Jumat, 25 Januari 2013



Film Review


 Hotel Rwanda :
Konstruksi Kolonial, Revolusi, dan Genoside




Hotel Rwanda, merupakan sebuah film besutan sutradara Terry George, yang mengambil setting pada kejadian kejahatan genosida di Rwanda pada tahun 1994. Film ini mengisahkan kejadian nyata akan kejahatan genosida di Rwanda dari sudut pandang seorang manajer hotel bernama Paul Rusesabagina (diperankan Don Cheadle), seorang manajer hotel Sabena Hôtel des Mille Collines, adalah seorang Hutu namun istrinya, Tatiana (diperankan oleh Sophie Okonedo), adalah seorang Tutsi. Pernikahannya menjadikannya penghianat bagi ekstrimis Hutu yakni George Rutaganda, seorang kenalan baik dan penyalur kebutuhan hotel yang juga merupakan pemimpin dari Interahamwe, milisi Hutu yang anti Tutsi.
Dalam film ini diceritakan kemudian pada malam pembantaian, tetangga-tetangga dan keluarga Paul baik dari suku Hutu maupun Tutsi sangat berharap padanya supaya dapat ia selamatkan. Kemampuan negosiasi dan kepemimpinan yang dilakukan oleh paul, membuatnya dapat menyelamatkan keluarga dan tetangganya dari milisi Hutu bersenjata yang bertujuan menghabisi semua suku Tutsi. Setelah tawar menawar dengan seorang petugas militer Rwanda untuk keselamatan keluarga dan teman, Paul membawa mereka ke hotelnya. Setelah dapat menyelamatkan keluarga dan tetangganya, berita tersebut banyak tersebar sehingga semakin banyak orang yang menjadi pengungsi yang kemudian membanjiri hotelnya. Pihak PBB tidak dapat berdaya, dikarenakan kamp pengungsian PBB sangat berbahaya dan terlalu penuh pada saat itu.
Tentara Bizimungu  akhirnya dapat mengakhiri kekacauan dan Paul panik mulai mencari istri dan keluarganya, berpikir kalau mereka sudah bunuh diri seperti yang diperintahkan Paul apabila orang-orang Hutu dapat menyerang hotel. Setelah ketakutan setengah mati, Paul menemukan mereka bersembunyi di kamar mandi. Keluarga dan para pengungsi akhirnya dapat keluar dari hotel dengan kawalan konvoi pasukan PBB. Mereka menempuh perjalanan melewati pengungsi Hutu dan milisi Interhamwe menuju ke belakang garis depan pihak pemberontak Tutsi. Di akhir cerita,  dengan bantuan dari Madame Archer Paul menemukan kedua keponakannya yg masih kecil, yang keberadaan orang tuanya tidak diketahui, dan mengajak mereka dengan keluarganya keluar dari Rwanda.
Salah satu penyebab mendasar dari genosida yang terjadi di Rwanda tahun 1994 merupakan konflik yang terjadi antara 2 suku besar di Rwanda yakni Konflik antara suku Hutu dan Tutsi. Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya.
Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung[1]. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek. Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya misalnya menjadi petugas administrasi .
Sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia selaku pihak kolonial menkonstruksi perbedaan-perbedaan besar tak berdasar yang digunakan mengadu domba ke 2 suku ini.  Konstruksi kolonial yang membagi mana suku yang lebih tinggi derajatnya mana yang lebih rendah menyebabkan kebencian yang mengakar khususnya bagi suku Hutu yang dianggap lebih rendah. Hal itu, kemudian dibalas oleh suku Hutu dengan justifikasi diri sebagai yang “dominan” ketika Rwanda sudah merdeka.
Klasifikasi “dominan-minoritas” inilah yang saya lihat sebagai salah satu aspek yang menambah kebencian Hutu kepada Tutsi, bahwa orang-orang Tutsi adalah minoritas pendatang yang juga merupakan penghianat, mereka dianggap tidak lebih dari “Cocoroaches”[2]. Proses dehumanisasi ini sangat terlihat disini, orang-orang Tutsi sudah dianggap tidak lebih dari hewan, yakni kecoa.
Penghapusan perbedaan yang berada di masyarakat Rwanda, merupakan sebuah gambaran mengenai modernitas yang  juga dipaparkan oleh A.L. Hinton (2002) dalam bukunya “The Dark Side of Modernity: Toward an. Anthropology of Genocide.







[1]Hal ini ada dalam dialog ketika wartawan asing sedang berbincang di hotel dan menanyakan perbedaan antara suku hutu dan tutsi. Pembentukan konstruksi sosial oleh kolonial inipun ada pada buku “The Specther Of Genocide” hal  326-330
[2] Dalam film Hotel Rwanda, beberapa kali milisi Interahamwe dan pemimpinnya  Rutaganda menyebut suku tutsi sebagai “Cocoroaches” atau kecoa.
  

Book Review


Ritual Process

Victor Turner



Pada tulisan dan buku ini Turner, dalam bab satu, membahas dengan sangat lengkap mengenai Isoma. Ritual Isoma atau lebih dikenal dengan ‘ritual perempuan’, merupakan subkelas dari ritual yang dikaitkan dengan roh para leluhur. Istilah khusus ritual bagi Ndembu adalah chidika atau perjanjian khusus. Ritual sendiri dilakukan manakala seseorang atau kelompok usaha gagal memenuhi kewajiban mereka. Ritual Isoma sendiri dilakukan karena ketidakberuntungan yang dialami oleh perempuan terkait dengan kapasitas reproduksi dirinya. Orang Ndembu mempratikkan model kekerabatan matrilineal di satu sisi, dan mempraktikkan model virilokal di sisi lainnya. Kondisi ini menyebabkan seorang perempuan Ndembu yang menikah terjerat dalam arena kontestasi antara suami dan saudara laki-laki dari pihak ibu. Dalam kondisi lain, seorang perempuan yang menikah dan melahirkan, dalam jangka pendek atau panjang, akan membawa anak yang dilahirkannya untuk masuk dan berafiliasi dalam klan ibu (matrilineal).
Konsekuensi lain dari model ini adalah bahwa masyarakat Ndembu mendasarkan keberlangsungan hidup mereka dari ketidakberlanjutan hubungan perkawinan. Hal ini disebabkan bahwa perempuan yang bercerai akan kembali ke kerabatnya dan membawa anak yang dilahirkannya. Berbeda halnya jika seorang perempuan menikah dan memiliki anak, dan bertempat tinggal bersama suaminya, namun tidak kembali ke kerabatnya, maka perempuan tersebut dianggap tidak memenuhi “tugasnya” untuk menjaga keberlangsungan kerabatnya. Seorang perempuan diharapkan berpartisipasi dalam menjaga keberlangsungan kerabatnya dengan menyumbangkan kemampuan fertilitas yang dia miliki agar dia tetap memiliki hubungan dengan para leluhurnya. Kegagalan dalam pemenuhan tugas ini menjadikan mereka sebagai orang yang “melupakan” asal-usul dan tujuannya, dan ritual Isoma memiliki peran khusus untuk mengingatkan kembali di mana harusnya dia meletakkan loyalitasnya. Isoma juga berlangsung jika seorang perempuan memiliki “kegagalan” dalam reproduksi, baik itu melahirkan anak atau pun merawat kehamilan. Ritual ini dipimpin oleh seorang dokter atau chimbuki yang dianggap mengetahui mengenai pengobatan. Di sisi yang berbeda, setiap ritual yang dilakukan oleh Ndembu selalu melibatkan seperangkat simbol. Bagi Turner, orang Ndembu sangat menyadari fungsi ekspresif dari simbol dalam setiap ritual mereka, termasuk dalam Isoma. Pelaksanaan Isoma secara implisit memiliki tujuan untuk merestorasi hak dalam hubungan antara kekerabatan matrilineal dan perkawinan, merekonstruksi hubungan perkawinan antara suami dan istri, dan membuat hubungan antara perempuan, kekerabatannya dan perkawinannya, berhasil. Dalam istilah Ndembu, ritual ini membuang chisaku atau ketidakberuntungan atau penyakit yang ditimbulkan akibat membuat leluhur tidak senang atau melanggar tabu .
Jika pada bab satu Turner menjelaskan dengan sangat lengkap mengenai Isoma, maka pada bab selanjutnya Turner mencoba menjelaskan kontradiksi pada anak kembar. Turner mencoba menjelaskan mengenai Wubwang’u. Ritual ini dilaksanakan untuk menguatkan perempuan yang dianggap akan memiliki dua anak kembar atau jika si anak tersebut telah lahir atau ampamba. Keberadaan anak kembar memang paradoks. Paradoks ini muncul manakala keberadaan anak kembar dilihat dalam pandangan orang Ndembu. Sebagaimana digambarkan sebelumnya, orang Ndembu memberikan porsi yang utama pada masalah fertilitas, di mana kita melihat keterkaitan antara fertilitas dengan fisiologi dengan kesulitan ekonomi.
Dalam pandangan Turner, dalam masyarakat yang tidak berternak atau tidak memiliki gagasan bahwa biri-biri dan kambing dapat diambil susunya untuk konsumsi, maka akan sangat sulit bagi seorang perempuan untuk memiliki dua anak dan menyusui anak-anaknya. Seringkali keberlangsungan hidup anak tersebut bergantung pada belas kasihan orang lain, misalnya perempuan yang anaknya meninggal dan ia masih memiliki persediaan air susu.  Di sisi yang berbeda, ritual wubwang’u memiliki paradoks lain dalam keteraturan struktur sosial. Turner mengutip Schapera, yang menggambarkan fakta bahwa di mana pun kekerabatan secara struktural memegang posisi yang signifikan, terlebih jika menghasilkan kerangka hubungan korporasi dan status sosial, kelahiran anak kembar adalah sesuatu yang memalukan. Hal ini disebabkan adanya asumsi dasar bahwa manusia melahirkan hanya satu anak dalam satu waktu, dan hanya satu tempat yang tersedia dalam struktur sosial di mana anak tersebut dilahirkan. Hubungan saudara kandung adalah faktor penting lainnya. Dalam suatu struktur sosial, keberadaan kakak seringkali memiliki hak lebih ketimbang adik-adiknya, dan hal ini menjadi persoalan ketika lahir anak kembar, di mana secara fisik terdapat dua individu namun secara struktural hanya ada satu posisi yang disediakan, dan apa yang mistis satu namun secara empiris dua. Ritual wubwang’u sebagaimana ritual-ritual lainnya, memegang posisi penting bagi diri perempuan. Ritual ini dilaksanakan bagi perempuan yang melahirkan anak kembar atau perempuan yang dianggap (atau diharapkan) memiliki anak kembar. Selanjutnya pada bagian tiga dari tulisan Turner. Berbeda dengan dua tulisan berikutnya yang secara detail membahas dengan sangat mendetail mengenai ritual dalam masyarakat Ndembu, bagian tiga (dan sisa bab lainnya) membahas aspek struktural yang dikaitkan dengan dua bab berikutnya. Secara khusus bab ini membahas mengenai liminalitas dan komunitas. Terus terang, tidak mudah menjelaskan perbedaan penerjemahan antara communitas dengan community, keduanya diterjemahkan sebagai ‘’komunitas’’ dalam bahasa Indonesia.
Meskipun demikian, Turner membedakan antara kommunitas dan kommuniti, dalam pandangan Turner, jika saya tidak salah dalam memahami, community merujuk pada sebuah wilayah yang ditempati oleh masyarakat, dalam hal ini community adalah sebuah teritori. Maka dengan itu, saya tidak memaksudkan dengan menulis komunitas yang merujuk pada community, namun komunitas di sini merujuk pada communitas yang digunakan oleh Turner. Liminalitas, merupakan konsep yang dipinjam dari van Gennep, secara sederhana dipergunakan untuk merujuk pada ritus peralihan atau rites de passage. Ritus peralihan sendiri terjadi untuk menandai sebuah perubahan atau peralihan tempat, keadaan, kedudukan sosial dan usia. Pelaksanaan ritus peralihan dilaksanakan dalam tiga fase, yaitu separasi (separation) atau pemisahan, margina atau peminggiran, dan agregasi. Pemisahan ditandai dengan terbentuknya perilaku simbolik yang menjadi penanda adanya keterpisahan individu (atau kelompok) dari posisi awalnya dalam struktur sosial. Margin adalah posisi antara, di mana individu (atau kelompok) tersebut belum dapat sepenuhnya melepaskan atributnya, sekaligus belum dapat sepenuhnya mencapai atributnya yang baru. Sedangkan agregasi ditandai dengan pembentukan kembali melalui pemberian atribut setelah proses pengukuhannya selesai

Book Review



The Rules of Sociological Method

Buku The Rules of Sociological Method, merupakan buku yang dihasilkan dari tangan salah seorang “maestro” ilmu sosial, yakni E.Durkheim. Dalam bukunya, Durkheim banyak membahas mengenai pentingnya fakta sosial dalam mengetahu berbagai macam fenomena sosial dan juga buku ini juga menjelaskan mengenai proses sosiologi menjadi ilmu di ranah empiris melalui berbagai macam metode dan analogi ilmu eksakta. Dalam pembahasannya, Durkheim membahas secara mendetail dengan membaginya kedalam 6 sub bab bahasan, antara lain : hakikat fakta sosial, aturan mengenai observasi fakta sosial, aturan mengenai pembedaan antara normal dengan abnormal (patologis), klasifikasi tipe sosial, penjelasan mendalam, mengenai fakta sosial, dan aturan untuk mendirikan pembuktian sosiologis.
Pada pembahasan Fakta sosial, Durkheim mengatakan hal yang mengikat individu dan di luar individu, tidak bisa dibantah, dan biasanya merupakan proses imitasi, adanya penyebaran atau difusi cara bertindak. Fakta sosial juga merupakan kesadaran kolektif (l’amme collective), yaitu bentukan dari segala macam peleburan state pada individu-individu. Apabila fakta sosial koheren dengan kemauan individu (individual manifestation/own right independent) maka hal ini disebut dengan fakta psikologis. Lalu, apabila kita hanya membicarakan tentang peraturan-peraturan (nilai dan norma) yang mengekang kolektif tersebut maka disebut dengan fakta psikologis.
Pembahsan kedua yakni mengenai obeservasi sosial, pada bab ini dibahas mengenai beberapa persoalan. Pertama, dibahas mengenai bagaimana sosiologi itu sendiri bertindak sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Sosiologi disini juga dibahas sebagai suatu ilmu yang bebas nilai. Dan keharusan sosiologi sebagai suatu ilmu untuk memiliki tujuan, yakni sebagai alat untuk menelaah fakta-fakta sosial.
Pembahasan ketiga,  yakni mengenai membedakan sesuatui yang dianggap normal dengan sesuatu yang dianggap tidak normal dan patologis. Maksud dari sesuatu hal dianggap normal adalah sesuatu yang disetujui secara kolektif, sedangkan hal yang dianggap tidak normal adalah segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan kolektif. Namun yang perlu menjadi perhatian seperti yang tercantum dalam pembahasan bab ini yakni mengenai keharusan jua untuk melihat konteks sosial juga yang ada untuk dapat memutuskan hal-hal yang normal atau abnormal tersebut.
Pembahasan keempat, yang dibahas di bab selanjutnya membahas mengenai bagaimana caranya melakukan sebuah klasifikasi sosial. Ada dua sifat dari klasifikasi, yaitu klasifikasi yang rigid atau kaku serta klasifikasi yang bercampur. Lalu, hasil dari klasifikasi ini ada dua, yaitu social morphology dan social evolution. Klasifikasi yang pertama menunjukan didalam masyarakat adanya solidaritas, kerja sama, dan hubungannya yang baik dengan alam sedangkan klasifikasi yang kedua menunjukan dalam  masyarakat adanya yang ditengarai sebagai kerja sama kontraktual, dan hubungannya yang relatif terhadap alam.
Pembahasan kelima, yakni dibahas mengenai bagaimana caranya menjelaskan fakta sosial. Dijelaskan bahwa, fakta sosial  merupakan hal yang dapat dijelaskan melalui hubungan kausalitas atau sebab akibat. Fakta sosial juga dijelaskan sebagai produk tambahan dari fakta psikologis (kesadaran, sensasi, refleks, dan insting individu) tetapi tidak menjadikan fakta psikologis sebagai acuan utama untuk menyelesaikan suatu fenomena sosial. Ada pula alat ukur untuk menentukan fakta sosial, yaitu social millieu. Ada dua alat ukur, yaitu dynamic density serta physical density. Pertama adalah seberapa besar takaran hubungan sosial dibandingkan dengan kepentingan. Kedua adalah alat ukur numerik (pasti) dari perubahan komunikasi. Alat ukur pastinya adalah seberapa besar dialog ataupun monolog yang terjadi pada interaksi sosial tersebut.
Dan hal keenam atau hal yang terakhir dibahas dalam buku ini yakni dibahas mengenai bagaimana melakukan sebuah pembuktian secara sosiologis. Metode yang ditawarkan adalah metode komparatif, yaitu membandingkan hubungan sebab dan akibat. Hubungan yang terjadi haruslah terjadi secara dua arah, serta sebab atau akibat yang ada harus lebih dari satu buah. Metode ini berasal dari pemikiran Comte tentang metode historis yang menjadikan keteraturan sosial (teleologis) bertahap menjadi tiga bagian, yaitu teologis, epistemologi, dan aksiologis. Lalu, metode lainnya berasal dari Mill yang mengutip system of logic, dan sebenarnya hal tersebut merupakan pengandaian ilmu ekonomi sebagai ilmu praktis yang mempunyai tujuan tertentu. Metode dari Mill tersebut menginspirasikan adanya hubungan kausal yang tidak hanya berasal dari sebab pertama yang mengakibatkan sebab pertama. Metode kedua adalah metode asosiasi. Metode ini merupakan metode perbandingan antar variabel yang terdapat pada judul penelitian. Metode terakhir yakni mengenai metode deduktif. Metode deduktif, adalah metode yang menitikberatkan kepada hal yang umum lalu kepada hal yang khusus. Artinya, kita harus memakai teori dahulu serta hipotesis untuk menduga secara baik, dan hasil akhirnya diukur melalui sebuah rangkaian uji teori, dan konsep.

REFERENSI :
Durkheim, Emile. 1932. The Rules of Sociological Method. Chicago: The University of Chicago Press.














(Source : @Schlr)

Direct Action




(Source :hesubversivesound)

Carok!!


Carok!!!

Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain (Hasan Alwi, 2001: 563). Kekhususan kultural itu tampak antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan. Keempat figur itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, dan Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur utama itulah kepatuhan hierarkis orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam kehidupan sosial budaya mereka (Wiyata, 2003: 1).
Secara hierarkis posisi kepatuhan masyarakat Madura dapat diurutkan sebagai berikut. Yang pertama adalah kepatuhan terhadap ayah dan ibu (buppa dan babbu) kemudian yang ketiga adalah kepatuhan terhadap guru atau ulama dan yang terakhir adalah kepatuhan terhadap Rato atau pemimpin pemerintahan.
Kepatuhan terhadap orang tua baik ayah dan ibu sudah sangat jelas dan telah diakui. Hal tersebut juga berlaku tidak hanya pada etnis Madura melainkan berlaku juga terhadap berbagai etnis lain yang ada. Dalam berbagai budaya yang ada hal tersebut sudah menjadi hal yang mutlak. Kepatuhan seorang anak terhadap ayah dan ibunya menjadi hal yang harus ditaati dan harus dilaksanakan. Perbedaan yang mungkin terjadi adalah tata cara yang dilakukan dalam mengintepretasikannya. Selain itu yang berbeda adalah cara-cara yang dilkukan untuk mewariskan nilai-nilai kepatuhan tersebut. Secara siklus hal tersebut akan terus berjalan melalui proses pewarisan.
Menurut Taufiqqurrahman, kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi pada level-hierarkis kedua. Penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan menekankan pada pengertian Kiai-pengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya Ustadz pada “sekolah-sekolah” keagamaan. Peran dan fungsi guru lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan eskatologis ─ terutama dalam aspek ketenteraman dan penyelamatan diri dari beban atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena itu, ketaatan orang-orang Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya mereka yang mungkin tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.
Siklus-generatif tentang kepatuhan orang Madura (sebagai murid) kepada figur guru ternyata tidak dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan anak kepada figur I dan II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak semua orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur guru. Kendati pun terdapat anggapan-prediktif bahwa figur guru sangat mungkin diraih oleh murid karena aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya. Oleh karenanya, makna kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura belum cukup tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan pasrah.
Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin pemerintahan) menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang ─ dari mana pun etnik asalnya ─ bukan karena faktor genealogis melainkan karena keberhasilan prestasi dalam meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua orang Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu.
Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh. Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik Madura.
Secara kultural dapat dimengerti mengapa hierarki Ayah diposisikan lebih tinggi dari Ibu. Posisi Ayah dalam sosiokultural masyarakat etnik Madura memegang kendali dan wewenang penuh lembaga keluarga sebagai sosok yang diberi amanah untuk bertanggung jawab dalam semua kebutuhan rumah tangganya, di antaranya: pemenuhan keperluan ekonomik, pendidikan,kesehatan, dan keamanan seluruh anggota keluarga, termasuh di dalamnya Sang Ibu sebagai anggota dalam “kepemimpinan” lelaki.
Di sisi lain, kepatuhan kultural orang Madura kepada Guru (Kiai/Ustadz) maupun kepada pemimpin pemerintahan karena peran dan jasa mereka itu dipan dang bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru berjasa dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri akhirat kelak. Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar karena telah memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan keselamatan akhirat pascakehidupan dunia. Sedangkan pemimpin pemerintahan berjasa dalam mengatur ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim dan kesempatan bekerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomik, mengakomodasi kebebasan beribadat, memelihara suasana aman, dan membangun kebersamaan atau keberdayaan secara partisipatif. Dalam dimensi religiusitas, sebutan figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan dengan istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk dipatuhi.
Persoalan yang paling mendasar sesungguhnya terletak pada pemaknaan kultural tentang kepatuhan dalam konteks subordinasi, hegemoni, eksploitasi, dan berposisi kalah sepanjang hidup. Pemaknaan tersebut perlu diletakkan dalam posisi yang berkeadilan dan proporsional. Jika kepatuhan hierarkis kepada figur I dan II tidak ada masalah karena terbentang luas untuk memperoleh dan mengubahnya secara siklis maka upaya untak mengubah kepatuhan hierarkis pada figur III dan IV dapat ditempuh melalui kerja keras dan optimisme disertai bekal pengetahuan yang sangat memadai. Karenanya, persoalan-persoalan kultural tentang konsepsi kepatuhan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa solusi untuk mengubahnya.

A.           Carok di Madura
Carok adalah institusionalisasi dalam Masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama dan pendidikan (Wiyata 2002:231). Carok secara historis telah menjadi bagian dari masyarakat Madura. Tradisi Carok telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah maupun pihak yang berkuasa baik pada masa ini maupun masa lalu tidak berkompeten dalam mengontrol kekerasan dan juga melindungi masyarakat dari kekerasan yang terjadi. Dalam budaya Madura Carok selalu dijadikan sebagai sarana dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Hal ini mencerminkan bahwa tidak adanya sarana bagi para pelaku Carok untuk menyelesaikan konflik.
Carok terjadi disebabkan oleh perasaan terhina atau malo pada diri si pelaku karena harga dirinya dilecehkan oleh orang lain. Pelecehan harga diri sama dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya dalam struktur sosial. Bagi orang Madura tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan status sosial sama artinya dengan memperlakukan dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai eksistensi diri dan pada gilirannya menimbulkan rasa malo. Di lain sisi, apabila seorang laki-laki Madura tidak berani melakukan Carok maka lingkungan sekitarnya akan menganggap bahwa dia bukanlah orang Madura yang sesungguhnya dan sekaligus menjadi bahan cemoohan diantara orng-orang. Jadi, orang Madura melakukan Carok juga sebagai jalan agar dia diakui sebagai orang Madura. Oleh karena itu Carok dijadikan sebagai sarana untuk mengekspresikan identitas etnisnya.
Cara untuk melakukan Carok sendiri ada dua macam. Yang pertama adalah dengan cara ngonggai. Cara ini dilakukan dengan bentuk menantang secara langsung orang yang akan diajak Carok. Cara ini biasanya tidak membutuhkan waktu lama dalam persiapannya. Namun yang dibutuhkan adalah persiapan mental yang harus dilakukan lebih lama oleh si pelaku. Cara yang selanjutnya adalah nyekep. Cara ini dilakukan dengan cara menyimpan senjata dalam baju si pelaku, ketika sudah bertemu dengan korban maka Carok pun dilaksanakan. Cara ini membutuhkan persiapan yang lebih lama ketimbang cara pertama. Hal yang harus dilakukan oleh pelaku adalah mengamati kebiasaan korban dan mengetahui segala tempat yang biasa didatangi korban. Hal ini minimal memerlukan persiapan selama satu bulan. Tradisi nyekep sudah sulit untuk ditinggalkan oleh masyarakat Madura. Setiap saat mereka keluar rumah selalu membawa senjata tajam, lebih-lebih jika sedang mempunyai musuh.
Persiapan untuk Carok (baik ngonggai atau nyekep) adalah melakukan pengintaian yang cermat, apalagi terhadap masalah-masalah yang sensintif. Selain itu biasanya sebelum melakukan Carok pihak pelaku mengadakan sidang keluarga. Sidang keluarga itu diikuti oleh para tetua dari keluarganya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan ijin dari pihak keluarga.
Setelah itu prasyarat selanjutnya adalah tampeng sereng. Hal ini berbentuk kekuatan supranatural yang dipercaya dapat menambah kekuatan pelaku Carok. Ada tiga macam mantera yang digunakan yaitu nylateng, nyepet dan mesem (Wiyata 2002:192). Nylateng membuat sang pelaku merasa berani, nyepet membuat orang menjadi kebal dan mesem membuat luluh hati musuh (musuh menjadi tidak marah).
Persyaratan selanjutnya adalah tersedianya dana. Dana tersebut ditujukan untuk menyelenggarakan ritual keagamaan bagi pelaku Carok yang tebunuh. Misalnya, upacara tahlilan memperingati kematian dalam jangka waktu 1 minggu, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Kemudian dana tersebut juga ditujukan untuk melakukan nabang bagi pelaku Carok yang selamat. Nabang merupakan upaya keluarga pelaku Carok untuk merekayasa proses peradilan dengan cara menyerahkan sejumlah uang kepada aparat agar hukuman pelaku Carok berkurang atau menjadi ringan. Bahkan apabila pelaku Carok dua orang, dengan adanya nabang, maka yang dihukum hanya bisa satu orang saja. Selain itu dana juga dibutuhkan untuk  menyelanggarakan tradisi remo.
Tradisi remo sendiri merupakan suatu acara hiburan yang para orang jago atau blater berkumpul dalam sebuah pesta yang biasanya menampilkan hiburan seperti ludruk. Pelaksanaannya sama seperti arisan yaitu para anggotanya wajib membayar uang kepada penyelenggara.

Referensi:

Taufiqurrahman. “Islam dan Budaya Madura.” www.ditpertais.net/ancon06/Makalah%20Taufiqurrahman..doc (24 Januari 2012)
Wiyata, A. Latief. Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LkiS, 2002.
Wiyata, A. Latief. Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi Mengenai Budaya Madura. Jakarta: CERIC-FISIP UI, 2003.

Sabtu, 12 Januari 2013

Refleksi Kampus : Danau UI



    
Pemanfaatan Danau UI :
Antara Aksesbilitas, Kerusakan Lingkungan dan Penyelamatan  Kolaboratif

Pendahuluan
Degradasi atau penurunan kualitas lingkungan hidup, banyak ditemui pada kota-kota besar termasuk di Kota Depok[1]. Kota Depok merupakan kota dengan dataran landai dengan rata-rata ketinggian 121 meter dari permukaan laut, dan dikelilingi oleh kota-kota besar seperti Kota Bogor dan Kota Jakarta. Letaknya yang dekat dengan Kota Jakarta, menjadikan Kota Depok menjadi daerah penyangga bagi Kota Jakarta. Hal ini sesuai dengan isi Undang-Undang No. 15 Tahun 1999 yang menetapkan Kota Depok yang memiliki luas 20.209 hektare sebagai daerah penyangga bagi Kota Jakarta[2]. “Gelar” daerah penyangga yang dipegang oleh Kota Depok, salah satunya bermakna bahwa Kota Depok memiliki fungsi menjadi daerah resapan air bagi Kota Jakarta. Selain sebagai daerah resapan air bagi Kota Jakarta, jika mengingat letaknya yang secara geografis diantara Kota Jakarta dan Kota Bogor, Kota Depok juga dapat berfungsi lebih, yakni mengelola curahan air dari Kota Bogor yang mengalir menuju Kota Jakarta. “Gelar” daerah penyangga yang dipegang Kota Depok, hendaknya harus segara dikaji dan dikelola lebih baik lagi, karena fungsinya yang sudah mulai luntur. Letak Kota Depok yang  begitu strategis, yakni dekat dengan Kota Jakarta membuat perkembangan Kota Depok berkembang begitu pesat. Perkembangan Kota Depok tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu imbas berkembangnya Kota Jakarta. Sebagai imbas dari berkembangnya Kota Jakarta akibatnya, meningkatkan kebutuhan akan ruang usaha dan kepentingan publik dan juga berdampak pada menyempitnya lahan tempat tinggal. Ditambah lagi belum berhasilnya pemerintah terhadap program penanganan urbanisasi sehingga melengkapi memburuknya kebutuhan akan ruang tempat tinggal. Kondisi ini tentu membebani kawasan marjinal kota (sub urban), seperti Kota Depok, yang akhirnya menjadi kawasan penyedia lahan[3].
Selain masalah keterbatasan ruang, perkembangan Kota Depok yang begitu pesat juga tidak diiringi dengan pembangunan yang  ramah lingkungan, hingga akhirnya daerah-daerah resapan air di Kota Depok lambat laun menjadi berkurang. Berkurangnya daerah resapan air yang secara signifikan berkurang adalah daerah danau, baik itu danau buatan atau danau alami. Dari data yang berhasil saya himpun, dari sekitar 30 danau yang terdapat di Kota Depok, ternyata 28 danau dinyatakan dalam keadaan rusak berat atau kritis. Bahkan 5 dari 30 danau yang ada, sudah tidak berfungsi sama sekali.[4]  Berkurangnya daerah resapan air khususnya danau di Kota Depok sudah sangat memprihatinkan, dan berimplikasi pada keharusan seluruh elemen masyarakat Kota Depok untuk turut serta dalam melakukan pengelolaan danau yang ada. Salah satu elemen masyarakat Kota depok yang memiliki peran penting dalam pengelolaan danau adalah Universitas Indonesia.                                           Universitas Indonesia, memiliki 6 buah danau yang 5 diantaranya merupakan danau buatan[5]. Idealnya sesuai peraturan yang berlaku ( SK Rektor UI Tahun 2007 mengenai Pembinaan Lingkungan Kampus),  danau UI hanya diperuntukan fungsinya sebagai daerah edukasi, rekreasi, dan daerah resapan air. Namun, pada kenyataannya banyak masyarakat yang mengambil manfaat lebih dari danau UI diluar peruntukan yang semestinya. Fenomena ini menjadi menarik untuk dianalisis lebih lanjut, untuk melihat bagaimana bentuk  akses masyarakat terhadap danau UI, dampaknya yang dihasilkan serta kerusakan yang ditimbulkan dan bagaimanakah pola-pola penyelamatan danau UI, sebagai salah satu “situs” ekologis perkotaan.
Danau UI : Sebuah Gambaran Ekologis
Universitas Indonesia merupakan sebuah lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah dan mempunyai fasilitas-fasilitas penting di dalamnya. Universitas Indonesia berdiri pada tahun 1849 dan merupakan institusi atau lembaga pendidikan dengan sejarah paling tua di Asia.[6] Secara geografis, lokasi kampus UI berada di dua area yang cukup berjauhan, yakni kampus Salemba dan kampus Depok. Kampus Depok memiliki luas lahan mencapai 320 hektar dan mayoritas fakultas UI berada di Depok, dengan atmosfer green kampus karena 25% lahan hanya digunakan sebagai sarana akademik dan non akademik, selebihnya 75% lahan UI bisa dikatakan sebagai area hijau berwujud hutan kota yang mencirikan ekosistem hutan tropis dengan tiga bentuk ekosistem unggulan yaitu : ekosistem pepohonan yang bersumber dari Indonesia bagian timur, ekosistem pepohonan wilayah Indonesia bagian barat, dan komplek vegetasi asli JABODETABEK yang dipadu serasi dengan daerah hutan jati mas yang tumbuh hijau diantara gedung Rektorat UI, FASILKOM, serta FISIP UI.[7] Kampus UI Depok, secara teritorial berdiri diatas 2 wilayah administratif yang berbeda. Kampus UI Depok bagian utara (danau salam - danau puspa), masuk dalam wilayah administratif kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan kampus UI bagian selatan (danau ulin – danau aghatis), masuk dalam wilayah administratif Kota Depok, Jawa Barat.
     Danau UI adalah danau yang berada di lingkungan kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Enam Danau yang berlokasi di daerah UI tersebut memiliki nama yaitu, Kenanga, Aghatis, Mahoni, Puspa, Ulin, Salam, dan jika nama dari masing-masing danau di UI tersebut di ambil huruf depannya, maka akan membentuk satu yakni KAMPUS. Setiap danau, diberi nama sesuai dengan nama-nama pohon yang dahulu banyak tumbuh di wilayah kampus UI. Danau UI masuk dalam jenis danau“Eutropik” sebutan untuk danau yang dangkal dan kaya akan kandungan makanan, karena fitoplankton sangat produktif. Ciri-cirinya adalah airnya keruh, terdapat bermacam-macam organisme, dan oksigen terdapat di daerah profundal.[8]        
Adapun lokasi-lokasi dari keenam danau tersebut yaitu :
1.      Danau kenanga berlokasi di antara Gedung Rektorat Balairung dan  Masjid UI yang dibangun tahun 1992 dengan luas 28.000 m2  . Danau kenanga sebenarnya adalah danau semi buatan. Dahulu danau kenanga merupakan daerah rawa yang dangkal, yang kemudian dibentuk dan digali kembali hingga berbentuk seperti sekarang.
2.      Danau Agathis berlokasi di antara FMIPA dan Politeknik Negeri Jakarta, dibangun tahun 1995 dengan luas 20.000 m2.
3.      Danau Mahoni terletak di sebelah Utara dan Selatan Kampus yang dibatasi oleh jalan utama lingkar selatan (sebelah timur FIB dan PSJ, serta sebelah Barat FE), dibangun pada tahun 1996 dengan luas 45.000 m.              
4.      Danau Puspa terletak antara Danau Ulin dan Danau Mahoni, dibangun pada tahun 1995 dengan luas 20.000 m2 .  
5.      Danau Ulin berlokasi diantara Danau Puspa dan Danau Salam dan dibangun pada tahun 1998 dengan luas 72.000 m2 .  
6.       Danau Salam, yang berlokasi  bersejajar sesuai aliran dari selatan ke utara sebagai bagian rangkaian Danau Ulin dan Danau Puspa, yang dibangun pada tahun 1998 dengan luas 42.000 m2.[9]
Pemanfaatan Danau : Antara Aksesbilitas dan Dampak Ekologis
Mengacu pada pola pikir teori akses (Ribot, J.C., & N.L. Peluso 2003)[10], danau UI saya kategorikan sebagai sebuah sumber daya properti bagi Universitas Indonesia. Pengkategorian sebagai sumber daya properti dikarenakan danau UI merupakan hak milik Universitas Indonesia, yang didasarkan atas klaim, konvensi atau kekuatan hukum yang ada. Pemanfaatan dan pengelolaan danau UI secara properti tunduk dan patuh pada aturan pengelolaan para pengelola kampus UI. Saya melihat bahwa danau-danau di kampus UI pada satu sisi memang merupakan sebuah sumber daya properti, karena berdasarkan hak yang disandarkan pada klaim dan hukum yang ada. Namun disisi lain, saya juga melihat bahwa danau UI tidak hanya dapat disebut sebagai sebuah sumber daya properti, namun juga dapat disebut sebagai sebuah akses. Dalam teorinya, Ribot J.C., & N.L. Peluso, mendefinisikan akses sebagai sebuah kemampuan mengambil manfaat dari hal-hal termasuk objek material, orang, lembaga dan simbol-simbol. Dengan fokus pada kemampuan mengambil manfaat dari sebuah objek material atau sumber daya, saya melihat bahwa danau UI adalah sumber daya yang dapat diambil manfaatnya oleh seluruh masyarakat sekitar UI, dan seluruh masyarakat itu sendiri memiliki kemampuan untuk mengambil manfaatnya secara langsung atau tidak langsung. Bentuk akses akan sumber daya demikianlah yang saya sebut sebagai open access.
Selain menganalisis bahwa danau UI merupakan sebuah open access, saya juga menganalisis bagaimanakah bentuk-bentuk pemanfaatan dan dampak-dampak yang ditimbulkan dari bentuk pemanfaatan danau UI sebagai sebuah open access. Pemanfaatan-pemanfaatan tersebut saya menganalisisnya dengan konsep teori akses dan membaginya berdasarkan  2 macam jenis mekanisme akses, yakni legal access dan ilegal access. Legal access intinya adalah hak yang  didefinisikan oleh hukum, aturan, atau konvensi yang membentuk kontrol dan pengelolaan terhadap akses. Kepemilikan berdasar-hukum mencakup akses lewat memegang hak milik dengan izin dan lisensi dimana pemegangnya dapat mengendalikan akses. Orang lain yang tidak memilikinya harus datang pada pemegang izin dan lisensi tersebut untuk memperoleh atau mengelola akses. Sedangkan ilegal access adalah pemanfaatan yang mengarah pada kesenangan mengambil manfaat dari sesuatu dengan cara yang secara sosial tidak dikenakan sanksi oleh negara atau pihak yang berwenang. Bentuk-bentuk pemanfaatanya antara lain :
1. legal access
Pemanfaatan dengan mekanisme legal access pada danau UI, secara singkat dapat diartikan sebagai pemanfaatan danau UI berdasarkan peraturan yang ada. Peraturan yang menyangkut mengenai pemanfaatan dan pengelolaan danau UI yakni SK Rektor UI mengenai Pembinaan Lingkungan Kampus (PLK) tahun, 2007. Peraturan tersebut mengamanatkan pemanfaatan danau-danau di wilayah kampus UI, difungsikan sebagai sarana-sarana seperti dibawah ini :
  1. Pemanfaatan Danau UI Sebagai Sarana Edukasi
Danau UI dimanfaatkan sebagai sarana edukasi, dalam arti danau UI dijadikan sebagai sarana penunjang bagi para civitas akademika Universitas Indonesia dalam melakukan riset, atau penelitian.
b.      Sebagai Sarana Rekreasi
Relaks dan bersantai merupakan salah satu kebutuhan psikologis manusia yang bernilai positif[11]. Kebutuhan manusia akan rileks dan bersantai salah satunya dipenuhi dengan cara rekreasi. Rekreasi yang dilakukan bertujuan untuk melepaskan penat dan stres akan rutinitas, atau masalah-masalah yang sedang dihadapi. Salah satu media rekreasi adalah dengan cara berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap memiliki nilai keindahan atau dapat menenangkan dan menyenangkan perasaan. Danau UI (khususnya danau Salam dan danau Kenanga), kerap kali dikunjungi baik oleh civitas akademika UI, atau masyarakat sekitar UI untuk berekreasi.
c.                   Sebagai Daerah Resapan Air
Danau UI sebagai daerah resapan air, jika melihat dari perspektif secara fungsional dapat dikatakan bahwa inilah fungsi danau UI yang utama. Menurut penjabaran Kepress RI No.32 Tahun 1990, tentang pengelolaan kawasan lindung, danau berfungsi sebagai daerah resapan air, pengendali banjir, dan menjaga ketersediaan air tanah. Fungsi ini sangat penting bagi Kota Jakarta dan Depok secara umum, dan bagi kampus UI secara khusus. Jika danau tidak dikelola dengan baik, maka dapat mengakibatkan banjir, atau musibah kekeringan yang dikarenakan hilangnya ketersediaan air tanah.
2. Ilegal access
Pemanfaatan danau UI dengan mekanisme ilegal access, secara singkat dapat diartikan sebagai pemanfaatan danau UI diluar peraturan yang telah ditentukan. Pemanfaatan dengan mekanisme ilegal access, mengarah pada kesenangan mengambil manfaat dari sesuatu dengan cara yang secara sosial tidak dikenakan sanksi oleh negara atau pihak yang berwenang. Ilegal access banyak dilakukan dengan cara “negoisasi” peraturan dengan cara melakukan lobi pada aparat, atas dasar hubungan sosial (pertemanan) dan pemakluman keadaan. Beberapa bentuk pemanfaatan dengan mekanisme ilegal access antara lain :
a. Kegiatan Memancing Ikan
. Kegiatan memancing ikan, walaupun dianggap sebagai kegiatan yang ilegal dan dilarang untuk dilakukan namun kegiatan tersebut masih tetap ”marak” dilakukan oleh masyarakat.
b . Kegiatan Menjala Ikan
Kegiatan menjala ikan, memang merupakan kegiatan yang tidak sepopuler kegiatan memancing. Para penjala, menjala ikan dengan menggunakan rakit dan jala.  Rakit yang digunakan tergolong sederhana, karena terbuat dari susunan bambu yang diikat yang ditambah dengan susunan ban bekas yang dipasang diujung rakit. Jala yang digunakan, juga tergolong biasa seperti jala yang digunakan untuk menjala ikan pada umumnya.
c.                   Berjualan
Salah satu kegiatan yang merupakan akses yang ilegal dalam memanfaatkan danau UI adalah berjualan. Kegiatan berjualan yang biasa masyarakat lakukan adalah dengan cara menjajakan minuman seperti kopi atau teh manis, dan juga makanan ringan seperti roti atau gorengan. Jika dianalisis lebih lanjut, kegiatan berjualan di danau UI sebenarnya merupakan efek turunan dari bentuk-bentuk akses terhadap danau UI yang lainnya. Kehadiran orang-orang yang berjualan, hadir dikarenakan banyaknya orang yang ada untuk memanfaatkan danau UI. Para pedagang merasa kehadiran orang-orang yang memanfaatkan danau UI sebagai sebuah peluang untuk menjajakan dagangannya.
d.                  Kegiatan Membuang Sampah
Kegiatan membuang sampah menurut pengamatan saya merupakan kegiatan yang paling merusak yang dilakukan dalam kerangka mekanisme ilegal access. Kegiatan membuang sampah pada danau UI dilakukan oleh masyarakat dengan dua cara, yakni secara langsung dan tidak langsung. Berdasarkan  data yang saya himpun, diketahui bahwa sampah yang ada di danau UI khususnya di danau Puspa merupakan hasil pembuangan sampah yang dilakukan secara tidak langsung. Sampah-sampah tersebut berasal dari pasar Kemiri Muka, Depok dan masuk ke danau UI karena dibawa oleh arus melewati gorong-gorong air. Sedangkan sampah yang yang secara langsung dibuang, didominasi oleh sampah yang dibuang oleh para civitas akademika itu sendiri, dan sampah hasil sisa para pedagang sekitar danau UI.
Setelah membahas mengenai bentuk-bentuk pemanfaatan yang dilakukan, selanjtnya saya akan menjelaskan dampak-dampak apa sajakah yang dtimbulkan dari pemanfaatan-pemanfaatan tersebut. Dampak-dampak tersebut antara lain :
a. Dampak Positif
Danau UI berdampak secara ekonomi pada masyarakat sekitar kampus UI. Berdasarkan hasil pengamatan, danau UI menjadi salah satu sarana mencari nafkah baik secara langsung maupun tidak langsung pada pemanfaatnya.

b. Dampak Negatif
            Dampak negatif  dari pemanfaatan  danau UI adalah kerusakan pada lingkungan danau itu sendiri . Kerusakan tersebut, banyak didominasi  karena pembuangan sampah yang sembarangan baik secara langsung atau tidak langsung. Pemancingan ikan dan pengambilan ikan dengan menjalanya secara terus menerus juga mengambil andil dalam kerusakan lingkungan danau. Pemancingan dan penjalaan ikan yang  terus menerus, dapat mengganggu keseimbangan ekosistem danau itu sendiri. Sedangkan sampah yang menumpuk, dapat menjadi polutan yang merusak ekosistem danau, mengganggu keseimbangan daerah resapan air, bahkan dapat menjadi sarang berkembangnya penyakit. Pada akhirnya, kerusakan lingkungan danau UI itu sendiri akan berdampak pada manusia disekitarnya, baik dalam bentuk bencana alam (banjir atau kekeringan), atau wabah penyakit.
Kerusakan Danau UI : Sebuah Bentuk Politics Of Unsustainability
Kerusakan pada danau UI, sebagai konsekuensi dari aksesbilitasnya dapat kita lihat sebagai sebuah kerusakan yang mayoritas dilakukan oleh manusia. Masalah  pembuangan sampah (baik langsung maupun tidak langsung) yang dilakukan tanpa adanya regulasi yang tepat dan bertanggungjawab dinilai sebagai salah satu penyebab terbesar dari kerusakan danau UI. Ketidakjelasn regulasi yang tepat dan bertanggungjawab inilah daerah yang kemudian menyebabkan apa yang disebut sebagai Politics Of Unsustainability[12]. Politics Of Unsustainability, didefiniskan oleh Shoreman, Elanor E., & Nore Haenn (2009), dalam tulisannya “Regulation, Conservation, and Collaboration : Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” sebagai sebuah keadaan non ekologis (sosial, politik, hukum, ekonomi, kultural ) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis (lingkungan primer, alam). Keadaan Non ekologis yang buruk dalam hal ini saya melihatnya dalam bidang hukum atau aturan yang tidak jelas dalam penanganan sampah di danau UI.
            Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sampah yang beredar di danau UI mayoritas merupakan sampah yang bukan berasal dari sekitaran danau UI. Jika kita mengamati lebih mendalam, sampah-sampah yang banyak bertebaran merupakan sampah-sampah pasar yang berasal dari pasar kemiri muka, Depok. Sampah-sampah tersebut dibuang ke gorong-gorong yang kemudian hanyut dan terbawa (atau sengaja diarahkan), ke danau UI.
            Yang menjadi persoalan besar adalah, kemudian tidak adanya tindakan penyelesaian yang berkelanjutan dari pemerintah kota Depok untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal jika kita mengacu kembali pada aturan UU No. 15 Tahun 1999 tentang kota Depok sebagai daerah penyangga (khususnya dalam hal ekologis daerah ibukota Jakarta), harusnya ini menjadi salah satu poin dan perhatian khusus yang dilakukan oleh pemerintah kota. Setali tiga uang dengan pemerintah Depok, solusi-solusi yang dilakukan oleh kampus UI tidak kalah “acak adutnya”. Beberapa kali penyelesaian atas kerusakan danau UI hanya dilakukan dengan tindakan-tindakan yang temporal bahkan seremonial semata namun tidak menyelesaikan akar dari permasalahan tersebut secara utuh. Salah satu pengalaman dari tindakan penyelamatan seremonial yang pernah saya saksikan adalah ketika penyelamatan danau UI di awal tahun 2012. Ketika itu pihak rektorat UI dibantu oleh departemen lingkungan BEM UI dan departemen sosial kemasyarakatan se-UI mengadakan sebuah acara pembersihan danau UI (tepatnya di danau puspa) dengan tajuk #SaveDanauUI.
            Kegiatan ini menurut saya merupakan kegiatan yang besar namun cukup sia-sia. Bagiamana tidak, dengan jumlah peserta yang cukup banyak namanun tidak memberikan dampak yang signifikan dan berkelanjutan. Hasilnya secara singkat bisa dirasakan, namun seminggu kemudian danau yang sudah dibersihkan menjadi kotor kembali karena sampah. Solusi-solusi yang harus dilakukan kemudian harusnya merupakan solusi yang berkelanjutan dan kolaboratif untuk menjawab permasalahan secara utuh.
Penyelamatan Kolaboratif : Solusi Berkelanjutan Penyelamatan Danau UI    
Masalah pembuangan sampah ditambah dengan Politics Of Unsustainability dalam dimensi aturan atau hukum , sudah seharusnya mendapatkan solusi yang tepat dalam penyelesainnya. Solusi yang tepat ini pula diharapkan bukan hanya menjawab permasalahan secara secara parsial dan temporal namun dapat menjawab secara holistik dan berkelanjutan. Salah satu, solusi penyelamatan yang holisitk dan berkelanjutan yang saya nilai tepat untuk menyelamatkan danau UI adalah dengan cara penyelamatan kolaboratif.
Penyelamatan kolaboratif, menurut Peraturan Menteri Kehutanan P.19/2004 merupakan sebuah tindakan penyelamatan dengan mempertimbangkan keterlibatan dari banyak pihak yang memiliki kepentingan atas sebuah objek atau sumber daya tersebut. Lain halnya dengan apa yang dijelaskan oleh Moseley, C. (2003[13]). Menurutnya, pendekatan penyelamatan kolaboratif merupakan proses dimana pihak yang berlatar belakang plural berunding dan bereskperimen untuk mendefinisikan prioritas, mengembangkan solusi termasuk hubungan masing-masing pihak terhadap pengelolaan sumber daya alam. Mengikuti pola pikir dari Moseley kemudian, hal pertama yang kita lakukan dalam penyelamatan kolaboratif adalah mendefinisikan prioritas pihak-pihak yang berkepentingan, atau kemudian yang disebut sebagai analisis pemangku kepentingan.
Dalam analisis pemangku kepentingan, perlu dipetakan kemudian kepentingan-kepentingan, solusi dan hambatan apa sajakah yang ada dilapangan. Mapping dalam analisis pemangku kepentingan ini pula penting halnya khususnya dalam menghindari konflik dalam usaha penyelamatan danau UI . Setelah melakukan analisis kepentingan pihak-pihak yang terkait, perlu adanya intensi lebih untuk mengkomunikasikan solusi dan pola penyelamatan yang bagaimanakah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan danau UI.
Proses komunikasi yang dilakukan perlu memberikan sebuah hasil belajar yang dapat memberikan solusi yang kolaboratif dan berkelanjutan terhadap pemecahan kerusakan danau UI. Secara umum, saya mengusulkan proses komunikasi pihak-pihak yang terkait seperti skema di bawah ini :
Setelah melakukan proses analisis kepentingan, lalu melakukan proses komunikasi yang melibatkan partisipasi dan proses belajar didalamnya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam sebuah penyelamatan kolaboratif menurut Moseley adalah melakukan evaluasi pelaksanaan yang kemudian dijadikan bahan dalam melihat faktor pendukung dan penghambat dalam proses penyelamatan kolaboratif tersebut, sehingga tercipta sebuah solusi yang bukan hanya bersifat holistik namun juga bersifat berkelanjutan.
Kesimpulan
Pemanfaatan-pemanfaatn yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kampus UI memiliki dampak baik dampak yang positif, maupun dampak yang negatif. Dampak pemanfaatan yang positif dilahirkan dari pemanfaatan danau yang bertanggung jawab yang berkomitmen pada aturan dan mengacu pada pemanfaatan danau yang ramah lingkungan dan cenderung konservatif. Sedangkan dampak pemanfaatan danau yang negatif, dilahirkan dari pemanfaatan danau yang tidak bertanggung jawab, tidak ramah lingkungan dan cenderung eksploitatif. Pada masalah kerusakan danau UI hendaknya diselesaikan dengan pola penyelamatan yang holistik dan berkelanjutan, yakni dengan penyelamatan kolaboratif. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam penyelamatan kolaboratif antara lain (1) Analisis pemangku kepentingan (2) menciptakan proses belajar komunikasi dan partisipasi dalam rangka penyelamatan (3) Melakukan evaluasi terhadap faktor penghambat dan pendukung proses penyelamatan yang kolaboratif.
            Terakhir, dalam melakukan pemanfaatan lingkungan hendaknya dilakukan dengan arif dan bijak, dengan selalu mengingat bahwa alam bukanlah sumber daya yang diwariskan oleh nenek moyang yang dapat dimanfaatkan dengan seenaknya, melainkan alam adalah warisan anak cucu yang harus dijaga dan dipelihara.

















 









Daftar Pustaka

Koentjaraningrat.1979. Pengantar Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Moseley, C. 2003. “Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.
Ribot, J.C., & N.L. Peluso 2003 “A Theory of Access”, dalam Rural Sociology 68/2 : 153-170.
Shoreman, Eleanor. “Regulation, Collaboration, and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 (2009): 90-107.


Referensi Internet :
www.depok.go.id/ (25 Desember 2012-11.35 WIB)
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-5114-3106100603-bab1.pdf ( 25 Desember 2012-14.30 WIB)
http://indonesiahijau.or.id (25 Desember 2012-12.30 WIB)
http://indonesiahijau.or.id (25 Desember 2012-12.33 WIB)
http://www.ui.ac.id/id/    (25 Desember 2012-14.30 WIB)



[1]  Diikhtisar dari http://indonesiahijau.or.id (25 Desember 2012-12.30 WIB)
[2] Dikutip dari  www.depok.go.id/ (25 Desember 2012-11.35 WIB)
[3] Dikutip dari : http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-5114-3106100603-bab1.pdf ( 25 Desember 2012-14.30 WIB)
[4] Dikutip dari : http://indonesiahijau.or.id (25 Desember 2012-12.33 WIB)
[5] Dikutip dari : http://www.ui.ac.id/id/  (25 Desember 2012-14.30 WIB)
[6] Dikutip dari http://www.ui.ac.id/id/profile/page/pengantar ( 25 Desember 2012-18:35 WIB)
[7] Dikutip dari http://www.ui.ac.id/id/campus/page/green-campus ( 25 Desember 2012-18:40 WIB)
[9]   Dikutip dari http://www.ui.ac.id/id/campus/page/green-campus (25 Desember 2012 - 18.45 WIB)
[10] Diintisari dari : Ribot, J.C., & N.L. Peluso 2003 “A Theory of Access”, dalam Rural Sociology 68/2 : 153-170.

[11] Koentjaraningrat.1979. Pengantar Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta, pp 32-33
[12] Diintisari dari : Shoreman, Eleanor. “Regulation, Collaboration, and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 (2009): 90-107.
[13] Moseley, C. 2003. “Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.