifat atau kualitas dari hal bentuk tersebut kemudian banyak distandardisasi dengan standar istilah   baik-buruk, indah-jelek, yang kemudian menyebabkan cara pandang yang baru bahwa estetika lahir dari luar diri manusia itu sendiri.
Cara pandang dalam melihat keindahan tersebut menurut saya kemudian akan menghasilkan masalah. Keindahan hanya dipandang dari bentuk dari luar diri manusia itu sendiri, sehingga keindahan atau estetika menjadi berada diluar dari diri manusia itu sendiri. Berbeda kemudian dengan pandangan Bourdieu dalam bukunya Distinction : A social Critique of The Judgement of Taste (1984), dia mengungkapkan bahwa pandangan mengenai keindahan sebenarnya lahir dan bersemayam dari subjek yang melihat keindahan itu sendiri yakni manusia. Pandangan mengenai keindahan tersebutlah yang kemudian dikenal sebagai “ideologi selera alamiah”. Ideologi selera alamiah yang lahir dari subjek penilai keindahan yakni manusia, tidak terlepas kemudian pada sistem hierarki yang ada pada diri manusia itu sendiri. Baik hierarki dalam hal pendidikan, ekonomi, dan sosial turut serta dalam membentuk ideologi selera alamiah seseorang.
Pandangan lain yang mendasari mengenai pembentukan penilaian akan keindahan, juga diungkapkan oleh seorang sosiolog berkebangsaan Amerika yakni Thorstein Bunde Veblen. Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class (1899) mengungkapkan bahwa  keindahan memiliki keterikatan dengan rasa kepuasaan dan kompetisi diri akan perasaan mahal. Maksudnya adalah, perasaan kepuasaan yg timbul akan penghayatan atas produk-produk berharga tinggilah kemudian yang menyebabkan sebuah hal dikatakan indah.
Seni dan Waktu Luang
Seni, sebagai salah satu unsur universal dalam sebuah kebudayaan (Koentjaraningrat, 1979) merupakan sebuah aspek yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Seni merupakan hal yang dinamis dan berubah sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat dan manusia itu sendiri. Salah satu hal yang memiliki keterkaitan yang cukup signifikan dalam pembentukan dan perubahan akan seni itu sendiri yakni mengenai waktu luang. Waktu luang atau leisure time merupakan sebuah konsep yang pernah dibahas oleh salah satu pendekar antrhopology yakni Frans Boaz dalam bukunya Primitive Art (1927).
Dalam bukunya tersebut dibahas tentang bagaimana sebuah masayarakat manusia sampai pada tahapan dalam berkesenian, ketika masyarakat tersebut sudah mampu dalam melakukan subsistensi kebutuhannya sendiri. Contohnya saja pada kehidupan masyarakat Kamoro (suku mumuika we) di Timika. Masyarakat Kamoro, banyak yang menjadi pemahat atau Maramowe ketika kehidupannya sudah tercukupi.
Subsistensi kebutuhan disinilah yang menyebabkan masyarakat kamoro memiliki waktu cukup luang, sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk ukiran dan pahatan-pahatan. Aktualisasi diri yang berbentuk ukiran ini, bukan hanya sekedar “seni” melainkan juga sebagai simbolisasi penghormatan kepada alam dan roh-roh nenek moyang.

Cabang Seni                
Bicara soal seni, rasanya kurang jika tidak membahas cabang-cabang dari seni itu sendiri. Dalam perspektif secara umum atau dalam kacamata orang awam, seni diklasifikasikan dalam banyak cabang dan ragam, tergantung bagaimana klasifikasi tersebut dibuat. Dalam hal cabang-cabang seni, secara umum kita dapat mengikuti pendapat ahli yakni Koentjaraningrat (1990) bahwa seni secara umum dibagi menjadi dua cabang yakni seni rupa atau kesenian yang dapat dinikmati oleh manusia dengan mata dan seni suara atau kesenian yang dapat dinikamti manusia dengan telinga. Koentjaraningrat (1990), kemudian membagi kembali dua lapang kesenian tersebut menjadi beberapa cabang. Dalam lapangan seni rupa terdapat seni patung, seni lukis, serta gambar dan seni rias. Seni musik ada yang berupa vokal dan ada pula yang berbentuk instrumental, serta seni sastra terdiri dari prosa dan puisi. Selanjutnya, masih oleh menurut Koentjaraningrat “Suatu lapangan kesenian yang  meliputi kedua bagian tersebut diatas adalah seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini dapat dinikmati baik oleh mata maupun telinga”

Pendekatan Fungsional dalam Seni
Berbicara tentang seni, tentunya tidak akan lepas dari kebudayaan. Selain karena seni merupakan salah satu unsur universal dalam sebuh kebudayaan, seni juga memiliki keterkaitan dalam hal fungsi dengan kebudayaan itu sendiri. Berbicara tentang fungsi, dan kebudayaan tidak lengkap rasanya untuk tidak menyinggung pendekatan fungsionalisme kebudayaan yang dikemukakan oleh Malinowski. Dalam bukunya yang berjudul  A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944), Malinowski menjelaskan berbagai macam kegiatan atau aktivitas kebudayaan yang kompleks sebenarnya ditujukan dalam rangka pemuasan sejumlah kebutuhan manusia yang berhubungan dengan keseluruhan kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari dari salah satu unsur kebudayaan sendiri lahir dari kebutuhan manusia akan nalurinya akan keindahan yang harus dipuaskan.
Dengan berpijak pada pendekatan fungsional tersebut, dapatlah jika ditilik lebih jauh bahwa kesenian pada perkembangannya kemudian berkembang bukan hanya untuk pemuasaan rasa keindahan manusia saja,  namun memiliki arti lebih didalamnya. Salah satu contohnya semisal fungsi salah satu cabang dari seni yakni musik, dalam buku Antropology of Music diapaprkan setidaknya ada 8 fungsi musik yakni (1) stimulate activity in work and play (music digunakan untuk menstimulasi dalam pekerjaan dan permainan) (2) Ungkapan ekspresi emosional (3) Kesenangan astetis (4) Hiburan (5) Komunikasi (6)Representasi simbolik (7)Respon fisik (8) Kontrol sosial.


 Daftar Pustaka

Bourdieu, P
(1984 ) .Distinction : A social critique of the judgement of taste.
       Merrian, A.P.
(1964). Anthropology of Music.Northwestern : Northwestern  University Press.
Simatupang.L.S
(2010)  Perspektif  Antropologi dalam Seni dan Estetika dalam Jurnal Asintya vol 2
No.1 Juni 2010. Yogyakarta : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Koentjaraningrat.
 (1979)  Pengantar Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
(1980) Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI-Press