Mentalitas
dan Keselamatan Penerbangan
The Sky is Vast But There is No Room for Error
-STPI Motto-
Dalam sebuah industri yang penuh resiko seperti industri
transportasi penerbangan, keselamatan merupakan modal utama dalam menjalankan
industri tersebut. Faktor keselamatan dalam industri transportasi penerbangan,
tentunya berkaitan dengan masalah regulasi yang sifatnya rigid dan presisi yang
berusaha untuk menutup celah kemungkinan kesalahan di dalamnya. Pengabaian akan
regulasi tersebut tentunya dapat berakibat fatal, mulai dari kesalahan teknis
ringan seperti kerusakan mesin, hingga pada kesalahan berat yang mengakibatkan
kematian dan atau korban jiwa.
Hal tersebut, yang tentunya
dapat diambil pelajarannya dari kejadian musibah hilangnya pesawat AirAsia QZ8501
tujuan Surabaya-Singapura yang hilang Minggu (28/12) pagi lalu. Mungkin terlalu
dini jika kita menyimpulkan penyebab utama (jatuh) hilangnya pesawat AirAsia QZ8501,
namun berdasarkan kabar yang berkembang di media tentunya kita sudah dapat
mengetahui bahwa ada beberapa pengabaian regulasi yang dilakukan dibalik
(jatuh) menghilangnya pesawat AirAsia QZ8501. Pertama, perlu diketahui bahwa
ternyata pesawat AirAsia tujuan Surabaya-Singapura tidak memiliki izin untuk
melakukan penerbangan pada hari Minggu.
Jika menengok izin yang diberikan oleh Dirjen Perhubungan
Udara Kemenhub dengan nomor AU.
008/30/6/DRJU.DAU.2014 tertanggal 24 Oktober 2014, seharusnya maskapai AirAsia
hanya dapat melakukan penerbangan pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu.
Lantas, siapakah yang memberikan izin pesawat AirAsia QZ8501 untuk terbang pada
hari Minggu pagi tersebut? Tentunya pelanggaran perizinan penerbangan merupakan
hal yang cukup serius terlepas terjadi kecelakan atau tidak kemudian. Kedua,
jika membahas secara spesifik mengenai hipotesis jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501,
kabar yang berkembang adalah pesawat AirAsia QZ8501 jatuh karena masalah cuaca
buruk. Bukan bermaksud untuk mengesampingkan ‘kuasa tuhan’, namun yang menjadi
pertanyaan adalah “apakah sang pilot telah sebelumnya mengetahui medan terbang
yang akan dilaluinya tengah mengalami cuaca buruk?”.
Dalam standar penerbangan
komersial secara umum (CASR), tentunya setiap pilot tahu bahwa ada prosedur bahwa
mereka harus terlebih dahulu mempelajari kondisi medan penerbangan yang akan
dilewatinya sebelum terbang. Jika mengacu pada CASR (Commercial Aviation Safety Regulations) nomor 91 dan 121, setiap
pilot sebelum terbang diharuskan mengetahui kondisi cuaca melalui forecasting dari BMKG dibawah arahan
dari FOO (Flight Operation Officer)
secara langsung. Dalam kasus AirAsia QZ8501, diketahui ternyata sang-pilot tidak
mendapatkan forecasting dari BMKG
secara langsung. Sang-pilot hanya mendapatkan petunjuk cuaca melalui informasi
yang di-download, tanpa adanya arahan
dari FOO secara langsung. Tentunya, kedua hal diatas kemudian dapat diduga
menjadi penyebab awal bencana yang meinmpa pesawat AirAsia QZ850.
Terlepas dari dua hal teknis diatas, sebagai orang awam dalam
hal penerbangan saya melihat ada hal yang lebih jauh dibandingkan pada hal-hal teknis tersebut, yakni
soal mentalitas. Mengutip Koentjaraningrat (1974), mentalitas sendiri merupakan totalitas produk akal dan nurani sehat manusia yang bernilai dan bermanfaat. Mentalitas juga berkaitan dengan
sikap kerja (ethos) yang mendasari bagaimana sebuah kebudayaan
memandang sebuah proses kerja dan hasil dari pekerjaan tersebut.Masih mengutip Koentjaraningrat (1974), menurutnya
bangsa Indonesia selain memiliki sikap-sikap
mentalitas yang positif namun juga memiliki sikap-sikap mentalitas negatif
seperti; suka meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan tanggungjawab yang
kokoh.
Sikap-sikap mentalitas bangsa Indonesia menurut Koentjaraningrat
(1974) diatas tentunya tidak dapat digeneralisir secara umum bagi seluruh
bangsa Indonesia, namun jika kita mengacu pada kejadian yang menimpa pesawat
AirAsia QZ8501, agaknya sikap mentalitas negatif diatas memiliki kaitan yang
cukup erat. Sikap maskapai AirAsia yang menerabas ‘jadwal’ penerbangan pada
hari Minggu mencerminkan dari sikap mentalitas negatif yang suka menerabas
aturan dan tidak bertanggungjawab. Sikap tidak mematuhi SOP mengenai forecasting BMKG dan direct advices dari FOO juga merupakan
tindakan yang memiliki mentalitas negatif yang meremehkan mutu dan tidak
memiliki disiplin murni.Sikap meremehkan mutu ini, bahkan bukan hanya
dilakukan oleh jajaran teknis maskapai saat kejadian namun juga oleh pihak
manajerial. Hal ini terlihat dari peristiwa ‘didampratnya’ salah satu Direktur
AirAsia oleh Menteri Perhubungan dalam sebuah inspeksi mendadak dan diketahui
bahwa ada anggapan bahwa mengambil informasi forecasting secara fisik dari BMKG merupakan hal yang sudah
‘tradisional’.
Dari sikap mentalitas negatif tersebut, tentunya kita perlu
berkontemplasi kembali mengenai mahalnya harga sebuah keselamatan dibalik
‘keuntungan’ yang ingin diraup dalam sebuah industri termasuk industri
penerbangan. Sikap dan orientasi yang menginginkan keuntungan besar tanpa
disertai dengan mentalitas kerja yang positif dapat meyebabkan bencana bahkan
hingga menimbulkan korban jiwa. Semoga kejadian ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua
bahwa pembangunan fisik tidak akan berarti jika tidak disertai dengan pembangunan
mentalitas insan-insan yang terlibat di dalamnya. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar