Menatap Kembali Peradaban Kemaritiman Nusantara[1]
Kehadiran
peradaban nusantara sebagai sebuah entitas kebangsaan,tentunya tidak dapat
terlepas dari berbagai dinamika kesejarahaan yang ada. Dengan wilayah geografis
yang terdiri atas gugusan pulau-pulau, nusantara tentunya memiliki sejarah
kemaritiman yang cukup kompleks dan panjang yang konfigurasinya memiliki andil
besar dalam membentuk peradaban nusantara saat ini. Selama ini, sejarah kemaritiman
yang selalu didengung-dengungkan oleh penguasa dan dunia ‘barat’ hampir selalu
berkisar pada kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam mengarungi lautan
dan menaklukan kerajaan-kerajaan di negeri seberang. Dalam kacamata saya,
tentunya hal tersebut merupakan sebuah pandangan yang sangat simplistik dan
mereduksi sejarah lain sebagai sebuah kesatuan yang membentuk peradaban
kemaritiman nusantara hingga saat ini.
Kelemahan lain dari terlalu
didengung-dengungkannya sejarah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai barometer peradaban kemaritiman
nusantara yakni, membuat kita terlampau
silau terhadap masa lalu yang ada, hingga kita lupa pada akar masalah
sebenarnya yakni mengapa kerajaan-kerajaan tersebut jatuh dan hilang hingga
saat ini?Kebiasaan ‘memunggungi laut’[2],
semenjak kejatuhan Sriwijaya dan Majapahit seakan menjadi kebiasaan yang dibawa
oleh bangsa ini hingga saat ini. Persoalan kemaritiman menjadi proritas kesekian jika tidak
berkaitan dengan masalah kedaulatan dan dignity
bangsa di tengah-tengah pandangan dunia internasional. Persoalan yang mengemuka
saat ini seolah terulang jika kita menengok sejarah. Kita adalah ‘Sriwijaya dan
Majapahit’ yang mencoba untuk bangkit setelah sekian lama berpaling dari
luasnya lautan yang ada. Pertanyaannya, bagaimanakah caranya? dan dengan apakah
kita dapat bangkit? Dalam hemat saya jawabnya terletak pada satu hal:
kebudayaanDalam pandangan seorang bengawan antropologi
Koentjaraningrat (1979), kebudayaan bukan hanya sekedar kebiasaan atau
sifat-sifat tertentu melainkan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia yang didapatkan dengan cara belajar. Kebudayaan
mengajari diri manusia berprilaku dan bertindak dan dijadikan acuan (blueprint)dalam kehidupannya
bermasyarakat (Suparlan, 1994). Kebudayaan bersifat dinamis dan merupakan hasil
pergulatan sejarah secara diakronik antara masa kini dan masa
lampau.Karena kebudayaan merupakan hasil dari pergulatan sejarah yang diakronik antara masa
kini dan masa lampau, tentunya ada baiknya kita membahas terlebih dahulu
mengenai pergulatan sejarah masa lampau
peradaban maritim di nusantara dan berbagai macam dinamika didalamnya. Bukan
untuk bermaksud untuk bercerita mengenai sejarah yang pernah dipelajari di
bangku sekolah, namun untuk menemukan relevansinya secara diakronik dengan keadaan di masa kini mengapa peradaban kemaritiman
kita mengalami masa tilem atau
kemunduran.
***
Berbicara
mengenai sejarah peradaban maritim nusantara, kurang rasanya jika kita tidak
memulai dengan peradaban bangsa yang dikenal sebagai jawara di lautan yakni
bangsa Bugis-Makassar. Pelaut-pelaut Bugis-Makassar di masa lalu diakui pula
oleh sejarahwan Robert Dick-Read (2005: 88-105) sebagai pelaut yang memiliki
keahlian kemaritiman yang luar biasa, juga mempunyai reputasi sebagai pedagang
sukses dan jujur, prajurit yang setia dan jujur, berkepribadian dan berperilaku
baik, pemimpin yang baik, dan senang berpetualang. Salah satu deskripsi
mendetail tentang pelayaran para pelaut Bugis-Makassar termuat dalam catatan
dari Cornelis Speelman yang ditulis seusai Perang Makassar, yaitu pada tahun
1670 (dalam Poelinggomang at all). Dalam catatannya, Speelmen menuliskan
mengenai keunikan kehidupan maritim bangsa Bugis-Makassar dalam kerangka
Kerajaan Gowa-Tallo yang berdiri pada awal abad keempatbelas. Dalam sejarahnya,
kerajaan Gowa-Tallo pada mulanya merupakan sembilan komunitas, yang dikenal
dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi
pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata,
Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan,
komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa-Tallo. Cerita dari
pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi
tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya
Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya. Menurut catatan
Speelmen, Kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan maritim dengan pemerintahan
yang modern dengan dipimpin oleh dua orang; seorang raja dan seorang mangkubumi (semacam perdana menteri). Diraihnya zaman keemasan
Gowa-Tallo dengan pusatnya di Makassar sebagai kerajaaan maritim,sebenarnya
lebih pada peran dari seorang mangkubumi-nya bernama Karaeng Matoaya.
Karaeng
Matoaya dibantu oleh puteranya yakni Karaeng Patingaloang meskipun hanyalah
seorang mangkubumi
ketika masa pemerintahan Sultan Alaudin,namun
membuat banyak perubahan besar khususnya dalam bidang kemaritiman. Menurut
beberapa sumber, Karaeng Matoaya dan Karaeng Patingaloang dipercaya memiliki
kemampuan bahasa yang luar biasa. Mereka dapat menuturkan beberapa bahasa Eropa
seperti Latin, Portugis, dan Inggris secara fasih seperti penutur aslinya
(Cummings, 1999). Di samping kemampuan bahasa yang dimilikinya, Karaeng Matoaya
dan anaknya juga mengembangkan sistem kemaritiman kerajaan dengan berpijak pada
ilmu pengetahuan seperti astronomi dan matematika. Di samping itu, sebagai
kerajaan maritim, kerjaan Gowa-Tallo juga memiliki aturan-aturan baik aturan
dalam hubungan sosial maupun dalam kegiatan berniaga dan pelayaran. Dalam
hubungan sosial norma kehidupan masyarakat Gowa-Tallo diatur berdasarkan adat
dan agama Islam yang disebut pangadakang
yang berisi tentang siri (harga
diri), pace (perasaan sakit atas
penderitaan saudara sebangsa), dan sare (perbaikan
hidup ada di tangan sendiri) yang diatur dalam ade’ (adat istiadat), rapang (pengambilan
keputusan berdasarkan perbandingan), wari’ (sitem
protokoler kerajaan), bicara (sistem
hukum) dan sara’ (syariah Islam)
(Rahman, 2007). Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa-Tallo juga mengenal
pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan
bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan
rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah
yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata” (Cummings, 1999). Dalam
kegiatan berniaga dan pelayaran, kemajuan kerajaan Gowa-Tallo tidak terlepas
dari hukum niaga dan pelayaran yang diberlakukan saat itu yang disebut sebagai
hukum ade’ aloping loping bicaranna
pabbalue.
Meski
memiliki kemampuan kemaritiman dalam melakukan perdagangan, penaklukan, dan
diplomasi namun sayangnya ada wilayah vassal
di sekitar kerajaan Gowa-Tallo yang sangat sulit untuk ditaklukan secara utuh.
Wilayah tersebut adalah wilayah Bone.Sebagaimana kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan
Bone merupakan kerajaan yang terbentuk dari persekutuan beberapa negeri yang
dikenal sebagai persekutuan tujuh pada awal abad keempatbelas. Semenjak awal
terbentuknya, dua kerajaan ini (Bone dan Gowa-Tallo) memiliki hubungan
pasang-surut yang ditandai dengan perang dan diplomasi. Berulang kali pimpinan
kerajaan Bone berusaha untuk melakukan pemberontakan ke kerajaan Gowa-Tallo.
Pemberontakan yang dilakukan di samping karena persoalan politik, juga
disebabkan karena para pemimpin Bone merasa siri-nya
dilanggar oleh para pemimpin Gowa-Tallo. Salah satu tokoh Bone yang memimpin
gerakan pemberontakan terhadap Gowa-Tallo adalah Arupalakka. Menurut Lampe
(1995), Aruppalaka memimpin pemberontakan terhadap Gowa-Tallo sebanyak dua
kali. Pemberontakan pertama, terjadi sekitar tahun 1660 dan pemberontakan kedua
terjadi pada tahun 1666. Pada pemberontakan pertama, Arupalakka memberontak
dengan kekuatan sekitar 11.000 orang yang mayoritas berasal dari Soppeng dan
Bonne. Perang berlangsung cukup lama, hampir selama dua bulan. Pada Oktober
1660, pemberontakan Arupalakka dapat diredam. Arupalakka yang kalah kemudian
lari ke Buton, dan pada akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan dari VOC di
Batavia. VOC yang sudah sekian lama menginginkan kehancuran Gowa-Tallo
menyambut baik permohonan Arupalakka. Di bawah komando dari Cornelis Speelmen,
VOC dan tentara Arupalakka yang berasal dari Buton, Ternate, Tidore,
Bacan,Bone, dan Soppeng menggempur pertahanan pusat kerajaan Gowa-Tallo di
Benteng Somba Opu Makassar. Setelah satu tahun mengalami masa peperangan, pada
akhirnya Benteng Somba Opu pada tahun 1669 dapat direbut oleh pihak VOC dan
Arupalakka. Kerajaan Gowa-Tallo yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hasanudin
dipaksa untuk menandatangani perjanjian Bongaya, yang salah satu poinnya adalah
Kerajaan Gowa-Tallo harus melepaskan seluruh wilayah kekuasaannya di Sulawesi
dan daerah lain dan memberikan izin bagi VOC untuk mendirikan benteng di kota
dagang tersebut. Akibat dari ditandatanganinya perjanjian Bongaya, maka praktis
kerajaan Gowa-Tallo kehilangan kekuatan dan perlahan mundur dari panggung
sejarah.
Kisah
yang hampir sama juga menimpa kerjaan maritim lain dengan peradaban besarnya di
nusantara yakni kerajaan Banten. Kerajaan yang didirikan oleh anak dari Sunan
Gunung Jati yakni Maulana Hasanudin ini sempat menjadi kerajaan maritim besar
pada pertengahan abad ketujuhbelas. Banten mengalami masa kejayaaan sebagai
kerajaan maritim ketika masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Melalui
perdagangan lada, Banten menjadi kota pelabuhan yang penting khususnya di
wilayah Asia Tenggara. Menurut sejarahwan Anhony Reid (1992) dalam tulisannya Southeast Asia in the Age of
Commerce1450-1680,kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa banyak yang singgah
dan berdagang di Banten. Pada masa tersebut, bahkan menurut Reid (1992),
tercipta sebuah pola kapitalisme lokal baru yang meskipun memiliki ciri-ciri
yang mirip dengan kapitalisme di Eropa, namun memiliki ciri-ciri khusus seperti
masih kuatnya feodalisme dan hirarki sosial dengan raja sebagai jangkar sosial didalamnya. Pola
kapitalisme lokal baru ini pula, menurut Untoro (2008), diperkuat dengan
kemampuan Banten untuk mensinergisasi supply
komoditas dari daerah pedalaman, sehingga Banten bukan hanya tampil sebagai broker komoditas namun juga dapat mensupply produksi komoditasnya secara
mandiri.
Perjalanan
sejarah Banten sebagai kerajaan maritim mendapat tantanganya ketika mendapatkan
pergolakan dari dalam lingkungan istana sendiri. Sultan Ageng Tirtayasa
mendapat pemberontakan dari anaknya yakni Abdul Kahar atau yang lebih dikenal
sebagai Sultan Haji. Cerita awal mula pemberontakan Abdul Kahar, menurut Lubis
(2003: 52) dimulai ketika Sultan Ageng memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan
Banten dari Keraton Surosowan ke Keraton Tirtayasa. Dalam pemindahan tersebut,
Sultan Ageng merasa bahwa ini pula merupakan saat yang tepat untuk mengkader
puteranya yakni Abdul Kahar sebagai calon penerus Kerajaan Banten. Untuk
‘mendidik’ Abdul Kahar, Sultan Ageng lalu mengangkatnya sebagai putra mahkota
dan memberikan tanggung jawab lebih untuk menduduki Keraton Sorosowan sementara
Sultan Ageng pindah ke Keraton Tirtayasa. Pengangkatan Abud Kahar sebagai putra
mahkota sebenarnya memberikan dampak yang besar bagi Abdul Kahar, karena dengan
diberikannya gelar putra mahkota, Sultan Ageng harus senantiasa berkoordinasi
dengan Abdul Kahar dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Banten.
Kepindahan
Sultan Ageng ke Keraton Tirtayasa ternyata ditanggapi lain oleh pihak Belanda.
Pihak kompeni, merasa kepindahan Sultan Ageng merupakan sebuah kesempatan emas
untuk mendekati Abdul Kahar agar dapat berpihak pada Belanda. Strategi yang
dilakukan cukup berhasil. Pada setiap pertemuan dan upacara kerajaan, Belanda selalu
diundang oleh Abdul Kahar sebagai tamu kehormatan di Keraton Sorosowan.
Mendengar perilaku dari putra mahkotanya, Sultan Ageng sedikit meradang. Abdul
Kahar kemudian ‘dikirim’ oleh Sultan Ageng untuk menunaikan ibadah haji ke
tanah suci( karena itulah Abdul Kahar lebih dikenal sebagai Sultan Haji). Di
samping dikirim untuk memperbaiki perangainya, dikirimnya Abdul Kahar ke tanah
suci juga untuk ‘mempromosikan’ Kerajaan Banten di muka dunia, khususnya kepada
kerajaan-kerajaan (kesultanan) Islam di dunia. Selama keberangkatannya ke tanah
suci, Sultan Ageng lantas mengalihkan tugas-tugas Abdul Kahar sebagai putra
mahkota kepada adik dari Abdul Kahar yakni Pangeran Purbaya. Selama kepergian
Abdul Kahar, Pangeran Purbaya lantas memperbaiki pola hubungan antara Kerajaan
Banten dengan pihak Belanda. Pengeran Purbaya, lebih mnejaga jarak, dan
menegaskan ketidaksukaannya terhadap perilaku Belanda yang dinilai ingin melakukan
monopoli perdagangan di wilayah Banten.
Sepulangnya
Abdul Kahar dari tanah suci, Abdul Kahar lantas diberikan gelar sebagai Sultan
Haji dan kembali menjadi putra mahkota dengan kedudukan di Keraton Surosowan.
Kepulangan Sultan Haji tentunya memberikan angin segar tersendiri bagi Belanda
untuk kembali menjali hubungan dengan Kerajaan Banten. Pihak Belanda kemudian menghasut
Sultan Haji dengan mengatakan bahwa Sultan Haji tidak akan diberikan haknya
akan tahta karena akan dialihkan kepada adiknya yakni Pengeran Purbaya.
Mendengar hasutan tersebut, Sultan Haji lantas menyatakan perang kepada ayahnya
dan terjadilah perang antara Sultan Haji dan Sultan Ageng.Peperangan yang
terjadi, lantas memenangkan Sultan Haji yag dibantu oleh pihak Belanda.
Kemenangan Sultan Haji yang dibantu oleh Belanda ternyata hanyalah kemenangan
semu belaka. Sultan Haji yang sebelumnya telah dibutakan hasrat akan berkuasa
terpaksa harus menandatangani surat perjanjian yang sebelumnya disepakati
dengan Belanda. Belanda yang tadinya dianggap kawan menelikung menjadi lawan.
Kekuasaan yang didapatkan oleh Sultan Haji praktis menjadi kekuasaan yang semu
dan dirinya mendapati bahwa pengkhianatannya sia-sia dan hanya berujung menjadi
penyesalan baik terhadap ayahnya maupun rakyatnya.
Mundurnya
kerajaan-kerajaan maritim seperti Banten dan Gowa-Tallo diikuti dengan
Ternate-Tidore dan Demak membawa peradaban maritim nusantara jatuh di titik
nadir. Belanda dengan berbagai siasat yang dilakukannya,melakukan monopoli
perdagangan di berbagai tempat. Di samping melakukan monopoli perdagangan,
Belanda dengan sisatnya juga turut mencerabut berbagai pranata-pranata sosial
yang ikut melekat dalam sistem perniagaan dan pelayaran. Salah satu siasat
Belanda untuk mencerabut pranata sosial di kerajaan-kerajaan maritim yang
ditaklukannya adalah dengan cara menerapkan pelayaran hongi (keliling). Sistem pelayaran hongi, menyerabut berbagai aturan dengan cara menerapkan aturan-atura ketat dalam sistem
pelayaran yang
menempatkan nilai dan pranata kolonial dalam setiap aspek pelayaran.
Tercerabutnya berbagai nilai dan pranata pelayaran, tentu juga mencerabut
sebagian pengetahuan tentang pelayaran dan kemaritiman. Kita sudah tidak
mengenal lagi mengenai pembagian kerja di kapal mulai dari Nahkoda, jurmudi,
jurubantu, mualim, dan para mandor. Hilangnya pengetahuan-pengetahuan tersebut,
lambat laun membuat kita juga kehilangan pamor dalam dunia kemaritiman.
Konektifitas “bangsa” yang dahulu terhubung lewat laut lambat laun surut dan
padam. Lantas, menjadi pertanyaan kemudian adalah, jika saat ini kita sudah
telalu lama memunggungi laut dan ingin kembali menatapnya kembali, langkah apa
sajakah yang harus kita siapkan agar kita dapat mengembalikan identitas kemaritiman kita sebagai sebuah bangsa? Kiranya
dalam hemat saya ada beberapa langkah yang perlu untuk dilakukan. Pertama,
yakni mengembalikan kembali laut sebagai space
(ruang) yang memiliki konteks sosial-kultural di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat Indonesia perlu dan harus diberikan pemahaman bahwa laut bukan hanya
place(tempat) di mana keganasan ombak
dan dalamnya samudera itu hadir secara berbahaya, namun juga harus disadarkan
mengenai fungsi laut dalam menghadirkan konektifitas kebangsaan secara
fungsional. Misalnya saja sebagai sarana dalam transportasi dan juga memberikan
manfaat ekonomi bagi manusia-manusia Indonesia. Kedua, yakni menempatkan
kembali teks-teks kemaritiman dalam lembaga-lembaga pendidikan. Pengetahuan
soal maritim, perlu menghagemoni dalam ruang-ruang pendidikan baik di ruang
kelas maupun dalam kunjungan-kunjungan langsung di lapangan. Hegemonisasi
diskursus maritim dalam lembaga-lembaga pendidikan, harapannya dapat
meningkatkan pengetahuan dan kecintaan terhadap dunia maritim. Ketiga dan
terakhir adalah tindakan dan partisipasi kolaboratif. Saya pikir sudah terlalu
banyak teks rencana, masterplan, dan
wacana mengenai cara-cara membangkitkan dunia maritim Indonesia. Saat ini,
tinggal bagaimana berbagai “kemauan” tersebut diterjemahkan dalam “aksi” nyata
secara “bersama-sama”. Tentunya, hal tersebut bukan hanya tanggungjawab
pemerintah namun tanggungjawab kita semua.
[2] Merupakan terminologi yang digunakan Presiden Joko Widodo untuk
menggambarkan ketertiggalan bangsa Indonesia dalam bidang maritim.