Jumat, 25 Januari 2013

Carok!!


Carok!!!

Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain (Hasan Alwi, 2001: 563). Kekhususan kultural itu tampak antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan. Keempat figur itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, dan Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur utama itulah kepatuhan hierarkis orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam kehidupan sosial budaya mereka (Wiyata, 2003: 1).
Secara hierarkis posisi kepatuhan masyarakat Madura dapat diurutkan sebagai berikut. Yang pertama adalah kepatuhan terhadap ayah dan ibu (buppa dan babbu) kemudian yang ketiga adalah kepatuhan terhadap guru atau ulama dan yang terakhir adalah kepatuhan terhadap Rato atau pemimpin pemerintahan.
Kepatuhan terhadap orang tua baik ayah dan ibu sudah sangat jelas dan telah diakui. Hal tersebut juga berlaku tidak hanya pada etnis Madura melainkan berlaku juga terhadap berbagai etnis lain yang ada. Dalam berbagai budaya yang ada hal tersebut sudah menjadi hal yang mutlak. Kepatuhan seorang anak terhadap ayah dan ibunya menjadi hal yang harus ditaati dan harus dilaksanakan. Perbedaan yang mungkin terjadi adalah tata cara yang dilakukan dalam mengintepretasikannya. Selain itu yang berbeda adalah cara-cara yang dilkukan untuk mewariskan nilai-nilai kepatuhan tersebut. Secara siklus hal tersebut akan terus berjalan melalui proses pewarisan.
Menurut Taufiqqurrahman, kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi pada level-hierarkis kedua. Penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan menekankan pada pengertian Kiai-pengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya Ustadz pada “sekolah-sekolah” keagamaan. Peran dan fungsi guru lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan eskatologis ─ terutama dalam aspek ketenteraman dan penyelamatan diri dari beban atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena itu, ketaatan orang-orang Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya mereka yang mungkin tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.
Siklus-generatif tentang kepatuhan orang Madura (sebagai murid) kepada figur guru ternyata tidak dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan anak kepada figur I dan II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak semua orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur guru. Kendati pun terdapat anggapan-prediktif bahwa figur guru sangat mungkin diraih oleh murid karena aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya. Oleh karenanya, makna kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura belum cukup tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan pasrah.
Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin pemerintahan) menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang ─ dari mana pun etnik asalnya ─ bukan karena faktor genealogis melainkan karena keberhasilan prestasi dalam meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua orang Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu.
Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh. Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik Madura.
Secara kultural dapat dimengerti mengapa hierarki Ayah diposisikan lebih tinggi dari Ibu. Posisi Ayah dalam sosiokultural masyarakat etnik Madura memegang kendali dan wewenang penuh lembaga keluarga sebagai sosok yang diberi amanah untuk bertanggung jawab dalam semua kebutuhan rumah tangganya, di antaranya: pemenuhan keperluan ekonomik, pendidikan,kesehatan, dan keamanan seluruh anggota keluarga, termasuh di dalamnya Sang Ibu sebagai anggota dalam “kepemimpinan” lelaki.
Di sisi lain, kepatuhan kultural orang Madura kepada Guru (Kiai/Ustadz) maupun kepada pemimpin pemerintahan karena peran dan jasa mereka itu dipan dang bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru berjasa dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri akhirat kelak. Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar karena telah memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan keselamatan akhirat pascakehidupan dunia. Sedangkan pemimpin pemerintahan berjasa dalam mengatur ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim dan kesempatan bekerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomik, mengakomodasi kebebasan beribadat, memelihara suasana aman, dan membangun kebersamaan atau keberdayaan secara partisipatif. Dalam dimensi religiusitas, sebutan figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan dengan istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk dipatuhi.
Persoalan yang paling mendasar sesungguhnya terletak pada pemaknaan kultural tentang kepatuhan dalam konteks subordinasi, hegemoni, eksploitasi, dan berposisi kalah sepanjang hidup. Pemaknaan tersebut perlu diletakkan dalam posisi yang berkeadilan dan proporsional. Jika kepatuhan hierarkis kepada figur I dan II tidak ada masalah karena terbentang luas untuk memperoleh dan mengubahnya secara siklis maka upaya untak mengubah kepatuhan hierarkis pada figur III dan IV dapat ditempuh melalui kerja keras dan optimisme disertai bekal pengetahuan yang sangat memadai. Karenanya, persoalan-persoalan kultural tentang konsepsi kepatuhan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa solusi untuk mengubahnya.

A.           Carok di Madura
Carok adalah institusionalisasi dalam Masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama dan pendidikan (Wiyata 2002:231). Carok secara historis telah menjadi bagian dari masyarakat Madura. Tradisi Carok telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah maupun pihak yang berkuasa baik pada masa ini maupun masa lalu tidak berkompeten dalam mengontrol kekerasan dan juga melindungi masyarakat dari kekerasan yang terjadi. Dalam budaya Madura Carok selalu dijadikan sebagai sarana dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Hal ini mencerminkan bahwa tidak adanya sarana bagi para pelaku Carok untuk menyelesaikan konflik.
Carok terjadi disebabkan oleh perasaan terhina atau malo pada diri si pelaku karena harga dirinya dilecehkan oleh orang lain. Pelecehan harga diri sama dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya dalam struktur sosial. Bagi orang Madura tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan status sosial sama artinya dengan memperlakukan dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai eksistensi diri dan pada gilirannya menimbulkan rasa malo. Di lain sisi, apabila seorang laki-laki Madura tidak berani melakukan Carok maka lingkungan sekitarnya akan menganggap bahwa dia bukanlah orang Madura yang sesungguhnya dan sekaligus menjadi bahan cemoohan diantara orng-orang. Jadi, orang Madura melakukan Carok juga sebagai jalan agar dia diakui sebagai orang Madura. Oleh karena itu Carok dijadikan sebagai sarana untuk mengekspresikan identitas etnisnya.
Cara untuk melakukan Carok sendiri ada dua macam. Yang pertama adalah dengan cara ngonggai. Cara ini dilakukan dengan bentuk menantang secara langsung orang yang akan diajak Carok. Cara ini biasanya tidak membutuhkan waktu lama dalam persiapannya. Namun yang dibutuhkan adalah persiapan mental yang harus dilakukan lebih lama oleh si pelaku. Cara yang selanjutnya adalah nyekep. Cara ini dilakukan dengan cara menyimpan senjata dalam baju si pelaku, ketika sudah bertemu dengan korban maka Carok pun dilaksanakan. Cara ini membutuhkan persiapan yang lebih lama ketimbang cara pertama. Hal yang harus dilakukan oleh pelaku adalah mengamati kebiasaan korban dan mengetahui segala tempat yang biasa didatangi korban. Hal ini minimal memerlukan persiapan selama satu bulan. Tradisi nyekep sudah sulit untuk ditinggalkan oleh masyarakat Madura. Setiap saat mereka keluar rumah selalu membawa senjata tajam, lebih-lebih jika sedang mempunyai musuh.
Persiapan untuk Carok (baik ngonggai atau nyekep) adalah melakukan pengintaian yang cermat, apalagi terhadap masalah-masalah yang sensintif. Selain itu biasanya sebelum melakukan Carok pihak pelaku mengadakan sidang keluarga. Sidang keluarga itu diikuti oleh para tetua dari keluarganya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan ijin dari pihak keluarga.
Setelah itu prasyarat selanjutnya adalah tampeng sereng. Hal ini berbentuk kekuatan supranatural yang dipercaya dapat menambah kekuatan pelaku Carok. Ada tiga macam mantera yang digunakan yaitu nylateng, nyepet dan mesem (Wiyata 2002:192). Nylateng membuat sang pelaku merasa berani, nyepet membuat orang menjadi kebal dan mesem membuat luluh hati musuh (musuh menjadi tidak marah).
Persyaratan selanjutnya adalah tersedianya dana. Dana tersebut ditujukan untuk menyelenggarakan ritual keagamaan bagi pelaku Carok yang tebunuh. Misalnya, upacara tahlilan memperingati kematian dalam jangka waktu 1 minggu, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Kemudian dana tersebut juga ditujukan untuk melakukan nabang bagi pelaku Carok yang selamat. Nabang merupakan upaya keluarga pelaku Carok untuk merekayasa proses peradilan dengan cara menyerahkan sejumlah uang kepada aparat agar hukuman pelaku Carok berkurang atau menjadi ringan. Bahkan apabila pelaku Carok dua orang, dengan adanya nabang, maka yang dihukum hanya bisa satu orang saja. Selain itu dana juga dibutuhkan untuk  menyelanggarakan tradisi remo.
Tradisi remo sendiri merupakan suatu acara hiburan yang para orang jago atau blater berkumpul dalam sebuah pesta yang biasanya menampilkan hiburan seperti ludruk. Pelaksanaannya sama seperti arisan yaitu para anggotanya wajib membayar uang kepada penyelenggara.

Referensi:

Taufiqurrahman. “Islam dan Budaya Madura.” www.ditpertais.net/ancon06/Makalah%20Taufiqurrahman..doc (24 Januari 2012)
Wiyata, A. Latief. Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LkiS, 2002.
Wiyata, A. Latief. Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi Mengenai Budaya Madura. Jakarta: CERIC-FISIP UI, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar