Belajar dari Konflik Tanah Mesuji :
Tanah Pemodal atau Tanah Rakyat?
Tanah, semenjak dahulu sudah menjadi salah satu medan konflik yang abadi. Semenjak masa pra kolonial hingga sekarang sudah banyak konflik yang mengatasnamakan tanah yang menjadi medan konfliknya. Belakangan ini semenjak kehancuran ekonomi pasca tahun 1997, kita sering mendengar adanya “bualan” mengenai pentingnya investasi asing untuk mendukung ketahanan ekonomi negara. Lahan-lahan harus dibuka, sebagai konsekuensi dari penanaman modal asing di Indonesia. Orientasi sebagai “budak” modal asing pun sudah merangsek hingga pada UU yang dibuat oleh para wakil rakyat, salah satunya yakni UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, dimana prinsip non diskriminasi antara kedudukan pemodal asing dan pemodal dalam negeri baik perusahaan dan perseorangan menjadi sama. Sebuah aturan yang cukup mengecewakan ketika kita harus kembali mengingat perjuangan para nenek moyang kita dalam melawan kekuataan asing (kolonialisme), namun kita dengan mudahnya menerima hal tersebut walaupun muncul dengan “jubah-jubah” barunya.
Dalam situasi intervensi modal asing tersebut, agaknya pemerintahan Indonesia dibawa rezim SBY memilih untuk “menyerah” dan membuka dirinya terhadap modal-modal asing yang merangsek masuk. Salah satu contoh dari menyerahnya rezim SBY, terhadap modal-modal asing yang masuk adalah dengan disetujuinya program MP3EI (Master Plan Economic), yang membagi banyaknya wilayah tanah “kosong” untuk dieksploitasi modal asing. Sebanyak 6 wilayah yang dinilai kosong dan kurang produktif, dibagi-bagikan layaknya kue untuk ditanami dengan modal-modal asing dan dijadikannya sebagai sebuah penguasaan akan aset. Sepertinya pemerintah tidak sadar, bahwa apa yang menurut mereka kurang produktif dan “kosong” inilah sebenarnya merupakan rumah dan kehidupan bagi banyak masyarakat khsusunya masyarakat adat kita.
Program pemerintah yakni MP3EI, merupakan salah satu program yang dimana memiliki 22 sektor ekonomi andalannya, yang salah satunya adalah produksi Crude Palm Oil (CPO) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan produksi CPO tentunya berbanding lurus dengan peningkatan luasan dari perkebunan sawit itu sendiri. Dari data yang saya dapatkan dari Direktorat Jendral Perkebunan (2012) menunjukan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah sebesar 8,1 Juta Hektare. Berbeda dengan data yang disampaikan oleh Direktorat Jendral Perkebunan, menurut sawit watch(2012) jumlah lahan yang digunakan untuk lahan perkebunan sawit adalah lebih luas yakni sebesar 11,5 juta hektar. Selain data tersebut data menarik lainnya adalah mengenai data yang diungkapkan oleh Hendrajat Natawidjaya (2012) Ditjen Perkebunan pada Kementrian Pertanian yang menyampaikan pada sebuah rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak pada tanggal 25 Januari 2012 .
Ia menyebutkan bahwa sekitar 59 persen dari 1000 perusahaan sawit di wilayah Indonesia terkait masalah sengketa lahan dengan masyarakat. Konflik itu terjadi di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada 591 konflik, dengan urutan pertama di Kalimantan tengah dengan 250 kasus, Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus. Dan beberapa konflik lainnya yang tidak diketahui atau tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
Data-data diatas setidaknya memberikan kita sebuah gambaran bagaimana ekspansi modal dan perkebunan kelapa sawit secara makro dan mikro memberikan dampak bagi terjadinya konflik khususnya konflik mengenai lahan. Dan konflik Mesuji kemudian menjadi salah satu dari “fenomena gunung es” konflik-konflik akan lahan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Konflik Mesuji, secara umum dapat dipahami sebagai sebuah konfigurasi akan perbenturan dari kepentingan modal, dan akses rakyat untuk mengakses lahannya.Konflik mesuji secara kronologis sebenarnya cukup komplek untuk dijelaskan. Sengketa lahan di Kabupaten Mesuji terjadi di dua titik. Pertama, sengketa lahan antara perambah hutan di Desa Moro-moro, Pelita Jaya, dan Pekat Raya dengan PT Silva Inhutani. Mereka memperebutkan lahan seluas 43.900 hektare di Kawasan Register 45. Kedua, sengketa lahan antara warga di Desa Kagungan Dalam, Nipah Kuning, Tanjungraya di Kecamatan Tanjung Raya, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo yang memperebutkan lahan tanah ulayat. Pada 1997 sejumlah warga mulai mendiami kawasan yang ditanam sengon dan tanaman industri lain peninggalan PT Inhutani V. Mereka menebangi tanaman yang ada di kawasan itu hingga gundul. Perambah marak berdatangan setelah tahun 1999. Mereka datang dari berbagai daerah sepeti Lampung Timur, Tulangbawang, Metro bahkan dari Jawa Barat, Bali, dan Makassar.. Saat masih masuk wilayah Kabupaten Tulangbawang, pemerintah dan aparat kerap menertibkan para perambah itu. Singkat cerita jumlah perambah yang ada semakin banyak, hingga akhirnya menjadi penduduk daerah tersebut dan kemudian mengalami konflik dengan pihak perkebunan sawit.
Dalam melihat konflik ini, saya menggunakan pendekatan teori akses yang dikemukakan oleh Ribot, J.C., & N.L. Peluso (2003) , sebagai pisau analisis dalam konflik tersebut. Sebelumnya, saya ingin menjelaskan kembali apa yang disampaikan oleh Ribot dan Peluso mengenai apa yang disebut sebagai akses. Menurutnya, akses didefiniskan sebagai kemampuan untuk memanfaatkan dari sesuatu- termasuk objek material, orang, institusi, dan simbol-simbol. Dengan fokus pada ’kemampuan’, perhatian tertuju pada jangkauan yang lebih luas dari hubungan sosial yang dapat memungkinkan sesorang mengambil manfaat dari sumberdaya tanpa melihat pada hubungan kepemilikan. Akses berfokus pada isu siapa yang dapat dan siapa yang tidak menggunakan sesuatu, dan kapan saatnya. Perbedadaan kunci antara akses dan kepemilikan bersandar pada perbedaan antara ’kemampuan’ dan ’hak’. Kemampuan adalah identik dengan kekuatan, yang dapat didefinisikan ke dalam dua kalimat, pertama kapasitas seorang aktor untuk mempengaruhi ide dan tindakan orang lain, dan kedua dari mana kekuatan itu berasal. Akses adalah tentang makna semua kemungkinan yang dengannya seseorang dapat mengambil manfaat dari sesuatu. Sedangkan kepemilikan lebih berorientasi pada klaim terhadap hak, cenderung diartikan dengan hukum, aturan, atau konvensi.
Dengan berfokus pada kemampuan untuk mengambil manfaat tanpa melihat hubungan kepemilikan, saya melihat bahwa tanah yang didiami oleh masyarakat pada satu sisi merupakan sebuah akses. Masyarakat memiliki kemampuan untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut tanpa harus memiliki hubungan kepemilikan. Namun, disisi lain juga tanah itu adalah kepemilikan negara atau tanah negara jika kita mengacu pada klaim dan hak yang tertuang dalam PP No. 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah negara.
Yang menjadi menarik kemudian, menurut saya adalah, bukan pada menentukan kategorisasi apakah tanah tersebut masuk kedalam kategori akses atau sebuah kepemilikan, melainkan lebih pada melihat pengaruh modal yang dapat mengubah prinsip “akses” pada tanah menjadi konsep “kepemilikan” tanah negara (public goods to private goods), dan lebih menarik lagi ketika kepemilikan dari negara tersebut kemudian diserahkan kepada pemodal untuk dikelola. Yang menjadi pertanyaan bagi saya, apakah dengan mudahnya negara bisa mengorbankan kepentingan “akses” rakyatnya akan tanah, hanya untuk membela kepentingan “kepemilikan” para pemodal?
Untuk menjawab pertanyaan saya diatas, saya akan mengajak sedikit berdialektika tentang konsepsi reformasi agraria dan pengaplikasiannya dalam politik agraria itu sendiri. Konsepsi reformasi agraria secara historis sebenarnya sudah di “kerucutkan” dalam sebuah pidato dari Bung Karno pada tanggal 16 Agustus 1945 berjudul “Djalannya Revolusi Kita” , Pertama, melakukan perombakan hak atas tanah dan penggunaan tanah agar dicapai keadilan dan kemakmiran. Kedua, land reform adalah pondasi revolusi yang berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapa feodal berangsur-angsur. Ketiga, landreform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani.
Ketiga poin pemikiran Bung Karno tersebut sebenarnya juga harus diberikan penekanan dan korelasi dengan semangat yang dibawa pada UUD 1945 pasal 33 (3) “bumi air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” .Secara sederhana kita dapat melihat bahwa semangat UUD juga sebenarnya mengamanatkan untuk mempergunakan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, bukan para pemodal, apalagi pemodal asing.
Selanjutnya, jika kita sudah sampai pada semangat pasal 33 UUD 1945, maka secara paham dan sederhananya untuk mengatasi masalah-masalah yang akan muncul seperti konflik lahan di mesuji kita akan sampai pada tahapan bukan lagi mengkategorisasi tanah mana yang merupakan “akses” yang mana merupakan “kepemilikan”, melainkan sudah pada tanah mana yang dapat didistribusikan dan bagaimana cara mendistribusikan tanah tersebut demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya
Terakhir, dalam tulisan ini saya ingin mengutip sebuah definisi mengenai land reform dari Michael Lapton (2009), yang besar harapannya land reform ini dapat segera dilaksanakan di Indonesia, sehingga tidak ada lagi kasus mesuji-mesuji lain dimana kesejahteraan rakyat harus diletakkan diatas kepentingan apapun. Definisinya sebagai berikut:
“We define land reform as legislation intended and likely to directly redestribute ownership of, claim on, rights to current farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and/or income, compared wtih likely situations wtihout the legislation”
Daftar Pustaka
Ribot, J.C., & N.L. Peluso (2003)
“A Theory of Access”, dalam Rural Sociology 68/2 : 153-170.
Michael Lipton, (2009)
"Land Reform in Developing Countries : Property Right and Property Wrongs, “Routledge, hal 328.
Referensi Internet :
http://mp3ei.info/ diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 20.00
http://ditjenbun.deptan.go.id/ diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 20.02
http://sawitwatch.or.id/ diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 20.05
http://www.agroasianews.com/commodities/palm-oil/11/11/14/oil-palm-firms-must-develop-plantations-local-community diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 21.30
http://www.wirantaprawira.net/bk/hutbk_5h.htm diakses pada 28 Oktober 2012, pukul 21.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar