Kota
Bogor: Sebuah Perspektif Sejarah
"Hana
nguni hana mangke Tan hana nguni tan hana mangke"
(Ada
dahulu ada sekarang, tidak ada zaman dahulu tidak ada masa sekarang)
Amanat
Galunggung
Kehadiran Kota Bogor
sebagai sebuah entitas perkotaan hadir dari berbagai dinamika kesejarahan yang
panjang. Dimulai dari zaman prasejarah, zaman kerajaan Hindu-Budha, zaman
masuknya Islam-kolonial, hingga zaman kemerdekaan seperti saat ini.
Perkembangan Kota Bogor dalam arus waktu, tentunya menimbulkan banyak perubahan
baik terhadap kondisi Kota Bogor itu sendiri maupun terhadap kondisi
sosio-kultural masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dalam tulisan ini, saya
akan menyoroti sedikit mengenai perkembangan sejarah Kota Bogor dalam beberapa
periodisasi waktu.
Zaman Prasejarah
Jauh sebelum masa
sejarah, di tanah Pasundan khususnya Kota Bogor sudah terdapat kehidupan
manusia. Hal tersebut dibuktikan dari beberapa penemuan-penemuan situs
prasejarah di Kota Bogor seperti situs Kampung Muara, Situs Pasir Angin, Situs
Batu Dakon (Empang), dan Situs Pasir Mulya (Punden) (Ekadjati, 1980:77). Dalam
penemuan-penemuan situs bersejarah tersebut, kerap kali juga ditemukan
alat-alat perkakas yang merupakan barang-barang yang diduga sebagai alat-alat yang
digunakan oleh manusia pada zaman tersebut untuk beraktifitas. Barang-barang
tersebut seperti beliung persegi, kapak corong, periuk, gelang manik, dan batu
panah.Penemuan situs-situs
prasejarah di Kota Bogor, di samping membuktikan keberadaan manusia pada zaman
tersebut, hal tersebut pula membuktikan bahwa pada zaman tersebut manusia sudah
hidup secara berkelompok meskipun masih pada tahapan yang masih sangat sederhana.
Dalam hal kepercayaan, penemuan menhir, dolmen, dan batu dakon membuktikan manusia
Bogor pada zaman prasejarah sudah memiliki kepercayaan yang disebut oleh
sebagian besar sejarawan/arkeolog sebagai animisme dan dinamisme. Kepercayaan
animisme dan dinamisme sendiri merupakan kepercayaan terhadap roh-roh nenek
moyang yang dipuja melalui personifikasi batu-batu besar (megalitik). Susunan
batu biasanya diletakan di puncak bukit/gunung dengan letak antara sebelah
Barat dan Timur. Konsep Timur dan Barat ini merupakan konsep prasejarah yang
mencoba menggambarkan kehidupan yang berpasang-pasangan (hidup-mati,
langit-bumi, laki-laki-perempuan) yang disejajarkan dengan arah terbit dan
tenggelamnya matahari (Fadillah, 2014).
Zaman Hindu-Budha
Dalam
arus waktu sejarah, zaman Hindu-Budha merupakan zaman pembuka masuknya Tanah
Pasundan khususnya Kota Bogor dalam tingkatan yang lebih lanjut yakni zaman
sejarah. Pada zaman tersebut, muncul beberapa kerajaan-kerajaan yang secara
geografis wilayahnya termasuk meliputi wilayah Kota Bogor saat ini. Dalam
catatan para sejarawan, secara umum diketahui kerajaan pertama yang hadir pada
zaman Hindu-Budha adalah kerajaan Tarumanegara (abad ke-5 Masehi). Kehadiran
kerajaan Tarumanegara, diketahui dari dua macam sumber yakni sumber lokal dan
sumber luar negeri (Ayatrohaedi, 1975). Dari sumber lokal, kehadiran Tarumanegara
diketahui dari berbagai prasasti yang ditemukan di Tugu, Ciaruteun, Kebon Kopi,
Jambu. Prasasti-prasasti tersebut diketahui ditulis dalam bahasa Sansakerta
dengan huruf Palawa. Dari prasasti-prasasti tersebut, para arkeolog dan
sejarawan mengetahui bahwa kerajaan Tarumanegara pernah dipimpin oleh seorang
Raja bernama Purnawarman, Radjadhiraja Guru dan Rajasi. Selain mengetahui nama
raja yang pernah memerintah kerajaan Tarumanegara, melalui prasasti-prasasti
tersebut dapat pula diketahui mengenai penggalian saluran air Candrabragha dan
Gomati di sekitar kali Citarum (Bekasi-Karawang). Tujuan pembangunan saluran
air tersebut diketahui sebagai saluran irigasi, pelayaran dan pertahanan. Jika
melalui sumber lokal para sejarawan/arkeolog dapat mengetahui beberapa nama
raja dan kejadian yang terjadi di kerajaan Tarumanegara, melalui sumber luar
negeri (berita Cina-FaHien) para sejarawan mengetahui bahwa pada zaman tersebut
penduduk Tarumanegara mulai memeluk agama Hindu tepatnya Hindu
Wisnu (Ayatrohedi, 1975). Meski sudah memeluk agama Hindu, penduduk
Tarumanegara menurut FaHien masih banyak juga mempraktikan ajaran-ajaran agama
leluhur (wiwitan) dalam kehidupan mereka.
Sekitar abad ke 7
Masehi, melalui prasasti Kotapur (Bangka) diketahui kerajaan Tarumanegara turun
dari panggung sejarah dan digantikan oleh kerajaan-kerajaan kecil di daerah
Pasundan seperti di daerah Garut, Kuningan, Ciamis (Galuh) dan Bogor (Sunda).
Kerajaan-kerajaan kecil tersebut, dikenal kemudian oleh para sejarawan sebagai
sebuah kesatuan yang disebut sebagai kerajaan Sunda. Cerita sejarah mengenai
awal mula kerajaan Sunda (hingga runtuhnya kerajaan Pajajaran) dapat ditelusuri
secara tekstual dalam teks kuno (kropak 406) yang dikenal secara populer
sebagai carita parahyangan (Atja, 1968). Dalam carita parahyangan, awal mula
kerajaan Sunda dimulai dari cerita seorang tokoh bernama Sanjaya yang merupakan
putera Sena, Raja Galuh. Sanjaya menjadi seorang raja setelah mengalahkan
Rahyang Purbasora. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam teks carita
parahyangan sebagai berikut:
…. Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora. Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri. Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun. Carek Rahiangtang Kidul: “Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, sarta anak saha sia teh?” Carek Rakian Jambri: “Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora.”“Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda.” Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal. Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?” “Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, ‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.”Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh. Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya….
Setelah
menjadi Raja di Galuh, dalam carita parahyangan Rahyang Sanjaya kemudian
menikahi anak dari Raja Kerajaan Sunda yakni Raja Terusbawa (Pendiri Pakwan
Pajajaran). Selepas kematian Raja Terusbawa, Rahyang Sanjaya kemudian otomatis
menjadi Raja Sunda yang mempersatukan Galuh dan Sunda. Dalam perkembangan pemerintahannya,
Rahyang Sanjaya lebih banyak memusatkan pemerintahannya di Galuh dibandingkan
di Sunda (Pakwan) (lihat Ekadjati, 1980:82). Dari catatan-catatan sejarah yang
ada, singkat cerita selepas kematian Rahyang Sanjaya pusat kerajaan Sunda
selalu berpindah-pindah. Pada masa pemerintahan Rakeyan Darmariksa (ada yang
mengenalnya sebagai Raja Sewukarma), pusat kerajaan Sunda dipindahkan dari
(Sawung) Galuh (Kuningan) kembali ke Pakuan Pajajaran (Ekadjati, 2003).Menurut keterangan yang
di dapatkan dari prasasti Batu Tulis, Raja Sunda selanjutnya adalah seorang
Raja yang memiliki banyak nama, antara lain Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga
Maharaja, Sri Sang Ratu Dewata. Dalam khazanah kebudayaan Sunda populer, banyak
yang menyebutnya sebagai Prabu Siliwangi. Sri Baduga Maharaja sendiri,
merupakan keturunan dari Rahyang Dewa Niskala yang dimakamkan di Gunung Tilu
dan merupakan cucu dari Rahyang Niskala Wastu Kencana yang dimakamkan di Nusa
Larang. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, disebutkan dalam carita
parahyangan dan prasasti batu tulis bahwa kehidupan masyarakat saat itu hidup
aman dan sentosa. Sri Baduga Maharaja juga dalam prasasti batu tulis disebutkan
telah berjasa membangun hutan samida, telaga Rena Mahawijaya, jalan-jalan, dan
tanda peringatan gunungan. Hal tersebut sebagaimana tulisan di prasasti batu
tulis berikut ini:
“Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang, ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyanl sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi .”
Pada masa
pemerintahannya, menurut carita parahyangan Sri Baduga Maharaja menempati
keraton yang bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradapati. Banyak pendapat
yang diungkapkan oleh para ahli mengenai lokasi dan bentuk dari keraton Sri
Baduga Maharaja sendiri. Beberapa sejarawan dan arkeolog Belanda menyebutkan
bahwa lokasi keraton Pakuan Pajajaran sendiri lebih pada makna konotatif yang
berarti pada pohon paku (pakis) yang berjajar. Pendapat ini dikuatkan dari
asumsi mengenai pola pencahariaan masyarakat Kerajaan Sunda saat itu yang
didominasi pada kegiatan pertanian huma. Kegiatan pertanian huma yang sifatnya
berpindah, menurut pendapat beberapa arkeolog Belanda tidak memungkinkan untuk
kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran untuk membangun keraton yang sifatnya statis
dan menetap. Berbeda dengan pendapat para arkeolog Belanda, pendapat lain
diungkapkan oleh Poerbajtaraka (1921) dan kemudian dikuatkan oleh Danasasmita
(2006). Menurutnya, anggapan beberapa arkeolog Belanda tentang ketidakberadaan
keraton Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran merupakan hal yang salah. Poerbajtaraka
(1921) mengungkapkan bahwa Pakuan Pajajaran sendiri dapat diartikan sebagai
‘istana yang berjajar’. Hal tersebut didapatkan dari analisanya tentang kata
Pakuan yang dapat dipersamakan dengan kata Pakuwon (Pa+Kuwu+an yang artinya
tempat ‘kuwu’ atau pemimpin tinggal) dalam bahasa Jawa. Pendapat Poerbajtaraka
mengenai keberadaan keraton Pakuan Pajajaran dikuatkan oleh Danasasmita.
Menurutnya, keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradapati benar- benar ada.
Lokasinya di sekitar prasasti batu tulis, dengan letak menghadap ke arah utara
dan membelakangi Gunung Salak. Adapun bangunan keratonnya sendiri diperkirakan
oleh Danasasmita (2006), memiliki fungsi antara lain: (1) bangunan Bima adalah
balai peperangan, (2) Punta sebagai balai pengadilan, (3) Narayana sebagai
balai penghadapan, (4) Madura adalah balai Resepsi, dan (5) Suradipati adalah bangunan
persemayaman raja dan keluarganya, kelima bangunan itu yang sering juga disebut
dengan Panca Prasadha (Danasasmita 2006: 31).
Sepeninggal Sri Baduga
Maharaja, kerajaan Sunda kemudian dipimpin oleh anaknya yakni Prabu
Surwawisesa. Pada masa Prabu Surwawisesa, sebagaimana yang ditulis pada carita
parahyangan wilayah kekuasaan kerajaan Sunda mulai ‘diusik’ dengan masuknya
pengaruh Islam di beberapa kota pelabuhan seperti di Banten dan Cirebon.
Sepeninggal Prabu Surwawisesa, pengaruh Islam dari Cirebon dan Banten semakin
menguat dengan banyaknya bantuan yang diberikan oleh Demak kepada dua wilayah
tersebut untuk segera melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Sunda Pakuan
Pajajaran. Setelah Prabu Surwawisesa wafat, dari catatan sejarah dan carita
parahyangan Kerajaan Sunda kemudian dipimpin oleh beberapa raja yang dinilai
kurang ‘kompeten’ dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Hal ini tercermin
dari sikap Sang Ratu Saksi yang suka membunuh, Tohaan di Majaya yang suka
bermain perempuan, dan Nusiya Mulya yang dinilai tidak tegas. Atas sebab
tindakan dan perilaku raja-raja Sunda tersebut, pada akhirnya melalui sebuah
penyerangan yang dilakukan oleh Banten ke pusat Pakuan Pajajaran, kerajaan
Sunda turun dari hingar-bingar panggung sejarah.
Zaman Islam- Kolonial
Jauh sebelum Cirebon
dan Banten melepaskan diri sebagai pasal dari kerajaan Sunda, menurut carita
parahyangan di wilayah Cirebon sudah banyak penduduk kerajaan Sunda yang
memeluk agama Islam. Selepas kedatangan Susuhunan Gunung Jati dari Mekkah, jumlah
penduduk kerajaan Sunda yang pada akhirnya memeluk agama Islam bertambah
seiring dengan menguatnya dakwah Islam di daerah tersebut. Seiring dengan
perkembangan waktu, setelah dakwah dan jumlah pengikut agama Islam bertambah
pada akhirnya Cirebon sebagai salah satu pasal dari kerajaan Sunda melepaskan
diri. Pelepasan diri Cirebon disambut baik oleh kerajaan Demak dengan
mengirimkan bala bantuan di Cirebon dan Banten. Pada akhirnya, setelah semua
kota pelabuhan kerajaan Sunda (termasuk Sunda Kelapa) telah dikuasai, secara
perlahan seluruh tanah Pasundan termasuk Kota Bogor jatuh ditangan pengaruh
Islam. Dalam hal penyebaran agama Islam di Kota Bogor, di samping dilakukan
oleh pihak Cirebon dan Banten salah satu pihak yang memiliki andil besar adalah
para saudagar ‘Arab’ yang berasal dari Hadramaut (Yaman). Para saudagar
tersebut, selain melakukan perdagangan di wilayah Kota Bogor juga turut
bermukim dan ‘beranak-pinak’ dan membentuk sebuah komunitasnya tersendiri yang
saat ini dikenal sebagai kampung ‘Arab’ Empang.
Pengaruh Islam di Tanah
Pasundan khususnya di Kota Bogor telah dengan otomatis merubah kondisi
sosio-kultural penduduk Kota Bogor saat itu. Kota yang pada mulanya merupakan
pusat dari pemerintahan sebuah kerajaan Hindu yang sangat besar, berangsur-angsur
berubah menjadi kota yang memiliki nilai keislaman yang cukup kental dibawah
pengaruh dari kerajaan Banten pimpinan Maulana Malik Yusuf Ibrahim. Dalam
proses Islamisasi Kota Bogor, peranan Masjid dan pesantren begitu kuat
memainkan peran sebagai kanal pendidikan dan penyebaran agama Islam. Singkat
cerita, setelah hampir seluruh wilayah Pasundan termasuk Kota Bogor masuk dalam
pengaruh Islam cerita dan alur sejarah berubah pada babak selanjutnya yakni
fase kolonial Belanda.
Belanda diketahui masuk
pada tahun 1529 di Banten yang dipimpin oleh Cornelis de Houtmen. Pada mulanya
tujuan Belanda untuk berdagang rempah-rempah namun pada perkembangannya,
Belanda mulai mendirikan kongsi dagang (VOC) untuk melakukan monopoli
perdagangan. Strategi monopoli perdagangan yang dilancarkan oleh VOC tentunya
tidak berjalan mulus, banyak penentangan oleh penguasa lokal seperti yang
terjadi di Tuban (lihat novel Arus Balik Pramoedya), Jepara, Cirebon, Mataram,
Sunda Kelapa, dan Banten. Meskipun telah mendapatkan banyak penentangan, VOC
dengan strategi politik devide et impera mampu melaksanakan monopoli
perdagangannya di pulau Jawa.
Pada tahun 1808,
setelah VOC dibubarkan, pulau Jawa termasuk Tanah Pasundan mulai dikuasai
kolonial Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Daendels (Ekadjati,
1980:112). Pada masa tersebut, untuk memudahkan administrasi kekuasaan
kolonial, Daendels mulai membagi dua wilayah Tanah Pasundan. Bogor, Tanggerang,
Karawang, Cianjur, Sumedang, Cianjur, Bandung dimasukan dalam satu wilayah
pemerintahan yang disebut sebagai Batavia en Jakatrasche
Preanger-regentschappen. Sedangkan Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh,
dimasukan wilayah Kesultanan Cirebon en Cheribonshe Preangan regentschappen. Untuk
memudahkan pihak kolonial mengatur administrasi wilayah-wilayah jajahannya
tersebut, di setiap daerah diangkat pemimpin lokal yang disebut sebagai Demang
yang fungsinya mirip dengan Bupati pada Kadipaten-Kadipaten di Mataram.
Pembentukan Bogor dan
dan Kabupaten Bogor tidak lepas dari sejarah kolonial yang membentuknya. Jika
kita cermati buku yang ditulis Danasasmita (1983) yang berjudul Sejarah Bogor
kita dapat mengetahui awal mula dari sejarah Kota Bogor yang pada mulanya
bernama Kampung Baru. Penemuan Kampung Baru oleh ekspedisi Scipio (1867),
dinilai sebagai titik awal yang menghubungkan antara masa ‘tilem’ Kerajaan
Sunda Pakuan Pajajaran dengan peradaban kolonial. Pada ekspedisi tersebut
Scipio melihat bahwa masih ada sisa-sisa kabuyutan Pajajaran yang tertinggal di
sekitar lokasi Batu Tulis saat ini. Selain Scipio, ekspedisi lain dilakukan
oleh seorang kapiten ‘pribumi’ Belanda asal Sumedang bernama Tanuwijaya.
Menurut laporan Tanuwijaya yang ditulis kembali oleh Danasasmita (1983), pada
saat itu kabuyutan Pajajaran masih terlihat bekas-bekasnya. Pada saat ekspedisi
tersebut, Tanuwijaya kemudian membuka beberapa hutan dan lahan lain sebagai
pemukiman yang baru. Dalam masa kolonial, di samping terjadi ‘pembentukan’
secara besar-besaran kota Bogor secara lanskap perkotaan, secara lanskap sosial
Kota Bogor juga mengalami banyak perubahan. Pada zaman tersebut, pihak kolonial
menerapkan kebijakan wijkenstelsel atau kebijakan pemukimaan berdasarkan etnis.
Aturan tersebut, menyebabakan masyarakat kota Bogor tinggal menetap menurut
etnisnya masing-masing. Saat itu, orang-orang Eropa menempati kawasan di
sebelah barat jalan raya (sekarang Jalan Sudirman) mulai dari Witte Paal (saat
ini air mancur) sampai sebelah selatan Kebun Raya dan Pakancilan. Orang
Tionghoa diberi peruntukan lahan di daerah yang berbatasan dengan jalan raya
sepanjang jalan Suryakencana sampai dengan tanjakan Soekahati (Empang),
sedangkan orang arab menetap disekitar daerah Soekahati atau Empang . Singkat
cerita, setelah peristiwa sumpah pemuda dan pembentukan Boedi Oetomo sebagai
‘lokomotif’ pergerakan bangsa terbentuk, peta sosial-politik Indonesia termasuk
Kota Bogor segera berubah. Pada saat itu, muncul beberapa pemberontakan pada
pihak kolonial meskipun sifatnya masih sporadis dan tidak terlalu memberikan
dampak yang signifikan. Setelah Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang,
pada tahapan ini Kota Bogor turut serta masuk dalam periodisasi sejarah baru
yakni zaman pendudukan Jepang.
Dalam masa pendudukan
Jepang, keadaan sosial dan ekonomi masyarakat Kota Bogor sangatlah
memprihatinkan. Pada zaman tersebut untuk menyokong Jepang pada perang dunia
kedua banyak warga Bogor yang dijadikan sebagai romusha. Selain itu ada
beberapa peristiwa yang terjadi di wilayah Kota Bogor yang patut dicatat karena
dampaknya cukup besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah
didirikannya pusat latihan militer Jepang dengan nama Jawa Bó-ei Giyũgun Kanbu
Renseitai pada 15 Oktober 1943. Di lembaga inilah dididik calon-calon perwira
tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sekitar bulan Januari 1944, nama pusat
latihan itu diubah namanya oleh komandannya yang baru, Kapten Yanagawa menjadi Bó-ei
Giyũgun Kanbu Kyǒikutai, sesuai dengan presepsinya bahwa lembaga ini bukan
sekedar “latihan”(rensei), tapi mendidik (kyǒiku) taruna-tarunanya
(Notosusanto, 1979: 90).
Jumlah tentara Peta
hasil didikan Jepang itu berjumlah 66 daidan (batalyon) di Jawa dan 3 daidan di
Bali. Di Jawa Peta disebarkan ke setiap keresidenan. Di wilayah Bogor shũ (Keresidenan
Bogor) terdapat empat daidan yang dipusatkan di Jampang Kulon, Pelabuhan Ratu,
Cibeber, dan Cianjur. Umumnya yang dididik dan diangkat menjadi komandan
batalyon (daidancho) adalah tokoh atau elit setempat, seperti Haji Abdulah bin
Nuh (dari Empang, Bogor) dan Kiai Haji Basyuni (dari Cipoho, Sukabumi). Kedua
tokoh ulama tersebut sebelumnya merupakan aktivis AII pimpinan Kiai Haji
Ajengan Ahmad Sanusi ( Tjahaja, 12 Pebruari 1944). Pada Agustus 1945, pada
akhirnya setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Kota Bogor masuk dalam Provinsi
Jawa Barat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Epilog
Dalam pembahasan saya
diatas telah saya jelaskan dengan singkat mengenai sejarah perkembangan Kota
Bogor mulai dari zaman prasejarah hingga masa kolonial. Perkembangan sejarah
tersebut tentunya memberikan makna tersendiri bagi perspesi akan realita
masyarakat yang menempati Kota Bogor tentang bagaimana memandang identitas
dirinya sendiri sebagai orang Bogor. Hal tersebut sejalan dengan pandangan
Berger dan Luckmann (1966) mengenai kontruksi sosial, bahwa segala hal termasuk
realita dan pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi sosial yang dilakukan
secara repetitif dan kemudian menjadi sebuah struktur yang baik secara sadar
maupun tidak dialami dan dilakukan oleh masyarakat yang kemudian menjadi sebuah
identitas sosial.
Identitas ‘kebogoran’
yang terbentuk dari perjalanan sejarah itu sendiri tentunya perlu mendapatkan
perhatian dan kajiannya tersendiri saat ini. Apakah identitas tersebut masih
relevan di tengah-tengah arus modal dan masyarakat plural saat ini. Bagaimana
bentuknya dan apa dampaknya terhadap masyarakat Bogor saat ini, tentunya hal
tersebut membutuhkan kajian yang lebih serius kedepannya. Tulisan ini hadir,
dalam rangka sebagai pemantik akan kajian yang lebih serius akan identitas
kesejarahan kota Bogor kedepannya.
Daftar Rujukan
Atja
1968 Tjarita
Parahyangan. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang
Ayatrohaedi
1965 Tarumanegara
Sejarah Jawa Barat. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional
Provinsi Jawa Barat.
Berger, Peter L. dan
Thomas Luckmann
1966 The Social
Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of
Knowledge. Garden City,
New York: Doubleday & Company.
Danasasmita, Saleh
1983 Sedjarah Bogor.Bogor:
Pemerintah Daerah DT II Bogor.
2006 Mencari Gerbang
Pakuan dan Kajian lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda
Ekadjati, Edi S.
1980 Masyarakat Sunda
dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka.
1993 Kebudayaan Sunda:
Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
2003 Sejarah Kuningan.
Bandung: Kiblat.
Fadillah, Achmad
2014 Pukukuh Tilu: Invensi
Tradisi Pada Masyarakat Agama Djawa Sunda (ADS) di Cigugur Kabupaten Kuningan
Jawa Barat.Tidak Diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi FISIP Universitas
Indonesia.
Notosusanto, Nugroho
1979 Tentara PETA Pada
Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Poerbatjaraka, R. Ng.
1921 De Batoe Toelis
bij Buitenzorg. TBG: LIX.
Universitas Parahyangan
1985 Seminar
Arsitektur: Tinjauan Arsitektur Kota Bogor. Bandung : Universitas Parahyangan.
Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma Cuma
BalasHapusHanya Di SumoQQ(dot)Com
Real Website Real Player, Real Winner
Silahkan Buktikan dan Bergabung Bersana kami
Dan Raih Bonus Extra Jumbo :
- Bonus Extra Jumbo Rollingan
- Bonus Refferal Seumur Hidup
CS Ramah & Profesional Siap Melayani 24 Jam
Proses Transaksi Di Jamin Super Cepat
Kartu Bagus (Easy To Winn)
Support 6 Bank Local
Minimal Deposit & Withdraw 15Rb
Jangan Mikir Lagi Bos !!
Jalan dan Kesempatan Sudah Ada Di Depan Mata
Jangan Sia2 Kan Kesempatan Yang Ada bos !!
Ingat Bahwa Kemenangan Ada Di Pilihan Anda.
Jadi Jangan Sampai Salah Pilih Situs
Ingin Jadi Jutawan SumoQQ(dot)com Solusimya !!
Hub kami Untuk Info Lebih Lanjut :
Skype : SumoQQ
Fb : SumoQQ
BBM : D8ACD825
Line : SumoQQ
WA : +855 96 497 3259
Link Alternatif :
www(dot)SumoQQ(dot)net
www(dot)SumoQQ(dot)info
www(dot)SumoQQ(dot)org
Join Sekarang !! Kami Tunggu Kehadiran Para Calon Jutawan