Sabtu, 12 Januari 2013

Catatan Corat Coret




Buruh Murah di Kampus (Katanya) Rakyat

Sebuah Analisis Jaringan Komersial Global dalam Sistem Kerja Outsourcing di Kampus FISIP UI
 
 

Globalisasi   :  Jaringan Komersial dan Konflik

Globalisasi merupakan sebuah term yang cukup populer dalam satu dasawarsa belakangan ini. Dia begitu dekat dan lekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Globalisasi menempati ruang yang cukup luas dalam segala macam aspek kehidupan, maka dari itu berpengaruh pula pada bagaimana konsepsi dari term tersebut. Dalam term yang umum, globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah gejala penjagadaan segala sesuatu[1]. Proses penjagadaan itu dapat dalam berbagai aspek, dengan objek dan subjek tertentu pula. Sedangkan jika meniliki lebih mendalam mengenai arti term globalisasi dalam perspektif antropologis setidaknya dapat dijelaskan sebagai sebuah proses dimana adanya proses homogenisasi dunia, adanya agen-agen yang berperan di dalam proses tersebut, dan adanya kedaulatan negara yang semakin berkurang – terutama merujuk kepada batasan teritorialnya yang begitu normatif namun dapat dipecahkan karena alasan-alasan politis internasional tertentu (Smart dan Smart, 2003: 266[2]).
Selain memahami bagaimana term globalisasi itu sendiri didefinisikan, menurut penulis menjadi hal yang penting halnya yakni memahami mengenai ciri-ciri umum yang terjadi dalam proses globalisasi tersebut. Beberapa ciri-ciri umum yang terjadi dalam proses globalisasi antara lain yakni adanya proses komersialisasi dan adanya konflik dalam segala macam proses globalisasi[3]. Dalam globalisasi kita tidaklah dapat menutup mata bahwa terjadi pula proses imperialisme model baru, dimana jaringan-jaringan komersial baik perseorangan, institusi dan perusahaan global (MNC)  menebarkan jaring-jaring komersialisasinya dan pada tingkatan lebih lanjut dapat juga menimbulkan konflik. Jaring-jaring komersialisasi dan konflik inilah yang kemudian berdampak bukan hanya pada jaringan komoditasnya, namun juga pada jaringan penyokong superstruktur tersebut yakni pada pihak-pihak yang paling dekat dengan moda produksi, yang kita kenal sebagai buruh.
Dalam tulisan ini, kemudian akan dibahas oleh penulis mengenai bagaimana globalisasi yang memiliki jaringan komersialisasi dan dampak konflik memiliki dampak pada sistem kerja buruh, yang dikenal sebagai sistem kerja outsourcing.

Outsourcing dan Jaringan Komersial Global

Pasca disahkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktek kerja outsourcing atau praktek kerja alih daya di Indonesia secara resmi dilegalkan. Praktek ini dijabarkan pada pasal 65 dan 66 dalam UU tersebut dengan istilah pekerjaan pemborong. Outsourcing dalam hal ini memiliki arti sebagai pola kerja yang mendelegasikan operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis/kerja pada pihak lain di luar perusahaan yang menjadi penyedia jasa outsourcing.[4] Alasan utama diadakannya outsourcing adalah untuk efisiensi pengusaha dalam menghemat pengeluaran produksi, yang ujung pangkalnya adalah untuk menjadikan akumulasi laba semakin besar. Outsourcing muncul sebagai bentuk nyata dari adanya Labour Market Flexibility (LMF) atau Pasar Kerja Fleksibel. Hal ini merupakan sebuah kondisi yang dibutuhkan untuk menjadikan pasar kerja menjadi semakin fleksibel sehingga dapat menarik para investor. Menurut Revrisond Baswir, pasar kerja fleksibel adalah konsep yang diajukan pengusaha agar memberikan keleluasaan kepada mereka agar dapat mengatur hak-hak buruhnya, salah satu bentuknya melalui outsourcing.[5]
Dalam kasus Indonesia, munculnya pasar kerja fleksibel adalah sebuah kondisi yang berdampak dari kondisi global atas tidakan yang  yang disyaratkan IMF (International Moneter Fund), World Bank, dan ILO (International Labour Organization) untukmendapatkan bantuan ekonomi dalam krisis moneter pada tahun 1997. Hal ini dilakukan untuk mendukung adanya perbaikan iklim investasi yang diinginkan IMF melalui Letter of Intent ke-21 dalam butir 37 dan 42.[6] Garis besar dari skema ini adalah menjadikan pemerintah berperan minim atas persoalan hubungan kerja antara buruh dan pengusaha agar iklim investasi tumbuh tanpa hambatan. Pasar tenaga kerja diharapkan tumbuh dan kembang melalui mekanisme pasar yang ada, yaitu melalui mekanisme permintaan dan penawaran. Sehingga, bila ditarik secara historis, adanya outsourcing di Indonesia merupakan konsekuensi dari adanya sebuah perjanjian antara IMF dan pemerintah Indonesia yang menginginkan adanya pasar kerja yang fleksibel.
Dalam pelaksanaannya, sistem outsourcing ternyata memberikan banyak kerugian khsusnya untuk para buruh. Sistem ini, dengan sengaja membuat hubungan-hubungan kerja yang harusnya menguntungkan kedua belah pihak malah menjadi mitos belaka. Hubungan ini membuat hubungan subordinasi pada buruh semakin menganga. Dari data yang berhasil saya himpun secara garis besar sistem outsourcing memberikan beberapa dampak pada buruh yakni adanya fragmentasi, deskriminasi, degradasi dan eksploitasi buruh oleh pengusaha.[7] Dampak yang menurut penulis paling parah adalah mengenai masalah upah dan tunjangan yang dibayarkan tidak layak dan tidak sesuai dengan UMR yang berlaku.
Keadaan yang merugi dan eksploitasi yang dialami oleh buruh, kemudian menimbulkan banyak konflik dan gelombang penolakan yang dilakukan oleh para buruh. Salah satu gerakan yang menjadi simbolisasi dari konflik dan perlawanan terhadap sistem kerja outsourcing salah satunya adalah gerakan mogok dan demo besar-besaran seperti yang terjadi pada aksi mogok buruh pada tanggal 3 Oktober 2012 kemarin. Beberapa serikat buruh yang bergabung dalam MPBI (Majelis Buruh dan Pekerja Indonesia) dan beberapa federasi di luar itu, menggelar aksi mogok nasional untuk menolak politik upah murah dan outsourcing. Aksi ini digelar secara nasional dan melibatkan 3 juta buruh di seluruh Indonesia.[8] Selain itu, aksi-aksi lain yang menjadi kelanjutan perlawanan buruh atas praktek kerja outsourcing juga masih terjadi.
Selain membahas mengenai jaringan komersial global dan konflik pada sistem outsourcing pada tataran yang makro, menarik rasanya untuk menilik lebih mendalam lagi bagaimana jaringan komersial dan konflik tersebut pada sistem outsourcing pada tataran yang lebih mikro. Yakni pada tataran yang lebih dekat dengan kita kita, yakni sistem outsourcing yang terjadi di kampus FISIP UI

Outsourcing di (Katanya) Kampus Rakyat

Universitas Indonesia, khususnya di kampus FISIP UI ternyata tidak memberikan pemandangan berbeda terhadap perlakuan dan sistem kerja terhadap para buruh. Kampus bermakara orange, yang konon belajar “beribu-ribu” teori tentang Marxisme dan kesejahteraan akan buruh ternyata tidak dapat berkutik dengan jaring-jaring komersialisasi yang menimbulkan konflik dari pengaruh kapitalisme global yang juga menjerat para buruh pekerja didalamnya. Kondisi para buruh seperti bagian cleaning services dan tenaga keamanan (Satpam), masih sama buruknya dengan keadaan para buruh diluar sana. Dari data yang saya dapatkan berdasarkan wawancara terhadap salah satu petugas cleaning services yakni Eman (37 tahun), pekerja yang sudah mengabdikan dirinya selama 11 tahun di FISIP UI mengatakan, bahwa kehidupan para buruh di kampus FISIP UI sangatlah pedih. Betapa tidak, selama 11 tahun dirinya mengabdi status kepegawaian yang dia dapatkan amatlah tidak sesuai dengan pengabdian yang dia dapatkan, masih tetap buruh outsourcing yang tidak punya status jelas dan jaminan kerja yang jelas.
Bahkan temuan lain yang saya dapatkan bukan hanya tentang masalah status kepegawaian saja yang cukup serius menjadi masalah para buruh. Masalah yang cukup krusial adalah masalah upah bagi para buruh itu sendiri. Misalnya saja para buruh cleaning services, mereka mendatakan upah sebesar 750 ribu sebulan. Selain cukup memprihatikan, jika kita menilik lebih dalam perlakuan yang diterima oleh para buruh tersebut merupakan salah satu pelanggaran pada undang-undang. Jika kita melihat Upah Minimum Regional (UMR) Depok yang sebesar Rp. 1.424.797[9], dan mengacu pada pasal 90 ayat 1 UU No. 13/2009 dengan jelas menyatakan, “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 89”. Dengan ini jelas bahwa perusahaan penyedia jasa yang mempekerjakan mereka dan juga kampus FISIP UI yang menjadi penerima jasa para buruh melanggar peraturan yang berlaku.
Selain pelanggaran terhadap undang-undang atas pembayaran upah yang masih jauh dari Upah Minimal Regional, masalah jam kerjapun menjadi masalah yang cukup menggelitik jika kita bahas lebih jauh. Dalam wawancara yang saya lakukan, saya mendapatkan data bahwa para buruh bekerja selama sekitar 10 jam perhari, yakni dari pukul 7-16. Bahkan, jam bekerja mereka pun bisa bertambah apabila ada acara di luar jam perkuliahan di kampus.Hal ini jelas melanggar pasal 77 UU No. 13/2003 tentang jam kerja, dimana pekerja hanya diperbolehkan bekerja selama 7-8 jam sehari. Bentuk jam kerja yang tidak berlebihan, tidak diatur, dan bertambah namun tidak masuk dalam kategori lembur dan mendapatkan kompensasi yang sesuai saya melihatnya sebagai salah satu bentuk eksploitasi yang nyata terhadap para pekerja.
Kondisi merugikan lainnya yang diterima para buruh di FISIP UI akan sistem outsourcing adalah mengenai masalah jaminan kerja. Para buruh, mengatakan mereka tidaklah mendapatkan jaminan kerja apapun. Para pekerja ini dikontrak per empat bulan dengan sistem outsourcing, tapi setelah itu tidak ada jaminan bahwa mereka akan dipekerjakan kembali. Ketidakjelasan ini menjadikan nasib mereka menggantung. Selain itu, selama bekerja, ancaman pemecatan secara sepihak ditengah masa kontrak kerja pun juga ada. Tidak ada standar yang jelas bagi seorang supervisor sebuah perusahaan outsourcing untuk memberhentikan seseorang dalam masa kerjanya.
Tidak berhenti di masalah jaminan kerja. Hal mengagetkan lainnya yang saya temukan di lapangan adalah, masalah kontrak pekerja dan tender perusahaan yang tidak memanusiakan martabat para buruh. Untuk masalah tender perusahaan oleh pihak penggunaa jasa (dalam hal ini kampus FISIP UI), para buruh mengaku martabatnya direndahkan dengan proses tender yang mengacu pada mekanisme pasar. Proses tender didasarkan bukan pada kualitas dari pelayanan perusahaan penyedia jasa, melainkan pada besaran yang ditawarkan penyedia jasa kepada kampus FISIP UI sebagai besaran bayaran kepada para buruh. Semakin rendah “harga” yang ditawarkan dalam proses tender untuk dibayarkan kepada buruh, maka semakin besar kemungkinan untuk menang dan mendapatkan tender tersebut. Tentu saja, proses ini semakin memperburuk posisi tawar para buruh dihadapan perusahaan, dimana buruh disamakan sebagai sebuah komoditas.
Masalah kontrak kerjapun tidak kalah mengenaskan dengan proses tender yang dilakukan. FISIP UI sebagai salah satu “penelur” sarajana-sarjana administrasi terbaik bangsa ini, ternyata tidak bisa berbuat banyak dengan proses administrasi buruh-buruh outsourcing, pada masalah kontrak kerja. Bebebrapa dari para buruh, dikontrak tanpa pernah mengetahui isi dari kontrak, bahkan sebagain tanpa pernah meneken kontrak kerja mereka. Bayangakan saja jika dari mereka mendapatkan kecelakaan kerja atau wafat ketika bertugas, landasan apa yang dapat digunakan para buruh tersebut untuk menuntut statusnya sebagai pekerja? saya rasa tidak ada, atau memang sengaja dibuat tidak ada.

Gerakan Buruh Kampus

Dalam keadaan ketidakpastian dan hubungan kerja yang tidak menguntungkan bagi para buruh, keadaan yang terbalik dengan dunia luar  justru dilakukan oleh para buruh di kampus bermakara orange ini. Ketika para buruh diluar sana berusaha untuk marapatkan barisan dan bersatu padu untuk melawan praktik-praktik outsourcing, berbeda halnya dengan para buruh di kampus FISIP UI ini. Dari data lapangan yang saya peroleh dari beberapa petugas kebersihan, protes buruh terhadap sistem kerja outsourcing  dari tahun 1997 hingga 2012 baru pernah dilakukan 1 kali pada tengah tahun 1999. Protes yang dilakukan untuk menuntut kenaikan upah dengan cara mogok kerja, dan berdemo di areal plasa FISIP UI ini berakhir dengan dikabulkannya tutntutan kenaikan upah, yang saat itu naik 500 rupiah per harinya (dari 10.000  per hari menjadi 10.500). Demo yang dilakukan saat itu bukan tanpa hambatan dan tantangan, menurut kabar lapangan yang berderdar banyak dari beberapa buruh yang ikut berdemo dipecat tiba-tiba dengan alasan yang tidak jelas.
Gerakan buruh di kampus FISIP yang begitu” loyo”, memberikan beberapa tanda tanya besar dimana peran paguban pekerja (PP UI), dalam mengakomodir kepentingan para buruh ( Non Dosen) dalam memperjuangkan haknya. Selain PP UI saya juga mempertanyakan sikap dari gerakan mahasiswa FISIP UI sendiri yang katanya agent of change namun nyatanya kurang peka terhadap masalah yang begitu dekat dan lekat dalam kehidupan sehari-hari kampusnya.
Kesimpulan
 Globalisasi sebagai sebuah proses dan fenomena besar ternyata bukan hanya membawa dampak yang positif bagi kehidupan. Dalam prosesnya, globalisasi ternyata membawa dampak buruk antara lain membawa jaring-jaring komersialisasi dan konflik pada tingkatan masyarakat manusia khususnya yang dekat dengan faktor-faktor moda produksi yakni buruh. Buruh mengalami proses alienasi dan tereksploitasi dari jaring-jaring komersialisasi global yang hinggap dengan bertopengkan sebuah sistem kerja yang bernama sistem outsourcing. Kampus FISIP UI, sebagai “kawah candardimuka”, para pemikir sosial ternyata masih tidak mampu secara real menggunakan teori-teori langitan tersebut dalam praktiknya. Sistem outsourcing, masih hinggap pada buruh-buruh di kampus bermakara orange ini, dan membawa pada kondisi yang tidak mensejahterakan dan memberikan martabat kepada para buruh.
















  Referensi :                                                     

Evans, G & Newnham, J. 1998. Dictionary of International Relations. London : Penguin Books.

Harvey, D., 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press
Indrasari Tjandraningsih, dkk, “Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia”, (Jakarta: Akatiga-FSPMI-FES,2010) hal. 15

Smart, Alan dan Josephine Smart. “Urbanization and the Global Perspective” Annu. Rev. Anthropol. 32 (2003): 266.

Referensi Internet :
Agusmidah, “Outsourcing dan PKWT dalam  Sistem Hubungan Kerja merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan”, Diunduh dari www.ocw.usu.ac.id/.../hk_628_slide_outsourcing_dan_pkwt_dalam_sistem_hubungan_kerja_merupakan_gejala_kebijakan_fleksibilitas_ketenagakerjaan_pdf. Diakses pada 25 Desember 2012 pukul 9.40 WIB

MPBI: Mogok Nasional Buruh Dilakukan 3 Oktober”, Diunduh dari http://www.antaranews.com/berita/335222/mpbi-mogok-nasional-buruh-dilakukan-3-oktober. Diakses pada 25 Desember 2012 pukul 12.32 WIB

www.hrcentro.com/umr/jawa_barat/kota_depok/all, diakses pada 25 Desember 2012 pukul 01. 00 WIB.



[1] Evans, G & Newnham, J. 1998. Dictionary of International Relations. London : Penguin Books.
[2] Smart, Alan dan Josephine Smart. “Urbanization and the Global Perspective” Annu. Rev. Anthropol. 32 (2003): 266.

[3] Harvey, D., 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press
[4] Agusmidah, “Outsourcing dan PKWT dalam  Sistem Hubungan Kerja merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan”, Diunduh dari www.ocw.usu.ac.id/.../hk_628_slide_outsourcing_dan_pkwt_dalam_sistem_hubungan_kerja_merupakan_gejala_kebijakan_fleksibilitas_ketenagakerjaan_pdf. Diakses pada 25 Desember 2012 pukul  14.45 WIB
[5] Resvrisond Bashwir dalam Agusmidah “Outsourcing dan PKWT dalam  Sistem Hubungan Kerja merupakan Gejala Kebijakan Fleksibilitas Ketenagakerjaan”, ibid.
[6] Indrasari Tjandraningsih, dkk, “Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing Buruh di Sektor Industri Metal di Indonesia”, (Jakarta: Akatiga-FSPMI-FES,2010) hal. 15
[7] Ibid. hal 43-57
[8]“MPBI: Mogok Nasional Buruh Dilakukan 3 Oktober”, Diunduh dari http://www.antaranews.com/berita/335222/mpbi-mogok-nasional-buruh-dilakukan-3-oktober. Diakses pada 25 Desember 2012 pukul 14.30 WIB
[9] UMR Depok 2012, lihat “UMR/UMK Indonesia”, diunduh dari www.hrcentro.com/umr/jawa_barat/kota_depok/all, diakses pada 24 Desember 2012 pukul 00.58 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar