Oleh : Achmad Fadillah
Mahasiswa Antropologi, FISIP UI
Mahasiswa Antropologi, FISIP UI
“Tantangan terbesar bagi sebuah kelompok mayoritas adalah menjaga toleransi, dan sebaliknya tantangan terbesar bagi sebuah kelompok minoritas adalah mempertahankan hak-haknya sebagai manusia untuk tetap ditegakan”
Konsep mayoritas dan minoritas saat ini kembali jadi soal. Warga Ahmadiyah, yang notabene adalah warga minoritas kembali mendapatkan perlakuan kekerasaan yang tidak manusiawi dari warga mayoritas, yang mengaku sebagai umat “islam”. Hal ini terjadi, dalam sebuah tragedi penyerangan dan kekerasaan yang terjadi di daerah Cikeusik, Kota Pandeglang, Provinsi Banten. Walaupun penulis sendiri adalah seorang yang beragama islam, dalam hemat penulis rasanya tidak fair jika seseorang yang mengaku beragama islam namun melakukan kekerasaan dan penyerangan yang tidak manusiawi seperti demikian dan agama apapun termasuk agama islam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan kekerasaan seperti demikian.
Aliran Ahmadiyah, walaupun ditetapkan sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan namun seharusnya kita harus tetap memperhatikan konteks HAM mereka, baik sebagai manusia dan sebagai warga negara minoritas. Tragedi kekerasaan dan penyerangan ini seakan-akan mengingatkan kita kembali, akan catatan hitam bangsa ini dalam sikap kekerasaan dan sikap intoleransi beragama yang dilakukan oleh negara atau oleh kaum mayoritas. Lihat saja data yang diungkapkan oleh Moderate Muslim Society, sebuah lembaga studi dan kajian komprehensif atas kehidupan sosial keagamaan di Indonesia pada tanggal 22 Desember lalu yang melaporkan bahwa pada tahun 2010 saja tercatat 81 kasus intoleransi beragama, separuhnya (49 kasus) terjadi di wilayah yang selama ini memang sering terdengar melalui media sebagai lokasi tindakan kekerasan berlatarbelakang agama yakni Provinsi Jawa Barat khususnya di Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan. Jumlah kasus ini meningkat dari “hanya” 11 kasus di tahun 2009 lalu. Masih menurut MMS melalui ketuanya menyatakan bahwa terdapat dua faktor kenapa eskalasi kekerasan tinggi di Jawa Barat yakni adanya pembiaran oleh negara, dan faktor kedua adalah rendahnya pendidikan toleransi beragama di provinsi ini (Kompas, 22 Desember 2010). Data tersebut, merupakan data yang cukup mencengangkan dan memprihatinkan bagi kita semua. Betapa mudahnya di negara yang mengaku bersemboyan Bhineka Tunggal Ika, atau berbeda - beda namun tetap satu, tindakan intoleransi dan kekerasan atas nama perbedaan sangat sering terjadi. Data tersebut juga diasumsikan dapat bertambah pula, jika melihat bahwa adanya peran negara dalam pembiaraan tindakan intoleransi dan kekerasaan didalamnya. Kebijakan negara yang gamang dalam mengambil sikap, diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan dan sikap intoleransi yang terjadi selama ini.
SKB 3 Menteri : Sebuah Api dalam Sekam
Seperti yang kita ketahui, hukum yang berlaku di negara kita adalah hukum positif. Segala tindakan dan aturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur didalamnya termasuk dalam kehidupan beragama. Agama sebagai sebuah kebutuhan rohani, disadari betul oleh para pendiri bangsa ini sebagai sebuah kebutuhan yang tidak dapat tertahankan dan dibatasi oleh apapun. Oleh karena itu, hal tersebut diimplementasikan dalam konstitusi UUD 1945 pasal 29 tentang kebebasan berkeyakinan dan beragama. Sudah barang hal yang wajar, isi Undang-Undang tersebut pula harus diinstrumentasikan pemerintah dalam menjaga kebebasaan tersebut tetap dalam koridornya. Koridor kebebasaan beragama disini berarti, kebebasaan itu tidak seenaknya yakni dengan tetap memperhatikan batasan-batasan kebebasan sehingga kerukunan antar umat beragama tetap terjaga.
Ajaran Ahmadiyah, yang inti ajarannya dianggap sesat dan menyesatkan sudah lama menjadi bahan perdebataan mengenai bagaimana cara penyikapannya dalam masyarakat. Menjadi sebuah polemik, ketika penyikapan tersebut diharapkan dapat mampu memuaskan semua pihak khusunya umat islam secara mayoritas dan warga ahmadiyah itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, dibutuhkan sebuah penengah dan juri yang mampu memberikan solusi konkrit akan keberadaan ajaran Ahmadiyah ini ditengah-tengah masyarakat. Harapan besar sebagai penengah dan juri akan polemik tersebut pada akhirnya dialamatkan pada negara sebagai “penanggung” amanat konstitusi. Negara, sebagai penanggung amanat konstitusi diharapkan mampu menengahi masalah Ahmadiyah tersebut. Namun ternyata harapan yang ada pada masyarakat untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah tidak terlalu banyak direalisasikan oleh negara. Negara seakan-akan gamang membuat keputusan, hal ini terbukti dari isi SKB 3 menteri yang isinya banyak yang multi tafsir atau ambigu. Sehingga bukannya menyelesaikan masalah, tetapi malah menimbulkan masalah baru yang rawan akan konflik. Hal ini juga diperparah dengan sosialisasi SKB 3 menteri yang sangat kurang dilakukan oleh negara, sehingga SKB 3 menteri tersebut banyak yang mentafsirkan secara sepihak sehingga seakan-akan melegitimasi dan memberikan ruang bagi golongan radikal untuk berbuat kekerasaan. Pemberian ruang bagi kaum radikal untuk berbuat kekerasaan, secara keras dapat diasumsikan lebih lanjut sebagai “genosida” yang secara halus “direstui” oleh negara. Menurut sebuah Lembaga Swadaya Pemerintah (LSM) yang bergerak dibidang pemeliharaan kerukunan antar umat beragama yakni, Karuna Center for Peacebuilding terdapat beberapa tingkatan intoleransi yakni; a) Restriction atau penolakan atas status dan akses terhadap suatu kelompok; b) De-humanization atau merendahkan kelompok agama lain; c) Opression atau pengabaian hak-hak sipil, politik, dan ekonomi; d) Act of Aggresion atau penyerangan secara fisik; dan e) Mass Violence atau pengorganisasian dalam skala besar untuk melakukan kekerasan massal (Zuhairi dalam Kompas 21 Desember 2010). Jika semua tingkatan itu sudah nyata-nyata terjadi maka level berikutnya adalah pembunuhan secara fisik pada kelompok atau orang yang tidak disukai untuk berada dalam suatu wilayah maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa “genosida” hanya menunggu waktu jika negara tetap tak melakukan apa-apa. Sebuah ironi yang sungguh menyesakkan di era demokrasi ini.
Pada akhirnya, semoga ketidakefektifan SKB 3 menteri dalam polemik dan bentrokan Ahmadiyah dimanapun itu seharusnya menjadi sebuah pelajaran bagi pemerintah atau negara untuk belajar dalam membuat kebijakan yang lebih win-win solution, tidak “impoten” dalam penerapannya sehingga pemerintah tidak lagi menyalakan api dalam sekam yang dapat menyulut pertikaian, dendam dan permusuhan yang tidak membawa manfaat apapun bagi kemajuan persatuan dan kerukanan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar