Jumat, 25 Januari 2013

Book Review


Ritual Process

Victor Turner



Pada tulisan dan buku ini Turner, dalam bab satu, membahas dengan sangat lengkap mengenai Isoma. Ritual Isoma atau lebih dikenal dengan ‘ritual perempuan’, merupakan subkelas dari ritual yang dikaitkan dengan roh para leluhur. Istilah khusus ritual bagi Ndembu adalah chidika atau perjanjian khusus. Ritual sendiri dilakukan manakala seseorang atau kelompok usaha gagal memenuhi kewajiban mereka. Ritual Isoma sendiri dilakukan karena ketidakberuntungan yang dialami oleh perempuan terkait dengan kapasitas reproduksi dirinya. Orang Ndembu mempratikkan model kekerabatan matrilineal di satu sisi, dan mempraktikkan model virilokal di sisi lainnya. Kondisi ini menyebabkan seorang perempuan Ndembu yang menikah terjerat dalam arena kontestasi antara suami dan saudara laki-laki dari pihak ibu. Dalam kondisi lain, seorang perempuan yang menikah dan melahirkan, dalam jangka pendek atau panjang, akan membawa anak yang dilahirkannya untuk masuk dan berafiliasi dalam klan ibu (matrilineal).
Konsekuensi lain dari model ini adalah bahwa masyarakat Ndembu mendasarkan keberlangsungan hidup mereka dari ketidakberlanjutan hubungan perkawinan. Hal ini disebabkan bahwa perempuan yang bercerai akan kembali ke kerabatnya dan membawa anak yang dilahirkannya. Berbeda halnya jika seorang perempuan menikah dan memiliki anak, dan bertempat tinggal bersama suaminya, namun tidak kembali ke kerabatnya, maka perempuan tersebut dianggap tidak memenuhi “tugasnya” untuk menjaga keberlangsungan kerabatnya. Seorang perempuan diharapkan berpartisipasi dalam menjaga keberlangsungan kerabatnya dengan menyumbangkan kemampuan fertilitas yang dia miliki agar dia tetap memiliki hubungan dengan para leluhurnya. Kegagalan dalam pemenuhan tugas ini menjadikan mereka sebagai orang yang “melupakan” asal-usul dan tujuannya, dan ritual Isoma memiliki peran khusus untuk mengingatkan kembali di mana harusnya dia meletakkan loyalitasnya. Isoma juga berlangsung jika seorang perempuan memiliki “kegagalan” dalam reproduksi, baik itu melahirkan anak atau pun merawat kehamilan. Ritual ini dipimpin oleh seorang dokter atau chimbuki yang dianggap mengetahui mengenai pengobatan. Di sisi yang berbeda, setiap ritual yang dilakukan oleh Ndembu selalu melibatkan seperangkat simbol. Bagi Turner, orang Ndembu sangat menyadari fungsi ekspresif dari simbol dalam setiap ritual mereka, termasuk dalam Isoma. Pelaksanaan Isoma secara implisit memiliki tujuan untuk merestorasi hak dalam hubungan antara kekerabatan matrilineal dan perkawinan, merekonstruksi hubungan perkawinan antara suami dan istri, dan membuat hubungan antara perempuan, kekerabatannya dan perkawinannya, berhasil. Dalam istilah Ndembu, ritual ini membuang chisaku atau ketidakberuntungan atau penyakit yang ditimbulkan akibat membuat leluhur tidak senang atau melanggar tabu .
Jika pada bab satu Turner menjelaskan dengan sangat lengkap mengenai Isoma, maka pada bab selanjutnya Turner mencoba menjelaskan kontradiksi pada anak kembar. Turner mencoba menjelaskan mengenai Wubwang’u. Ritual ini dilaksanakan untuk menguatkan perempuan yang dianggap akan memiliki dua anak kembar atau jika si anak tersebut telah lahir atau ampamba. Keberadaan anak kembar memang paradoks. Paradoks ini muncul manakala keberadaan anak kembar dilihat dalam pandangan orang Ndembu. Sebagaimana digambarkan sebelumnya, orang Ndembu memberikan porsi yang utama pada masalah fertilitas, di mana kita melihat keterkaitan antara fertilitas dengan fisiologi dengan kesulitan ekonomi.
Dalam pandangan Turner, dalam masyarakat yang tidak berternak atau tidak memiliki gagasan bahwa biri-biri dan kambing dapat diambil susunya untuk konsumsi, maka akan sangat sulit bagi seorang perempuan untuk memiliki dua anak dan menyusui anak-anaknya. Seringkali keberlangsungan hidup anak tersebut bergantung pada belas kasihan orang lain, misalnya perempuan yang anaknya meninggal dan ia masih memiliki persediaan air susu.  Di sisi yang berbeda, ritual wubwang’u memiliki paradoks lain dalam keteraturan struktur sosial. Turner mengutip Schapera, yang menggambarkan fakta bahwa di mana pun kekerabatan secara struktural memegang posisi yang signifikan, terlebih jika menghasilkan kerangka hubungan korporasi dan status sosial, kelahiran anak kembar adalah sesuatu yang memalukan. Hal ini disebabkan adanya asumsi dasar bahwa manusia melahirkan hanya satu anak dalam satu waktu, dan hanya satu tempat yang tersedia dalam struktur sosial di mana anak tersebut dilahirkan. Hubungan saudara kandung adalah faktor penting lainnya. Dalam suatu struktur sosial, keberadaan kakak seringkali memiliki hak lebih ketimbang adik-adiknya, dan hal ini menjadi persoalan ketika lahir anak kembar, di mana secara fisik terdapat dua individu namun secara struktural hanya ada satu posisi yang disediakan, dan apa yang mistis satu namun secara empiris dua. Ritual wubwang’u sebagaimana ritual-ritual lainnya, memegang posisi penting bagi diri perempuan. Ritual ini dilaksanakan bagi perempuan yang melahirkan anak kembar atau perempuan yang dianggap (atau diharapkan) memiliki anak kembar. Selanjutnya pada bagian tiga dari tulisan Turner. Berbeda dengan dua tulisan berikutnya yang secara detail membahas dengan sangat mendetail mengenai ritual dalam masyarakat Ndembu, bagian tiga (dan sisa bab lainnya) membahas aspek struktural yang dikaitkan dengan dua bab berikutnya. Secara khusus bab ini membahas mengenai liminalitas dan komunitas. Terus terang, tidak mudah menjelaskan perbedaan penerjemahan antara communitas dengan community, keduanya diterjemahkan sebagai ‘’komunitas’’ dalam bahasa Indonesia.
Meskipun demikian, Turner membedakan antara kommunitas dan kommuniti, dalam pandangan Turner, jika saya tidak salah dalam memahami, community merujuk pada sebuah wilayah yang ditempati oleh masyarakat, dalam hal ini community adalah sebuah teritori. Maka dengan itu, saya tidak memaksudkan dengan menulis komunitas yang merujuk pada community, namun komunitas di sini merujuk pada communitas yang digunakan oleh Turner. Liminalitas, merupakan konsep yang dipinjam dari van Gennep, secara sederhana dipergunakan untuk merujuk pada ritus peralihan atau rites de passage. Ritus peralihan sendiri terjadi untuk menandai sebuah perubahan atau peralihan tempat, keadaan, kedudukan sosial dan usia. Pelaksanaan ritus peralihan dilaksanakan dalam tiga fase, yaitu separasi (separation) atau pemisahan, margina atau peminggiran, dan agregasi. Pemisahan ditandai dengan terbentuknya perilaku simbolik yang menjadi penanda adanya keterpisahan individu (atau kelompok) dari posisi awalnya dalam struktur sosial. Margin adalah posisi antara, di mana individu (atau kelompok) tersebut belum dapat sepenuhnya melepaskan atributnya, sekaligus belum dapat sepenuhnya mencapai atributnya yang baru. Sedangkan agregasi ditandai dengan pembentukan kembali melalui pemberian atribut setelah proses pengukuhannya selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar