Senin, 04 Maret 2013


Mempertanyakan Normalitas?

I  grew up understanding something of the violence of gender norms: an uncle incarcerated for his anatomically anomalous body, deprived of family and friends, living out his days in an “institute” in the Kansas prairies; gay cousins forced to leave their homes because of their sexsuality, real and imagined; my own tempestuous coming out at the age of 16; and a subsequent adult landscape of lost jobs, lovers, and homes. All of this subjected me to strong and scarring condemnation but, luckily, did not prevent me from pursuing pleasure and insisting on a legitimating recognition for my sexsual life.” -Judith Butle-
Pendahuluan
Kata normal menjadi kata yang cukup berbahaya dalam mendefinisikan sesuatu. Kata itu begitu banal hingga saja kadang membuat  cemas dan ketakutan dalam penggunaannya. Normal, bisa berarti sebagai sebuah anugrah. Dan tidak normal, bisa menjadi sebuah musibah khususnya dalam berkehidupan bermasyarakat sebagai manusia. Kata “normal”, celakanya bukan hanya diterapkan oleh manusia dalam menilai perilaku seseorang dalam bermasyarakat, namun juga dalam melakukan kategorisasi-kategorisasi khususnya disini dalam menilai orientasi seksual, dimana relasi heteroseksual merupakan relasi yang dianggap normal, tepat dan beradab.Diluar itu adalah abnormal, tidak tepat, dan tidak beradab.
Pemahaman dalam melihat ketegorisasi itu kemudianlah yang menyebabkan manusia secara mudahnya untuk menilai bagaimana seseorang berprilaku dalam kerangka kategori “kelaminnya”. Bagaimana seorang “laki-laki” dan seorang “perempuan” harus bertindak, diatur-atur dan dibuat-buat oleh masyarakat dalam sebuah konsepsi yang dinamakan gender.
Kategori 
            Upaya yang harus dilakukan dalam mengeiliminir kekuasaan normalitas dalam kerangka kategori seksual dan gender, adalah dengan mempertanyakan dan membongkar kategorisasi-kategorisasi itu sendiri. Di dalam karyanya The Order of Things, Michel Foucault menjelaskan dengan kritis, bagaimana manusia mengandalkan hidupnya dengan adanya keteraturan serta kategorisasi. Kategorisasi tersebut menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang bisa diterima. Melalui aturan, ideologi, kebijakan, hingga nilai-nilai dalam masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan kategorisasi itu. Dalam mengeliminir hal tersebut, perlu adanya sikap yang lebih kritis dalam melihat dan memahami sepenuhnya apa sebenarnya yang menyebabkan kategori seks dan gender itu sendiri .
Apakah seks itu sendiri hanya sekedar ditentukan oleh kategori bentuk jenis kelamin?. Lalu bagaimana orang-orang yang memiliki penis namun juga memiliki rahim secara biologis. Apakah seks ditentukan dari kromosom seseorang?. Lantas, bagaimana kategori seksual seseorang yang berkromosom (XY), namun mengubah bentuk kelaminnya menjadi vagina. Kategori-kategori seks tersebut (laki-laki dan perempuan) , yang dianggap normal kemudian seakan menjadi begitu tidak jelas dan abu-abu ketika berhadapan dengan keadaan atau realita yang sebenarnya tentang seksualitas seseorang.
Ketika kategori-kategori seksualitas menjadi begitu kaburnya untuk dikategorikan pada seksualitas manusia, lantas bagaimana mungkin kategori gender yang didasarkan pula pada ketegori seksualitas bisa menjadi lebih jelas dibandingkan dengan kategori seksual itu sendiri. Apalagi, jika kita mempunyai pemahaman bahwa gender seseorang merupakan konstruksi dari lingkungan sosialnya, maka kategorisasi dari gender seseorang menjadi semakin begitu bias dan tidak jelas kategorisasinya. Mengutip kembali pernyataan Judith Butle bahwa,  gender adalah sesuatu yang konstan berubah karena gender merupakan pengucapan, sikap, diskursus yang dilakukan secara repetitif.  Kita pasti akan terus mencari definisi gender ke diri sendiri (gender trouble).

Penutup
Melalui pemaparan diatas, hendaknya kita kembali mengkritisi kembali apa yang disebut sebagai hal yang normal dan abnormal, khususnya dalam melihat kategori seksual dan gender seseorang. Kritisisasi akan ketegori dengan menghadapkanya pada konteks realitas, merupakan salah satu cara untuk mengiliminir kesalahan berfikir yang kerdil akan kategoriasasi yang begitu sempit akan masalah seksualitas dan gender pada diri manusia.

Referensi :
Caplan, P. 1997. The Social Construction of Sexuality. Bab Introduction, hal. 1-25.
 
Fausto-Sterling, A. 1993. ‘The Five Sexes: Why Male and Female are not enough’,
The Sciences 33 (2): 20-24
Foucault Michel.1990. The History of Sexuality, hlm 17. New York. Vintage.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar