Keping Kenangan Elite Indonesia
Belum lama ini untuk menyambut 100 Tahun Kebangkitan Nasional (1908-2008) dicetak ulang buku terjemahan karya Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, studi langka yang membahas pembentukan dan kemunculan elite Indonesia. Sasterawan Ajip Rosidi sebagai pimpinan Pustaka Jaya yang menerbitkan buku itu dalam sebuah pertemuan bilang tujuannya: “menyediakan lorong waktu sebagai inspirasi dan aspirasi”. Dalam konteks itu bagaimanakah membaca buku ini di tengah hiruk pikuk Indonesia fenomena hilangnya pemimpin?
Salahsatu dosa besar dan warisan Orba yang tak tertangani, kata para pengamat, adalah meniadakan pembibitan pemimpin yang sehat dan wajar. Orba bergaya one man rule dengan rekayasa dan tekanan dalam mengkonsolidasi kekuasaan. Akibatnya bukan saja membatasi kebebasan berorganisasi serta berpendapat, tetapi juga menguatnya hegemony of meaning. Alhasil kalau pun ada tempat pembibitan pemimpin dari bawah, maka itu cuma buat mereka yang bersedia mengabdi belaka. Budaya kroni dengan kolusi, korupsi dan nepotisme pun merebak. Merajalelalah para (ABS) Asal Bapak Senang, abdi dalem Kraton Cendana. Pemimpin yang inspiratif pun tinggal kenangan.
Sekarang ini meskipun Orba sudah diganti semangat reformasi dengan gegap gempita demokrasi, ironisnya isu pemimpin inspiratif hanya ramai dan kuat di tingkat bawah,tetapi tidak popular serta sepi saja di tingkat atas. Dalam konteks itu santer suara di Indonesia kini yang keliatan memang cuma penguasa dan pembesar. Tiada pemimpin. Prilaku pemimpin tak nampak di tingkat atas. Hanya ada akrobat penguasa yang sibuk mengumbar syahwat politik untuk bisa tidur di ranjang kekuasaan bersama. Tapi di bawah suara rindu pemimpin justru menguat. Ada kesadaran ingin menemukan pemimpin sebagai kekuatan ispiratif dan pencerah di masa yang gawat.
Tapi siapakah pemimpin itu? Bagaimana pemimpin itu terbentuk dan muncul? Disinilah pentingnya karya Van Niel. Studi yang mengkhususkan diri pada elite Indonesia memang amat langka. Salahsatunya adalah The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1960) karya Robert van Niel. Sebuah keping kenangan yang penting ihwal munculnya elite baru dan pemimpin-pemimpin nasionalis dalam dunia kolonial Hindia Belanda awal abad ke-20. Van Niel bukan saja menelusuri akar-akar penyebab lahirnya elite modern pertama dalam sejarah Indonesia, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pola-pola tingkah laku (konflik-adaptasi) dan kebudayaan politik dalam artian orientasi serta tradisi politik yang menjelma menjadi “kebudayaan politik elite”. Bahkan manifestasinya diselami lebih jauh dalam percaturan politik yang diwarnai oleh perbedaan latarbelakang perbedaan orientasi itu.
Sebab itu karya Van Niel dapat menjadi mistar yang baik buat mengukur dan menilai tuntutan kehadiran pemimpin. Van Niel menyediakan pengukur sejati–bukan artifisial berdasar popularitas seperti buatan lembaga survey. Ia memberikan kacamata ideologis dan kultural yang historis ihwal pemimpin. Sebab sesungguhnya suara ingin pemimpin itu berakar pada ingatan kolektif yang terkait dengan identitas pemimpin atau elite yang membanggakan dalam sejarah.
Sejarah munculnya elite baru dan pemimpin nasionalis Indonesia mengakar dari sebuah zaman gelap. Menjelang wafat pada 1873, R.Ng. Ronggowarsito menulis Serat Kala Tida (Syair Zaman Kegelapan). Kemiskinan dan kemandekan memang citra Hindia saat itu. Tapi seperempat abad kemudian – ketika kolonialisme itu berpapasan dengan perobahan besar akibat semangat aufklarung atau pencerahan Eropa – biangkeladinya yaitu politik kolonial abad ke-19 yang rakus dan kejam dihujani kritik. Bahkan ethicus C.T. van Deventer pada 1899 mengingatkan Eereschuld (utang budi) dan perlunya “orang kulit putih menerangi kegelapan pribumi jajahan”. Setelah tahun 1900, politik etis diterima banyak kalangan sebab dari ragam tafsir satu saja definisinya: “kebijakan yang diarahkan untuk meletakkan seluruh kepulauan Hindia di bawah kekuasaan Belanda secara nyata, superioritas kulit putih dan untuk mengembangkan negeri dan bangsa di wilayah itu ke arah pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Negeri Belanda menurut model Barat.”
Arsitek kolonialisme Snouck Hurgronje pun bicara. Katanya, perluaslah sekolah untuk menanamkan “jiwa Eropa”, sehingga anak jajahan menumbuhkan diri sendiri, bermanfaat dan setia kepada Belanda. Sebab itu sejak 1900, ide ethicus diterima. Hoofden School, sekolah guru dan dokter Jawa, diperluas. Anak priyayi rendah pun bisa sekolah. Bergeraklah mesin cetak orang Hindia “berjiwa Eropa” yang dikiaskan Frant Fanon “peau noire, masques blancs” alias “kulit hitam, topeng putih”.
Ternyata hasil cetakan tak seragam. Politik Etis, kata Van Niel, memang berhasil mencetak “elite fungsional”, yaitu jelmaan-jelmaan yang siap meniru dan mengabdi demi menegakkan pikiran selamanya Belanda pengasuh Hindia. Tapi muncul juga “elite politik” atau figur politik modern yang tampak ngotot melawan wacana kolonial secara tertutup atau terbuka. Elite yang berlaku sebagai splendor varitatis, sosok yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan cahaya kebenaran.
Sebagaimana pengkaji Indonesia awal abad ke-20, Van Niel pun memakai frase cahaya. Sebab itulah yang mendominasi jiwa dan pikiran elite awal kebangkitan nasional. Lagi pula antara 1900-1925, bukan saja para tokoh utamanya yang mengambarkan pemikiran dengan kias bersifat terang, tapi juga banyak pers yang tumbuh mengiringi politik modern elite baru itu mengambil nama dengan mencomot kata matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya dan api. Semua kias ini adalah tanda-tanda yang lebih luas dari kebangkitan kembali dan regenerasi.
Para elite hadir dengan kias bersifat terang bukan saja simbol untuk menguatkan citra diri, tapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik dan perbedaan generasi. Wajar jika dalam publikasi elite di awal kebangkitan diwarnai teriak lantang paradok kata: muda/tua, maju/kolot dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, para elite sampai pada kesadaran fundamental akan perobahan. Alhasil 20 tahun awal abad ke-20 pergerakan Indonesia begitu dinamis, kaya ide yang diliputi sifat muda, maju dan sadar.
Muda tak hanya usia biologis para elite itu duapuluhan, bahkan belasan. Tapi juga pemikiran dan kejiwaannya yang diliputi spirit merombak struktur masyarakat lama untuk menciptakan suasana dan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat. Ini tercermin dalam polemik tahun 1914 antara pendiri Indische Partij (IP) dengan Noto Soeroto, motor ide Hindia terus di bawah Belanda. Juga polemik tahun 1918 antara Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai pimpinan terkemuka “nasionalisme Hindia” dengan Soetatmo Soerjokoesoemo, ketua Komite Nasionalisme Jawa.
Bayangan masyarakat baru memacu para elite bersikap maju. Nah, maju itu adalah hasrat menemukan kembali harkat diri. Tapi buat maju disadari ada kolonialisme dan feodalisme berdasar ras dan kelas. Tak ayal demokrasi pun dirasakan jadi bagian esensial hasrat buat maju. Sebab itu pada 1912 mencuat Sarekat Islam, ‘gerakan nationalistisch-demokratisch-ekonomisch’ ala ratu adil bermassa terbesar anti penindasan dan keangkuhan rasial. Pada 1918, segera meluas motto Mas Marco “sama rata sama rasa”. Berbareng hadir gerakan Djawa Dipa melawan keharusan tradisional yang hirarkis. Bagaimana bisa masuk “dunia maju” yang bertolak dari teori sosial yang egaliter dan demokratis jika tatanan tradisional yang hirarkis masih bercokol?
Akhirnya semua mesti dilakukan dengan sadar. Semula sadar berarti peralihan dari keadaan tertidur kepada rasa siuman. Persis kias sohor ethicus Belanda, “Si jelita yang tertidur telah terjaga”. Tapi, di awal abad ke-20, sadar meluas artinya. Kalau baca otobiografi Soetomo, Kenang-kenangan, sadar punya pengertian-pengertian yang saling berkaitan. Pertama “daya” yang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo–sahabat Soetomo–dijelaskan “menjadi motor pendorong”. Kala pemuda jadi motor pendorong perobahan, maka harus dijalani dengan ngurban. Ini kata Jawa dengan pegertian moral dan emosional yang dalam, berarti “bertindak tanpa pamrih”. Akhirnya sadar adalah “perubahan perangai” yang dirumuskan sebagai terus dalam suasana “memperlombakan diri berjaga dengan batin” dan “menerima [itu] sebagai kewajiban moril”.
Dalam konteks itu ada kesejajaran pemikiran Soetomo dengan Tjipto, sosok yang mengidentifikasi diri sebagai satria yang memenuhi panggilan moril berjuang melawan kebobrokan moril. Menurut Tjipto, dalam berjuang melawan kebejatan moril penjajahan Belanda dan priyayi feodal dihadang kesulitan, tapi semua itu kudu diterjang sebab cuma dengan begitu, maka tercipta ksatria dan dialah yang patut disebut “orang Hindia”. Dengan mengaitkan panggilan moril dan identifikasi sebagai “orang Hindia”, Tjipto telah menambahkan nilai yang menentukan dalam periode yang disebut “the decade of identities” yang dimulai sejak Abdul Rivai pada 1900 mempertanyakan, “siapakah kita?”. Bagi Tjipto pokok soalnya bukan identifikasi diri, tapi peningkatan harkat diri dan pengingkaran terhadap segala hal yang berlawanan dengan keadilan.
Van Niel menyimpulkan sukses para elite modern pertama itu terletak pada political will mereka sendiri dalam melembagakan nilai dan hasrat meraih kemanusiaan yang modern, maju dan progresif. Ada subjektivitas di sini tapi lahir dari panggilan yang universal. Melewati yang nafsi-nafsi. Demi kemaslahatan bersama. Dalam konteks itu pada mereka ada keberanian moral buat menunda datangnya imbalan dari jerih payah belajar dan menempuh jalan panjang penuh rintangan serta kesulitan.
Stovianen (siswa Stovia) adalah contoh terbaik atas apa yang terjadi itu. Stovia didirikan guna menciptakan “hamba sahaya” pelayan kepentingan tuan-tuan putih perkebunan di Sumatra Timur agar “mesin uang”-nya terus jalan sebab kesehatan buruhnya terjaga. Tapi siapa sangka jika ternyata dari sanalah muncul “hamba sahaya” yang tak membiarkan dirinya terbuai dalam keterpencilan kultural yang diciptakan dan dipelihara untuk menetralisir kenyataan akan kebangkrutan politik dan ekonomi tanah jajahan dan masyarakatnya. Sementara di sisi lain serba keterpurukan dan keterbelakangan itu, mereka lihat sukses peradaban dan kekuasaan Barat. Dalam suasana inilah pengetahuan akan “keterbelakangan masyarakat” menjadi dorongan untuk memasuki “dunia maju”. Membayanglah sebuah komunitas baru yang bebas dari segala yang menghambat jalan ke arah “kemajuan” dan betapa mendesaknya itu untuk diwujudkan. Maka lahirlah pemikiran ihwal “bangsa”.
Demi “bangsa” yang dibayangkan, para elite sebagai komunitas politik minoritas yang kreatif, dituntut menjadi ujung tombak gerakan. Otomatis mesti berperan antagonistis terhadap kolonialisme-feodalisme. Nyalalah gelora keberanian, militansi. “Jangan takut,” kata H.M. Misbach. “Rawe-rawe rantas malang-malang putung (hancurkan semua penghalang)” semboyan IP. Para elite itu pun terlihat liar dan memberontak, sebab mereka sadar setiap ide atau ideologi besar mesti diawali oleh gerakan protes atau gerakan sosial sebagai cara utama membongkar institusi-struktur lama dan membangun yang baru.
Kaum protagonis memiliki moral commitment untuk melakukan ide itu. Sebab itu mereka datang dengan fortiter in re atau kekuatan keyakinan bukan hitungan. Bertindak sebagai benteng moral, ketimbang pemburu kekuasaan. Alhasil politik adalah perjuangan bukan kepentingan. Dan cuma sebagai true believer sajalah nilai dan kewajiban itu dapat dijalankan, bila perlu dengan mengorbankan dirinya. Disinilah terletak nilai elite yang historis.
Adalah ironi besar nilai-nilai itu kini tinggal keping kenangan saja. Keping kenangan yang karatan dan rusak oleh iklim politik zaman gelap “Prabu Soeharto” yang rupanya masih melanjut dan menyediakan hawa bagus bagi elite-elite kekuasaan dekaden berbudaya kroni, bapakisme dengan kolusi, korupsi, nepotisme serta provitur, karbitan-dongkrakan yang tanpa pengetahuan dan wawasan luas serta moral.