Kamis, 09 Juni 2016

Menatap Kembali Peradaban Kemaritiman Nusantara

Menatap Kembali  Peradaban Kemaritiman Nusantara[1]

Kehadiran peradaban nusantara sebagai sebuah entitas kebangsaan,tentunya tidak dapat terlepas dari berbagai dinamika kesejarahaan yang ada. Dengan wilayah geografis yang terdiri atas gugusan pulau-pulau, nusantara tentunya memiliki sejarah kemaritiman yang cukup kompleks dan panjang yang konfigurasinya memiliki andil besar dalam membentuk peradaban nusantara saat ini. Selama ini, sejarah kemaritiman yang selalu didengung-dengungkan oleh penguasa dan dunia ‘barat’ hampir selalu berkisar pada kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam mengarungi lautan dan menaklukan kerajaan-kerajaan di negeri seberang. Dalam kacamata saya, tentunya hal tersebut merupakan sebuah pandangan yang sangat simplistik dan mereduksi sejarah lain sebagai sebuah kesatuan yang membentuk peradaban kemaritiman nusantara hingga saat ini. 

       Kelemahan lain dari terlalu didengung-dengungkannya sejarah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai barometer peradaban kemaritiman nusantara yakni, membuat kita terlampau  silau terhadap masa lalu yang ada, hingga kita lupa pada akar masalah sebenarnya yakni mengapa kerajaan-kerajaan tersebut jatuh dan hilang hingga saat ini?Kebiasaan ‘memunggungi laut’[2], semenjak kejatuhan Sriwijaya dan Majapahit seakan menjadi kebiasaan yang dibawa oleh bangsa ini hingga saat ini. Persoalan kemaritiman  menjadi proritas kesekian jika tidak berkaitan dengan masalah kedaulatan dan dignity bangsa di tengah-tengah pandangan dunia internasional. Persoalan yang mengemuka saat ini seolah terulang jika kita menengok sejarah. Kita adalah ‘Sriwijaya dan Majapahit’ yang mencoba untuk bangkit setelah sekian lama berpaling dari luasnya lautan yang ada. Pertanyaannya, bagaimanakah caranya? dan dengan apakah kita dapat bangkit? Dalam hemat saya jawabnya terletak pada satu hal: kebudayaanDalam pandangan seorang bengawan antropologi Koentjaraningrat (1979), kebudayaan bukan hanya sekedar kebiasaan atau sifat-sifat tertentu melainkan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang didapatkan dengan cara belajar. Kebudayaan mengajari diri manusia berprilaku dan bertindak dan dijadikan acuan (blueprint)dalam kehidupannya bermasyarakat (Suparlan, 1994). Kebudayaan bersifat dinamis dan merupakan hasil pergulatan sejarah secara  diakronik antara masa kini dan masa lampau.Karena kebudayaan merupakan hasil dari pergulatan sejarah yang diakronik antara masa kini dan masa lampau, tentunya ada baiknya kita membahas terlebih dahulu mengenai  pergulatan sejarah masa lampau peradaban maritim di nusantara dan berbagai macam dinamika didalamnya. Bukan untuk bermaksud untuk bercerita mengenai sejarah yang pernah dipelajari di bangku sekolah, namun untuk menemukan relevansinya secara diakronik dengan keadaan di masa kini mengapa peradaban kemaritiman kita mengalami masa tilem atau kemunduran.
***
Berbicara mengenai sejarah peradaban maritim nusantara, kurang rasanya jika kita tidak memulai dengan peradaban bangsa yang dikenal sebagai jawara di lautan yakni bangsa Bugis-Makassar. Pelaut-pelaut Bugis-Makassar di masa lalu diakui pula oleh sejarahwan Robert Dick-Read (2005: 88-105) sebagai pelaut yang memiliki keahlian kemaritiman yang luar biasa, juga mempunyai reputasi sebagai pedagang sukses dan jujur, prajurit yang setia dan jujur, berkepribadian dan berperilaku baik, pemimpin yang baik, dan senang berpetualang. Salah satu deskripsi mendetail tentang pelayaran para pelaut Bugis-Makassar termuat dalam catatan dari Cornelis Speelman yang ditulis seusai Perang Makassar, yaitu pada tahun 1670 (dalam Poelinggomang at all). Dalam catatannya, Speelmen menuliskan mengenai keunikan kehidupan maritim bangsa Bugis-Makassar dalam kerangka Kerajaan Gowa-Tallo yang berdiri pada awal abad keempatbelas. Dalam sejarahnya, kerajaan Gowa-Tallo pada mulanya merupakan sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa-Tallo. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya. Menurut catatan Speelmen, Kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan maritim dengan pemerintahan yang modern dengan dipimpin oleh dua orang; seorang raja  dan seorang mangkubumi (semacam perdana menteri). Diraihnya zaman keemasan Gowa-Tallo dengan pusatnya di Makassar sebagai kerajaaan maritim,sebenarnya lebih pada peran dari seorang mangkubumi-nya bernama Karaeng Matoaya.

Karaeng Matoaya dibantu oleh puteranya yakni Karaeng Patingaloang meskipun hanyalah seorang mangkubumi ketika masa pemerintahan Sultan Alaudin,namun membuat banyak perubahan besar khususnya dalam bidang kemaritiman. Menurut beberapa sumber, Karaeng Matoaya dan Karaeng Patingaloang dipercaya memiliki kemampuan bahasa yang luar biasa. Mereka dapat menuturkan beberapa bahasa Eropa seperti Latin, Portugis, dan Inggris secara fasih seperti penutur aslinya (Cummings, 1999). Di samping kemampuan bahasa yang dimilikinya, Karaeng Matoaya dan anaknya juga mengembangkan sistem kemaritiman kerajaan dengan berpijak pada ilmu pengetahuan seperti astronomi dan matematika. Di samping itu, sebagai kerajaan maritim, kerjaan Gowa-Tallo juga memiliki aturan-aturan baik aturan dalam hubungan sosial maupun dalam kegiatan berniaga dan pelayaran. Dalam hubungan sosial norma kehidupan masyarakat Gowa-Tallo diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut pangadakang yang berisi tentang siri (harga diri), pace (perasaan sakit atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (perbaikan hidup ada di tangan sendiri) yang diatur dalam ade’ (adat istiadat), rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), wari’ (sitem protokoler kerajaan), bicara (sistem hukum) dan sara’ (syariah Islam) (Rahman, 2007). Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa-Tallo juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata” (Cummings, 1999). Dalam kegiatan berniaga dan pelayaran, kemajuan kerajaan Gowa-Tallo tidak terlepas dari hukum niaga dan pelayaran yang diberlakukan saat itu yang disebut sebagai hukum ade’ aloping loping bicaranna pabbalue.

Meski memiliki kemampuan kemaritiman dalam melakukan perdagangan, penaklukan, dan diplomasi namun sayangnya ada wilayah vassal di sekitar kerajaan Gowa-Tallo yang sangat sulit untuk ditaklukan secara utuh. Wilayah tersebut adalah wilayah Bone.Sebagaimana kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan Bone merupakan kerajaan yang terbentuk dari persekutuan beberapa negeri yang dikenal sebagai persekutuan tujuh pada awal abad keempatbelas. Semenjak awal terbentuknya, dua kerajaan ini (Bone dan Gowa-Tallo) memiliki hubungan pasang-surut yang ditandai dengan perang dan diplomasi. Berulang kali pimpinan kerajaan Bone berusaha untuk melakukan pemberontakan ke kerajaan Gowa-Tallo. Pemberontakan yang dilakukan di samping karena persoalan politik, juga disebabkan karena para pemimpin Bone merasa siri-nya dilanggar oleh para pemimpin Gowa-Tallo. Salah satu tokoh Bone yang memimpin gerakan pemberontakan terhadap Gowa-Tallo adalah Arupalakka. Menurut Lampe (1995), Aruppalaka memimpin pemberontakan terhadap Gowa-Tallo sebanyak dua kali. Pemberontakan pertama, terjadi sekitar tahun 1660 dan pemberontakan kedua terjadi pada tahun 1666. Pada pemberontakan pertama, Arupalakka memberontak dengan kekuatan sekitar 11.000 orang yang mayoritas berasal dari Soppeng dan Bonne. Perang berlangsung cukup lama, hampir selama dua bulan. Pada Oktober 1660, pemberontakan Arupalakka dapat diredam. Arupalakka yang kalah kemudian lari ke Buton, dan pada akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan dari VOC di Batavia. VOC yang sudah sekian lama menginginkan kehancuran Gowa-Tallo menyambut baik permohonan Arupalakka. Di bawah komando dari Cornelis Speelmen, VOC dan tentara Arupalakka yang berasal dari Buton, Ternate, Tidore, Bacan,Bone, dan Soppeng menggempur pertahanan pusat kerajaan Gowa-Tallo di Benteng Somba Opu Makassar. Setelah satu tahun mengalami masa peperangan, pada akhirnya Benteng Somba Opu pada tahun 1669 dapat direbut oleh pihak VOC dan Arupalakka. Kerajaan Gowa-Tallo yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hasanudin dipaksa untuk menandatangani perjanjian Bongaya, yang salah satu poinnya adalah Kerajaan Gowa-Tallo harus melepaskan seluruh wilayah kekuasaannya di Sulawesi dan daerah lain dan memberikan izin bagi VOC untuk mendirikan benteng di kota dagang tersebut. Akibat dari ditandatanganinya perjanjian Bongaya, maka praktis kerajaan Gowa-Tallo kehilangan kekuatan dan perlahan mundur dari panggung sejarah.

Kisah yang hampir sama juga menimpa kerjaan maritim lain dengan peradaban besarnya di nusantara yakni kerajaan Banten. Kerajaan yang didirikan oleh anak dari Sunan Gunung Jati yakni Maulana Hasanudin ini sempat menjadi kerajaan maritim besar pada pertengahan abad ketujuhbelas. Banten mengalami masa kejayaaan sebagai kerajaan maritim ketika masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Melalui perdagangan lada, Banten menjadi kota pelabuhan yang penting khususnya di wilayah Asia Tenggara. Menurut sejarahwan Anhony Reid (1992) dalam tulisannya Southeast Asia in the Age of Commerce1450-1680,kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa banyak yang singgah dan berdagang di Banten. Pada masa tersebut, bahkan menurut Reid (1992), tercipta sebuah pola kapitalisme lokal baru yang meskipun memiliki ciri-ciri yang mirip dengan kapitalisme di Eropa, namun memiliki ciri-ciri khusus seperti masih kuatnya feodalisme dan hirarki sosial dengan raja sebagai jangkar sosial didalamnya. Pola kapitalisme lokal baru ini pula, menurut Untoro (2008), diperkuat dengan kemampuan Banten untuk mensinergisasi supply komoditas dari daerah pedalaman, sehingga Banten bukan hanya tampil sebagai broker komoditas namun juga dapat mensupply produksi komoditasnya secara mandiri.

Perjalanan sejarah Banten sebagai kerajaan maritim mendapat tantanganya ketika mendapatkan pergolakan dari dalam lingkungan istana sendiri. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat pemberontakan dari anaknya yakni Abdul Kahar atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Haji. Cerita awal mula pemberontakan Abdul Kahar, menurut Lubis (2003: 52) dimulai ketika Sultan Ageng memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Banten dari Keraton Surosowan ke Keraton Tirtayasa. Dalam pemindahan tersebut, Sultan Ageng merasa bahwa ini pula merupakan saat yang tepat untuk mengkader puteranya yakni Abdul Kahar sebagai calon penerus Kerajaan Banten. Untuk ‘mendidik’ Abdul Kahar, Sultan Ageng lalu mengangkatnya sebagai putra mahkota dan memberikan tanggung jawab lebih untuk menduduki Keraton Sorosowan sementara Sultan Ageng pindah ke Keraton Tirtayasa. Pengangkatan Abud Kahar sebagai putra mahkota sebenarnya memberikan dampak yang besar bagi Abdul Kahar, karena dengan diberikannya gelar putra mahkota, Sultan Ageng harus senantiasa berkoordinasi dengan Abdul Kahar dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Banten.

Kepindahan Sultan Ageng ke Keraton Tirtayasa ternyata ditanggapi lain oleh pihak Belanda. Pihak kompeni, merasa kepindahan Sultan Ageng merupakan sebuah kesempatan emas untuk mendekati Abdul Kahar agar dapat berpihak pada Belanda. Strategi yang dilakukan cukup berhasil. Pada setiap pertemuan dan upacara kerajaan, Belanda selalu diundang oleh Abdul Kahar sebagai tamu kehormatan di Keraton Sorosowan. Mendengar perilaku dari putra mahkotanya, Sultan Ageng sedikit meradang. Abdul Kahar kemudian ‘dikirim’ oleh Sultan Ageng untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci( karena itulah Abdul Kahar lebih dikenal sebagai Sultan Haji). Di samping dikirim untuk memperbaiki perangainya, dikirimnya Abdul Kahar ke tanah suci juga untuk ‘mempromosikan’ Kerajaan Banten di muka dunia, khususnya kepada kerajaan-kerajaan (kesultanan) Islam di dunia. Selama keberangkatannya ke tanah suci, Sultan Ageng lantas mengalihkan tugas-tugas Abdul Kahar sebagai putra mahkota kepada adik dari Abdul Kahar yakni Pangeran Purbaya. Selama kepergian Abdul Kahar, Pangeran Purbaya lantas memperbaiki pola hubungan antara Kerajaan Banten dengan pihak Belanda. Pengeran Purbaya, lebih mnejaga jarak, dan menegaskan ketidaksukaannya terhadap perilaku Belanda yang dinilai ingin melakukan monopoli perdagangan di wilayah Banten.

Sepulangnya Abdul Kahar dari tanah suci, Abdul Kahar lantas diberikan gelar sebagai Sultan Haji dan kembali menjadi putra mahkota dengan kedudukan di Keraton Surosowan. Kepulangan Sultan Haji tentunya memberikan angin segar tersendiri bagi Belanda untuk kembali menjali hubungan dengan Kerajaan Banten. Pihak Belanda kemudian menghasut Sultan Haji dengan mengatakan bahwa Sultan Haji tidak akan diberikan haknya akan tahta karena akan dialihkan kepada adiknya yakni Pengeran Purbaya. Mendengar hasutan tersebut, Sultan Haji lantas menyatakan perang kepada ayahnya dan terjadilah perang antara Sultan Haji dan Sultan Ageng.Peperangan yang terjadi, lantas memenangkan Sultan Haji yag dibantu oleh pihak Belanda. Kemenangan Sultan Haji yang dibantu oleh Belanda ternyata hanyalah kemenangan semu belaka. Sultan Haji yang sebelumnya telah dibutakan hasrat akan berkuasa terpaksa harus menandatangani surat perjanjian yang sebelumnya disepakati dengan Belanda. Belanda yang tadinya dianggap kawan menelikung menjadi lawan. Kekuasaan yang didapatkan oleh Sultan Haji praktis menjadi kekuasaan yang semu dan dirinya mendapati bahwa pengkhianatannya sia-sia dan hanya berujung menjadi penyesalan baik terhadap ayahnya maupun rakyatnya.

Mundurnya kerajaan-kerajaan maritim seperti Banten dan Gowa-Tallo diikuti dengan Ternate-Tidore dan Demak membawa peradaban maritim nusantara jatuh di titik nadir. Belanda dengan berbagai siasat yang dilakukannya,melakukan monopoli perdagangan di berbagai tempat. Di samping melakukan monopoli perdagangan, Belanda dengan sisatnya juga turut mencerabut berbagai pranata-pranata sosial yang ikut melekat dalam sistem perniagaan dan pelayaran. Salah satu siasat Belanda untuk mencerabut pranata sosial di kerajaan-kerajaan maritim yang ditaklukannya adalah dengan cara menerapkan pelayaran hongi (keliling). Sistem pelayaran hongi, menyerabut berbagai aturan dengan cara menerapkan aturan-atura ketat dalam sistem pelayaran yang menempatkan nilai dan pranata kolonial dalam setiap aspek pelayaran. Tercerabutnya berbagai nilai dan pranata pelayaran, tentu juga mencerabut sebagian pengetahuan tentang pelayaran dan kemaritiman. Kita sudah tidak mengenal lagi mengenai pembagian kerja di kapal mulai dari Nahkoda, jurmudi, jurubantu, mualim, dan para mandor. Hilangnya pengetahuan-pengetahuan tersebut, lambat laun membuat kita juga kehilangan pamor dalam dunia kemaritiman. Konektifitas “bangsa” yang dahulu terhubung lewat laut lambat laun surut dan padam. Lantas, menjadi pertanyaan kemudian adalah, jika saat ini kita sudah telalu lama memunggungi laut dan ingin kembali menatapnya kembali, langkah apa sajakah yang harus kita siapkan agar kita dapat mengembalikan  identitas  kemaritiman kita sebagai sebuah bangsa? Kiranya dalam hemat saya ada beberapa langkah yang perlu untuk dilakukan. Pertama, yakni mengembalikan kembali laut sebagai space (ruang) yang memiliki konteks sosial-kultural di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Indonesia perlu dan harus diberikan pemahaman bahwa laut bukan hanya place(tempat) di mana keganasan ombak dan dalamnya samudera itu hadir secara berbahaya, namun juga harus disadarkan mengenai fungsi laut dalam menghadirkan konektifitas kebangsaan secara fungsional. Misalnya saja sebagai sarana dalam transportasi dan juga memberikan manfaat ekonomi bagi manusia-manusia Indonesia. Kedua, yakni menempatkan kembali teks-teks kemaritiman dalam lembaga-lembaga pendidikan. Pengetahuan soal maritim, perlu menghagemoni dalam ruang-ruang pendidikan baik di ruang kelas maupun dalam kunjungan-kunjungan langsung di lapangan. Hegemonisasi diskursus maritim dalam lembaga-lembaga pendidikan, harapannya dapat meningkatkan pengetahuan dan kecintaan terhadap dunia maritim. Ketiga dan terakhir adalah tindakan dan partisipasi kolaboratif. Saya pikir sudah terlalu banyak teks rencana, masterplan, dan wacana mengenai cara-cara membangkitkan dunia maritim Indonesia. Saat ini, tinggal bagaimana berbagai “kemauan” tersebut diterjemahkan dalam “aksi” nyata secara “bersama-sama”. Tentunya, hal tersebut bukan hanya tanggungjawab pemerintah namun tanggungjawab kita semua.

                       







[1] Ditulis oleh Achmad Fadillah alumni antropologi FISIP UI
[2] Merupakan terminologi yang digunakan Presiden Joko Widodo untuk menggambarkan ketertiggalan bangsa Indonesia dalam bidang maritim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar