Ritual
Process
Victor
Turner
Pada tulisan dan buku ini Turner,
dalam bab satu, membahas dengan sangat lengkap mengenai Isoma. Ritual Isoma
atau lebih dikenal dengan ‘ritual perempuan’, merupakan subkelas dari ritual
yang dikaitkan dengan roh para leluhur. Istilah khusus ritual bagi Ndembu
adalah chidika atau perjanjian
khusus. Ritual sendiri dilakukan manakala seseorang atau kelompok usaha gagal
memenuhi kewajiban mereka. Ritual Isoma sendiri dilakukan karena
ketidakberuntungan yang dialami oleh perempuan terkait dengan kapasitas
reproduksi dirinya. Orang Ndembu mempratikkan model kekerabatan matrilineal di
satu sisi, dan mempraktikkan model virilokal di sisi lainnya. Kondisi ini
menyebabkan seorang perempuan Ndembu yang menikah terjerat dalam arena
kontestasi antara suami dan saudara laki-laki dari pihak ibu. Dalam kondisi
lain, seorang perempuan yang menikah dan melahirkan, dalam jangka pendek atau
panjang, akan membawa anak yang dilahirkannya untuk masuk dan berafiliasi dalam
klan ibu (matrilineal).
Konsekuensi lain dari model ini
adalah bahwa masyarakat Ndembu mendasarkan keberlangsungan hidup mereka dari
ketidakberlanjutan hubungan perkawinan. Hal ini disebabkan bahwa perempuan yang
bercerai akan kembali ke kerabatnya dan membawa anak yang dilahirkannya.
Berbeda halnya jika seorang perempuan menikah dan memiliki anak, dan bertempat
tinggal bersama suaminya, namun tidak kembali ke kerabatnya, maka perempuan
tersebut dianggap tidak memenuhi “tugasnya” untuk menjaga keberlangsungan
kerabatnya. Seorang perempuan diharapkan berpartisipasi dalam menjaga
keberlangsungan kerabatnya dengan menyumbangkan kemampuan fertilitas yang dia
miliki agar dia tetap memiliki hubungan dengan para leluhurnya. Kegagalan dalam
pemenuhan tugas ini menjadikan mereka sebagai orang yang “melupakan” asal-usul
dan tujuannya, dan ritual Isoma memiliki peran khusus untuk mengingatkan
kembali di mana harusnya dia meletakkan loyalitasnya. Isoma juga berlangsung
jika seorang perempuan memiliki “kegagalan” dalam reproduksi, baik itu
melahirkan anak atau pun merawat kehamilan. Ritual ini dipimpin oleh seorang
dokter atau chimbuki yang dianggap
mengetahui mengenai pengobatan. Di sisi yang berbeda, setiap ritual yang
dilakukan oleh Ndembu selalu melibatkan seperangkat simbol. Bagi Turner, orang
Ndembu sangat menyadari fungsi ekspresif dari simbol dalam setiap ritual
mereka, termasuk dalam Isoma. Pelaksanaan Isoma secara implisit memiliki tujuan
untuk merestorasi hak dalam hubungan antara kekerabatan matrilineal dan
perkawinan, merekonstruksi hubungan perkawinan antara suami dan istri, dan
membuat hubungan antara perempuan, kekerabatannya dan perkawinannya, berhasil.
Dalam istilah Ndembu, ritual ini membuang chisaku
atau ketidakberuntungan atau penyakit yang ditimbulkan akibat membuat leluhur
tidak senang atau melanggar tabu .
Jika pada bab satu Turner
menjelaskan dengan sangat lengkap mengenai Isoma, maka pada bab selanjutnya
Turner mencoba menjelaskan kontradiksi pada anak kembar. Turner mencoba
menjelaskan mengenai Wubwang’u.
Ritual ini dilaksanakan untuk menguatkan perempuan yang dianggap akan memiliki
dua anak kembar atau jika si anak tersebut telah lahir atau ampamba. Keberadaan anak kembar memang
paradoks. Paradoks ini muncul manakala keberadaan anak kembar dilihat dalam
pandangan orang Ndembu. Sebagaimana digambarkan sebelumnya, orang Ndembu
memberikan porsi yang utama pada masalah fertilitas, di mana kita melihat
keterkaitan antara fertilitas dengan fisiologi dengan kesulitan ekonomi.
Dalam pandangan Turner, dalam
masyarakat yang tidak berternak atau tidak memiliki gagasan bahwa biri-biri dan
kambing dapat diambil susunya untuk konsumsi, maka akan sangat sulit bagi
seorang perempuan untuk memiliki dua anak dan menyusui anak-anaknya. Seringkali
keberlangsungan hidup anak tersebut bergantung pada belas kasihan orang lain, misalnya
perempuan yang anaknya meninggal dan ia masih memiliki persediaan air susu. Di
sisi yang berbeda, ritual wubwang’u
memiliki paradoks lain dalam keteraturan struktur sosial. Turner mengutip
Schapera, yang menggambarkan fakta bahwa di mana pun kekerabatan secara
struktural memegang posisi yang signifikan, terlebih jika menghasilkan kerangka
hubungan korporasi dan status sosial, kelahiran anak kembar adalah sesuatu yang
memalukan. Hal ini disebabkan adanya asumsi dasar bahwa manusia melahirkan
hanya satu anak dalam satu waktu, dan hanya satu tempat yang tersedia dalam
struktur sosial di mana anak tersebut dilahirkan. Hubungan saudara kandung
adalah faktor penting lainnya. Dalam suatu struktur sosial, keberadaan kakak
seringkali memiliki hak lebih ketimbang adik-adiknya, dan hal ini menjadi
persoalan ketika lahir anak kembar, di mana secara fisik terdapat dua individu
namun secara struktural hanya ada satu posisi yang disediakan, dan apa yang
mistis satu namun secara empiris dua. Ritual wubwang’u sebagaimana ritual-ritual lainnya, memegang posisi
penting bagi diri perempuan. Ritual ini dilaksanakan bagi perempuan yang
melahirkan anak kembar atau perempuan yang dianggap (atau diharapkan) memiliki
anak kembar. Selanjutnya pada bagian tiga dari tulisan Turner. Berbeda dengan
dua tulisan berikutnya yang secara detail membahas dengan sangat mendetail
mengenai ritual dalam masyarakat Ndembu, bagian tiga (dan sisa bab lainnya)
membahas aspek struktural yang dikaitkan dengan dua bab berikutnya. Secara
khusus bab ini membahas mengenai liminalitas dan komunitas. Terus terang, tidak
mudah menjelaskan perbedaan penerjemahan antara communitas dengan community,
keduanya diterjemahkan sebagai ‘’komunitas’’ dalam bahasa Indonesia.
Meskipun demikian, Turner membedakan
antara kommunitas dan kommuniti, dalam pandangan Turner, jika saya tidak salah
dalam memahami, community merujuk pada sebuah wilayah yang ditempati oleh
masyarakat, dalam hal ini community adalah sebuah teritori. Maka dengan itu,
saya tidak memaksudkan dengan menulis komunitas yang merujuk pada community,
namun komunitas di sini merujuk pada communitas yang digunakan oleh Turner. Liminalitas,
merupakan konsep yang dipinjam dari van Gennep, secara sederhana dipergunakan
untuk merujuk pada ritus peralihan atau rites
de passage. Ritus peralihan sendiri terjadi untuk menandai sebuah perubahan
atau peralihan tempat, keadaan, kedudukan sosial dan usia. Pelaksanaan ritus
peralihan dilaksanakan dalam tiga fase, yaitu separasi (separation) atau
pemisahan, margina atau peminggiran, dan agregasi. Pemisahan ditandai dengan
terbentuknya perilaku simbolik yang menjadi penanda adanya keterpisahan
individu (atau kelompok) dari posisi awalnya dalam struktur sosial. Margin
adalah posisi antara, di mana individu (atau kelompok) tersebut belum dapat
sepenuhnya melepaskan atributnya, sekaligus belum dapat sepenuhnya mencapai
atributnya yang baru. Sedangkan agregasi ditandai dengan pembentukan kembali
melalui pemberian atribut setelah proses pengukuhannya selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar