Mempertanyakan Normalitas?
I grew up understanding something of the violence of gender norms: an
uncle incarcerated for his anatomically anomalous body, deprived of family and
friends, living out his days in an “institute” in the Kansas prairies; gay
cousins forced to leave their homes because of their sexsuality, real and imagined; my own tempestuous
coming out at the age of 16; and a subsequent
adult landscape of lost jobs, lovers, and homes. All of this subjected me to strong and scarring condemnation but,
luckily, did not prevent me from pursuing pleasure and insisting on a legitimating
recognition for my sexsual life.” -Judith Butle-
Pendahuluan
Kata
normal menjadi kata yang cukup berbahaya dalam mendefinisikan sesuatu. Kata itu
begitu banal hingga saja kadang membuat cemas dan ketakutan dalam penggunaannya.
Normal, bisa berarti sebagai sebuah anugrah. Dan tidak normal, bisa menjadi
sebuah musibah khususnya dalam berkehidupan bermasyarakat sebagai manusia. Kata
“normal”, celakanya bukan hanya diterapkan oleh manusia dalam menilai perilaku
seseorang dalam bermasyarakat, namun juga dalam melakukan
kategorisasi-kategorisasi khususnya disini dalam menilai orientasi seksual,
dimana relasi heteroseksual merupakan relasi yang dianggap normal, tepat dan
beradab.Diluar itu adalah abnormal, tidak tepat, dan tidak beradab.
Pemahaman
dalam melihat ketegorisasi itu kemudianlah yang menyebabkan manusia secara
mudahnya untuk menilai bagaimana seseorang berprilaku dalam kerangka kategori
“kelaminnya”. Bagaimana seorang “laki-laki” dan seorang “perempuan” harus
bertindak, diatur-atur dan dibuat-buat oleh masyarakat dalam sebuah konsepsi
yang dinamakan gender.
Kategori
Upaya yang harus dilakukan dalam
mengeiliminir kekuasaan normalitas dalam kerangka kategori seksual dan gender,
adalah dengan mempertanyakan dan membongkar kategorisasi-kategorisasi itu
sendiri. Di dalam karyanya The Order of Things, Michel Foucault menjelaskan dengan kritis,
bagaimana manusia mengandalkan hidupnya dengan adanya keteraturan serta
kategorisasi. Kategorisasi tersebut menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai
satu-satunya kebenaran yang bisa diterima. Melalui aturan, ideologi, kebijakan,
hingga nilai-nilai dalam masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan
kategorisasi itu. Dalam mengeliminir hal tersebut, perlu adanya sikap
yang lebih kritis dalam melihat dan memahami sepenuhnya apa sebenarnya yang
menyebabkan kategori seks dan gender itu sendiri .
Apakah
seks itu sendiri hanya sekedar ditentukan oleh kategori bentuk jenis kelamin?.
Lalu bagaimana orang-orang yang memiliki penis namun juga memiliki rahim secara
biologis. Apakah seks ditentukan dari kromosom seseorang?. Lantas, bagaimana
kategori seksual seseorang yang berkromosom (XY), namun mengubah bentuk kelaminnya
menjadi vagina. Kategori-kategori seks tersebut (laki-laki dan perempuan) ,
yang dianggap normal kemudian seakan menjadi begitu tidak jelas dan abu-abu
ketika berhadapan dengan keadaan atau realita yang sebenarnya tentang
seksualitas seseorang.
Ketika kategori-kategori seksualitas
menjadi begitu kaburnya untuk dikategorikan pada seksualitas manusia, lantas
bagaimana mungkin kategori gender yang didasarkan pula pada ketegori
seksualitas bisa menjadi lebih jelas dibandingkan dengan kategori seksual itu
sendiri. Apalagi, jika kita mempunyai pemahaman bahwa gender seseorang
merupakan konstruksi dari lingkungan sosialnya, maka kategorisasi dari gender
seseorang menjadi semakin begitu bias dan tidak jelas kategorisasinya. Mengutip
kembali pernyataan Judith Butle bahwa, gender adalah sesuatu yang konstan berubah karena gender
merupakan pengucapan, sikap, diskursus yang dilakukan secara repetitif. Kita pasti akan terus mencari definisi
gender ke diri sendiri (gender trouble).
Penutup
Melalui pemaparan diatas, hendaknya kita kembali mengkritisi
kembali apa yang disebut sebagai hal yang normal dan abnormal, khususnya dalam
melihat kategori seksual dan gender seseorang. Kritisisasi akan ketegori dengan
menghadapkanya pada konteks realitas, merupakan salah satu cara untuk
mengiliminir kesalahan berfikir yang kerdil akan kategoriasasi yang begitu
sempit akan masalah seksualitas dan gender pada diri manusia.
Referensi :
Caplan,
P. 1997. The Social Construction of Sexuality. Bab Introduction, hal.
1-25.
Fausto-Sterling,
A. 1993. ‘The Five Sexes: Why Male and Female are not enough’,
The Sciences 33 (2): 20-24
Foucault Michel.1990.
The History of Sexuality, hlm 17. New
York. Vintage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar