Selasa, 11 Maret 2014

Kampanye Hitam untuk Golongan Putih

Kampanye Hitam untuk Golongan Putih

Beberapa hari terakhir, banyak berita yang kurang mengenakan yang saya baca melalui media sosial ataupun media massa mengenai fenomena yang cukup menggetirkan di masyarakat: kampanye hitam bagi golongan putih (golput).

Fenomena ini menurut saya cukup menggetirkan karena masyarakat dengan banal-nya menyalahkan segala macam bentuk penyimpangan demokrasi dan hasilnya yang terjadi di masyarakat terhadap golongan putih. Sebelumnya, saya sendiri mengakui bahwa saya bukanlah seorang golongan putih atau tengah dalam posisi mendukung gerakan golongan putih secara utuh, namun jika kita berfikir dan bertindak bijak harusnya kita bertanya : Apakah merupakan hal yang adil jika kita menyalahkan segala macam bentuk kebobrokan proses dan hasil demokrasi terhadap golongan yang sama sekali tidak memberikan suaranya secara langsung dalam proses tersebut?. Saya kira jawabnya tidak!

Pada hakikatnya, kita seharusnya dapat sadar bahwa tindakan golput sendiri sama-sama merupakan hak seseorang, seperti pula pada hak seseorang untuk memilih. Golput merupakan bentuk dari partisipasi politik, karena dengan tindakannya proses demokrasi dapat sadar bahwa apolitisme itu lahir dan berkembang dari kebobrokan sistem demokrasi itu sendiri bahwa golput merupakan peringatan bagi proses dan hasil demokrasi tersebut.

Lantas menjelang pemilu 2014, mengapa fenomena kampanye hitam bagi golongan putih semakin banyak terjadi?. Dari pendapat saya, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi bahan kehawatiran banyak pihak. Salah satunya, karena banyak partai yang tidak memiliki sistem kaderisasi partai yang baik, mengalami ketakutan dalam penurunan jumlah suara pada pemilu 2014. Harus diakui, masyarakat Indonesia sendiri masihlah merupakan masyarakat yang oportunis, non-ideologis, dan “sok” bersifat inklusif terhadap berbagai pemikiran dan warna politik. Sifat-sifat yang ada tersebutlah yang membuat sebagian besar masyarakat Indonesia dikenal sebagai pemilih “abu-abu” atau swing voters. 

Karena sifat “keabu-abuan” dari pemilih yang demikianlah, maka banyak partai yang memanfaatkan keadaan tersebut untuk meraih sebanyak-banyaknya suara. Tidak peduli apakah nantinya dapat mengartikulasikan kepentingan yang dibawa, yang jelas yang menjadi fokus dari partai adalah kemenangan untuk menuju kekuasaan. Golput yang hadir dalam masyarakat yang demikian, kemudian menjadi hambatan tersendiri bagi partai-partai untuk meraih kekuasaannya. Maka dari itu, menurut saya partai-partai tersebut berusaha untuk menyalahkan keberadaan golput yang telah menjadi gangguan tersendiri bagi kemenangan mereka.

Selain fenomena kampanye hitam bagi golongan putih, muncul pula beberapa wacana tandingan yang dihembuskan untuk melakukan “justifikasi” agar masyarakat mau memilih bahwa “tidak ada pemimpin yang sempurna, lebih baik memilih pemimpin yang paling baik diantara yang buruk dibandingkan tidak memilih sama sekali”. Justifikasi tersebut sekilas terdengar sangat bijak, namun menurut saya jika kita berfikir lebih dalam ada kebodohan yang terdapat didalamnya.

Jika kita ditawarkan tiga calon pemimpin yang ketiganya merupakan koruptor; calon A korup 200 M, calon B 150 M, dan calon C 300 M. Apakah dengan justifikasi yang demikian kita dapat dengan maklumnya memilih calon B karena memiliki tingkat korupsi paling rendah?. Jawabnya, tentu tidak. Ketiganya adalah bandit. Memberikan kesempatan pada bandit untuk memimpin hampir sama dengan membiarkan maling untuk masuk dan menguasai rumah kita sendiri. Tidak pernah ada jaminan bahwa maling atau bandit tersebut akan dengan mudahnya berubah.

Lalu, apakah tidak akan pernah ada pemimpin yang bersih yang kemudian layak untuk dipilih? Jawabannya bukan pada memilih dan dipilih kemudian, namun kembali pada pada masyarakat itu sendiri. Hakikat dari sebuah demokrasi jika kita yakin dan percaya adalah merupakan sebuah proses. Dalam sebuah proses, proses yang baik akan memberikan hasil yang baik dan proses yang buruk akan memberikan hasil yang buruk. Begitu pula dengan pemimpin. Pemimpin munafik dihasilkan dari masyarakat yang bermental munafik dan pemimpin bandit juga dihasilkan dari masyarakat yang bermental bandit pula.

Marilah sejenak kita lupakan tentang slogan-slogan nasionalis tentang besarnya dan agungnya bangsa Indonesia. Jika kita berusaha untuk jujur, marilah kita melihat keadaan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bangsa kita secara mentalitas masih sangat jauh tertinggal dengan mentalitas bangsa-bangsa lain. Mentalitas yang menyukai hal yang instan, oportunis, dan tidak mandiri masih menjadi hambatan yang besar dalam masyarakat kita.

Sudah bukan saatnya bagi masyarakat dan individu-individu yang ada di dalamnya untuk selalu berharap perubahan dari pemerintah dan pemimpin-pemimpin yang ada di dalamnya. Apa yang saya pelajari dari golongan putih, lebih pada semangat optimisme dibandingkan pesimisme didalamnya. Kita selamanya tidak boleh bergantung dan berharap pada kemunculan ratu adil dan satria piningit yang akan membawa kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Kesejahteraan merupakan sebuah proses yang harus diraih dari sadarnya dan bangkitnya mentalitas individu-individu dalam sebuah masyarakat, bahwa sejarah kesejahteraan bangsa bukanlah milik seorang pemimpin atau sekompok orang, melainkan milik diri setiap individu yang berjuang meraih kemandirian.