Minggu, 04 Januari 2015

Mentalitas dan Keselamatan Penerbangan

             Mentalitas dan Keselamatan Penerbangan

The Sky is Vast But There is No Room for Error
-STPI Motto-


 Dalam sebuah industri yang penuh resiko seperti industri transportasi penerbangan, keselamatan merupakan modal utama dalam menjalankan industri tersebut. Faktor keselamatan dalam industri transportasi penerbangan, tentunya berkaitan dengan masalah regulasi yang sifatnya rigid dan presisi yang berusaha untuk menutup celah kemungkinan kesalahan di dalamnya. Pengabaian akan regulasi tersebut tentunya dapat berakibat fatal, mulai dari kesalahan teknis ringan seperti kerusakan mesin, hingga pada kesalahan berat yang mengakibatkan kematian dan atau korban jiwa.

Hal tersebut, yang tentunya dapat diambil pelajarannya dari kejadian musibah hilangnya pesawat AirAsia QZ8501 tujuan Surabaya-Singapura yang hilang Minggu (28/12) pagi lalu. Mungkin terlalu dini jika kita menyimpulkan penyebab utama (jatuh) hilangnya pesawat AirAsia QZ8501, namun berdasarkan kabar yang berkembang di media tentunya kita sudah dapat mengetahui bahwa ada beberapa pengabaian regulasi yang dilakukan dibalik (jatuh) menghilangnya pesawat AirAsia QZ8501. Pertama, perlu diketahui bahwa ternyata pesawat AirAsia tujuan Surabaya-Singapura tidak memiliki izin untuk melakukan penerbangan pada hari Minggu. 

 Jika menengok izin yang diberikan oleh Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub dengan nomor  AU. 008/30/6/DRJU.DAU.2014 tertanggal 24 Oktober 2014, seharusnya maskapai AirAsia hanya dapat melakukan penerbangan pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Lantas, siapakah yang memberikan izin pesawat AirAsia QZ8501 untuk terbang pada hari Minggu pagi tersebut? Tentunya pelanggaran perizinan penerbangan merupakan hal yang cukup serius terlepas terjadi kecelakan atau tidak kemudian. Kedua, jika membahas secara spesifik mengenai hipotesis jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501, kabar yang berkembang adalah pesawat AirAsia QZ8501 jatuh karena masalah cuaca buruk. Bukan bermaksud untuk mengesampingkan ‘kuasa tuhan’, namun yang menjadi pertanyaan adalah “apakah sang pilot telah sebelumnya mengetahui medan terbang yang akan dilaluinya tengah mengalami cuaca buruk?”. 

Dalam standar penerbangan komersial secara umum (CASR), tentunya setiap pilot tahu bahwa ada prosedur bahwa mereka harus terlebih dahulu mempelajari kondisi medan penerbangan yang akan dilewatinya sebelum terbang. Jika mengacu pada CASR (Commercial Aviation Safety Regulations) nomor 91 dan 121, setiap pilot sebelum terbang diharuskan mengetahui kondisi cuaca melalui forecasting dari BMKG dibawah arahan dari FOO (Flight Operation Officer) secara langsung. Dalam kasus AirAsia QZ8501, diketahui ternyata sang-pilot tidak mendapatkan forecasting dari BMKG secara langsung. Sang-pilot hanya mendapatkan petunjuk cuaca melalui informasi yang di-download, tanpa adanya arahan dari FOO secara langsung. Tentunya, kedua hal diatas kemudian dapat diduga menjadi penyebab awal bencana yang meinmpa pesawat AirAsia QZ850. 

Terlepas dari dua hal teknis diatas, sebagai orang awam dalam hal penerbangan saya melihat ada hal yang lebih jauh dibandingkan pada hal-hal teknis tersebut, yakni soal mentalitas. Mengutip Koentjaraningrat (1974),  mentalitas sendiri merupakan totalitas produk akal dan nurani sehat manusia yang bernilai dan bermanfaat. Mentalitas juga berkaitan dengan sikap kerja (ethos) yang mendasari bagaimana sebuah kebudayaan memandang sebuah proses kerja dan hasil dari pekerjaan tersebut.Masih mengutip Koentjaraningrat (1974), menurutnya bangsa Indonesia selain memiliki sikap-sikap mentalitas yang positif namun juga memiliki sikap-sikap mentalitas negatif seperti; suka   meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin murni, dan suka mengabaikan   tanggungjawab yang kokoh.

Sikap-sikap mentalitas bangsa Indonesia menurut Koentjaraningrat (1974) diatas tentunya tidak dapat digeneralisir secara umum bagi seluruh bangsa Indonesia, namun jika kita mengacu pada kejadian yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501, agaknya sikap mentalitas negatif diatas memiliki kaitan yang cukup erat. Sikap maskapai AirAsia yang menerabas ‘jadwal’ penerbangan pada hari Minggu mencerminkan dari sikap mentalitas negatif yang suka menerabas aturan dan tidak bertanggungjawab. Sikap tidak mematuhi SOP mengenai forecasting BMKG dan direct advices dari FOO juga merupakan tindakan yang memiliki mentalitas negatif yang meremehkan mutu dan tidak memiliki disiplin murni.Sikap meremehkan mutu ini, bahkan bukan hanya dilakukan oleh jajaran teknis maskapai saat kejadian namun juga oleh pihak manajerial. Hal ini terlihat dari peristiwa ‘didampratnya’ salah satu Direktur AirAsia oleh Menteri Perhubungan dalam sebuah inspeksi mendadak dan diketahui bahwa ada anggapan bahwa mengambil informasi forecasting secara fisik dari BMKG merupakan hal yang sudah ‘tradisional’.

Dari sikap mentalitas negatif tersebut, tentunya kita perlu berkontemplasi kembali mengenai mahalnya harga sebuah keselamatan dibalik ‘keuntungan’ yang ingin diraup dalam sebuah industri termasuk industri penerbangan. Sikap dan orientasi yang menginginkan keuntungan besar tanpa disertai dengan mentalitas kerja yang positif dapat meyebabkan bencana bahkan hingga menimbulkan korban jiwa. Semoga kejadian ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pembangunan fisik tidak akan berarti jika tidak disertai dengan pembangunan mentalitas insan-insan yang terlibat di dalamnya. Semoga. 




  




                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar