Film dan Apresiasi
Sebelum membahas mengenai refleksi dan representasi masyarakat dalam film, kami akan membahas terlebih dahulu mengenai apa itu film itu sendiri. Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata cinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.
Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang.
Sejalan dengan perkembangan media penyimpan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan Pada media selluloid, analog maupun digital.
Menurut Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art of Watching Film[1] film seperti halnya seni lukis dan seni pahat, film dalam susunannya menggunakan susunan garis, warna, bentuk. Seperti drama, film melakukan komunikasi verbal melalui dialog. Selain itu film juga hamper sama dengan musik yang mana film berkomunikasi melalui citra dan lambing-lambang tertentu. Seperti juga pantomisme, dalam film berpusat pada gambar bergerak dan memiliki sifat-sifat ritmis.
Secara keseluruhan film merupakan perpaduan berbagai bentuk seni, seperti :
- Seni rupa. Film merupakan seni berttur dalam gambar, juga meliputi titling dan grafis. Termasuk sinematografi, seni pemotretan atau seni perekaman gambar bergerak.
- Seni peran atau seni pertunjukan, meliputi permainan pemeran
- Seni sastra, berupa monolog, dialog, narasi.
- Seni musik, berupa ilustrasi musik.
Dalam menikmati sebuah film, kita melakukan tahap-tahapan yang mencoba menilai film tersebut yang disebut dengan apresiasi film.Apresiasi secara harfiah berarti suatu penghargaan. Apresiasi film adalah sebuah cara dalam menilai sebuah film melalui proses melihat, menganalisis dan mengevaluasi. Ada juga yang mengatakan apresiasi adalah sebuah proses memahami, menikmati dan menghargai sebuah karya. Puncak dari apresiasi atau proses lanjut darinya adalah kritik film. Seorang kritikus film harus mempunyai kemampuan kritis, yaitu kemampuan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang seni.
Melakukan kegiatan analisa terhadap sebuah film tidak akan menghancurkan keindahan dan kemenarikan dari film tersebut. Walaupun pada masa awal film terdapat penolakan untuk menganalisa film oleh pihak tertentu, dengan alasan akan mengurangi rasa cinta terhadap objek yang dianalisa. Analisa yang dilakukan tidak perlu merusak rasa cinta kita kepada film, namun justru akan menguatkan dan bertahan. Oleh karenanya kegiatan menganalisa sebuah film kita
sebut sebagai apresiasi film. Berasal dari kata “apreciate” yang artinya memberikan penghargaan atau menghargai.
Salah satu keuntungan dari menganalisa film adalah kita dapat mengawetkan pengalaman yang diberikan sebuah film dalam fikiran kita sehingga dapat kita simpan lebih lama dalam ingatan. Selain itu kita juga mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang film tersebut. Jika kita sering melihat film dan menganalisanya maka kita akan lebih selektif dalam memilih film yang akan kita tonton dan kagumi. Kemampuan kita dalam menganalisa pun akan semakin meningkat dan tajam.
Film : Moral Value and Social Control!
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa film merupakan suatu bentuk dari representasi kehidupan nyata. Film menampilkan dan menghadirkan kembali apa yang kita alami, lihat, rasakan dan pikirkan (film fiksi). Jika merujuk dari pernyataan Light, Keller dan Calhoun (1989)[2], mereka mengemukakan bahwa media (termasuk film didalamnya), merupakan salah satu media dalam sosialisasi.
Sosialisasi disini berarti film memiliki peran yang penting sebagai penyampai nilai-nilai moral, dan norma pada masyarakat. Yang harus jadi perhatian adalah, apakah nilai-nilai dan norma yang disampaikan oleh sebuah film merupakan nilai-nilai, dan norma yang baik yang dapat mendorong terbentuknya karakter yang baik atau tidak, oleh karena itu selain peran film sebagai”penyampai pesan” moral, film juga dituntut memiliki peran yang lebih yakni peran sebagai agen kontrol sosial atau social kontrol.
Social control yang dilakukan oleh film kepada masyarakat, adalah bentuk stimulus dari penanaman nilai, dan pemikiran yang diaplikasikan dalam tayangan-tayangan film tersebut.Oleh karena itu ada baiknya, bagi para sineas jika ingin memperbaiki keadaan dan moral bangsa ini hendaknya membuat film yang memiliki moral value yang positif. Bukan hanya berkisar pada tema-tema horor, sex, atau komedi yanng terkesan porno.
Film Laskar Pelangi : Representasi Pendidikan Indonesia.
Film adaptasi novel best seller karya Andrea Hirata yang berjudul sama yakni laskar pelangi merupakan film yang sangat menarik. Film yang mengambil latar tahun 70an ini mengangkat tema mengenai kehidupan 10 anak asal belitong yang berjuang dalam kesederhanaan, dan keterbatasaan dalam memperjuangkan pendidikan. Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab kalau tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup. Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.
Lima tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan ke 10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka.
Film ini dipenuhi kisah tentang kalangan pinggiran, dan kisah perjuangan hidup menggapai mimpi yang mengharukan, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia, dengan latar belakang sebuah pulau yang indah.
Yang harus menjadi catatan adalah mengenai kisah para “laskar pelangi” yang memperjuangkan cita-cita dan pendidikannya. Hal ini merupakan potret kelam pendidikan bangsa Indonesia, lihat saja film laskar pelangi yang walaupun berkisah mengenai keaadan pendidikan tahun 70an, namun hingga saat ini belum ada peningkatan akan kualitas pendidikan yang berarti. Menurt data dari Badan Pusat Statisti (BPS)[3] Hingga akhir 2009 masih sekitar 8,7 juta atau 5,3 persen penduduk Indonesia di atas 15 tahun buta aksara. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berusia di atas 45 tahun. Data diatas menunjukan, bagaimana bangsa ini tidak berdaya menghadapi kebutaan huruf, padahal seperti yang sama-sama kita ketahui program belajar 9 tahun yang dahulu digelontorkan oleh pemerintah, namun kejelasan hasil program tersebut tidak jelas rimbanya entah kemana.
Untuk masalah anggaranpun tidak kalah memprihatinkan, amanat undang-undang yang mengamanatkan pemerintah untuk menganggarkan 20% APBN sebagai anggaran pendidikan hanyalah isapan jempol belaka. Padahal seperti yang kita ketahui, bahwa pendidikan adalah amanat undang-undang dasar 45, dan juga merupakan tujuan bangsa, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika hal tersebut tidak dilaksanaka, lantas apa yang menjadi tujuan bangsa sekarang? Kekuasaan, Uang, ah itu semua retorika belaka.
Kembali pada film laskar pelangi, pada intinya film itu seperti mengingatkan bangsa kita mengenai arti pendidikan, arti kepuasaan akan berfikir dan mendapatkan pengetahuan, dalam film ini pun kita akan diajak berfikir dan merenung betapa bodohnya kita yang saat ini mendapatkan pendidikan yang lain, malah membuatnya menjadi suatu hal yang sia-sia. .