Universitas adalah tempat untuk memahirkan diri kita,
bukan saja di lapangan technical and managerial know how,
tetapi juga di lapangan mental, di lapangan cita-cita,
di lapangan ideologi, di lapangan pikiran.
Jangan sekali-kali universitas menjadi tempat perpecahan.
***
(Soekarno, Kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung, 1958).
Kutipan pidato Bung Karno diatas, dalam sebuah kuliah umum di Universitas Pajajaran, Bandung tahun 1958, sengaja saya kutip dalam awal tulisan saya ini. Kutipan pidato diatas, saya kutip sebab isinya yang visioner dan untuk mengingatkan kita kembali mengenai substansi fungsi dari Universitas atau kampus itu sendiri. Universitas atau kampus, yang saat ini hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu(transfer of knowledge), pada mulanya diharapkan mempunyai fungsi lebih yakni untuk menjadi “ladang” bagi para generasi muda untuk membentuk kepribadian, pemikiran, cita-cita, dan pandangan hidup atau ideologi, dimana penggemblengan tersebut untuk mendapatkan kader-kader terbaik bangsa yang nantinya akan menjadi pemimpin bagi bangsa ini sendiri.
Namun, yang terjadi sekarang malah sangat memprihatinkan. Kampus, yang diharapkan membentuk pemikiran (way of thinking) dan kepribadian (way of life)sekarang mempunyai kecenderungan yang sangat memprihatinkan.
Mahasiswa sekarang cenderung lebih individualis dan hedonis. Individualis, dimana mahasiswa kini hanya peduli pada dirinya sendiri, intinya ingin cepat lulus cepat bekerja, dan pergaulan kampus cenderung hanya digunakan sebagai ajang gaul, membuktikan eksistensi diri, sambil mencari pacar atau teman hidup. Ditambah dengan gaya hidup yang hedonis, demi menambah prestise akan pergaulan, dimana pesta, dugem(dunia gemerlap), rokok dan alkohol sudah menjadi hal yang biasa. Mahasiswa yang kritis, dan peduli terhadap bangsanya sudah menjadi barang langka, cenderung terlihat aneh, dan menjadi bahan olok-olokan, sebagai mahasiswa yang kurang kerjaan, gak gaul, dan kutu buku. Selain kondisi sosio-kultural yang demikian, pengkaderan akan calon pemimpin bangsa yang berkualitas makin dihambat dengan hambatan sistemik yang dilakukan oleh state atau negara pada rezim orde baru.
Rezim orde baru, menghambat secara sistemik proses kaderisasi politik, dan kepemimpinan bangsa sebagai salah satu upaya rezim orde baru untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Upaya yang mereka lakukan antara lain dengan membuat aturan seperti aturan normalisasi kehidupan kampus[1], atau biasa yang disebut dengan NKK. Dengan NKK tersebut, rezim orba berusaha untuk “mengkebiri” kekritisan pemikiran para intelektual muda, dimana setiap yang melanggar aturan baik dalam sebuah diskusi sekalipun akan ditangkap dan dikenakan tuduhan subversi, atau dapat pula dituduh sebagai antek-antek PKI.
Selain aturan NKK yang diberlakukan pada setiap universitas, rezim orba-pun ingin bermain aman atau istilahnya save play dengan tidak menyimpan “harimau-harimau” kritis intelektual dekat dengan pusat-pusat pemerintahan dan realitas sosial yang sebenarnya. Hasilnya, hampir semua Universitas yang dikenal “bertaring tajam”, pada pemerintah dijauhkan dari pusat-pusat pemerintahan dan realitas sosial yang sebenarnya. Dapat dilihat, Universitas Indonesia yang tadinya ada di Kota Jakarta (Cikini,Salemba), dipindahkan ke Kota Depok yang dulu masih ndeso.
Hal ini pula, dilakukan pada beberapa Universitas lainya seperti UNPAD (Dipati Ukur-Jatinagor), IPB (Pajajaran-Dramaga) dan kampus-kampus lainya di seluruh Indonesia. Dapat dilihat hasilnya dari fakta sejarah yang ada, orde baru berhasil melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun, tanpa lawan yang berarti. Sarjana-sarjana seolah dikembalikan pada fungsinya seperti zaman politik etis kolonial yakni disiapkan sebagai buruh pabrik, birokrat, dan teknokrat. Suatu hal yang sangat wajar, jika setelah rezim orde baru berhasil digulingkan pada tahun 1998, terjadi suatu krisis yang sangat besar. Krisis yang terjadi bukan hanya krisis pada sektor ekonomi,namun krisis juga terjadi dalam berbagai lini kehidupan bangsa, termasuk krisis pada segi kepemimpinan bangsa. Krisis tersebut masih berlangsung hingga saat ini.
Para pemimpin yang ada hingga saat ini, cenderung banyak yang lebih mengutamakan kepentingan pribadinya, coba saja lihat praktek korupsi yang terjadi di banyak instansi pemerintahan. Tindakan tersebut, adalah salah satu hasil dari pola pendidikan yang individualis, dan hedonis ketika semasa kuliah atau sekolah. Tidaklah heran jika melihat realita sosial tersebut, kita haruslah sadar bahwa kita butuh cara untuk mengatasi krisis kepemimpinan yang tengah terjadi.
Mahasiswa : Agent of Change, Moral Force, dan Iron Stock
Sejak masa kolonial etis Belanda dahulu, mahasiswa adalah merupakan kaum yang dianggap elit yang memiliki tingkat intelektual yang mumpuni dibandingkan dengan golongan atau lapisan masyarakat lainya. Tingkat intelektual mahasiswa, yang saat itu dianggap lebih oleh masyarakat membuat sebuah harapan akan kebermanfaatan dari tingkat intelektualitas tersebut sebagai suatu langkah yang nyata aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aplikasi nyata yang diharapkan masyarakat pada mahasiswa, nyatanya terpola menjadi beberapa peran sosial (social role), dan peran-peran mahasiswa pun memiliki peran yang kompleks dan menyeluruh sehingga dikelompokkan dalam tiga fungsi : agent of change, moral force and iron stock[2]. Dengan fungsi tersebut, tentu saja tidak dapat dipungkiri bagaimana besar peran yang dipikul oleh mahasiswa secara idealnya. Sikap kritis mahasiswa sering membuat sebuah perubahan besar dan membuat para pemimpin yang tidak berkompeten menjadi gerah dan cemas. Dan satu hal yang menjadi kebanggaan mahasiswa mahasiswa adalah semangat membara untuk melakukan sebuah perubahan.
Sebagai agen perubahan, mahasiswa bertindak bukan ibarat “superman” yang tampil dalam tayangan film, dimana “superman” tersebut dapat datang ke sebuah negeri lalu dengan gagahnya sang “superman” mengusir penjahat-penjahat yang merajalela dan dengan gagah pula sang “superman” pergi dari daerah tersebut diiringi tepuk tangan penduduk setempat.
Mahasiswa bukan hanya sekedar agen perubahan seperti pahlawan tersebut, mahasiswa sepantasnya menjadi agen pemberdayaan setelah perubahan yang berperan dalam pembangunan secara menyeluruh sebuah bangsa yang kemudian ditunjang dengan fungsi mahasiswa selanjutnya yaitu moral force, mahasiswa harus dapat menjadi alat kontrol; kontrol budaya, kontrol masyarakat, dan kontrol individu sehingga menutup celah-celah adanya penyimpangan dan kezaliman dalam masyarakat. Mahasiswa dituntunt bukan hanya sebagai pengamat dalam peran ini, namun mahasiswa juga dituntut sebagai pelaku dalam masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa merupakan bagian masyarakat.
Idealnya, mahasiswa menjadi panutan dalam masyarakat, berlandaskan dengan pengetahuannya, dengan tingkat pendidikannya, norma-norma yang berlaku disekitarnya, dan pola berfikirnya. Namun, kenyataan dilapangan berbeda dari yang diharapkan, mahasiswa cenderung hanya mendalami ilmu-ilmu teori di bangku perkuliahan dan sedikit sekali diantaranya yang berkontak dengan masyarakat, walaupun ada sebagian mahasiswa yang mulai melakukan pendekatan dengan masyarakat melalui program-program pengabdian masyarakat.
Peran terakhir yang dimiliki mahasiswa adalah sebagai Iron force. Yang dimaksud mahasiswa sebagai Iron force, adalah disini mahasiswa memiliki peran sebagai calon-calon pemimpin bangsa. Mahasiswa dituntut, harus siap untuk menjadi “tulang punggung” bagi ibu pertiwi, melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa, menegakan selalu sayap-sayap garuda pancasila, dan menjadi ujung tombak bagi perubahan positif kemajuan bangsa.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, mungkinkah mahasiswa dapat melakukan peran-peran kompleks yang dialamatkan kepadanya, atau mungkin tenggelam dalam, dan hilang idealismenya terseret arus sistem politik yang pragmatis.
Kampus : Sarana Kaderisasi Politik.
Jika merujuk pada fungsi kampus atau perguruan tinggi secara idealnya, kampus memiliki 3 fungsi utama yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat yang biasa disebut dengan tri dharma pendidikan[3]. Selain itu kampus secara idealnya merupakan tempat atau sarana bagi para mahasiswa untuk mengembangkan kemampuannya secara luas, baik kemampuan secara kognitif (hard skill),maupun kemampuan secara afektif(soft skill). Kemampuan kognitif disini, meliputi pengembangan atas kemampuan secara keilmuan (belajar-mengajar,penelitian),dan kemampuan afektif (sikap-karakter, organisasi, kemampuan sosial).
Seperti yang telah penulis bahas diatas, salah satu fungsi dari mahasiswa yakni sebagai iron stock, atau sebagai calon-calon pemimpin bangsa. Jika kita lihat korelasi antara fungsi iron stock pada mahasiswa, dengan fungsi ideal dari kampus itu sendiri, dapat kita tarik suatu benang merah bahwa, fungsi ideal kampus menjadi bertambah yakni sebagai tempat atau sarana bagi pembentukan dan medan arena “penggemblengan” para kader pemimpin bangsa.
Sebagai suatu tempat penggemblengan para kader pemimpin bangsa, kita sudah seharusnya mengembalikan fungsi kampus sebagai tempat yang sadar, faham atau “melek” akan politik. Berkebalikan dengan sikap yang dilakukan ketika zaman orde baru, dimana politik merupakan hal yang dianggap tabu bagi para mahasiswa, maka seharusnya saat ini kita melakukan repolitisasi di berbagai perguruan tinggi, sehingga minat,pengetahuan, dan partisipasi politik para mahasiswa sebagai kader pemimpin bangsa akan politik dapat bertambah. Mahasiswa diberikan pemahaman akan tanggung jawabnya akan masa depan bangsa, bahwa politik mahasiswa adalah politik moral dimana mahasiswa merupakan kepanjangan tangan, lidah, dan hati dari rakyat.
Politik yang selama ini mendapat “stigma” yang negatif, sebagai hal yang kotor, dan jahat, seharusnya dikembalikan lagi citranya sebagai suatu yang positif, dan dilihat sebagai suatu proses. Politik disini dilihat sebagai suatu proses akan sebuah penentuan kebijakan-kebijakan dan tujuan, bukan hanya sebagai suatu alat dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan semata.
Organisasi Kemahasiswaan Intra Kampus ≠ Afiliasi Partai Politik
Kampus sebagai bagian dari pendidikan berpolitik, sudah seharusnya dapat mengakomodir keinginan dari para mahasiswanya untuk melakukan partisipasi politik. Partisipasi politik yang dimaksud disini, merujuk pada pernyataan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif,terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. [4]
Organisasi kemahasiswan, jika merujuk dari pendapat Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson diatas, dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk usaha partisipasi politik yang bersifat kolektif dan terorganisir. Bila dilihat dari fungsinya, organisasi kemahasiswaan sebagai suatu bentuk partisipasi politik, juga memiliki banyak aspek positif yang yang dapat menjadi sarana pendidikan keterampilan kepemimpinan bernegara. Misalnya saja dalam sebuah perguruan tinggi, memiliki Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang menjalankan fungsi-fungsi eksekutif, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, atau Mahkamah Mahasiswa (MM) yang menjalankan fungsi-fungsi yudikatif.
Namun yang harus digaris bawahi saat ini adalah, berkembangnya suatu wacana akan kaderisasi politik yang pragmatis (selanjutnya disebut kaderisasi partai politik), pada tingkat kampus atau perguruan tinggi. Harus diketahui bersama sebelumnya , bahwa secara garis besar organisasi kemahasiswaan sebenarnya terbagi dalam dua jenis organisasi, yakni organisasi intra kampus, dan organisasi ekstra kampus. Organisasi intra kampus adalah organisasi mahasiswa, pada tingkat intern dan struktural kampus seperti BEM,DPM, dan MM seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus adalah organisasi kemahasiwaan yang bergerak pada tingkat ekstern dan diluar struktural kampus itu sendiri, yang biasanya terbentuk dan bergerak atas dasar kesamaan kepentingan pergerakan, dan kesamaan ideologis. Contoh dari organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti, PMKRI, HMI, GMNI, PMII.
Pergerakan yang dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, harus dapat dimaklumi bahwa ada beberapa kecendrungan kepentingan didalamnya, termasuk kepentingan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Partai politik, bahkan banyak yang dengan sengaja mendirikan organisasi-organisasi massa (sebagaionderbouw), yang melibatkan mahasiswa didalamnya[5]. Apa yang dilakukan oleh partai-partai politik dengan membuat organisasi-organisasi onderbouw atau yang berafiliasi dengan partai politik itu sendiri, pada tataran organisasi kemahasiswaan ekstra kampus merupakan hal yang sah-sah saja, dengan catatan selama tidak menggunakan fasilitas kampus yang notabene dibiayai oleh uang rakyat.
Yang menjadi fokus, dan perhatian saat ini adalah adanya kecendrungan dari beberapa partai politik untuk melakukan afiliasi, bahkan dapat disebut “menyusup”pada berbagai organisasi intra kampus. Sebut saja salah satu partai yang sangat sukses, “merasuk” dalam organisasi kemahasiswaan yakni Partai Keadilan Sejahtera[6]. PKS secara basis massa memang berangkat dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) sebuah gerakan mahasiswa revivalisme Islam yang kemudian menamakan diri mereka aktivis tarbiyah atau Jemaah Tarbiah.
Fenomena Lembaga Dakwah Kampus (LDK)dan PKS adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Basis massa PKS adalah (LDK) dan di sanalah PKS dilahirkan. Namun di sisi yang lain kehadiran PKS di kampus sering dipermasalahkan banyak orang, apakah ini adalah sebuah politisasi kampus? Padahal kampus adalah milik publik dibiayai oleh uang mahasiswa dan negara, yang harus disterilkan dari kepentingan individu, kelompok dan partai politik tertentu. Menjadi menarik untuk diketahui adalah bagaimana aktivis-aktivis PKS di kampus dan memposisikan diri mereka dalam merekrut kader dan tentu saja mencitrakan PKS di publik kampus dengan cara-cara yang elegan agar tidak dicap sebagai sebuah bentuk politisasi kampus.
Harus dilihat dan dicermati, bahwa fenomena merasukinya parpol secara pragmatis pada organisasi kemahasiswaan intra kampus merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Mengapa memprihatinkan? Karena jika fenomena kaderisasi parpol pada organisasi intra kampus ini terus dibiarkan, maka suatu hal yang sangat mungkin terjadi proses politisasi kampus secara pragmatis, perjuangan mahasiswa yang merupakan perjuangan moral menjadi berubah menjadi perjuangan kepentingan elit semata, dan akhirnya mahasiswa pun akan dikembalikan lagi pada proses pembodohan-pembodohan yang lebih halus untuk takluk pada kekuasaan elit politik seperti yang terjadi ketika zaman orde baru.
Mahasiswa sekarang seharusnya dapat sadar, bahwa mahasiswalah para calon kader pemimpin bangsa, dan kampus adalah tempat perjuangan bagi para mahasiswa, perjuangan akan harapan-harapan pemikiran,idealisme bangsa, dan sudah seharunya menghindarkan diri dari kepentingan para elit yang merusak cita-cita positif mahasiswa akan kemajuan bangsa, dan kepentingan rakyat.
HIDUP MAHASISWA!!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!!
[2]www. Khairulalfikri's.blogspot.com (diakses (diakses 14 -12-2010 Pukul 13.25)
[4] Samuel P Hutington dan Joan M.Nelson, No Easy Choice : Political Participation in Developing Countries(Chambridge, Mass : Harvard University Press, 1977),hlm 3
[5] Prof. Miriam Budiardjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik,ed ke-3(PT.Gramedia Pustaka Utama,2008),hlm 408
[6] www.Drs. Aman Toto Dwijono, M.H.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar