Jumat, 13 Januari 2012

Masih Perlukah Dibedakan?


Etnis Tionghoa Indonesia
Masih Perlukah Dibedakan?
Oleh : Achmad Fadillah 






Isu pembedaan atau diskriminasi etnis Tionghoa menjadi tema yang kami angkat pada poster kami kali ini. Poster ini menggambarkan 2 pasang wajah dari 2 orang yang berbeda yang menunjukan bagaimana wajah secara harafiah etnis Tionghoa, dan membandingkannya dengan wajah lain yang dianggap “sangat keindonesiaan”. Dalam poster ini kami ingin memperlihatkan bagaimana perbandingan wajah yang sering dijadikan alasan diskriminasi tak berdasar kepada warga keturunan etnis Tionghoa, memang benar-benar tidak berdasar. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa seperti yang telah kita ketahui sangat kental rasanya dilakukan  ketika masa orde baru. Ketika rezim orde baru, banyak kebijakan yang bersangut-paut dengan orang Indonesia keturunan Tionghoa dikeluarkan.
Beberapa kebijakan yang perlu mendapat penekanan di sini adalah: (1) pelarangan penggunaan bahasa Cina, (2) pelarangan praktik budaya Cina di tempat umum, (3) himbauan untuk berganti nama, dan (4) penutupan sekolah-sekolah Cina. Semua kebijakan tersebut dibuat adalah dalam rangka asimilasi orang Cina sehingga akan terjadi “pembubaran” orang Tionghoa sebagai kelompok dan penyerapan mereka ke dalam berbagai kelompok etnik pribumi. Pemerintah orde baru, menyimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut telah membuat orang Indonesia Tionghoa berupaya untuk lebih menjadi Indonesia dengan kadar jati diri ketionghaan yang beragam yang sangat dipengaruhi oleh daerah asal, keluarga dan agama. Walaupun demikian orang Tionghoa masih menghadapi perlakuan diskriminasi sehari-hari meskipun mereka sudah berusaha melakukan “peng-Indonesiaan diri”.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi ketika rezim orde baru tidak berhenti pada upaya-upaya represif dari pemerintahan orde baru dalam membuat aturan. Stereotip dan kerusuhan Anti Cina kerap terjadi ketika masa itu dengan berbagai alasan dan kecurigaan yang lebih banyak tidak berdasar. Dari peristiwa bahwa etnis Tionghoa mulai dikejar dan diasingkan semenjak peristiwa G-30S, kita bisa melihat bahwa etnis Tionghoa dikaitkan dengan komunis. Cina dekat dan mendukung komunisme. Ini terjadi karena dalam kenyataannya RRC memang sering mendukung partai-partai komunis di beberapa negara Asia Tenggara. Pada zaman Soekarno menjadi Presiden, Soekarno begitu dekat dengan partai komunis sehingga mengeluarkan gagasan NASAKOM. Selain itu, Soekarno juga membangun poros Jakarta-Peking. Partai komunis itu didukung oleh RRC. Maka, muncul pandangan bahwa etnis Tionghoa adalah komunis, atau minimal dekat dengan komunisme. Di kalangan orang pribumi, berkembang stereotip bahwa etnis Tionghoa adalah penguasa dalam bidang ekonomi. Etnis Tionghoa dipersepsi sebagai kelompok yang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Ini menimbulkan kecemburuan bagi para pengusaha pribumi. Karena kecemburuan itu, para pengusaha pribumi mengusulkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomi etnis Tionghoa. Pemerintah kemudian juga mengeluarkan keputusan atau larangan bagi etnis Tionghoa untuk bergerak dalam bidang ekonomi. Pada persoalan agama, budaya, dan ada istiadat, pemerintah melihat bahwa semua hal itu memiliki afinitas dengan tanah leluhur mereka. Karena RRC mendukung komunisme, maka segala yang mengarah pada tanah leluhur yaitu Cina adalah hal yang berbahaya bagi pembauran (asimilasi). Oleh karena itu, dapat dilihat adanya berbagai macam peraturan yang isinya adalah melarang perkembangan budaya, adat, dan agama  Cina.
Dari segala tuduhan dan tudingan terhadap warga etnis Tionghoa padahal nyatanya mayoritas merupakan tuduhan yang tidak berdasar. Diskriminasi yang ada, hanyalah bagian dari kecemburuan dan steriotipe yang tidak berdasar dan membabi buta yang dilegitimasikan dan dikonstruksikan oleh rezim busuk yang berkuasa lebih dari 32 tahun lamanya. Nyatanya seharusnya kita harus dapat membuka mata dan melihat kenyataan secara objektif bahwa tidak semua yang dikatakan tentang etnis Tionghoa itu benar adanya. Keindonesiaan, nasionalisme, dan loyalitas kepada negarapun tidak dapat diukur dari wajah dan klasifikasi etnik-etnik tertentu. Pada akhirnya, kami berharap dengan poster ini setidaknya kami dapat mengambil sedikit bagian untuk menyuarakan penghapusan segala macam diskriminasi rasial dan etnik yang ada, sehingga masyarakat Indonesia dapat menuju masyarakat yang lebih “waras”, bukan hanya masyarakat yang berbasiskan kemajemukan namun lebih menuju masyarakat yang toleran dan menghargai arti sebuah perbedaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar