Hotel Rwanda :
Konstruksi Kolonial, Revolusi, dan
Genoside
Hotel Rwanda,
merupakan sebuah film besutan sutradara Terry George, yang
mengambil setting pada kejadian kejahatan genosida di Rwanda pada tahun 1994.
Film ini mengisahkan kejadian nyata akan kejahatan genosida di Rwanda dari
sudut pandang seorang manajer hotel bernama Paul Rusesabagina
(diperankan Don Cheadle), seorang manajer hotel Sabena
Hôtel des Mille Collines, adalah seorang Hutu namun istrinya, Tatiana (diperankan
oleh Sophie Okonedo), adalah seorang Tutsi. Pernikahannya menjadikannya penghianat
bagi ekstrimis Hutu yakni George Rutaganda, seorang kenalan baik dan penyalur
kebutuhan hotel yang juga merupakan pemimpin dari Interahamwe, milisi Hutu yang
anti Tutsi.
Dalam film
ini diceritakan kemudian pada malam pembantaian, tetangga-tetangga dan keluarga
Paul baik dari suku Hutu maupun Tutsi sangat berharap padanya supaya dapat ia
selamatkan. Kemampuan negosiasi dan kepemimpinan yang dilakukan oleh paul,
membuatnya dapat menyelamatkan keluarga dan tetangganya dari milisi Hutu
bersenjata yang bertujuan menghabisi semua suku Tutsi. Setelah tawar menawar
dengan seorang petugas militer Rwanda untuk keselamatan keluarga dan teman,
Paul membawa mereka ke hotelnya. Setelah dapat menyelamatkan keluarga dan
tetangganya, berita tersebut banyak tersebar sehingga semakin banyak orang yang
menjadi pengungsi yang kemudian membanjiri hotelnya. Pihak PBB tidak dapat
berdaya, dikarenakan kamp pengungsian PBB sangat berbahaya dan terlalu penuh
pada saat itu.
Tentara
Bizimungu akhirnya dapat mengakhiri
kekacauan dan Paul panik mulai mencari istri dan keluarganya, berpikir kalau
mereka sudah bunuh diri seperti yang diperintahkan Paul apabila orang-orang
Hutu dapat menyerang hotel. Setelah ketakutan setengah mati, Paul menemukan
mereka bersembunyi di kamar mandi. Keluarga dan para pengungsi akhirnya dapat
keluar dari hotel dengan kawalan konvoi pasukan PBB. Mereka menempuh perjalanan
melewati pengungsi Hutu dan milisi Interhamwe menuju ke belakang garis depan
pihak pemberontak Tutsi. Di akhir cerita, dengan bantuan dari Madame Archer Paul
menemukan kedua keponakannya yg masih kecil, yang keberadaan orang tuanya tidak
diketahui, dan mengajak mereka dengan keluarganya keluar dari Rwanda.
Salah
satu penyebab mendasar dari genosida yang terjadi di Rwanda tahun 1994
merupakan konflik yang terjadi antara 2 suku besar di Rwanda yakni Konflik
antara suku Hutu dan Tutsi. Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam
warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut.
tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang
minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi
eksistensinya.
Hal tersebut
karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang
tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung[1].
Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak
pendek, hidungnya besar dan pesek. Para penjajah Belgia lebih memilih
orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang
yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan
“kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya misalnya menjadi
petugas administrasi .
Sedangkan
untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan
kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara
tidak langsung, Belgia selaku pihak kolonial menkonstruksi perbedaan-perbedaan
besar tak berdasar yang digunakan mengadu domba ke 2 suku ini. Konstruksi kolonial yang membagi mana suku
yang lebih tinggi derajatnya mana yang lebih rendah menyebabkan kebencian yang
mengakar khususnya bagi suku Hutu yang dianggap lebih rendah. Hal itu, kemudian
dibalas oleh suku Hutu dengan justifikasi diri sebagai yang “dominan” ketika
Rwanda sudah merdeka.
Klasifikasi
“dominan-minoritas” inilah yang saya lihat sebagai salah satu aspek yang
menambah kebencian Hutu kepada Tutsi, bahwa orang-orang Tutsi adalah minoritas
pendatang yang juga merupakan penghianat, mereka dianggap tidak lebih dari “Cocoroaches”[2].
Proses dehumanisasi ini sangat terlihat disini, orang-orang Tutsi sudah
dianggap tidak lebih dari hewan, yakni kecoa.
Penghapusan perbedaan yang
berada di masyarakat Rwanda,
merupakan sebuah gambaran mengenai modernitas yang juga dipaparkan oleh A.L. Hinton (2002) dalam
bukunya “The Dark Side of Modernity: Toward an.
Anthropology of Genocide.
[1]Hal ini
ada dalam dialog ketika wartawan asing sedang berbincang di hotel dan
menanyakan perbedaan antara suku hutu dan tutsi. Pembentukan konstruksi sosial
oleh kolonial inipun ada pada buku “The Specther Of Genocide” hal 326-330
[2] Dalam
film Hotel Rwanda, beberapa kali milisi Interahamwe dan pemimpinnya Rutaganda menyebut suku tutsi sebagai
“Cocoroaches” atau kecoa.
Harrah's Reno Hotel and Casino - Mapyro
BalasHapusThe casino is set on a river in 시흥 출장샵 the 제천 출장샵 middle of the Strip, just 대구광역 출장샵 steps from Harrah's Reno Hotel and Casino. 울산광역 출장마사지 The casino has a state-of-the-art gaming 천안 출장샵