Sabtu, 21 Desember 2013

Ospek : Sebuah Ritus Jalan Pintas (?)

Ospek : Sebuah Ritus Jalan Pintas (?)
Sebuah Tinjauan Antropologis

Oleh : Achmad Fadillah

            Belakangan ini, publik kita cukup dikejutkan dengan kejadian kekerasan yang terjadi dalam masa orientasi pengenalan kampus (Ospek) sebuah perguruan tinggi swasta di kota Malang. Betapa tidak, dalam acara orientasi pengenalan kampus tersebut diduga diwarnai berbagai aksi kekerasan, pelecehan seksual, yang berakibat hingga memakan korban jiwa. Selain kejadian yang terjadi pada ospek salah satu perguruan tinggi di kota Malang tersebut, publik kita juga mungkin belum lupa dengan kejadian meninggalnya beberapa siswa di sebuah sekolah tinggi kedinasan di kota Bandung, yang tewas karena dipukuli oleh seniornya ketika makan malam pada prosesi awal pengenalan kampus. Beberapa kejadian tersebut, tentunya mengundang tanda tanya besar bagi masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan Indonesia, apakah kegiatan yang sudah cukup mengakar dalam dunia pendidikan tersebut  masih relevan dalam konteks pendidikan saat ini. Lantas, apakah kegiatan ospek yang dilakukan saat ini sudah hilang arah dari tujuannya semula?.

Ospek dan Kolonialisme

         Tidak ada yang tahu secara pasti sebenarnya siapa yang memulai tradisi ospek dalam dunia pendidikan di Indonesia. Meskipun demikian, beberapa pendapat mengatakan bahwa pada mulanya tradisi ospek dalam dunia pendidikan ini dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda untuk “mendisiplinkan” warga pribumi dalam kerangka dunia pendidikan. Perlu diingat sebelumnya, ketika masa itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan stratifikasi berrdasarkan etnis dan ras  yang membedakan kelompok-kelompok etnis dan ras menjadi tiga macam tingkatan dalam masyarakat. Tingkatan paling bawah adalah masyarakat pribumi (inlander) yang diisi oleh kalangan orang-orang “asli Indonesia” . Tingkatan kedua adalah masyarakat timur jauh/asing (vreemde osterlingen) yang diisi oleh kalangan  “peranakan” arab dan cina, dan tingkatan tertinggi tentunya diisi oleh masyarakat kolonial Belanda dan “peranakannya”.
            Stratifikasi yang terjadi, kemudian mempengaruhi pula tentang bagaimana seseorang diperlakukan dalam lingkungannya termasuk dalam lingkungan pendidikan. Masyarakat pribumi, meskipun merupakan seorang keturunan bangsawan atau priyayi tetaplah dianggap tidak memiliki kedudukan yang setara dengan bangsa kolonial baik dalam sikap dan prilaku yang dilakukannya. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sebuah kebijakan “persamaan” bagi siswa-siswi pribumi dalam lingkungan pendidikan. Kebijakan “persamaan” ini kemudian bertujuan untuk memberikan pengenalan akan tata karma dan aturan-aturan etika ala “Belanda” sehingga siswa-siswi pribumi diharapkan dapat lebih “beradab” dan lebih loyal terhadap pemerintah kolonial nantinya. Kebijakan pengenalan persamaan “drajat” inilah yang kemudian dipercaya menjadi salah satu akar dari tradisi ospek yang ada dalam lingkup dunia pendidikan kita.

Ospek : Sebuah Ritus Jalan Pintas

            Kebijakan pengenalan persamaan “drajat” yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda tentunya bukalah satu-satunya alasan kuat dilaksanakan tradisi ospek hingga saat ini di dunia pendidikan Indonesia. Dalam khazanah antropologi, jika kita menilik lebih dalam, proses pengenalan seseorang kedalam sebuah kelompok sudah cukup sering mendapatkan perhatian. Beberapa antropolog sebut saja Victor Turner (1967) sudah membahas mengenai proses ritual “pengenalan” atau inisiasi yang terjadi di suku Ndembu di Afrika. Suku Ndembu, mempraktikan ritual ishoma pada para wanita untuk memberikan kesempatan bagi mereka mendapatkan posisi secara sosial dalam masyarakat sukunya. Selain Victor Turner, antropolog lain yang memberikan perhatian yang cukup besar dalam ritus inisiasi ini adalah Arnold Van Gennep dengan karyanya yang berjudul Rites de Passage (1909).
            Dalam karyanya tersebut, Van Gennep menyatakan bahwa dalam setiap tahapan-tahapan dalam kehidupan manusia sebagai seorang individu, yakni semenjak lahir, masa kanak-kanak, dewasa, hingga lanjut usia dan meninggal dunia, manusia mengalami perubahan-perubahan baik secara biologis maupun sosial yang kemudian mempengaruhi kondisi jiwa dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi kondisi biologis dan sosial yang baru tersebut, maka dari itu seorang manusia membutuhkan semacam regenerasi, yang diwujudkan dalam ritus-ritus tahapan kehidupan (life cycle rites). Lebih lanjut menurut Van Gennep, dalam setiap ritus-ritus regenerasi tersebut dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu (1) dipisahkan atau separation (2) peralihan atau merge dan kemudian dilakukan proses (3) pengintegrasian kembali atau agregation
            Dalam kerangka konsep Van Gennep tersebut, setidaknya kita dapat kemudian memahami bahwa setiap individu dalam masyarakat akan melalui proses-proses “ritus jalan pintas” tersebut agar dapat masuk dalam masyarakat sebagai seorang individu yang baru dan dianggap terlahir kembali. Beberapa contoh ritus yang banyak dipraktikan dalam masyarakat kita sebagai ritus jalan pintas tersebut misalnya, seperti tradisi khitanan, tradisi kikir gigi, tradisi memotong rambut bayi pertama dan sebagainya. Dalam analisis lebih lanjut, saya menilai bahwa kegiatan-kegiatan ospek (atau masa orientasi sekolah/MOS) di dunia pendidikan baik dari tingkat sekolah menengah pertama hingga tingkat perguruan tinggi merupakan bagian dari ritus jalan pintas dalam setiap tingkatan lingkungan sosial pendidikan yang baru.
             Dalam proses ritus yang disebut ospek tersebut, idealnya jika mengacu pada konsep “ritus jalan pintas” Van Gennep harusnya memberikan kelahiran dan pengetahuan baru bagi seorang individu sebagai acuan dalam menjalani kehidupan dalam tingkatan pendidikan yang baru yang akan dijalaninya. Menjadi pertanyaan kemudian, apakah ritus-ritus ospek tersebut saat ini masih relevan dalam memberikan kelahiran dan pengetahuan bagi seorang individu sebagai acuan dalam menjalani kehidupan dalam tingkatan pendidikan yang baru yang akan dijalaninya?. Ataukah ritus ospek yang ada saat ini hanya dijadikan sebagai sarana “plonco” dan wadah tindakan kekerasan antara senior kepada juniornya?

Kekerasan dan Ritus Peralihan

            Tidak dapat kita pungkiri, dalam beberapa kebudayaan kekerasan dan ritus peralihan merupakan sebuah hal yang sulit untuk dipisahkan. Beberapa kebudayaan misalnya, dalam tahapan separation  “membuang” anggota masyarakatnya ke dalam hutan berhari-hari agar dapat diuji apakah dia dapat bertahan hidup. Kebudayaan lain misalnya mentato bagian tubuh anggota badan, sebagai tahapan merge atau peralihan seorang individu agar diterima dalam masyarakat. Tahapan-tahapan tersebut memang terlihat menyakitkan dan penuh kekerasan namun apakah kekerasan tersebut dapat dijadikan juga sebagai alasan bahwa ritus ospek juga dapat dilakukan dengan kekerasan?. Pendapat saya mengenai hal tersebut adalah : relative.
            Mengapa relative?, beberapa dari anda mungkin tidak sependapat dengan pendapat yang saya ajukan. Saya berfikir tindakan kekerasan yang dilakukan dalam ospek relative dapat dilakukan dalam kerangka tujuan pendidikan nilai-nilai baru sehingga seorang individu dapat terlahir kembalidalam tingkatan yang lebih lanjut. Tidakan kekerasan yang saya maksudkan disini bukan berarti saya bermaksud mendukung tindakan-tindakan kontak fisik yang dapat menimbulkan cidera atau meninggal dunia. Kekerasan disini yang saya maksudkan adalah sebagai sebuah tindakan “keras” dalam melakukan internalisasi nilai-nilai yang baru. Bukankah memaksa seseorang untuk melakukan yang tidak dia inginkan termasuk “kekerasan” pula bukan?
            Pemberian tugas-tugas yang edukatif dan kontekstual menurut saya menjadi sebuah jalan untuk memberikan “kekerasan mendidik” seorang siswa baru. Siswa baru pada tahapan ini “diuji”  kembali sehingga dapat terlahir kembali dalam lingkungan yang baru pula.