Sabtu, 04 Juni 2016

Kota Bogor: Sebuah Perspektif Sejarah

Kota Bogor: Sebuah Perspektif Sejarah

"Hana nguni hana mangke Tan hana nguni tan hana mangke"
(Ada dahulu ada sekarang, tidak ada zaman dahulu tidak ada masa sekarang)
Amanat Galunggung



Kehadiran Kota Bogor sebagai sebuah entitas perkotaan hadir dari berbagai dinamika kesejarahan yang panjang. Dimulai dari zaman prasejarah, zaman kerajaan Hindu-Budha, zaman masuknya Islam-kolonial, hingga zaman kemerdekaan seperti saat ini. Perkembangan Kota Bogor dalam arus waktu, tentunya menimbulkan banyak perubahan baik terhadap kondisi Kota Bogor itu sendiri maupun terhadap kondisi sosio-kultural masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dalam tulisan ini, saya akan menyoroti sedikit mengenai perkembangan sejarah Kota Bogor dalam beberapa periodisasi waktu.

Zaman Prasejarah

Jauh sebelum masa sejarah, di tanah Pasundan khususnya Kota Bogor sudah terdapat kehidupan manusia. Hal tersebut dibuktikan dari beberapa penemuan-penemuan situs prasejarah di Kota Bogor seperti situs Kampung Muara, Situs Pasir Angin, Situs Batu Dakon (Empang), dan Situs Pasir Mulya (Punden) (Ekadjati, 1980:77). Dalam penemuan-penemuan situs bersejarah tersebut, kerap kali juga ditemukan alat-alat perkakas yang merupakan barang-barang yang diduga sebagai alat-alat yang digunakan oleh manusia pada zaman tersebut untuk beraktifitas. Barang-barang tersebut seperti beliung persegi, kapak corong, periuk, gelang manik, dan batu panah.Penemuan situs-situs prasejarah di Kota Bogor, di samping membuktikan keberadaan manusia pada zaman tersebut, hal tersebut pula membuktikan bahwa pada zaman tersebut manusia sudah hidup secara berkelompok meskipun masih pada tahapan yang masih sangat sederhana. Dalam hal kepercayaan, penemuan menhir, dolmen, dan batu dakon membuktikan manusia Bogor pada zaman prasejarah sudah memiliki kepercayaan yang disebut oleh sebagian besar sejarawan/arkeolog sebagai animisme dan dinamisme. Kepercayaan animisme dan dinamisme sendiri merupakan kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang dipuja melalui personifikasi batu-batu besar (megalitik). Susunan batu biasanya diletakan di puncak bukit/gunung dengan letak antara sebelah Barat dan Timur. Konsep Timur dan Barat ini merupakan konsep prasejarah yang mencoba menggambarkan kehidupan yang berpasang-pasangan (hidup-mati, langit-bumi, laki-laki-perempuan) yang disejajarkan dengan arah terbit dan tenggelamnya matahari (Fadillah, 2014). 

Zaman Hindu-Budha 

Dalam arus waktu sejarah, zaman Hindu-Budha merupakan zaman pembuka masuknya Tanah Pasundan khususnya Kota Bogor dalam tingkatan yang lebih lanjut yakni zaman sejarah. Pada zaman tersebut, muncul beberapa kerajaan-kerajaan yang secara geografis wilayahnya termasuk meliputi wilayah Kota Bogor saat ini. Dalam catatan para sejarawan, secara umum diketahui kerajaan pertama yang hadir pada zaman Hindu-Budha adalah kerajaan Tarumanegara (abad ke-5 Masehi). Kehadiran kerajaan Tarumanegara, diketahui dari dua macam sumber yakni sumber lokal dan sumber luar negeri (Ayatrohaedi, 1975). Dari sumber lokal, kehadiran Tarumanegara diketahui dari berbagai prasasti yang ditemukan di Tugu, Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu. Prasasti-prasasti tersebut diketahui ditulis dalam bahasa Sansakerta dengan huruf Palawa. Dari prasasti-prasasti tersebut, para arkeolog dan sejarawan mengetahui bahwa kerajaan Tarumanegara pernah dipimpin oleh seorang Raja bernama Purnawarman, Radjadhiraja Guru dan Rajasi. Selain mengetahui nama raja yang pernah memerintah kerajaan Tarumanegara, melalui prasasti-prasasti tersebut dapat pula diketahui mengenai penggalian saluran air Candrabragha dan Gomati di sekitar kali Citarum (Bekasi-Karawang). Tujuan pembangunan saluran air tersebut diketahui sebagai saluran irigasi, pelayaran dan pertahanan. Jika melalui sumber lokal para sejarawan/arkeolog dapat mengetahui beberapa nama raja dan kejadian yang terjadi di kerajaan Tarumanegara, melalui sumber luar negeri (berita Cina-FaHien) para sejarawan mengetahui bahwa pada zaman tersebut penduduk Tarumanegara mulai memeluk agama Hindu tepatnya Hindu Wisnu (Ayatrohedi, 1975). Meski sudah memeluk agama Hindu, penduduk Tarumanegara menurut FaHien masih banyak juga mempraktikan ajaran-ajaran agama leluhur (wiwitan) dalam kehidupan mereka.

Sekitar abad ke 7 Masehi, melalui prasasti Kotapur (Bangka) diketahui kerajaan Tarumanegara turun dari panggung sejarah dan digantikan oleh kerajaan-kerajaan kecil di daerah Pasundan seperti di daerah Garut, Kuningan, Ciamis (Galuh) dan Bogor (Sunda). Kerajaan-kerajaan kecil tersebut, dikenal kemudian oleh para sejarawan sebagai sebuah kesatuan yang disebut sebagai kerajaan Sunda. Cerita sejarah mengenai awal mula kerajaan Sunda (hingga runtuhnya kerajaan Pajajaran) dapat ditelusuri secara tekstual dalam teks kuno (kropak 406) yang dikenal secara populer sebagai carita parahyangan (Atja, 1968). Dalam carita parahyangan, awal mula kerajaan Sunda dimulai dari cerita seorang tokoh bernama Sanjaya yang merupakan putera Sena, Raja Galuh. Sanjaya menjadi seorang raja setelah mengalahkan Rahyang Purbasora. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam teks carita parahyangan sebagai berikut:

…. Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora. Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri. Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun. Carek Rahiangtang Kidul: “Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan, sarta anak saha sia teh?” Carek Rakian Jambri: “Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora.”“Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda.” Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal. Carek Rabuyut sawal: “Sia teh saha?” “Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, ‘retuning bala sarewu’, anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru.”Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh. Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya…. 

Setelah menjadi Raja di Galuh, dalam carita parahyangan Rahyang Sanjaya kemudian menikahi anak dari Raja Kerajaan Sunda yakni Raja Terusbawa (Pendiri Pakwan Pajajaran). Selepas kematian Raja Terusbawa, Rahyang Sanjaya kemudian otomatis menjadi Raja Sunda yang mempersatukan Galuh dan Sunda. Dalam perkembangan pemerintahannya, Rahyang Sanjaya lebih banyak memusatkan pemerintahannya di Galuh dibandingkan di Sunda (Pakwan) (lihat Ekadjati, 1980:82). Dari catatan-catatan sejarah yang ada, singkat cerita selepas kematian Rahyang Sanjaya pusat kerajaan Sunda selalu berpindah-pindah. Pada masa pemerintahan Rakeyan Darmariksa (ada yang mengenalnya sebagai Raja Sewukarma), pusat kerajaan Sunda dipindahkan dari (Sawung) Galuh (Kuningan) kembali ke Pakuan Pajajaran (Ekadjati, 2003).Menurut keterangan yang di dapatkan dari prasasti Batu Tulis, Raja Sunda selanjutnya adalah seorang Raja yang memiliki banyak nama, antara lain Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja, Sri Sang Ratu Dewata. Dalam khazanah kebudayaan Sunda populer, banyak yang menyebutnya sebagai Prabu Siliwangi. Sri Baduga Maharaja sendiri, merupakan keturunan dari Rahyang Dewa Niskala yang dimakamkan di Gunung Tilu dan merupakan cucu dari Rahyang Niskala Wastu Kencana yang dimakamkan di Nusa Larang. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, disebutkan dalam carita parahyangan dan prasasti batu tulis bahwa kehidupan masyarakat saat itu hidup aman dan sentosa. Sri Baduga Maharaja juga dalam prasasti batu tulis disebutkan telah berjasa membangun hutan samida, telaga Rena Mahawijaya, jalan-jalan, dan tanda peringatan gunungan. Hal tersebut sebagaimana tulisan di prasasti batu tulis berikut ini: 

“Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang, ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyanl sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi .”
 Pada masa pemerintahannya, menurut carita parahyangan Sri Baduga Maharaja menempati keraton yang bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradapati. Banyak pendapat yang diungkapkan oleh para ahli mengenai lokasi dan bentuk dari keraton Sri Baduga Maharaja sendiri. Beberapa sejarawan dan arkeolog Belanda menyebutkan bahwa lokasi keraton Pakuan Pajajaran sendiri lebih pada makna konotatif yang berarti pada pohon paku (pakis) yang berjajar. Pendapat ini dikuatkan dari asumsi mengenai pola pencahariaan masyarakat Kerajaan Sunda saat itu yang didominasi pada kegiatan pertanian huma. Kegiatan pertanian huma yang sifatnya berpindah, menurut pendapat beberapa arkeolog Belanda tidak memungkinkan untuk kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran untuk membangun keraton yang sifatnya statis dan menetap. Berbeda dengan pendapat para arkeolog Belanda, pendapat lain diungkapkan oleh Poerbajtaraka (1921) dan kemudian dikuatkan oleh Danasasmita (2006). Menurutnya, anggapan beberapa arkeolog Belanda tentang ketidakberadaan keraton Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran merupakan hal yang salah. Poerbajtaraka (1921) mengungkapkan bahwa Pakuan Pajajaran sendiri dapat diartikan sebagai ‘istana yang berjajar’. Hal tersebut didapatkan dari analisanya tentang kata Pakuan yang dapat dipersamakan dengan kata Pakuwon (Pa+Kuwu+an yang artinya tempat ‘kuwu’ atau pemimpin tinggal) dalam bahasa Jawa. Pendapat Poerbajtaraka mengenai keberadaan keraton Pakuan Pajajaran dikuatkan oleh Danasasmita. Menurutnya, keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradapati benar- benar ada. Lokasinya di sekitar prasasti batu tulis, dengan letak menghadap ke arah utara dan membelakangi Gunung Salak. Adapun bangunan keratonnya sendiri diperkirakan oleh Danasasmita (2006), memiliki fungsi antara lain: (1) bangunan Bima adalah balai peperangan, (2) Punta sebagai balai pengadilan, (3) Narayana sebagai balai penghadapan, (4) Madura adalah balai Resepsi, dan (5) Suradipati adalah bangunan persemayaman raja dan keluarganya, kelima bangunan itu yang sering juga disebut dengan Panca Prasadha (Danasasmita 2006: 31).

Sepeninggal Sri Baduga Maharaja, kerajaan Sunda kemudian dipimpin oleh anaknya yakni Prabu Surwawisesa. Pada masa Prabu Surwawisesa, sebagaimana yang ditulis pada carita parahyangan wilayah kekuasaan kerajaan Sunda mulai ‘diusik’ dengan masuknya pengaruh Islam di beberapa kota pelabuhan seperti di Banten dan Cirebon. Sepeninggal Prabu Surwawisesa, pengaruh Islam dari Cirebon dan Banten semakin menguat dengan banyaknya bantuan yang diberikan oleh Demak kepada dua wilayah tersebut untuk segera melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Setelah Prabu Surwawisesa wafat, dari catatan sejarah dan carita parahyangan Kerajaan Sunda kemudian dipimpin oleh beberapa raja yang dinilai kurang ‘kompeten’ dan lebih mementingkan dirinya sendiri. Hal ini tercermin dari sikap Sang Ratu Saksi yang suka membunuh, Tohaan di Majaya yang suka bermain perempuan, dan Nusiya Mulya yang dinilai tidak tegas. Atas sebab tindakan dan perilaku raja-raja Sunda tersebut, pada akhirnya melalui sebuah penyerangan yang dilakukan oleh Banten ke pusat Pakuan Pajajaran, kerajaan Sunda turun dari hingar-bingar panggung sejarah.

Zaman Islam- Kolonial 
Jauh sebelum Cirebon dan Banten melepaskan diri sebagai pasal dari kerajaan Sunda, menurut carita parahyangan di wilayah Cirebon sudah banyak penduduk kerajaan Sunda yang memeluk agama Islam. Selepas kedatangan Susuhunan Gunung Jati dari Mekkah, jumlah penduduk kerajaan Sunda yang pada akhirnya memeluk agama Islam bertambah seiring dengan menguatnya dakwah Islam di daerah tersebut. Seiring dengan perkembangan waktu, setelah dakwah dan jumlah pengikut agama Islam bertambah pada akhirnya Cirebon sebagai salah satu pasal dari kerajaan Sunda melepaskan diri. Pelepasan diri Cirebon disambut baik oleh kerajaan Demak dengan mengirimkan bala bantuan di Cirebon dan Banten. Pada akhirnya, setelah semua kota pelabuhan kerajaan Sunda (termasuk Sunda Kelapa) telah dikuasai, secara perlahan seluruh tanah Pasundan termasuk Kota Bogor jatuh ditangan pengaruh Islam. Dalam hal penyebaran agama Islam di Kota Bogor, di samping dilakukan oleh pihak Cirebon dan Banten salah satu pihak yang memiliki andil besar adalah para saudagar ‘Arab’ yang berasal dari Hadramaut (Yaman). Para saudagar tersebut, selain melakukan perdagangan di wilayah Kota Bogor juga turut bermukim dan ‘beranak-pinak’ dan membentuk sebuah komunitasnya tersendiri yang saat ini dikenal sebagai kampung ‘Arab’ Empang.

Pengaruh Islam di Tanah Pasundan khususnya di Kota Bogor telah dengan otomatis merubah kondisi sosio-kultural penduduk Kota Bogor saat itu. Kota yang pada mulanya merupakan pusat dari pemerintahan sebuah kerajaan Hindu yang sangat besar, berangsur-angsur berubah menjadi kota yang memiliki nilai keislaman yang cukup kental dibawah pengaruh dari kerajaan Banten pimpinan Maulana Malik Yusuf Ibrahim. Dalam proses Islamisasi Kota Bogor, peranan Masjid dan pesantren begitu kuat memainkan peran sebagai kanal pendidikan dan penyebaran agama Islam. Singkat cerita, setelah hampir seluruh wilayah Pasundan termasuk Kota Bogor masuk dalam pengaruh Islam cerita dan alur sejarah berubah pada babak selanjutnya yakni fase kolonial Belanda.

Belanda diketahui masuk pada tahun 1529 di Banten yang dipimpin oleh Cornelis de Houtmen. Pada mulanya tujuan Belanda untuk berdagang rempah-rempah namun pada perkembangannya, Belanda mulai mendirikan kongsi dagang (VOC) untuk melakukan monopoli perdagangan. Strategi monopoli perdagangan yang dilancarkan oleh VOC tentunya tidak berjalan mulus, banyak penentangan oleh penguasa lokal seperti yang terjadi di Tuban (lihat novel Arus Balik Pramoedya), Jepara, Cirebon, Mataram, Sunda Kelapa, dan Banten. Meskipun telah mendapatkan banyak penentangan, VOC dengan strategi politik devide et impera mampu melaksanakan monopoli perdagangannya di pulau Jawa.

Pada tahun 1808, setelah VOC dibubarkan, pulau Jawa termasuk Tanah Pasundan mulai dikuasai kolonial Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Daendels (Ekadjati, 1980:112). Pada masa tersebut, untuk memudahkan administrasi kekuasaan kolonial, Daendels mulai membagi dua wilayah Tanah Pasundan. Bogor, Tanggerang, Karawang, Cianjur, Sumedang, Cianjur, Bandung dimasukan dalam satu wilayah pemerintahan yang disebut sebagai Batavia en Jakatrasche Preanger-regentschappen. Sedangkan Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh, dimasukan wilayah Kesultanan Cirebon en Cheribonshe Preangan regentschappen. Untuk memudahkan pihak kolonial mengatur administrasi wilayah-wilayah jajahannya tersebut, di setiap daerah diangkat pemimpin lokal yang disebut sebagai Demang yang fungsinya mirip dengan Bupati pada Kadipaten-Kadipaten di Mataram.

Pembentukan Bogor dan dan Kabupaten Bogor tidak lepas dari sejarah kolonial yang membentuknya. Jika kita cermati buku yang ditulis Danasasmita (1983) yang berjudul Sejarah Bogor kita dapat mengetahui awal mula dari sejarah Kota Bogor yang pada mulanya bernama Kampung Baru. Penemuan Kampung Baru oleh ekspedisi Scipio (1867), dinilai sebagai titik awal yang menghubungkan antara masa ‘tilem’ Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran dengan peradaban kolonial. Pada ekspedisi tersebut Scipio melihat bahwa masih ada sisa-sisa kabuyutan Pajajaran yang tertinggal di sekitar lokasi Batu Tulis saat ini. Selain Scipio, ekspedisi lain dilakukan oleh seorang kapiten ‘pribumi’ Belanda asal Sumedang bernama Tanuwijaya. Menurut laporan Tanuwijaya yang ditulis kembali oleh Danasasmita (1983), pada saat itu kabuyutan Pajajaran masih terlihat bekas-bekasnya. Pada saat ekspedisi tersebut, Tanuwijaya kemudian membuka beberapa hutan dan lahan lain sebagai pemukiman yang baru. Dalam masa kolonial, di samping terjadi ‘pembentukan’ secara besar-besaran kota Bogor secara lanskap perkotaan, secara lanskap sosial Kota Bogor juga mengalami banyak perubahan. Pada zaman tersebut, pihak kolonial menerapkan kebijakan wijkenstelsel atau kebijakan pemukimaan berdasarkan etnis. Aturan tersebut, menyebabakan masyarakat kota Bogor tinggal menetap menurut etnisnya masing-masing. Saat itu, orang-orang Eropa menempati kawasan di sebelah barat jalan raya (sekarang Jalan Sudirman) mulai dari Witte Paal (saat ini air mancur) sampai sebelah selatan Kebun Raya dan Pakancilan. Orang Tionghoa diberi peruntukan lahan di daerah yang berbatasan dengan jalan raya sepanjang jalan Suryakencana sampai dengan tanjakan Soekahati (Empang), sedangkan orang arab menetap disekitar daerah Soekahati atau Empang . Singkat cerita, setelah peristiwa sumpah pemuda dan pembentukan Boedi Oetomo sebagai ‘lokomotif’ pergerakan bangsa terbentuk, peta sosial-politik Indonesia termasuk Kota Bogor segera berubah. Pada saat itu, muncul beberapa pemberontakan pada pihak kolonial meskipun sifatnya masih sporadis dan tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan. Setelah Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang, pada tahapan ini Kota Bogor turut serta masuk dalam periodisasi sejarah baru yakni zaman pendudukan Jepang.

Dalam masa pendudukan Jepang, keadaan sosial dan ekonomi masyarakat Kota Bogor sangatlah memprihatinkan. Pada zaman tersebut untuk menyokong Jepang pada perang dunia kedua banyak warga Bogor yang dijadikan sebagai romusha. Selain itu ada beberapa peristiwa yang terjadi di wilayah Kota Bogor yang patut dicatat karena dampaknya cukup besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah didirikannya pusat latihan militer Jepang dengan nama Jawa Bó-ei Giyũgun Kanbu Renseitai pada 15 Oktober 1943. Di lembaga inilah dididik calon-calon perwira tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sekitar bulan Januari 1944, nama pusat latihan itu diubah namanya oleh komandannya yang baru, Kapten Yanagawa menjadi Bó-ei Giyũgun Kanbu Kyǒikutai, sesuai dengan presepsinya bahwa lembaga ini bukan sekedar “latihan”(rensei), tapi mendidik (kyǒiku) taruna-tarunanya (Notosusanto, 1979: 90).

Jumlah tentara Peta hasil didikan Jepang itu berjumlah 66 daidan (batalyon) di Jawa dan 3 daidan di Bali. Di Jawa Peta disebarkan ke setiap keresidenan. Di wilayah Bogor shũ (Keresidenan Bogor) terdapat empat daidan yang dipusatkan di Jampang Kulon, Pelabuhan Ratu, Cibeber, dan Cianjur. Umumnya yang dididik dan diangkat menjadi komandan batalyon (daidancho) adalah tokoh atau elit setempat, seperti Haji Abdulah bin Nuh (dari Empang, Bogor) dan Kiai Haji Basyuni (dari Cipoho, Sukabumi). Kedua tokoh ulama tersebut sebelumnya merupakan aktivis AII pimpinan Kiai Haji Ajengan Ahmad Sanusi ( Tjahaja, 12 Pebruari 1944). Pada Agustus 1945, pada akhirnya setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Kota Bogor masuk dalam Provinsi Jawa Barat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Epilog
Dalam pembahasan saya diatas telah saya jelaskan dengan singkat mengenai sejarah perkembangan Kota Bogor mulai dari zaman prasejarah hingga masa kolonial. Perkembangan sejarah tersebut tentunya memberikan makna tersendiri bagi perspesi akan realita masyarakat yang menempati Kota Bogor tentang bagaimana memandang identitas dirinya sendiri sebagai orang Bogor. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Berger dan Luckmann (1966) mengenai kontruksi sosial, bahwa segala hal termasuk realita dan pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi sosial yang dilakukan secara repetitif dan kemudian menjadi sebuah struktur yang baik secara sadar maupun tidak dialami dan dilakukan oleh masyarakat yang kemudian menjadi sebuah identitas sosial.

Identitas ‘kebogoran’ yang terbentuk dari perjalanan sejarah itu sendiri tentunya perlu mendapatkan perhatian dan kajiannya tersendiri saat ini. Apakah identitas tersebut masih relevan di tengah-tengah arus modal dan masyarakat plural saat ini. Bagaimana bentuknya dan apa dampaknya terhadap masyarakat Bogor saat ini, tentunya hal tersebut membutuhkan kajian yang lebih serius kedepannya. Tulisan ini hadir, dalam rangka sebagai pemantik akan kajian yang lebih serius akan identitas kesejarahan kota Bogor kedepannya. 


Daftar Rujukan
Atja
1968 Tjarita Parahyangan. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang
Ayatrohaedi
1965 Tarumanegara Sejarah Jawa Barat. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann
1966 The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of
Knowledge. Garden City, New York: Doubleday & Company.
Danasasmita, Saleh
1983 Sedjarah Bogor.Bogor: Pemerintah Daerah DT II Bogor.
2006 Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda
Ekadjati, Edi S.
1980 Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka.
1993 Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
2003 Sejarah Kuningan. Bandung: Kiblat.
 Fadillah, Achmad
2014 Pukukuh Tilu: Invensi Tradisi Pada Masyarakat Agama Djawa Sunda (ADS) di Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat.Tidak Diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia.
Notosusanto, Nugroho
1979 Tentara PETA Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Poerbatjaraka, R. Ng.
1921 De Batoe Toelis bij Buitenzorg. TBG: LIX.
Universitas Parahyangan
1985 Seminar Arsitektur: Tinjauan Arsitektur Kota Bogor. Bandung : Universitas Parahyangan. 

1 komentar:

  1. Dapatkan Jutaan Rupiah Dengan Cuma Cuma
    Hanya Di SumoQQ(dot)Com
    Real Website Real Player, Real Winner
    Silahkan Buktikan dan Bergabung Bersana kami
    Dan Raih Bonus Extra Jumbo :
    - Bonus Extra Jumbo Rollingan
    - Bonus Refferal Seumur Hidup
    CS Ramah & Profesional Siap Melayani 24 Jam
    Proses Transaksi Di Jamin Super Cepat
    Kartu Bagus (Easy To Winn)
    Support 6 Bank Local
    Minimal Deposit & Withdraw 15Rb
    Jangan Mikir Lagi Bos !!
    Jalan dan Kesempatan Sudah Ada Di Depan Mata
    Jangan Sia2 Kan Kesempatan Yang Ada bos !!
    Ingat Bahwa Kemenangan Ada Di Pilihan Anda.
    Jadi Jangan Sampai Salah Pilih Situs
    Ingin Jadi Jutawan SumoQQ(dot)com Solusimya !!
    Hub kami Untuk Info Lebih Lanjut :
    Skype : SumoQQ
    Fb : SumoQQ
    BBM : D8ACD825
    Line : SumoQQ
    WA : +855 96 497 3259
    Link Alternatif :
    www(dot)SumoQQ(dot)net
    www(dot)SumoQQ(dot)info
    www(dot)SumoQQ(dot)org
    Join Sekarang !! Kami Tunggu Kehadiran Para Calon Jutawan

    BalasHapus