Etnis
Tionghoa Indonesia
Masih
Perlukah Dibedakan?
Oleh : Achmad Fadillah
Isu pembedaan atau diskriminasi etnis Tionghoa
menjadi tema yang kami angkat pada poster kami kali ini. Poster ini
menggambarkan 2 pasang wajah dari 2 orang yang berbeda yang menunjukan
bagaimana wajah secara harafiah etnis Tionghoa, dan membandingkannya dengan
wajah lain yang dianggap “sangat keindonesiaan”. Dalam poster ini kami ingin
memperlihatkan bagaimana perbandingan wajah yang sering dijadikan alasan
diskriminasi tak berdasar kepada warga keturunan etnis Tionghoa, memang
benar-benar tidak berdasar. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa seperti yang
telah kita ketahui sangat kental rasanya dilakukan ketika masa orde baru. Ketika rezim orde
baru, banyak kebijakan yang bersangut-paut dengan orang Indonesia keturunan Tionghoa
dikeluarkan.
Beberapa kebijakan yang perlu mendapat
penekanan di sini adalah: (1) pelarangan penggunaan bahasa Cina, (2) pelarangan
praktik budaya Cina di tempat umum, (3) himbauan untuk berganti nama, dan (4)
penutupan sekolah-sekolah Cina. Semua kebijakan tersebut dibuat adalah dalam
rangka asimilasi orang Cina sehingga akan terjadi “pembubaran” orang Tionghoa
sebagai kelompok dan penyerapan mereka ke dalam berbagai kelompok etnik pribumi.
Pemerintah orde baru, menyimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut telah
membuat orang Indonesia Tionghoa berupaya untuk lebih menjadi Indonesia dengan
kadar jati diri ketionghaan yang beragam yang sangat dipengaruhi oleh daerah
asal, keluarga dan agama. Walaupun demikian orang Tionghoa masih menghadapi
perlakuan diskriminasi sehari-hari meskipun mereka sudah berusaha melakukan
“peng-Indonesiaan diri”.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi ketika
rezim orde baru tidak berhenti pada upaya-upaya represif dari pemerintahan orde
baru dalam membuat aturan. Stereotip dan kerusuhan Anti Cina kerap terjadi ketika masa itu dengan
berbagai alasan dan kecurigaan yang lebih banyak tidak berdasar. Dari peristiwa bahwa etnis Tionghoa mulai dikejar dan
diasingkan semenjak peristiwa G-30S, kita bisa melihat bahwa etnis Tionghoa
dikaitkan dengan komunis. Cina dekat dan mendukung komunisme. Ini terjadi
karena dalam kenyataannya RRC memang sering mendukung partai-partai komunis di
beberapa negara Asia Tenggara. Pada zaman Soekarno menjadi Presiden, Soekarno
begitu dekat dengan partai komunis sehingga mengeluarkan gagasan NASAKOM.
Selain itu, Soekarno juga membangun poros Jakarta-Peking. Partai komunis itu
didukung oleh RRC. Maka, muncul pandangan bahwa etnis Tionghoa adalah komunis,
atau minimal dekat dengan komunisme. Di kalangan orang pribumi, berkembang
stereotip bahwa etnis Tionghoa adalah penguasa dalam bidang ekonomi. Etnis
Tionghoa dipersepsi sebagai kelompok yang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi
dan terpisah dari pribumi. Ini menimbulkan kecemburuan bagi para pengusaha
pribumi. Karena kecemburuan itu, para pengusaha pribumi mengusulkan pembatasan
terhadap kegiatan ekonomi etnis Tionghoa. Pemerintah kemudian juga mengeluarkan
keputusan atau larangan bagi etnis Tionghoa untuk bergerak dalam bidang
ekonomi. Pada persoalan agama, budaya, dan ada istiadat, pemerintah melihat
bahwa semua hal itu memiliki afinitas dengan tanah leluhur mereka. Karena RRC
mendukung komunisme, maka segala yang mengarah pada tanah leluhur yaitu Cina
adalah hal yang berbahaya bagi pembauran (asimilasi). Oleh karena itu, dapat
dilihat adanya berbagai macam peraturan yang isinya adalah melarang perkembangan
budaya, adat, dan agama Cina.
Dari segala tuduhan dan tudingan terhadap
warga etnis Tionghoa padahal nyatanya mayoritas merupakan tuduhan yang tidak
berdasar. Diskriminasi yang ada, hanyalah
bagian dari kecemburuan dan steriotipe yang tidak berdasar dan membabi buta
yang dilegitimasikan dan dikonstruksikan oleh rezim busuk yang berkuasa lebih
dari 32 tahun lamanya. Nyatanya seharusnya kita harus dapat membuka mata dan
melihat kenyataan secara objektif bahwa tidak semua yang dikatakan tentang
etnis Tionghoa itu benar adanya. Keindonesiaan, nasionalisme, dan loyalitas
kepada negarapun tidak dapat diukur dari wajah dan klasifikasi etnik-etnik
tertentu. Pada akhirnya, kami berharap dengan poster ini setidaknya kami dapat
mengambil sedikit bagian untuk menyuarakan penghapusan segala macam diskriminasi
rasial dan etnik yang ada, sehingga masyarakat Indonesia dapat menuju
masyarakat yang lebih “waras”, bukan hanya masyarakat yang berbasiskan
kemajemukan namun lebih menuju masyarakat yang toleran dan menghargai arti
sebuah perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar