Carok!!!
Masyarakat
Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik.
Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura
memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik
lain (Hasan Alwi, 2001: 563). Kekhususan kultural itu tampak antara lain pada
ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur
utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan. Keempat figur
itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, dan
Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur
utama itulah kepatuhan hierarkis orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam
kehidupan sosial budaya mereka (Wiyata, 2003: 1).
Secara
hierarkis posisi kepatuhan masyarakat Madura dapat diurutkan sebagai berikut.
Yang pertama adalah kepatuhan terhadap ayah dan ibu (buppa dan babbu) kemudian
yang ketiga adalah kepatuhan terhadap guru atau ulama dan yang terakhir adalah
kepatuhan terhadap Rato atau pemimpin pemerintahan.
Kepatuhan
terhadap orang tua baik ayah dan ibu sudah sangat jelas dan telah diakui. Hal
tersebut juga berlaku tidak hanya pada etnis Madura melainkan berlaku juga terhadap
berbagai etnis lain yang ada. Dalam berbagai budaya yang ada hal tersebut sudah
menjadi hal yang mutlak. Kepatuhan seorang anak terhadap ayah dan ibunya
menjadi hal yang harus ditaati dan harus dilaksanakan. Perbedaan yang mungkin
terjadi adalah tata cara yang dilakukan dalam mengintepretasikannya. Selain itu
yang berbeda adalah cara-cara yang dilkukan untuk mewariskan nilai-nilai
kepatuhan tersebut. Secara siklus hal tersebut akan terus berjalan melalui
proses pewarisan.
Menurut
Taufiqqurrahman, kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi pada
level-hierarkis kedua. Penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan
menekankan pada pengertian Kiai-pengasuh pondok pesantren atau
sekurang-kurangnya Ustadz pada “sekolah-sekolah” keagamaan. Peran dan fungsi
guru lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan
eskatologis ─ terutama dalam aspek ketenteraman dan penyelamatan diri dari
beban atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena itu, ketaatan
orang-orang Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya mereka yang
mungkin tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.
Siklus-generatif
tentang kepatuhan orang Madura (sebagai murid) kepada figur guru ternyata tidak
dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan anak kepada figur I dan
II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak semua orang Madura
mempunyai kesempatan untuk menjadi figur guru. Kendati pun terdapat
anggapan-prediktif bahwa figur guru sangat mungkin diraih oleh murid karena
aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan bahwa setiap
murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya. Oleh karenanya, makna
kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura belum cukup tersedia
ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah statusnya menjadi orang yang
senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan pasrah.
Kepatuhan
orang Madura kepada figur Rato
(pemimpin pemerintahan) menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang ─ dari
mana pun etnik asalnya ─ bukan karena faktor genealogis melainkan karena
keberhasilan prestasi dalam meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua orang
Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai
Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun baru terlaksana
ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa Undang-Undang tentang Otonomi
Daerah, tahun 1999 yang baru lalu.
Oleh
karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang
relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan
bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura masih tetap dalam posisi yang
senantiasa harus patuh. Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa
para individu dalam entitas etnik Madura.
Secara
kultural dapat dimengerti mengapa hierarki Ayah diposisikan lebih tinggi dari
Ibu. Posisi Ayah dalam sosiokultural masyarakat etnik Madura memegang kendali
dan wewenang penuh lembaga keluarga sebagai sosok yang diberi amanah untuk
bertanggung jawab dalam semua kebutuhan rumah tangganya, di antaranya:
pemenuhan keperluan ekonomik, pendidikan,kesehatan, dan keamanan seluruh
anggota keluarga, termasuh di dalamnya Sang Ibu sebagai anggota dalam
“kepemimpinan” lelaki.
Di
sisi lain, kepatuhan kultural orang Madura kepada Guru (Kiai/Ustadz) maupun
kepada pemimpin pemerintahan karena peran dan jasa mereka itu dipan dang
bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru berjasa
dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk memperoleh
kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri akhirat kelak.
Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar karena telah
memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan keselamatan akhirat
pascakehidupan dunia. Sedangkan pemimpin pemerintahan berjasa dalam mengatur
ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim dan kesempatan bekerja,
mengembangkan kesempatan bidang ekonomik, mengakomodasi kebebasan beribadat,
memelihara suasana aman, dan membangun kebersamaan atau keberdayaan secara
partisipatif. Dalam dimensi religiusitas, sebutan figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan dengan istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk
dipatuhi.
Persoalan
yang paling mendasar sesungguhnya terletak pada pemaknaan kultural tentang
kepatuhan dalam konteks subordinasi, hegemoni, eksploitasi, dan berposisi kalah
sepanjang hidup. Pemaknaan tersebut perlu diletakkan dalam posisi yang
berkeadilan dan proporsional. Jika kepatuhan hierarkis kepada figur I dan II
tidak ada masalah karena terbentang luas untuk memperoleh dan mengubahnya
secara siklis maka upaya untak mengubah kepatuhan hierarkis pada figur III dan
IV dapat ditempuh melalui kerja keras dan optimisme disertai bekal pengetahuan
yang sangat memadai. Karenanya, persoalan-persoalan kultural tentang konsepsi
kepatuhan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa solusi untuk mengubahnya.
A.
Carok
di Madura
Carok
adalah institusionalisasi dalam Masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat
kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial
ekonomi, agama dan pendidikan (Wiyata 2002:231). Carok secara historis telah menjadi bagian dari masyarakat Madura.
Tradisi Carok telah berlangsung sejak
berabad-abad yang lalu. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah maupun pihak yang
berkuasa baik pada masa ini maupun masa lalu tidak berkompeten dalam mengontrol
kekerasan dan juga melindungi masyarakat dari kekerasan yang terjadi. Dalam
budaya Madura Carok selalu dijadikan
sebagai sarana dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Hal ini mencerminkan
bahwa tidak adanya sarana bagi para pelaku Carok
untuk menyelesaikan konflik.
Carok
terjadi disebabkan oleh perasaan terhina atau malo pada diri si pelaku karena harga dirinya dilecehkan oleh orang
lain. Pelecehan harga diri sama dengan pelecehan terhadap kapasitas diri.
Padahal kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan
peran dan statusnya dalam struktur sosial. Bagi orang Madura tindakan tidak
menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan status sosial sama
artinya dengan memperlakukan dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai
eksistensi diri dan pada gilirannya menimbulkan rasa malo. Di lain sisi, apabila seorang laki-laki Madura tidak berani
melakukan Carok maka lingkungan
sekitarnya akan menganggap bahwa dia bukanlah orang Madura yang sesungguhnya
dan sekaligus menjadi bahan cemoohan diantara orng-orang. Jadi, orang Madura
melakukan Carok juga sebagai jalan
agar dia diakui sebagai orang Madura. Oleh karena itu Carok dijadikan sebagai sarana untuk mengekspresikan identitas
etnisnya.
Cara
untuk melakukan Carok sendiri ada dua
macam. Yang pertama adalah dengan cara ngonggai.
Cara ini dilakukan dengan bentuk menantang secara langsung orang yang akan
diajak Carok. Cara ini biasanya tidak
membutuhkan waktu lama dalam persiapannya. Namun yang dibutuhkan adalah
persiapan mental yang harus dilakukan lebih lama oleh si pelaku. Cara yang
selanjutnya adalah nyekep. Cara ini
dilakukan dengan cara menyimpan senjata dalam baju si pelaku, ketika sudah
bertemu dengan korban maka Carok pun
dilaksanakan. Cara ini membutuhkan persiapan yang lebih lama ketimbang cara
pertama. Hal yang harus dilakukan oleh pelaku adalah mengamati kebiasaan korban
dan mengetahui segala tempat yang biasa didatangi korban. Hal ini minimal
memerlukan persiapan selama satu bulan. Tradisi nyekep sudah sulit untuk ditinggalkan oleh masyarakat Madura.
Setiap saat mereka keluar rumah selalu membawa senjata tajam, lebih-lebih jika
sedang mempunyai musuh.
Persiapan
untuk Carok (baik ngonggai atau nyekep) adalah melakukan pengintaian yang cermat, apalagi terhadap
masalah-masalah yang sensintif. Selain itu biasanya sebelum melakukan Carok pihak pelaku mengadakan sidang
keluarga. Sidang keluarga itu diikuti oleh para tetua dari keluarganya. Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan ijin dari pihak keluarga.
Setelah
itu prasyarat selanjutnya adalah tampeng
sereng. Hal ini berbentuk kekuatan supranatural yang dipercaya dapat
menambah kekuatan pelaku Carok. Ada
tiga macam mantera yang digunakan yaitu nylateng,
nyepet dan mesem (Wiyata
2002:192). Nylateng membuat sang
pelaku merasa berani, nyepet membuat
orang menjadi kebal dan mesem membuat
luluh hati musuh (musuh menjadi tidak marah).
Persyaratan
selanjutnya adalah tersedianya dana. Dana tersebut ditujukan untuk
menyelenggarakan ritual keagamaan bagi pelaku Carok yang tebunuh. Misalnya, upacara tahlilan memperingati
kematian dalam jangka waktu 1 minggu, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Kemudian
dana tersebut juga ditujukan untuk melakukan nabang bagi pelaku Carok
yang selamat. Nabang merupakan upaya
keluarga pelaku Carok untuk
merekayasa proses peradilan dengan cara menyerahkan sejumlah uang kepada aparat
agar hukuman pelaku Carok berkurang
atau menjadi ringan. Bahkan apabila pelaku Carok
dua orang, dengan adanya nabang, maka
yang dihukum hanya bisa satu orang saja. Selain itu dana juga dibutuhkan
untuk menyelanggarakan tradisi remo.
Tradisi remo sendiri merupakan suatu acara
hiburan yang para orang jago atau blater
berkumpul dalam sebuah pesta yang biasanya menampilkan hiburan seperti ludruk. Pelaksanaannya sama seperti
arisan yaitu para anggotanya wajib membayar uang kepada penyelenggara.
Referensi:
Taufiqurrahman. “Islam dan Budaya Madura.” www.ditpertais.net/ancon06/Makalah%20Taufiqurrahman..doc (24 Januari 2012)
Wiyata, A. Latief. Carok; Konflik Kekerasan dan Harga
Diri Orang Madura. Yogyakarta: LkiS, 2002.
Wiyata,
A. Latief. Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi Mengenai Budaya Madura.
Jakarta: CERIC-FISIP UI, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar