Kamis, 09 Juni 2016

Menatap Kembali Peradaban Kemaritiman Nusantara

Menatap Kembali  Peradaban Kemaritiman Nusantara[1]

Kehadiran peradaban nusantara sebagai sebuah entitas kebangsaan,tentunya tidak dapat terlepas dari berbagai dinamika kesejarahaan yang ada. Dengan wilayah geografis yang terdiri atas gugusan pulau-pulau, nusantara tentunya memiliki sejarah kemaritiman yang cukup kompleks dan panjang yang konfigurasinya memiliki andil besar dalam membentuk peradaban nusantara saat ini. Selama ini, sejarah kemaritiman yang selalu didengung-dengungkan oleh penguasa dan dunia ‘barat’ hampir selalu berkisar pada kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam mengarungi lautan dan menaklukan kerajaan-kerajaan di negeri seberang. Dalam kacamata saya, tentunya hal tersebut merupakan sebuah pandangan yang sangat simplistik dan mereduksi sejarah lain sebagai sebuah kesatuan yang membentuk peradaban kemaritiman nusantara hingga saat ini. 

       Kelemahan lain dari terlalu didengung-dengungkannya sejarah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai barometer peradaban kemaritiman nusantara yakni, membuat kita terlampau  silau terhadap masa lalu yang ada, hingga kita lupa pada akar masalah sebenarnya yakni mengapa kerajaan-kerajaan tersebut jatuh dan hilang hingga saat ini?Kebiasaan ‘memunggungi laut’[2], semenjak kejatuhan Sriwijaya dan Majapahit seakan menjadi kebiasaan yang dibawa oleh bangsa ini hingga saat ini. Persoalan kemaritiman  menjadi proritas kesekian jika tidak berkaitan dengan masalah kedaulatan dan dignity bangsa di tengah-tengah pandangan dunia internasional. Persoalan yang mengemuka saat ini seolah terulang jika kita menengok sejarah. Kita adalah ‘Sriwijaya dan Majapahit’ yang mencoba untuk bangkit setelah sekian lama berpaling dari luasnya lautan yang ada. Pertanyaannya, bagaimanakah caranya? dan dengan apakah kita dapat bangkit? Dalam hemat saya jawabnya terletak pada satu hal: kebudayaanDalam pandangan seorang bengawan antropologi Koentjaraningrat (1979), kebudayaan bukan hanya sekedar kebiasaan atau sifat-sifat tertentu melainkan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang didapatkan dengan cara belajar. Kebudayaan mengajari diri manusia berprilaku dan bertindak dan dijadikan acuan (blueprint)dalam kehidupannya bermasyarakat (Suparlan, 1994). Kebudayaan bersifat dinamis dan merupakan hasil pergulatan sejarah secara  diakronik antara masa kini dan masa lampau.Karena kebudayaan merupakan hasil dari pergulatan sejarah yang diakronik antara masa kini dan masa lampau, tentunya ada baiknya kita membahas terlebih dahulu mengenai  pergulatan sejarah masa lampau peradaban maritim di nusantara dan berbagai macam dinamika didalamnya. Bukan untuk bermaksud untuk bercerita mengenai sejarah yang pernah dipelajari di bangku sekolah, namun untuk menemukan relevansinya secara diakronik dengan keadaan di masa kini mengapa peradaban kemaritiman kita mengalami masa tilem atau kemunduran.
***
Berbicara mengenai sejarah peradaban maritim nusantara, kurang rasanya jika kita tidak memulai dengan peradaban bangsa yang dikenal sebagai jawara di lautan yakni bangsa Bugis-Makassar. Pelaut-pelaut Bugis-Makassar di masa lalu diakui pula oleh sejarahwan Robert Dick-Read (2005: 88-105) sebagai pelaut yang memiliki keahlian kemaritiman yang luar biasa, juga mempunyai reputasi sebagai pedagang sukses dan jujur, prajurit yang setia dan jujur, berkepribadian dan berperilaku baik, pemimpin yang baik, dan senang berpetualang. Salah satu deskripsi mendetail tentang pelayaran para pelaut Bugis-Makassar termuat dalam catatan dari Cornelis Speelman yang ditulis seusai Perang Makassar, yaitu pada tahun 1670 (dalam Poelinggomang at all). Dalam catatannya, Speelmen menuliskan mengenai keunikan kehidupan maritim bangsa Bugis-Makassar dalam kerangka Kerajaan Gowa-Tallo yang berdiri pada awal abad keempatbelas. Dalam sejarahnya, kerajaan Gowa-Tallo pada mulanya merupakan sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa-Tallo. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya. Menurut catatan Speelmen, Kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan maritim dengan pemerintahan yang modern dengan dipimpin oleh dua orang; seorang raja  dan seorang mangkubumi (semacam perdana menteri). Diraihnya zaman keemasan Gowa-Tallo dengan pusatnya di Makassar sebagai kerajaaan maritim,sebenarnya lebih pada peran dari seorang mangkubumi-nya bernama Karaeng Matoaya.

Karaeng Matoaya dibantu oleh puteranya yakni Karaeng Patingaloang meskipun hanyalah seorang mangkubumi ketika masa pemerintahan Sultan Alaudin,namun membuat banyak perubahan besar khususnya dalam bidang kemaritiman. Menurut beberapa sumber, Karaeng Matoaya dan Karaeng Patingaloang dipercaya memiliki kemampuan bahasa yang luar biasa. Mereka dapat menuturkan beberapa bahasa Eropa seperti Latin, Portugis, dan Inggris secara fasih seperti penutur aslinya (Cummings, 1999). Di samping kemampuan bahasa yang dimilikinya, Karaeng Matoaya dan anaknya juga mengembangkan sistem kemaritiman kerajaan dengan berpijak pada ilmu pengetahuan seperti astronomi dan matematika. Di samping itu, sebagai kerajaan maritim, kerjaan Gowa-Tallo juga memiliki aturan-aturan baik aturan dalam hubungan sosial maupun dalam kegiatan berniaga dan pelayaran. Dalam hubungan sosial norma kehidupan masyarakat Gowa-Tallo diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut pangadakang yang berisi tentang siri (harga diri), pace (perasaan sakit atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (perbaikan hidup ada di tangan sendiri) yang diatur dalam ade’ (adat istiadat), rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), wari’ (sitem protokoler kerajaan), bicara (sistem hukum) dan sara’ (syariah Islam) (Rahman, 2007). Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa-Tallo juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata” (Cummings, 1999). Dalam kegiatan berniaga dan pelayaran, kemajuan kerajaan Gowa-Tallo tidak terlepas dari hukum niaga dan pelayaran yang diberlakukan saat itu yang disebut sebagai hukum ade’ aloping loping bicaranna pabbalue.

Meski memiliki kemampuan kemaritiman dalam melakukan perdagangan, penaklukan, dan diplomasi namun sayangnya ada wilayah vassal di sekitar kerajaan Gowa-Tallo yang sangat sulit untuk ditaklukan secara utuh. Wilayah tersebut adalah wilayah Bone.Sebagaimana kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan Bone merupakan kerajaan yang terbentuk dari persekutuan beberapa negeri yang dikenal sebagai persekutuan tujuh pada awal abad keempatbelas. Semenjak awal terbentuknya, dua kerajaan ini (Bone dan Gowa-Tallo) memiliki hubungan pasang-surut yang ditandai dengan perang dan diplomasi. Berulang kali pimpinan kerajaan Bone berusaha untuk melakukan pemberontakan ke kerajaan Gowa-Tallo. Pemberontakan yang dilakukan di samping karena persoalan politik, juga disebabkan karena para pemimpin Bone merasa siri-nya dilanggar oleh para pemimpin Gowa-Tallo. Salah satu tokoh Bone yang memimpin gerakan pemberontakan terhadap Gowa-Tallo adalah Arupalakka. Menurut Lampe (1995), Aruppalaka memimpin pemberontakan terhadap Gowa-Tallo sebanyak dua kali. Pemberontakan pertama, terjadi sekitar tahun 1660 dan pemberontakan kedua terjadi pada tahun 1666. Pada pemberontakan pertama, Arupalakka memberontak dengan kekuatan sekitar 11.000 orang yang mayoritas berasal dari Soppeng dan Bonne. Perang berlangsung cukup lama, hampir selama dua bulan. Pada Oktober 1660, pemberontakan Arupalakka dapat diredam. Arupalakka yang kalah kemudian lari ke Buton, dan pada akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan dari VOC di Batavia. VOC yang sudah sekian lama menginginkan kehancuran Gowa-Tallo menyambut baik permohonan Arupalakka. Di bawah komando dari Cornelis Speelmen, VOC dan tentara Arupalakka yang berasal dari Buton, Ternate, Tidore, Bacan,Bone, dan Soppeng menggempur pertahanan pusat kerajaan Gowa-Tallo di Benteng Somba Opu Makassar. Setelah satu tahun mengalami masa peperangan, pada akhirnya Benteng Somba Opu pada tahun 1669 dapat direbut oleh pihak VOC dan Arupalakka. Kerajaan Gowa-Tallo yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hasanudin dipaksa untuk menandatangani perjanjian Bongaya, yang salah satu poinnya adalah Kerajaan Gowa-Tallo harus melepaskan seluruh wilayah kekuasaannya di Sulawesi dan daerah lain dan memberikan izin bagi VOC untuk mendirikan benteng di kota dagang tersebut. Akibat dari ditandatanganinya perjanjian Bongaya, maka praktis kerajaan Gowa-Tallo kehilangan kekuatan dan perlahan mundur dari panggung sejarah.

Kisah yang hampir sama juga menimpa kerjaan maritim lain dengan peradaban besarnya di nusantara yakni kerajaan Banten. Kerajaan yang didirikan oleh anak dari Sunan Gunung Jati yakni Maulana Hasanudin ini sempat menjadi kerajaan maritim besar pada pertengahan abad ketujuhbelas. Banten mengalami masa kejayaaan sebagai kerajaan maritim ketika masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Melalui perdagangan lada, Banten menjadi kota pelabuhan yang penting khususnya di wilayah Asia Tenggara. Menurut sejarahwan Anhony Reid (1992) dalam tulisannya Southeast Asia in the Age of Commerce1450-1680,kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa banyak yang singgah dan berdagang di Banten. Pada masa tersebut, bahkan menurut Reid (1992), tercipta sebuah pola kapitalisme lokal baru yang meskipun memiliki ciri-ciri yang mirip dengan kapitalisme di Eropa, namun memiliki ciri-ciri khusus seperti masih kuatnya feodalisme dan hirarki sosial dengan raja sebagai jangkar sosial didalamnya. Pola kapitalisme lokal baru ini pula, menurut Untoro (2008), diperkuat dengan kemampuan Banten untuk mensinergisasi supply komoditas dari daerah pedalaman, sehingga Banten bukan hanya tampil sebagai broker komoditas namun juga dapat mensupply produksi komoditasnya secara mandiri.

Perjalanan sejarah Banten sebagai kerajaan maritim mendapat tantanganya ketika mendapatkan pergolakan dari dalam lingkungan istana sendiri. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat pemberontakan dari anaknya yakni Abdul Kahar atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Haji. Cerita awal mula pemberontakan Abdul Kahar, menurut Lubis (2003: 52) dimulai ketika Sultan Ageng memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Banten dari Keraton Surosowan ke Keraton Tirtayasa. Dalam pemindahan tersebut, Sultan Ageng merasa bahwa ini pula merupakan saat yang tepat untuk mengkader puteranya yakni Abdul Kahar sebagai calon penerus Kerajaan Banten. Untuk ‘mendidik’ Abdul Kahar, Sultan Ageng lalu mengangkatnya sebagai putra mahkota dan memberikan tanggung jawab lebih untuk menduduki Keraton Sorosowan sementara Sultan Ageng pindah ke Keraton Tirtayasa. Pengangkatan Abud Kahar sebagai putra mahkota sebenarnya memberikan dampak yang besar bagi Abdul Kahar, karena dengan diberikannya gelar putra mahkota, Sultan Ageng harus senantiasa berkoordinasi dengan Abdul Kahar dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Banten.

Kepindahan Sultan Ageng ke Keraton Tirtayasa ternyata ditanggapi lain oleh pihak Belanda. Pihak kompeni, merasa kepindahan Sultan Ageng merupakan sebuah kesempatan emas untuk mendekati Abdul Kahar agar dapat berpihak pada Belanda. Strategi yang dilakukan cukup berhasil. Pada setiap pertemuan dan upacara kerajaan, Belanda selalu diundang oleh Abdul Kahar sebagai tamu kehormatan di Keraton Sorosowan. Mendengar perilaku dari putra mahkotanya, Sultan Ageng sedikit meradang. Abdul Kahar kemudian ‘dikirim’ oleh Sultan Ageng untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci( karena itulah Abdul Kahar lebih dikenal sebagai Sultan Haji). Di samping dikirim untuk memperbaiki perangainya, dikirimnya Abdul Kahar ke tanah suci juga untuk ‘mempromosikan’ Kerajaan Banten di muka dunia, khususnya kepada kerajaan-kerajaan (kesultanan) Islam di dunia. Selama keberangkatannya ke tanah suci, Sultan Ageng lantas mengalihkan tugas-tugas Abdul Kahar sebagai putra mahkota kepada adik dari Abdul Kahar yakni Pangeran Purbaya. Selama kepergian Abdul Kahar, Pangeran Purbaya lantas memperbaiki pola hubungan antara Kerajaan Banten dengan pihak Belanda. Pengeran Purbaya, lebih mnejaga jarak, dan menegaskan ketidaksukaannya terhadap perilaku Belanda yang dinilai ingin melakukan monopoli perdagangan di wilayah Banten.

Sepulangnya Abdul Kahar dari tanah suci, Abdul Kahar lantas diberikan gelar sebagai Sultan Haji dan kembali menjadi putra mahkota dengan kedudukan di Keraton Surosowan. Kepulangan Sultan Haji tentunya memberikan angin segar tersendiri bagi Belanda untuk kembali menjali hubungan dengan Kerajaan Banten. Pihak Belanda kemudian menghasut Sultan Haji dengan mengatakan bahwa Sultan Haji tidak akan diberikan haknya akan tahta karena akan dialihkan kepada adiknya yakni Pengeran Purbaya. Mendengar hasutan tersebut, Sultan Haji lantas menyatakan perang kepada ayahnya dan terjadilah perang antara Sultan Haji dan Sultan Ageng.Peperangan yang terjadi, lantas memenangkan Sultan Haji yag dibantu oleh pihak Belanda. Kemenangan Sultan Haji yang dibantu oleh Belanda ternyata hanyalah kemenangan semu belaka. Sultan Haji yang sebelumnya telah dibutakan hasrat akan berkuasa terpaksa harus menandatangani surat perjanjian yang sebelumnya disepakati dengan Belanda. Belanda yang tadinya dianggap kawan menelikung menjadi lawan. Kekuasaan yang didapatkan oleh Sultan Haji praktis menjadi kekuasaan yang semu dan dirinya mendapati bahwa pengkhianatannya sia-sia dan hanya berujung menjadi penyesalan baik terhadap ayahnya maupun rakyatnya.

Mundurnya kerajaan-kerajaan maritim seperti Banten dan Gowa-Tallo diikuti dengan Ternate-Tidore dan Demak membawa peradaban maritim nusantara jatuh di titik nadir. Belanda dengan berbagai siasat yang dilakukannya,melakukan monopoli perdagangan di berbagai tempat. Di samping melakukan monopoli perdagangan, Belanda dengan sisatnya juga turut mencerabut berbagai pranata-pranata sosial yang ikut melekat dalam sistem perniagaan dan pelayaran. Salah satu siasat Belanda untuk mencerabut pranata sosial di kerajaan-kerajaan maritim yang ditaklukannya adalah dengan cara menerapkan pelayaran hongi (keliling). Sistem pelayaran hongi, menyerabut berbagai aturan dengan cara menerapkan aturan-atura ketat dalam sistem pelayaran yang menempatkan nilai dan pranata kolonial dalam setiap aspek pelayaran. Tercerabutnya berbagai nilai dan pranata pelayaran, tentu juga mencerabut sebagian pengetahuan tentang pelayaran dan kemaritiman. Kita sudah tidak mengenal lagi mengenai pembagian kerja di kapal mulai dari Nahkoda, jurmudi, jurubantu, mualim, dan para mandor. Hilangnya pengetahuan-pengetahuan tersebut, lambat laun membuat kita juga kehilangan pamor dalam dunia kemaritiman. Konektifitas “bangsa” yang dahulu terhubung lewat laut lambat laun surut dan padam. Lantas, menjadi pertanyaan kemudian adalah, jika saat ini kita sudah telalu lama memunggungi laut dan ingin kembali menatapnya kembali, langkah apa sajakah yang harus kita siapkan agar kita dapat mengembalikan  identitas  kemaritiman kita sebagai sebuah bangsa? Kiranya dalam hemat saya ada beberapa langkah yang perlu untuk dilakukan. Pertama, yakni mengembalikan kembali laut sebagai space (ruang) yang memiliki konteks sosial-kultural di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Indonesia perlu dan harus diberikan pemahaman bahwa laut bukan hanya place(tempat) di mana keganasan ombak dan dalamnya samudera itu hadir secara berbahaya, namun juga harus disadarkan mengenai fungsi laut dalam menghadirkan konektifitas kebangsaan secara fungsional. Misalnya saja sebagai sarana dalam transportasi dan juga memberikan manfaat ekonomi bagi manusia-manusia Indonesia. Kedua, yakni menempatkan kembali teks-teks kemaritiman dalam lembaga-lembaga pendidikan. Pengetahuan soal maritim, perlu menghagemoni dalam ruang-ruang pendidikan baik di ruang kelas maupun dalam kunjungan-kunjungan langsung di lapangan. Hegemonisasi diskursus maritim dalam lembaga-lembaga pendidikan, harapannya dapat meningkatkan pengetahuan dan kecintaan terhadap dunia maritim. Ketiga dan terakhir adalah tindakan dan partisipasi kolaboratif. Saya pikir sudah terlalu banyak teks rencana, masterplan, dan wacana mengenai cara-cara membangkitkan dunia maritim Indonesia. Saat ini, tinggal bagaimana berbagai “kemauan” tersebut diterjemahkan dalam “aksi” nyata secara “bersama-sama”. Tentunya, hal tersebut bukan hanya tanggungjawab pemerintah namun tanggungjawab kita semua.

                       







[1] Ditulis oleh Achmad Fadillah alumni antropologi FISIP UI
[2] Merupakan terminologi yang digunakan Presiden Joko Widodo untuk menggambarkan ketertiggalan bangsa Indonesia dalam bidang maritim.

Minggu, 05 Juni 2016

Membangun Nation Branding Melalui Invensi Tradisi

Membangun Nation Branding  Melalui Invensi Tradisi

Pendahuluan
Urgensi dan kesadaran dalam membangun merek dan citra sebuah bangsa sudah dimulai semenjak sebuah bangsa itu sendiri lahir (Gungwu, 2005). Kesadaran dalam membangun merek dan citra sebuah bangsa pada mulanya lahir atas dasar kepentingan politis dalam membangun identitas kebangsaan sebuah negara-bangsa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Anderson (1983) dalam tulisannya yang berjudul Imagined Communities, menurutnya bangsa merupakan sebuah “imagined political community- and imagined as both inheritly limited and sovereign (Anderson, 1983:6). Dalam tulisannya tersebut, dapat dipahami bahwa merek dan citra sebuah bangsa (kemudian negara-bangsa) pada mulanya dibangun untuk membangun imajinasi kebangsaan sebuah komunitas, bahwa komunitas tersebut merupakan sebuah komunitas yang satu sebagai sebuah bangsa yang meski tidak saling mengenal satu sama lainnya namun diikat dalam sebuah tali ikatan persaudaraan dan persamaan (the image of communion). Ikatan persaudaraan horizontal menjadi satu dasar bagi anggota sebuah bangsa mengikatkan diri di dalam entitas satu bangsa (Anderson, 1983: 6-7).  

Pada perkembangannya kemudian, kesadaran membangun citra atau merek sebuah bangsa berkembang bukan hanya terkait dengan pembangunan identitas kebangsaan secara politis semata, namun juga berkaitan dengan  dignitiy dan pembangunan kesejahteraan. Citra sebuah bangsa dan atau negara berdampak besar pada aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Citra sebuah negara-bangsa berkaitan erat dengan reputasi sebuah negara-bangsa baik dimata anggota negara-bangsa itu sendiri maupun dengan negara-bangsa lainnya. Karena dampaknya yang begitu besar dan stratejik, pembangunan terhadap merek sebuah bangsa menjadi penting dalam pembangunan kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia. Hal tersebut sebagaimana yang sudah dilakukan oleh negara-negara ‘maju’ saat ini seperti Swiss, Skotlandia, Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut sudah mulai menginisiasi pembangunan merek bangsa mulai pada awal dekade 90-an dengan berbagai kegiatan baik dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya. Lantas, menjadi pertanyaan kemudian adalah dimanakah posisi Indonesia dalam pembangunan nation branding saat ini? Pengukuran secara global dalam aspek nation branding pernah dilakukan oleh Anholt Gfk Roper dan Future Brand dengan menggunakan CBI (Country Brand Index). Menurut pengukuran Anholt Gfk Roper dengan menggunakan indikator-indikator seperti; pariwisata, tingkat eksport, kondisi pemerintahan, kondisi investasi dan imigrasi, kebudayaan, dan kondisi SDM,  pada tahun 2010, Indonesia masih menempati posisi ke 44 dari 50 negara. Sedangkan dalam perhitungan yang dilakukan oleh Future Brand pada tahun 2014, Indonesia hanya menempati posisi ke 66 dari 75 negara. Jauh tertinggal dengan negara tetangga, yakni Singapura dan Australia.




 Ketertinggalan tersebut bukan tidak disadari oleh pihak pemerintah Indonesia. Pada tahun 2011, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Marie Elka Pangestu mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan nation branding untuk memperkenalkan produk-produk Indonesia khususnya di Eropa (ANTARA, 2011). Selain Kementerian Perdagangan, badan  lain yang mencoba melakukan nation branding adalah Kementerian Pariwisata dan  Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Meski sudah cukup banyak badan pemerintah yang mencoba untuk mengembangkan nation branding, namun sayangnya hal-hal tersebut tidak terkoordinasi dengan baik. Hal ini tercermin dari penggunaan tagline yang digunakan dalam membangun nation branding yang dilakukan. Misalnya saja Kementerian Perdagangan dengan  “100% Indonesia”, Kementerian Pariwisata dengan “wonderful Indonesia” , dan BKPM dengan “remarkable Indonesia”. Tidak terintegrasinya tagline yang diusung meski hanya sebagian kecil dari  pembentukan nation branding namun mencerminkan tidak sinergis dan tidak terintegrasinya pembangunan ‘imaji’ mengenai nation branding antar sektor sehingga tidak menimbulkan dampak yang besar terhadap struktur kognisi dan kepercayaan yang diyakini sebagai sebuah ‘brand’ oleh masyarakat baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia. Oleh karena itu, menjadi penting kemudian dirumuskan sebuah strategi dan roadmap dalam merumuskan nation branding  yang tepat sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa.

Rumusan Masalah : Nation Branding Sebagai Sebuah Urgensi ?
Kajian-kajian mengenai nation branding saat ini masih terkait dengan dimensi-dimensi pemasaran, komunikasi, dan pertumbuhan ekonomi.  Padahal dalam praktiknya, kajian nation branding  lebih kompleks dibandingkan dengan hal-hal tersebut. Mengutip Dinnie (2010: 15) nation branding  bukan hanya tentang masalah citra melainkan juga mengenai the unique, multi-dimensional blend of elements that provide the nation with culturally grounded differentiation and relevance for all of its target audiences. Dengan kata lain nation branding bukan hanya menyangkut kajian mengenai citra melainkan juga kajian multidimensional yang melibatkan banyak elemen yang mendasarkan pada  aspek-aspek kultural yang berbeda dan  relevan dengan target adopter.

Menjadi masalah kemudian adalah, dalam hemat saya, saat ini para pembuat kebijakan di Indonesia masih berfokus pada pengembangan nation branding melalui dimensi-dimensi yang parsial dan tidak melibatkan triplay bottom line (pemerintah, swasta, dan masyarakat) secara holistik. Masalah tersebut menjadi semakin mengkhawatirkan ketika arus globalisasi disertai dengan persaingan global semakin mengemuka saat ini. Indonesia, sebagai sebuah negara-bangsa semakin tersisih jauh dalam persaingan global. Hal ini dapat dilihat dari Global Competitiveness Index (GCI)  tahun 2014-2015 yang masih menempatkan Indonesia pada urutan ke-34 jauh di bawah negeri negeri ‘jiran’ Singapura pada posisi ke-2 dan Malaysia pada posisi ke-20. Hal ini sesungguhnya sangat ironis mengingat Indonesia memiliki potensi sumber daya alam  yang melimpah ruah, ditambah dengan bonus demografi manusia ‘produktif’ dengan 67% berusia antara 15-55 tahun dan 27 % berusia antara 15-30 tahun (BPS, 2014)

Dalam pandangan saya, tidak seriusnya pengembangan nation branding bukan hanya salah satu penyebab dari tidak berdayanya bangsa kita dalam menghadapai tantangan global, namun juga menyebabkan ‘kematian’ pada mentalitas superior kita sebagai sebuah bangsa. Nation branding yang salah urus, dalam pandangan saya juga menyebabkan warga masyarakatnya memiliki kecenderungan inferior complex alias minder terhadap segala macam hal yang berbau asing. Hal ini terjadi karena warga masyarakat menjadi tidak memiliki rasa kebanggaan terhadap hal-hal yang berbau ke-Indonesiaan karena dianggap kurang bernilai dibandingkan hal-hal yang berasal dari luar. Kondisi-kondisi demikian, tentunya membuat pembentukan nation branding untuk Indonesia menjadi penting untuk segera dilakukan saat ini.


Gambar 2: Grafik Demografi Penduduk Indonesia
Sumber: BPS, 2014

Inventing Tradition Sebagai  Strategi Membangun Merek Bangsa
Sebagai sebuah negara-bangsa yang memiliki sejarah dan perkembangan kebangsaan yang panjang. Tentu saja strategi dalam perumusan nation branding Indonesia tidak dapat disamaratakan dengan bangsa-bangsa lainnya. Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang besar dan majemuk harus memiliki ide dan gagasan tersendiri terkait dengan pembentukan merek bangsanya. Dalam analisis yang lebih mendalam, pembentukan merek bangsa tentunya juga berkaitan erat dengan pembentukan identitas kebangsaan yang diakui baik oleh anggota bangsa itu sendiri maupun ketika sedang berhadapan dengan bangsa lain (Woodward,1997).



Skema Identitas Kebangsaan dan Nation Branding
Sumber: Ying Fan, 2010

Dalam prosesnya pembentukan merek bangsa dan identitas kebangsaan tentunya berkaitan kuat karena berhubungan dengan sentimen kebangsaan. Sentimen-sentimen tersebut menurut Shahab (2004) , Hobsbawn (1992), dan Gunawijaya (2011) dapat diciptakan dan direplikasi melalui sebuah strategi yang disebut sebagai invensi tradisi. Invensi tradisi dapat diartikan sebagai sebuah proses formalisasi dan ritualisasi yang karakteristiknya merujuk pada masa lalu yang terjadi dan dilakukan secara berulang-ulang (repetisi) secara kontinu dan berkembang secara luas, hingga dapat merespon situasi yang baru (Hobsbawm, 1992:2). Invensi tradisi juga merupakan praktik-praktik yang diciptakan oleh seorang atau kelompok inisiator untuk tujuan-tujuan tertentu, dikemas dalam simbol-simbol lama, berkaitan dengan sejarah masa lalu dan sesuai dengan norma-norma yang  berlaku umum hingga dapat diterima secara  wajar oleh sebagian besar warga suatu masyarakat (Hobsbawm, 1992: 2).  Sebagai sebuah strategi dalam membentuk nation branding, invensi tradisi dapat digunakan untuk mengintegrasikan berbagai potensi yang ada baik potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia melalui berbagai praktik ‘ritual-formal’ yang menginternalisasikan nilai-nilai nation branding dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Meski secara praksis terdapat berbagai cara yang memungkinkan hal-hal tersebut dilakukan, namun dalam tulisan ini saya ingin menyoroti beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membentuk nation branding menggunakan strategi invensi tradisi. Hal-hal tersebut antara lain:

a.       Bahasa dan Institusi Pendidikan
Bahasa dan pendidikan menjadi fokus pertama ketika akan membentuk nation branding melalui strategi invensi tradisi. Bahasa menjadi penting karena melalui bahasalah berbagai sentimen kebangsaan dapat ditransmisikan menjadi realita dan begitu pula sebaliknya. Bahasa menjadi sarana simbolik atau menjadi model of dan model for reality (Geertz, 1973) sehingga sentimen kebangsaan yang membentuk nation branding  dapat disebarkan dan terlaksana. Tidak jauh berbeda dengan bahasa, institusi pendidikan dapat menjadi sarana pertama dalam mentransmisikan nation branding yang dibentuk oleh otoritas. Sifatnya yang institusional dapat berperan menjadikan nation branding yang ditransmisikan menjadi hagemonik mengakar kuat di masyarakat.

b.      Kewirausahaan
Faktor kedua yang berperan penting dalam proses pembentukan nation branding melalui strategi invensi tradisi adalah budaya kewirausahaan. Budaya kewirausahaan penting untuk dibentuk dan dikembangkan untuk mendorong bangsa kita menjadi bangsa yang produktif bukan konsumtif. Berdasarkan pada data yang ada,  negara-negara yang memiliki GCI dan CBI yang baik umumnya merupakan negara-negara produsen yang bukan hanya memproduksi barang semata namun juga produktif dalam mencetak produk-produk yang berbasis value added oriented.

c.    Mentalitas Kekuasaan dan Kepemimpinan Inisiator
Faktor terakhir dan paling penting adalah mengenai mentalitas kekuasaan dan kepemimpinan dari inisator nation branding. Mentalitas kekuasaan disini saya artikan sebagai sikap-sikap good governance yang mendasari kekuasaan tersebut diperoleh dan dijalankan. Hal tersebut penting karena akan menjadi basis trust dari masyarakat kepada pimpinannya. Sedangkan kepemimpinan iniastor nation branding lebih pada kemampuan kepemimpinan dalam menterjemahkan tujuan menjadi strategi, jargon menjadi aksi, dan mengagregasikan berbagai kepentingan yang ada antar sektor menjadi tindakan yang sinergis sehingga mencapai tujuan bersama dengan dampak yang optimum.






Sabtu, 04 Juni 2016

Kota Bogor: Sebuah Perspektif Sejarah

Kota Bogor: Sebuah Perspektif Sejarah

"Hana nguni hana mangke Tan hana nguni tan hana mangke"
(Ada dahulu ada sekarang, tidak ada zaman dahulu tidak ada masa sekarang)
Amanat Galunggung



Kehadiran Kota Bogor sebagai sebuah entitas perkotaan hadir dari berbagai dinamika kesejarahan yang panjang. Dimulai dari zaman prasejarah, zaman kerajaan Hindu-Budha, zaman masuknya Islam-kolonial, hingga zaman kemerdekaan seperti saat ini. Perkembangan Kota Bogor dalam arus waktu, tentunya menimbulkan banyak perubahan baik terhadap kondisi Kota Bogor itu sendiri maupun terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dalam tulisan ini, saya akan menyoroti sedikit mengenai perkembangan sejarah Kota Bogor dalam beberapa periodisasi waktu.

Zaman Prasejarah

Jauh sebelum masa sejarah, di tanah Pasundan khususnya Kota Bogor sudah terdapat kehidupan manusia. Hal tersebut dibuktikan dari beberapa penemuan-penemuan situs prasejarah di Kota Bogor seperti situs Kampung Muara, Situs Pasir Angin, Situs Batu Dakon (Empang), dan Situs Pasir Mulya (Punden) (Ekadjati, 1980:77). Dalam penemuan-penemuan situs bersejarah tersebut, kerap kali juga ditemukan alat-alat perkakas yang merupakan barang-barang yang diduga sebagai alat-alat yang digunakan oleh manusia pada zaman tersebut untuk beraktifitas. Barang-barang tersebut seperti beliung persegi, kapak corong, periuk, gelang manik, dan batu panah.Penemuan situs-situs prasejarah di Kota Bogor, di samping membuktikan keberadaan manusia pada zaman tersebut, hal tersebut pula membuktikan bahwa pada zaman tersebut manusia sudah hidup secara berkelompok meskipun masih pada tahapan yang masih sangat sederhana. Dalam hal kepercayaan, penemuan menhir, dolmen, dan batu dakon membuktikan manusia Bogor pada zaman prasejarah sudah memiliki kepercayaan yang disebut oleh sebagian besar sejarawan/arkeolog sebagai animisme dan dinamisme. Kepercayaan animisme dan dinamisme sendiri merupakan kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang dipuja melalui personifikasi batu-batu besar (megalitik). Susunan batu biasanya diletakan di puncak bukit/gunung dengan letak antara sebelah Barat dan Timur. Konsep Timur dan Barat ini merupakan konsep prasejarah yang mencoba menggambarkan kehidupan yang berpasang-pasangan (hidup-mati, langit-bumi, laki-laki-perempuan) yang disejajarkan dengan arah terbit dan tenggelamnya matahari (Fadillah, 2014). 

Zaman Hindu-Budha 

Dalam arus waktu sejarah, zaman Hindu-Budha merupakan zaman pembuka masuknya Tanah Pasundan khususnya Kota Bogor dalam tingkatan yang lebih lanjut yakni zaman sejarah. Pada zaman tersebut, muncul beberapa kerajaan-kerajaan yang secara geografis wilayahnya termasuk meliputi wilayah Kota Bogor saat ini. Dalam catatan para sejarawan, secara umum diketahui kerajaan pertama yang hadir pada zaman Hindu-Budha adalah kerajaan Tarumanegara (abad ke-5 Masehi). Kehadiran kerajaan Tarumanegara, diketahui dari dua macam sumber yakni sumber lokal dan sumber luar negeri (Ayatrohaedi, 1975). Dari sumber lokal, kehadiran Tarumanegara diketahui dari berbagai prasasti yang ditemukan di Tugu, Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu. Prasasti-prasasti tersebut diketahui ditulis dalam bahasa Sansakerta dengan huruf Palawa. Dari prasasti-prasasti tersebut, para arkeolog dan sejarawan mengetahui bahwa kerajaan Tarumanegara pernah dipimpin oleh seorang Raja bernama Purnawarman, Radjadhiraja Guru dan Rajasi. Selain mengetahui nama raja yang pernah memerintah kerajaan Tarumanegara, melalui prasasti-prasasti tersebut dapat pula diketahui mengenai penggalian saluran air Candrabragha dan Gomati di sekitar kali Citarum (Bekasi-Karawang). Tujuan pembangunan saluran air tersebut diketahui sebagai saluran irigasi, pelayaran dan pertahanan. Jika melalui sumber lokal para sejarawan/arkeolog dapat mengetahui beberapa nama raja dan kejadian yang terjadi di kerajaan Tarumanegara, melalui sumber luar negeri (berita Cina-FaHien) para sejarawan mengetahui bahwa pada zaman tersebut penduduk Tarumanegara mulai memeluk agama Hindu tepatnya Hindu Wisnu (Ayatrohedi, 1975). Meski sudah memeluk agama Hindu, penduduk Tarumanegara menurut FaHien masih banyak juga mempraktikan ajaran-ajaran agama leluhur (wiwitan) dalam kehidupan mereka.

Sekitar abad ke 7 Masehi, melalui prasasti Kotapur (Bangka) diketahui kerajaan Tarumanegara turun dari panggung sejarah dan digantikan oleh kerajaan-kerajaan kecil di daerah Pasundan seperti di daerah Garut, Kuningan, Ciamis (Galuh) dan Bogor (Sunda). Kerajaan-kerajaan kecil tersebut, dikenal kemudian oleh para sejarawan sebagai sebuah kesatuan yang disebut sebagai kerajaan Sunda. Cerita sejarah mengenai awal mula kerajaan Sunda (hingga runtuhnya kerajaan Pajajaran) dapat ditelusuri secara tekstual dalam teks kuno (kropak 406) yang dikenal secara populer sebagai carita parahyangan (Atja, 1968). Dalam carita parahyangan, awal mula kerajaan Sunda dimulai dari cerita seorang tokoh bernama Sanjaya yang merupakan putera Sena, Raja Galuh. Sanjaya menjadi seorang raja setelah mengalahkan Rahyang Purbasora. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam teks carita parahyangan sebagai berikut:

…. Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora. Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri. Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun. Carek Rahiangtang Kidul: “Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, sarta anak saha sia teh?” Carek Rakian Jambri: “Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora.”“Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda.” Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal. Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?” “Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, ‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.”Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh. Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya…. 

Setelah menjadi Raja di Galuh, dalam carita parahyangan Rahyang Sanjaya kemudian menikahi anak dari Raja Kerajaan Sunda yakni Raja Terusbawa (Pendiri Pakwan Pajajaran). Selepas kematian Raja Terusbawa, Rahyang Sanjaya kemudian otomatis menjadi Raja Sunda yang mempersatukan Galuh dan Sunda. Dalam perkembangan pemerintahannya, Rahyang Sanjaya lebih banyak memusatkan pemerintahannya di Galuh dibandingkan di Sunda (Pakwan) (lihat Ekadjati, 1980:82). Dari catatan-catatan sejarah yang ada, singkat cerita selepas kematian Rahyang Sanjaya pusat kerajaan Sunda selalu berpindah-pindah. Pada masa pemerintahan Rakeyan Darmariksa (ada yang mengenalnya sebagai Raja Sewukarma), pusat kerajaan Sunda dipindahkan dari (Sawung) Galuh (Kuningan) kembali ke Pakuan Pajajaran (Ekadjati, 2003).Menurut keterangan yang di dapatkan dari prasasti Batu Tulis, Raja Sunda selanjutnya adalah seorang Raja yang memiliki banyak nama, antara lain Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja, Sri Sang Ratu Dewata. Dalam khazanah kebudayaan Sunda populer, banyak yang menyebutnya sebagai Prabu Siliwangi. Sri Baduga Maharaja sendiri, merupakan keturunan dari Rahyang Dewa Niskala yang dimakamkan di Gunung Tilu dan merupakan cucu dari Rahyang Niskala Wastu Kencana yang dimakamkan di Nusa Larang. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, disebutkan dalam carita parahyangan dan prasasti batu tulis bahwa kehidupan masyarakat saat itu hidup aman dan sentosa. Sri Baduga Maharaja juga dalam prasasti batu tulis disebutkan telah berjasa membangun hutan samida, telaga Rena Mahawijaya, jalan-jalan, dan tanda peringatan gunungan. Hal tersebut sebagaimana tulisan di prasasti batu tulis berikut ini: 

“Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang, ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyanl sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi .”
 Pada masa pemerintahannya, menurut carita parahyangan Sri Baduga Maharaja menempati keraton yang bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradapati. Banyak pendapat yang diungkapkan oleh para ahli mengenai lokasi dan bentuk dari keraton Sri Baduga Maharaja sendiri. Beberapa sejarawan dan arkeolog Belanda menyebutkan bahwa lokasi keraton Pakuan Pajajaran sendiri lebih pada makna konotatif yang berarti pada pohon paku (pakis) yang berjajar. Pendapat ini dikuatkan dari asumsi mengenai pola pencahariaan masyarakat Kerajaan Sunda saat itu yang didominasi pada kegiatan pertanian huma. Kegiatan pertanian huma yang sifatnya berpindah, menurut pendapat beberapa arkeolog Belanda tidak memungkinkan untuk kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran untuk membangun keraton yang sifatnya statis dan menetap. Berbeda dengan pendapat para arkeolog Belanda, pendapat lain diungkapkan oleh Poerbajtaraka (1921) dan kemudian dikuatkan oleh Danasasmita (2006). Menurutnya, anggapan beberapa arkeolog Belanda tentang ketidakberadaan keraton Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran merupakan hal yang salah. Poerbajtaraka (1921) mengungkapkan bahwa Pakuan Pajajaran sendiri dapat diartikan sebagai ‘istana yang berjajar’. Hal tersebut didapatkan dari analisanya tentang kata Pakuan yang dapat dipersamakan dengan kata Pakuwon (Pa+Kuwu+an yang artinya tempat ‘kuwu’ atau pemimpin tinggal) dalam bahasa Jawa. Pendapat Poerbajtaraka mengenai keberadaan keraton Pakuan Pajajaran dikuatkan oleh Danasasmita. Menurutnya, keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradapati benar- benar ada. Lokasinya di sekitar prasasti batu tulis, dengan letak menghadap ke arah utara dan membelakangi Gunung Salak. Adapun bangunan keratonnya sendiri diperkirakan oleh Danasasmita (2006), memiliki fungsi antara lain: (1) bangunan Bima adalah balai peperangan, (2) Punta sebagai balai pengadilan, (3) Narayana sebagai balai penghadapan, (4) Madura adalah balai Resepsi, dan (5) Suradipati adalah bangunan persemayaman raja dan keluarganya, kelima bangunan itu yang sering juga disebut dengan Panca Prasadha (Danasasmita 2006: 31).

Sepeninggal Sri Baduga Maharaja, kerajaan Sunda kemudian dipimpin oleh anaknya yakni Prabu Surwawisesa. Pada masa Prabu Surwawisesa, sebagaimana yang ditulis pada carita parahyangan wilayah kekuasaan kerajaan Sunda mulai ‘diusik’ dengan masuknya pengaruh Islam di beberapa kota pelabuhan seperti di Banten dan Cirebon. Sepeninggal Prabu Surwawisesa, pengaruh Islam dari Cirebon dan Banten semakin menguat dengan banyaknya bantuan yang diberikan oleh Demak kepada dua wilayah tersebut untuk segera melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Setelah Prabu Surwawisesa wafat, dari catatan sejarah dan carita parahyangan Kerajaan Sunda kemudian dipimpin oleh beberapa raja yang dinilai kurang ‘kompeten’ dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Hal ini tercermin dari sikap Sang Ratu Saksi yang suka membunuh, Tohaan di Majaya yang suka bermain perempuan, dan Nusiya Mulya yang dinilai tidak tegas. Atas sebab tindakan dan perilaku raja-raja Sunda tersebut, pada akhirnya melalui sebuah penyerangan yang dilakukan oleh Banten ke pusat Pakuan Pajajaran, kerajaan Sunda turun dari hingar-bingar panggung sejarah.

Zaman Islam- Kolonial 
Jauh sebelum Cirebon dan Banten melepaskan diri sebagai pasal dari kerajaan Sunda, menurut carita parahyangan di wilayah Cirebon sudah banyak penduduk kerajaan Sunda yang memeluk agama Islam. Selepas kedatangan Susuhunan Gunung Jati dari Mekkah, jumlah penduduk kerajaan Sunda yang pada akhirnya memeluk agama Islam bertambah seiring dengan menguatnya dakwah Islam di daerah tersebut. Seiring dengan perkembangan waktu, setelah dakwah dan jumlah pengikut agama Islam bertambah pada akhirnya Cirebon sebagai salah satu pasal dari kerajaan Sunda melepaskan diri. Pelepasan diri Cirebon disambut baik oleh kerajaan Demak dengan mengirimkan bala bantuan di Cirebon dan Banten. Pada akhirnya, setelah semua kota pelabuhan kerajaan Sunda (termasuk Sunda Kelapa) telah dikuasai, secara perlahan seluruh tanah Pasundan termasuk Kota Bogor jatuh ditangan pengaruh Islam. Dalam hal penyebaran agama Islam di Kota Bogor, di samping dilakukan oleh pihak Cirebon dan Banten salah satu pihak yang memiliki andil besar adalah para saudagar ‘Arab’ yang berasal dari Hadramaut (Yaman). Para saudagar tersebut, selain melakukan perdagangan di wilayah Kota Bogor juga turut bermukim dan ‘beranak-pinak’ dan membentuk sebuah komunitasnya tersendiri yang saat ini dikenal sebagai kampung ‘Arab’ Empang.

Pengaruh Islam di Tanah Pasundan khususnya di Kota Bogor telah dengan otomatis merubah kondisi sosio-kultural penduduk Kota Bogor saat itu. Kota yang pada mulanya merupakan pusat dari pemerintahan sebuah kerajaan Hindu yang sangat besar, berangsur-angsur berubah menjadi kota yang memiliki nilai keislaman yang cukup kental dibawah pengaruh dari kerajaan Banten pimpinan Maulana Malik Yusuf Ibrahim. Dalam proses Islamisasi Kota Bogor, peranan Masjid dan pesantren begitu kuat memainkan peran sebagai kanal pendidikan dan penyebaran agama Islam. Singkat cerita, setelah hampir seluruh wilayah Pasundan termasuk Kota Bogor masuk dalam pengaruh Islam cerita dan alur sejarah berubah pada babak selanjutnya yakni fase kolonial Belanda.

Belanda diketahui masuk pada tahun 1529 di Banten yang dipimpin oleh Cornelis de Houtmen. Pada mulanya tujuan Belanda untuk berdagang rempah-rempah namun pada perkembangannya, Belanda mulai mendirikan kongsi dagang (VOC) untuk melakukan monopoli perdagangan. Strategi monopoli perdagangan yang dilancarkan oleh VOC tentunya tidak berjalan mulus, banyak penentangan oleh penguasa lokal seperti yang terjadi di Tuban (lihat novel Arus Balik Pramoedya), Jepara, Cirebon, Mataram, Sunda Kelapa, dan Banten. Meskipun telah mendapatkan banyak penentangan, VOC dengan strategi politik devide et impera mampu melaksanakan monopoli perdagangannya di pulau Jawa.

Pada tahun 1808, setelah VOC dibubarkan, pulau Jawa termasuk Tanah Pasundan mulai dikuasai kolonial Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Daendels (Ekadjati, 1980:112). Pada masa tersebut, untuk memudahkan administrasi kekuasaan kolonial, Daendels mulai membagi dua wilayah Tanah Pasundan. Bogor, Tanggerang, Karawang, Cianjur, Sumedang, Cianjur, Bandung dimasukan dalam satu wilayah pemerintahan yang disebut sebagai Batavia en Jakatrasche Preanger-regentschappen. Sedangkan Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh, dimasukan wilayah Kesultanan Cirebon en Cheribonshe Preangan regentschappen. Untuk memudahkan pihak kolonial mengatur administrasi wilayah-wilayah jajahannya tersebut, di setiap daerah diangkat pemimpin lokal yang disebut sebagai Demang yang fungsinya mirip dengan Bupati pada Kadipaten-Kadipaten di Mataram.

Pembentukan Bogor dan dan Kabupaten Bogor tidak lepas dari sejarah kolonial yang membentuknya. Jika kita cermati buku yang ditulis Danasasmita (1983) yang berjudul Sejarah Bogor kita dapat mengetahui awal mula dari sejarah Kota Bogor yang pada mulanya bernama Kampung Baru. Penemuan Kampung Baru oleh ekspedisi Scipio (1867), dinilai sebagai titik awal yang menghubungkan antara masa ‘tilem’ Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran dengan peradaban kolonial. Pada ekspedisi tersebut Scipio melihat bahwa masih ada sisa-sisa kabuyutan Pajajaran yang tertinggal di sekitar lokasi Batu Tulis saat ini. Selain Scipio, ekspedisi lain dilakukan oleh seorang kapiten ‘pribumi’ Belanda asal Sumedang bernama Tanuwijaya. Menurut laporan Tanuwijaya yang ditulis kembali oleh Danasasmita (1983), pada saat itu kabuyutan Pajajaran masih terlihat bekas-bekasnya. Pada saat ekspedisi tersebut, Tanuwijaya kemudian membuka beberapa hutan dan lahan lain sebagai pemukiman yang baru. Dalam masa kolonial, di samping terjadi ‘pembentukan’ secara besar-besaran kota Bogor secara lanskap perkotaan, secara lanskap sosial Kota Bogor juga mengalami banyak perubahan. Pada zaman tersebut, pihak kolonial menerapkan kebijakan wijkenstelsel atau kebijakan pemukimaan berdasarkan etnis. Aturan tersebut, menyebabakan masyarakat kota Bogor tinggal menetap menurut etnisnya masing-masing. Saat itu, orang-orang Eropa menempati kawasan di sebelah barat jalan raya (sekarang Jalan Sudirman) mulai dari Witte Paal (saat ini air mancur) sampai sebelah selatan Kebun Raya dan Pakancilan. Orang Tionghoa diberi peruntukan lahan di daerah yang berbatasan dengan jalan raya sepanjang jalan Suryakencana sampai dengan tanjakan Soekahati (Empang), sedangkan orang arab menetap disekitar daerah Soekahati atau Empang . Singkat cerita, setelah peristiwa sumpah pemuda dan pembentukan Boedi Oetomo sebagai ‘lokomotif’ pergerakan bangsa terbentuk, peta sosial-politik Indonesia termasuk Kota Bogor segera berubah. Pada saat itu, muncul beberapa pemberontakan pada pihak kolonial meskipun sifatnya masih sporadis dan tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan. Setelah Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang, pada tahapan ini Kota Bogor turut serta masuk dalam periodisasi sejarah baru yakni zaman pendudukan Jepang.

Dalam masa pendudukan Jepang, keadaan sosial dan ekonomi masyarakat Kota Bogor sangatlah memprihatinkan. Pada zaman tersebut untuk menyokong Jepang pada perang dunia kedua banyak warga Bogor yang dijadikan sebagai romusha. Selain itu ada beberapa peristiwa yang terjadi di wilayah Kota Bogor yang patut dicatat karena dampaknya cukup besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah didirikannya pusat latihan militer Jepang dengan nama Jawa Bó-ei Giyũgun Kanbu Renseitai pada 15 Oktober 1943. Di lembaga inilah dididik calon-calon perwira tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sekitar bulan Januari 1944, nama pusat latihan itu diubah namanya oleh komandannya yang baru, Kapten Yanagawa menjadi Bó-ei Giyũgun Kanbu Kyǒikutai, sesuai dengan presepsinya bahwa lembaga ini bukan sekedar “latihan”(rensei), tapi mendidik (kyǒiku) taruna-tarunanya (Notosusanto, 1979: 90).

Jumlah tentara Peta hasil didikan Jepang itu berjumlah 66 daidan (batalyon) di Jawa dan 3 daidan di Bali. Di Jawa Peta disebarkan ke setiap keresidenan. Di wilayah Bogor shũ (Keresidenan Bogor) terdapat empat daidan yang dipusatkan di Jampang Kulon, Pelabuhan Ratu, Cibeber, dan Cianjur. Umumnya yang dididik dan diangkat menjadi komandan batalyon (daidancho) adalah tokoh atau elit setempat, seperti Haji Abdulah bin Nuh (dari Empang, Bogor) dan Kiai Haji Basyuni (dari Cipoho, Sukabumi). Kedua tokoh ulama tersebut sebelumnya merupakan aktivis AII pimpinan Kiai Haji Ajengan Ahmad Sanusi ( Tjahaja, 12 Pebruari 1944). Pada Agustus 1945, pada akhirnya setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Kota Bogor masuk dalam Provinsi Jawa Barat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Epilog
Dalam pembahasan saya diatas telah saya jelaskan dengan singkat mengenai sejarah perkembangan Kota Bogor mulai dari zaman prasejarah hingga masa kolonial. Perkembangan sejarah tersebut tentunya memberikan makna tersendiri bagi perspesi akan realita masyarakat yang menempati Kota Bogor tentang bagaimana memandang identitas dirinya sendiri sebagai orang Bogor. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Berger dan Luckmann (1966) mengenai kontruksi sosial, bahwa segala hal termasuk realita dan pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi sosial yang dilakukan secara repetitif dan kemudian menjadi sebuah struktur yang baik secara sadar maupun tidak dialami dan dilakukan oleh masyarakat yang kemudian menjadi sebuah identitas sosial.

Identitas ‘kebogoran’ yang terbentuk dari perjalanan sejarah itu sendiri tentunya perlu mendapatkan perhatian dan kajiannya tersendiri saat ini. Apakah identitas tersebut masih relevan di tengah-tengah arus modal dan masyarakat plural saat ini. Bagaimana bentuknya dan apa dampaknya terhadap masyarakat Bogor saat ini, tentunya hal tersebut membutuhkan kajian yang lebih serius kedepannya. Tulisan ini hadir, dalam rangka sebagai pemantik akan kajian yang lebih serius akan identitas kesejarahan kota Bogor kedepannya. 


Daftar Rujukan
Atja
1968 Tjarita Parahyangan. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang
Ayatrohaedi
1965 Tarumanegara Sejarah Jawa Barat. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann
1966 The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of
Knowledge. Garden City, New York: Doubleday & Company.
Danasasmita, Saleh
1983 Sedjarah Bogor.Bogor: Pemerintah Daerah DT II Bogor.
2006 Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda
Ekadjati, Edi S.
1980 Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka.
1993 Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
2003 Sejarah Kuningan. Bandung: Kiblat.
 Fadillah, Achmad
2014 Pukukuh Tilu: Invensi Tradisi Pada Masyarakat Agama Djawa Sunda (ADS) di Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat.Tidak Diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia.
Notosusanto, Nugroho
1979 Tentara PETA Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Poerbatjaraka, R. Ng.
1921 De Batoe Toelis bij Buitenzorg. TBG: LIX.
Universitas Parahyangan
1985 Seminar Arsitektur: Tinjauan Arsitektur Kota Bogor. Bandung : Universitas Parahyangan.