Buruh
Murah di Kampus (Katanya) Rakyat
Sebuah
Analisis Jaringan Komersial Global dalam Sistem Kerja Outsourcing di Kampus
FISIP UI
Globalisasi : Jaringan
Komersial dan Konflik
Globalisasi
merupakan sebuah term yang cukup populer dalam satu dasawarsa belakangan ini. Dia
begitu dekat dan lekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Globalisasi menempati
ruang yang cukup luas dalam segala macam aspek kehidupan, maka dari itu
berpengaruh pula pada bagaimana konsepsi dari term tersebut. Dalam term yang umum, globalisasi dapat
diartikan sebagai sebuah gejala penjagadaan segala sesuatu[1].
Proses penjagadaan itu dapat dalam berbagai aspek, dengan objek dan subjek
tertentu pula. Sedangkan jika meniliki lebih mendalam mengenai arti term globalisasi dalam perspektif
antropologis setidaknya dapat dijelaskan sebagai sebuah proses dimana adanya
proses homogenisasi dunia, adanya agen-agen yang berperan di dalam proses
tersebut, dan adanya kedaulatan negara yang semakin berkurang – terutama
merujuk kepada batasan teritorialnya yang begitu normatif namun dapat
dipecahkan karena alasan-alasan politis internasional tertentu (Smart dan
Smart, 2003: 266[2]).
Selain
memahami bagaimana term globalisasi
itu sendiri didefinisikan, menurut penulis menjadi hal yang penting halnya
yakni memahami mengenai ciri-ciri umum yang terjadi dalam proses globalisasi
tersebut. Beberapa ciri-ciri umum yang terjadi dalam proses globalisasi antara
lain yakni adanya proses komersialisasi dan adanya konflik dalam segala macam
proses globalisasi[3].
Dalam globalisasi kita tidaklah dapat menutup mata bahwa terjadi pula proses
imperialisme model baru, dimana jaringan-jaringan komersial baik perseorangan,
institusi dan perusahaan global (MNC)
menebarkan jaring-jaring komersialisasinya dan pada tingkatan lebih
lanjut dapat juga menimbulkan konflik. Jaring-jaring komersialisasi dan konflik
inilah yang kemudian berdampak bukan hanya pada jaringan komoditasnya, namun
juga pada jaringan penyokong superstruktur tersebut yakni pada pihak-pihak yang
paling dekat dengan moda produksi, yang kita kenal sebagai buruh.
Dalam
tulisan ini, kemudian akan dibahas oleh penulis mengenai bagaimana globalisasi
yang memiliki jaringan komersialisasi dan dampak konflik memiliki dampak pada
sistem kerja buruh, yang dikenal sebagai sistem kerja outsourcing.
Outsourcing dan Jaringan Komersial Global
Pasca
disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktek kerja outsourcing atau praktek kerja alih daya
di Indonesia secara resmi dilegalkan. Praktek ini dijabarkan pada pasal 65 dan
66 dalam UU tersebut dengan istilah pekerjaan pemborong. Outsourcing dalam hal ini memiliki arti sebagai pola kerja yang
mendelegasikan operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis/kerja pada
pihak lain di luar perusahaan yang menjadi penyedia jasa outsourcing.[4]
Alasan utama diadakannya outsourcing
adalah untuk efisiensi pengusaha dalam menghemat pengeluaran produksi, yang
ujung pangkalnya adalah untuk menjadikan akumulasi laba semakin besar. Outsourcing muncul sebagai bentuk nyata
dari adanya Labour Market Flexibility
(LMF) atau Pasar Kerja Fleksibel. Hal ini merupakan sebuah kondisi yang
dibutuhkan untuk menjadikan pasar kerja menjadi semakin fleksibel sehingga
dapat menarik para investor. Menurut Revrisond Baswir, pasar kerja fleksibel
adalah konsep yang diajukan pengusaha agar memberikan keleluasaan kepada mereka
agar dapat mengatur hak-hak buruhnya, salah satu bentuknya melalui outsourcing.[5]
Dalam kasus
Indonesia, munculnya pasar kerja fleksibel adalah sebuah kondisi yang berdampak
dari kondisi global atas tidakan yang
yang disyaratkan IMF (International Moneter Fund), World Bank, dan ILO
(International Labour Organization) untukmendapatkan bantuan ekonomi dalam
krisis moneter pada tahun 1997. Hal ini dilakukan untuk mendukung adanya
perbaikan iklim investasi yang diinginkan IMF melalui Letter of Intent ke-21 dalam butir 37 dan 42.[6]
Garis besar dari skema ini adalah menjadikan pemerintah berperan minim atas
persoalan hubungan kerja antara buruh dan pengusaha agar iklim investasi tumbuh
tanpa hambatan. Pasar tenaga kerja diharapkan tumbuh dan kembang melalui
mekanisme pasar yang ada, yaitu melalui mekanisme permintaan dan penawaran.
Sehingga, bila ditarik secara historis, adanya outsourcing di Indonesia merupakan konsekuensi dari adanya sebuah
perjanjian antara IMF dan pemerintah Indonesia yang menginginkan adanya pasar
kerja yang fleksibel.
Dalam
pelaksanaannya, sistem outsourcing ternyata
memberikan banyak kerugian khsusnya untuk para buruh. Sistem ini, dengan
sengaja membuat hubungan-hubungan kerja yang harusnya menguntungkan kedua belah
pihak malah menjadi mitos belaka. Hubungan ini membuat hubungan subordinasi
pada buruh semakin menganga. Dari data yang berhasil saya himpun secara garis
besar sistem outsourcing memberikan
beberapa dampak pada buruh yakni adanya fragmentasi, deskriminasi, degradasi
dan eksploitasi buruh oleh pengusaha.[7]
Dampak yang menurut penulis paling parah adalah mengenai masalah upah dan
tunjangan yang dibayarkan tidak layak dan tidak sesuai dengan UMR yang berlaku.
Keadaan yang
merugi dan eksploitasi yang dialami oleh buruh, kemudian menimbulkan banyak
konflik dan gelombang penolakan yang dilakukan oleh para buruh. Salah satu
gerakan yang menjadi simbolisasi dari konflik dan perlawanan terhadap sistem
kerja outsourcing salah satunya
adalah gerakan mogok dan demo besar-besaran seperti yang terjadi pada aksi
mogok buruh pada tanggal 3 Oktober 2012 kemarin. Beberapa serikat buruh yang
bergabung dalam MPBI (Majelis Buruh dan Pekerja Indonesia) dan beberapa
federasi di luar itu, menggelar aksi mogok nasional untuk menolak politik upah
murah dan outsourcing. Aksi ini
digelar secara nasional dan melibatkan 3 juta buruh di seluruh Indonesia.[8]
Selain itu, aksi-aksi lain yang menjadi kelanjutan perlawanan buruh atas
praktek kerja outsourcing juga masih
terjadi.
Selain membahas
mengenai jaringan komersial global dan konflik pada sistem outsourcing pada tataran yang makro, menarik rasanya untuk menilik
lebih mendalam lagi bagaimana jaringan komersial dan konflik tersebut pada
sistem outsourcing pada tataran yang
lebih mikro. Yakni pada tataran yang lebih dekat dengan kita kita, yakni sistem
outsourcing yang terjadi di kampus
FISIP UI
Outsourcing
di (Katanya)
Kampus Rakyat
Universitas
Indonesia, khususnya di kampus FISIP UI ternyata tidak memberikan pemandangan
berbeda terhadap perlakuan dan sistem kerja terhadap para buruh. Kampus
bermakara orange, yang konon belajar “beribu-ribu” teori tentang Marxisme dan
kesejahteraan akan buruh ternyata tidak dapat berkutik dengan jaring-jaring
komersialisasi yang menimbulkan konflik dari pengaruh kapitalisme global yang
juga menjerat para buruh pekerja didalamnya. Kondisi para buruh seperti bagian cleaning services dan tenaga keamanan
(Satpam), masih sama buruknya dengan keadaan para buruh diluar sana. Dari data
yang saya dapatkan berdasarkan wawancara terhadap salah satu petugas cleaning services yakni Eman (37 tahun), pekerja yang sudah mengabdikan
dirinya selama 11 tahun di FISIP UI mengatakan, bahwa kehidupan para buruh di
kampus FISIP UI sangatlah pedih. Betapa tidak, selama 11 tahun dirinya mengabdi
status kepegawaian yang dia dapatkan amatlah tidak sesuai dengan pengabdian
yang dia dapatkan, masih tetap buruh outsourcing
yang tidak punya status jelas dan jaminan kerja yang jelas.
Bahkan
temuan lain yang saya dapatkan bukan hanya tentang masalah status kepegawaian
saja yang cukup serius menjadi masalah para buruh. Masalah yang cukup krusial
adalah masalah upah bagi para buruh itu sendiri. Misalnya saja para buruh cleaning services, mereka mendatakan
upah sebesar 750 ribu sebulan. Selain cukup memprihatikan, jika kita menilik
lebih dalam perlakuan yang diterima oleh para buruh tersebut merupakan salah
satu pelanggaran pada undang-undang. Jika kita melihat Upah Minimum Regional
(UMR) Depok yang sebesar Rp. 1.424.797[9],
dan mengacu pada pasal 90 ayat 1 UU No. 13/2009 dengan jelas menyatakan,
“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 89”. Dengan ini jelas bahwa perusahaan penyedia jasa yang
mempekerjakan mereka dan juga kampus FISIP UI yang menjadi penerima jasa para
buruh melanggar peraturan yang berlaku.
Selain
pelanggaran terhadap undang-undang atas pembayaran upah yang masih jauh dari
Upah Minimal Regional, masalah jam kerjapun menjadi masalah yang cukup
menggelitik jika kita bahas lebih jauh. Dalam wawancara yang saya lakukan, saya
mendapatkan data bahwa para buruh bekerja selama sekitar 10 jam perhari, yakni
dari pukul 7-16. Bahkan, jam bekerja mereka pun bisa bertambah apabila ada
acara di luar jam perkuliahan di kampus.Hal ini jelas melanggar pasal 77 UU No.
13/2003 tentang jam kerja, dimana pekerja hanya diperbolehkan bekerja selama
7-8 jam sehari. Bentuk jam kerja yang tidak berlebihan, tidak diatur, dan bertambah
namun tidak masuk dalam kategori lembur dan mendapatkan kompensasi yang sesuai
saya melihatnya sebagai salah satu bentuk eksploitasi yang nyata terhadap para
pekerja.
Kondisi
merugikan lainnya yang diterima para buruh di FISIP UI akan sistem outsourcing adalah mengenai masalah
jaminan kerja. Para buruh, mengatakan mereka tidaklah mendapatkan jaminan kerja
apapun. Para pekerja ini dikontrak per empat bulan dengan sistem outsourcing, tapi setelah itu tidak ada
jaminan bahwa mereka akan dipekerjakan kembali. Ketidakjelasan ini menjadikan
nasib mereka menggantung. Selain itu, selama bekerja, ancaman pemecatan secara
sepihak ditengah masa kontrak kerja pun juga ada. Tidak ada standar yang jelas
bagi seorang supervisor sebuah
perusahaan outsourcing untuk
memberhentikan seseorang dalam masa kerjanya.
Tidak
berhenti di masalah jaminan kerja. Hal mengagetkan lainnya yang saya temukan di
lapangan adalah, masalah kontrak pekerja dan tender perusahaan yang tidak
memanusiakan martabat para buruh. Untuk masalah tender perusahaan oleh pihak
penggunaa jasa (dalam hal ini kampus FISIP UI), para buruh mengaku martabatnya direndahkan
dengan proses tender yang mengacu pada mekanisme pasar. Proses tender
didasarkan bukan pada kualitas dari pelayanan perusahaan penyedia jasa,
melainkan pada besaran yang ditawarkan penyedia jasa kepada kampus FISIP UI
sebagai besaran bayaran kepada para buruh. Semakin rendah “harga” yang
ditawarkan dalam proses tender untuk dibayarkan kepada buruh, maka semakin
besar kemungkinan untuk menang dan mendapatkan tender tersebut. Tentu saja,
proses ini semakin memperburuk posisi tawar para buruh dihadapan perusahaan,
dimana buruh disamakan sebagai sebuah komoditas.
Masalah
kontrak kerjapun tidak kalah mengenaskan dengan proses tender yang dilakukan.
FISIP UI sebagai salah satu “penelur” sarajana-sarjana administrasi terbaik
bangsa ini, ternyata tidak bisa berbuat banyak dengan proses administrasi
buruh-buruh outsourcing, pada masalah
kontrak kerja. Bebebrapa dari para buruh, dikontrak tanpa pernah mengetahui isi
dari kontrak, bahkan sebagain tanpa pernah meneken kontrak kerja mereka.
Bayangakan saja jika dari mereka mendapatkan kecelakaan kerja atau wafat ketika
bertugas, landasan apa yang dapat digunakan para buruh tersebut untuk menuntut
statusnya sebagai pekerja? saya rasa tidak ada, atau memang sengaja dibuat
tidak ada.
Gerakan
Buruh Kampus
Dalam
keadaan ketidakpastian dan hubungan kerja yang tidak menguntungkan bagi para
buruh, keadaan yang terbalik dengan dunia luar
justru dilakukan oleh para buruh di kampus bermakara orange ini. Ketika
para buruh diluar sana berusaha untuk marapatkan barisan dan bersatu padu untuk
melawan praktik-praktik outsourcing,
berbeda halnya dengan para buruh di kampus FISIP UI ini. Dari data lapangan
yang saya peroleh dari beberapa petugas kebersihan, protes buruh terhadap
sistem kerja outsourcing dari tahun 1997 hingga 2012 baru pernah
dilakukan 1 kali pada tengah tahun 1999. Protes yang dilakukan untuk menuntut
kenaikan upah dengan cara mogok kerja, dan berdemo di areal plasa FISIP UI ini
berakhir dengan dikabulkannya tutntutan kenaikan upah, yang saat itu naik 500
rupiah per harinya (dari 10.000 per hari
menjadi 10.500). Demo yang dilakukan saat itu bukan tanpa hambatan dan
tantangan, menurut kabar lapangan yang berderdar banyak dari beberapa buruh
yang ikut berdemo dipecat tiba-tiba dengan alasan yang tidak jelas.
Gerakan
buruh di kampus FISIP yang begitu” loyo”, memberikan beberapa tanda tanya besar
dimana peran paguban pekerja (PP UI), dalam mengakomodir kepentingan para buruh
( Non Dosen) dalam memperjuangkan haknya. Selain PP UI saya juga mempertanyakan
sikap dari gerakan mahasiswa FISIP UI sendiri yang katanya agent of change namun nyatanya kurang peka terhadap masalah yang
begitu dekat dan lekat dalam kehidupan sehari-hari kampusnya.
Kesimpulan
Globalisasi sebagai sebuah proses dan fenomena
besar ternyata bukan hanya membawa dampak yang positif bagi kehidupan. Dalam
prosesnya, globalisasi ternyata membawa dampak buruk antara lain membawa
jaring-jaring komersialisasi dan konflik pada tingkatan masyarakat manusia khususnya
yang dekat dengan faktor-faktor moda produksi yakni buruh. Buruh mengalami
proses alienasi dan tereksploitasi dari jaring-jaring komersialisasi global
yang hinggap dengan bertopengkan sebuah sistem kerja yang bernama sistem outsourcing. Kampus FISIP UI, sebagai
“kawah candardimuka”, para pemikir sosial ternyata masih tidak mampu secara
real menggunakan teori-teori langitan tersebut dalam praktiknya. Sistem outsourcing, masih hinggap pada
buruh-buruh di kampus bermakara orange ini, dan membawa pada kondisi yang tidak
mensejahterakan dan memberikan martabat kepada para buruh.
Referensi :
Evans,
G & Newnham, J. 1998. Dictionary of
International Relations. London : Penguin Books.
Harvey, D., 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press
Indrasari Tjandraningsih, dkk, “Diskriminatif dan
Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan
Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia”, (Jakarta:
Akatiga-FSPMI-FES,2010) hal. 15
Smart, Alan dan
Josephine Smart. “Urbanization and the Global Perspective” Annu. Rev. Anthropol. 32 (2003): 266.
Referensi Internet :
Agusmidah,
“Outsourcing dan PKWT dalam Sistem
Hubungan Kerja merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan”,
Diunduh dari www.ocw.usu.ac.id/.../hk_628_slide_outsourcing_dan_pkwt_dalam_sistem_hubungan_kerja_merupakan_gejala_kebijakan_fleksibilitas_ketenagakerjaan_pdf. Diakses pada 25 Desember 2012 pukul 9.40 WIB
MPBI: Mogok Nasional Buruh
Dilakukan 3 Oktober”, Diunduh dari http://www.antaranews.com/berita/335222/mpbi-mogok-nasional-buruh-dilakukan-3-oktober.
Diakses pada 25 Desember 2012 pukul 12.32 WIB
www.hrcentro.com/umr/jawa_barat/kota_depok/all,
diakses pada 25 Desember 2012 pukul 01. 00 WIB.
[2]
Smart, Alan dan Josephine Smart. “Urbanization and the Global Perspective” Annu. Rev. Anthropol. 32 (2003): 266.
[4] Agusmidah, “Outsourcing dan PKWT dalam Sistem
Hubungan Kerja merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan”,
Diunduh dari www.ocw.usu.ac.id/.../hk_628_slide_outsourcing_dan_pkwt_dalam_sistem_hubungan_kerja_merupakan_gejala_kebijakan_fleksibilitas_ketenagakerjaan_pdf. Diakses pada 25 Desember 2012 pukul 14.45 WIB
[5] Resvrisond Bashwir
dalam Agusmidah “Outsourcing dan
PKWT dalam Sistem Hubungan Kerja merupakan Gejala
Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan”, ibid.
[6] Indrasari Tjandraningsih, dkk, “Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh
di Sektor Industri Metal di Indonesia”, (Jakarta: Akatiga-FSPMI-FES,2010)
hal. 15
[7] Ibid. hal 43-57
[8]“MPBI: Mogok Nasional Buruh
Dilakukan 3 Oktober”, Diunduh dari http://www.antaranews.com/berita/335222/mpbi-mogok-nasional-buruh-dilakukan-3-oktober.
Diakses pada 25 Desember 2012 pukul 14.30 WIB
[9] UMR Depok 2012, lihat “UMR/UMK Indonesia”, diunduh dari www.hrcentro.com/umr/jawa_barat/kota_depok/all,
diakses pada 24 Desember 2012 pukul 00.58 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar