Cinta Dalam Relasi Seksualitas dan Gender
Pendahuluan
Cinta
merupakan sebuah hal yang sulit diterjemahkan dalam sebuah definisi yang ajeg.
Cinta merupakan hal yang tidak terlihat, namun cara kerjanya kita ketahui
bersama sebagai sebuah dorongan yang kadang dapat membuat seseorang lupa diri,
termotivasi, bahkan hingga bunuh diri. Berbicara tentang cinta, berarti erat
kaitannya dengan rasa, dan ekspresi adalah bentuk pengungkapan dari rasa itu
sendiri.
Beberapa
filsuf, sebut saja Arthur Schopenhauer filosof yang tenar pasca masa kantian di
abad 17 mengatakan bahwa cinta merupakan hal yang tidak nyata dan hanyalah
merupakan “pemanis” bagi dorongan-dorongan ekspresi seksual semata. Mungkin apa
yang dikatakan Arthur ada benarnya, jika kita mengacu kembali pendapat Darwin
mengenai keberadaan manusia pada ribuan tahun silam yang sebelum berevolusi
seperti sekarang terus hidup berpindah-pindah dan berganti-ganti pasangan, dan
tidak mengenal yang namanya cinta yang ada hanya hubungan seksual yang terus di
ekspresikan.
Berbeda
dengan Arthur atau Darwin, para kaum romantik mungkin senang membesar-besarkan
apa itu cinta. Membesar-besarkan disini bukan berarti berusaha memahami makna
cinta dengan baik, namun hanya terjebak dalam romantika diri semata, bahwa
cinta
merupakan hal yang harus penuh dengan drama, penderitaan, dan sangat
menyiksa. Dalam tulisan ini, ada alasan saya ingin membahas mengenai cinta.
Terlepas dari kebenaran biologis mengenai asal mula cinta atau drama romantika
yang menyertainya, tulisan ini mencoba untuk mengkaji lebih dalam mengenai
hubungan antara cinta, seksualitas, dan gender manusia dalam kerangka berfikir
yang tidak lagi banal, namun berusaha memerdekakan sebagai hakikat dalam sebuah
kerangka kemanusiaan.
Tentang Cinta
Sebelum
membahas mengenai bagaimana relasi antara cinta dengan seksualitas dan gender.
Pembahasan pendahuluan yang ingin saya paparkan adalah mengenai cinta, esensi
dan asal dari cinta itu sendiri. Secara esensi, cinta memiliki begitu banyak
mistitisme yang melibatkan begitu banyak syair, melodrama, kisah penderitaan
tanpa ujung, dan romantika cerita yang selalu penuh harap jika kisah cinta yang
ada akan berakhir bahagia selama-lamanya. Pada kenyataannya cinta tidak selalu
berjalan demikian adanya. Cinta di dalam dunia yang nyata membutuhkan hal yang
nyata pula, dan kenyataan tersebut diproduksi melalui realitas yang berproses. Dalam
memandang esensi cinta yang berproses secara nyata, seringkali kita terbuai dan
terjegal kembali dengan mistitisme perasaan cinta yang penuh perasaan yang
intim. Pada satu sisi, secara objektif kita memang harus melihat dan
menempatkan cinta sebagai hal yang penuh dengan “perasaan-perasaan yang intim”,
namun dalam melihat objeknya sebagai sebuah proses kita harus dapat
melompatinya jauh lebih dari itu. Dalam buku Interpretation of Culture (1973), saya teringat mengenai definisi
yang sempat diajukan oleh Geertz dalam memandang religi.
Menurutnya,
religi merupakan sebuah sistem simbol yang dapat membangkitkan moods, emotion, and motivation. Lantas
apa hubunganya dengan cinta?. Jika kita bisa lebih kritis lagi, sekilas
definisi religi yang ditawarkan oleh Geertz dapat dipersamakan dengan cara
kerja cinta sebagai sebuah proses. Cinta hadir dalam bentuk-bentuk simbolis
baik dalam bentuk fisik, kebendaan, atau simbolisme lain yang kemudian dapat
menimbulkan perasaan-perasaan yang hampir sama dengan religi. Cinta juga
membuat seseorang berubah dengan drastis perasaanya (moods), memiliki emosi yang kuat pada objek cinta atau segala hal
yang berhubungan dengan objek tersebut, serta selalu menimbulkan motivasi bagi
seseorang yang sedang jatuh didalam baik itu motivasi yang negatif ataupun yang
positif.
Memandang
cinta dalam proses, selain melihat bagaimana kedudukan cinta itu sendiri
sebagai sebuah objek yang abstrak cinta juga dapat dipandang sebagai hal yang
biologis dengan mengesampingkan faktor-faktor emotif seperti yang telah dibahas
sebelumnya. Antropolog Helen Fisher, merupakan salah satu orang yang dengan
tegas dan meyakinkan menyangkal bahwa cinta merupakan hal yang berhubungan
dengan faktor-faktor emotif atau perasaan. Menurutnya, cinta lebih pada hal
yang berhubungan dengan hal yang biologis seperti dorongan untuk minum atau makan.
Dorongan
biologis itu juga diproduksi oleh otak manusia. Menurut Helen, bahwa otak kita
telah berevolusi menjadi tiga sistem besar, yang pertama adalah bagian otak
yang berhubungan dengan dorongan seksual, bagian kedua adalah otak yang
berhubungan dengan infatuasi, fantasi atau kemabukan, serta yang ketiga adalah
yang berkaitan dengan kemampuan kita untuk berada dalam suatu ikatan yang
menyangkut toleransi, dan rasa aman. Tiga sistem otak ini dikatakan oleh Fisher
tidak hanya terjadi pada manusia, tetapi juga beberapa hewan mamalia, itulah
mengapa ia menyebutkan sebagai tiga sistem besar dari otak mamalia.
Melalui
pemaham ini dapat dijelaskan bahwa ketiga bagian otak manusia tersebut juga
menghasilkan zat kimia yang berbeda-beda juga bagi tubuh. Bagi yang menganggap
bahwa cinta merupakan aktifitas seksual semata maka akan lebih sering
menggunakan otak yang pertama yang menghasilkan testosteron, sedangkan untuk
orang yang menganggap bahwa cinta merupakan kesetiaan, komitmen dan integritas
maka akan menggunakan otak bagian ketiga yang memproduksi endofirm, dan tengah
atau bagain kedua dianggap sebagai otak yang paling menarik dalam relasinya
dengan cinta. Otak tengah ternyata menghasilkan zat yang bernama dophamin. Zat
ini merupakan zat yang menyebabkan manusia begitu adiktif dan kuat menanggung
penderitaan yang diakibatkan oleh cinta.
Tentang Tubuh
Pembahasan
pertama yang akan saya ajukan mengenai konteks hubungan antara cinta, relasinyanya
dengan gender dan seksualitas adalah mengenai tubuh. Tubuh, dalam konteks cinta
dan hubungannya terhadap relasi gender dan seksualitas dapat dipahami sebagai
wadah atau “alat” dalam menghadapi realitas kemanusiaan. Setidaknya, ada dua
pandangan mengenai padangan tersebut. Pandangan pertama dalam filsafat
Descartian misalnya, tubuh dilihat sebagai jembatan perantara dari kesadaran
manusia Sedangkan dalam pendapat lain Mearleu-Ponty berpendapat sebaliknya,
tubuh adalah ikhtisar manusia dalam menyerap dunia. Hanya oleh tubuhlah manusia
dapat tahu apa itu dunia sebenarnya. Lewat tubuh manusia mencerap dunianya dan
menciptakan persepsi atas dunia tersebut (Merleau-Ponty,1962)
Perdebatan
mengenai pandangan antara tubuh yang mengkontruksi atau dikonstruksi sendiri
merupakan perdebatan tiada akhir dalam paradigma seksualitas. Perdebatan
tersebut yakni dalam paradigma kontruksionisme
dan esensialisme. Kedua paradigma ini memberikan pandangan yang berbeda
mengenai bagaimana seksualitas (lalu kemudian gender) harus dilihat dan
disikapi. Disatu sisi, esensialisme memiliki anggapan bahwa seksualitas dan
gender merupakan hal yang ajeg, taken for
granted, dan bersifat apriori secara biologis. Sedangkan, paradigma
kontruksionisme menganggap bahwa seksualitas merupakan persoal “bentukan secara
sosial”hasil dari ekternalisasi diri manusia yang kemudian terjebak dalam
eksternalisasinya tersebut.
Pandangan esensialisme sendiri, begitu mendapatkan
tempat kemudian bagi para pemikir biologis. Lihat saja tulisan Lorber dalam Believing is Seeing : Biology as Ideology
(2004), dalam tulisan tersebut dibahas mengenai bagaimana seksualitas
dilihat sebagai hal yang biologis. Seksualitas menjadi begitu rigid, alami yang
didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan biologis ilmuan bahwa manusia ada dan
lahir dibedakan menjadi dua kromoson secara biner, yakni kromosom xxx
(perempuan) dan xxy (laki-laki).
Pengetahuan yang secara biologis tersebut, selain
membuat kategorisasi lelaki dan perempuan juga turut peran serta dalam
membentuk “mitos-mitos” yang kemudian di konstruksi dalam masyarakat.
Perempuan, selalu diibaratkan sebagai pihak yang lemah, inferior, dan selalu
pasrah mengalah untuk menunggu sang pangeran “sperma” menghampirinya.
Sedangkan,
laki-laki atas dasar pengetahuan biologis yang diterimanya selalu merasa diri
sebagai hal yang superior, aktif,
yang selalu akan bertindak untuk mencapai sang “ratu ovum” untuk dibuahi. Berangkat kemudian pada paradigma tersebut,
kemudian lahirlah paradigma lain yang merupakan antitesis dari pemikiran
esensialis biologis tersebut yakni paradigma kontruksionisme sosial. Paradigma
ini mencoba untuk mendekonstruksi anggapan-anggapan biologis yang dianggap
ilmiah dan menjadi sumber pengetahuan yang lalu kekuasaan dalam masyarakat,
terhadap pembentukan “mitos-mitos” yang dianggap rigid dalam masyarakat tentang
seksualitas.
Kaitan antara dua paradigma tersebut dalam memandang
hubungan antara cinta dan relasi dengan gender dan seksualitas adalah
memberikan pemahaman bahwa cinta sendiri tidak akan pernah lepas dari konteks
ketubuhan yang merefleksikan realitasnya. Cinta menjadi hal yang problematik
kemudian dalam relasinya memahami sumbernya sebagai hal yang esensial, atau
konstruktifis dari konteks ketubuhannya.
Cinta,
Tubuh, dan Kenikmatan
Berbicara mengenai cinta dan konteks ketubuhan baik
secara esensial maupun secara konstruktifis, rasanya tidak dapat dilepaskan
dengan hal yang berhubungan dengan kenikmatan atau pleasure. Jika kita menilik lebih dalam, kaitan antara ketubuhan,
dan seksualitas ini sendiri sebenarnya sudah cukup banyak dibahas dalam
diskursus mengenai cara memandang kebenaran seksualitas dalam perspektif
dikotomis barat dan timur.
Dalam masyarakat barat, seksualitas dipandang
sebagai sebuah hal yang ilmiah (scientia
sexualis), sedangkan pada masyarakat timur seksualitas dipandang sebagai hal
yang lebih mementingkan unsur kenikmatan, “sex
by pleasure” (ars erotica) . Perbedaan cara pandang dalam memandang kebenaran
dalam seksualitas ini berdampak pula pada perbedaan dalam memandang hakikat kenikmatan dalam hal hubungan seksual
atau bercinta.
Dalam
konteks kenikmatan ini, marilah kita bersama-sama menengok apa yang disajikan
masyarakat barat soal empirisme seksualitas, cinta dan kenikmatan melalui karya
Michel Foucault yakni Use of Pleasure (merupakan
bagian volume kedua dari karyanya History
of Sexuality). Dalam karyanya tersebut, Foucault menyoroti tentang
bagaimana masyarakat barat melihat kenikmatan yang dihasilkan dari tubuh
manusia dengan dua cara yang berbeda secara garis besar. Cara pertama adalah
dengan melalui perspektif kaum kristiani, dan perspektif kedua adalah
menggunakan cara kaum pagan.
Dalam perspektif kaum kristiani, kenikmatan yang
dihasilkan oleh tubuh manusia lebih pada simbolisme evil atau iblis, simbol dari hal-hal yang berdosa, juga sebagai
sumber dari peyebab dosa. Sedangkan dalam perspektif kaum pagan, tubuh dan
kenikmatan lebih dilihat sebagai hal yang dangkal. Bahkan jika boleh mengutip
apa yang dikatakan oleh Plato, dia berkata bahwa tubuh tidak lebih dari imitasi
yang imitan. Plato juga berkata bahwa tubuh dan kenikmatan didalamnya merupakan
penjara jiwa, jadi untuk membebaskan jiwa kita harus lepas dari faktor
ketubuhan dan kenikmatan yang menyertai tubuh tersebut.
Pada perkembangannya kemudian Foucault dalam
karyanya yang berbeda yakni History of Sexuality (1990) memaparkan mengenai perkembangan seksualitas
masyarakat Eropa ada abad ke 17. Pada masa itu, kenikmatan akan cinta,
seksualitas merupakan hal yang tabu dan dikekang dimana-mana. Pengekangan akan
kenikmatan cinta dan seksualitas ini berdasarkan diskursus yang diciptakan oleh
pihak penguasa yang menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari gereja melalui
mekanisme confession, meskipun
menurut Foucault pada masa itu terjadi banyak kemunafikan terhadap hal
tersebut. Para penguasa dan gereja seakan hipokirt terhadap apa yang mereka lakukan.
Pertemuan relasi unsur antara pengetahuan dan kekuasaan yang menghasilkan
diskursus, kemudian secara nyata melakukan represi bagi kebebasan ekspresi
cinta yakni kenikmatan dan seksualitas. Represi-represi akan kenikmatan itulah
yang kemudian menyebabkan seksualitas menjadi hal yang begitu rigid, dingin,
dan mekanis pada masyarakat barat, yang kemudian disebut oleh Foucault sebagai Scientia Sexualis.
Berbeda dengan masyarakat barat yang mengutamakan scientia sexualis dalam pandanganya
terhadap tubuh dan kenikmatan, masyarakat timur lebih mengutamakan unsur ars erotica atau unsur rasa dalam
memandang tubuh dan kenikmatan yang terkandung didalamnya. Pemikiran yang
mengungkapkan mengenai bagaimana cinta, kenikmatan, dan rasa bersatu padu dalam
pandangan masyarakat timur, setidaknya dapat digambarkan dalam salah satu
filsafat pemikiran timur yakni kamasutra.
Kamasutra, secara etmiologis terdiri dari dua kata
yakni kama yang berarti cinta, gairah
dan sutra yang berarti ajaran.
Pemikiran kamasutra sendiri, bersumber pada mitologi agama hindu mengenai kisah
Dewa Kama dan Dewa Siwa. Alkisah, dalam sebuah masa diceritakan bahwa dunia
dewata sedang mengalami masalah karena permusuhannya dengan seorang rasaksa
yang sakti didunia. Dewa Brahma, pada saat itu mengutus Dewa Kama untuk membuat
Dewa Siwa yang sedang bermeditasi jatuh cinta pada seorang wanita manusia yang
merupakan reinkarnasi dari Dewi Laksmi.
Tujuan dari Dewa Brahma membuat Dewa Siwa jatuh
cinta adalah agar Dewa Siwa mau menikahi reinkarnasi Dewi Laksmi, yang
diharapkan nantinya anaknya yang berwujud setengah dewa-manusia yang mampu
memusnahkan raksasa sakti yang membuat keonaran di dunia. Untuk melaksanakan
tugasnya, maka Dewa Kama datang ke tempat bersemedi Dewa Siwa, dan dari
semak-semak memanahkan pusaka panah cintanya ke arah Dewa Siwa.
Setelah
terkena panah, Dewa Siwa pun terbangun dari semedinya, dan menemukan wanita
cantik reinkarnasi Dewi Laksmi dihadapanya. Karena sudah terkena panah cinta
oleh Dewa Kama, Dewa Siwa bereaksi atas panah tersebut, ada hasrat,
ketertarikan yang muncul dari Dewa Siwa kepada gadis reinkarnasi Dewi Laksmi.
Nasib baik sayangnya tidak berpihak pada Dewa Kama. Dewa Siwa yang sakti
ternyata menyadari dirinya “dipanah cinta” oleh Dewa Kama.
Akan perlakuan tersebut, Dewa Siwa sangat
marah dan mengutuk Dewa Kama menjadi abu hilang tak berbentuk. Dari kisah
mitologi tersebut mengandung nilai bahwa dalam filsafat timur, khususnya dalam
pemikiran hindu cinta dan kenikmatan itu merupakan hal yang tidak berbentuk
(seperti wujud Dewa Kama yang menghilang). Meskipun tidak berbentuk, namun
manusia dengan perasannya pasti akan tahu bagaimana mekanisme kerjanya cinta.
Selain terkandung dalam mitologi, cinta sendiri menempati posisi khusus dalam
pemikiran hindu mengenai tujuan dan filosofi hidup. Dalam veda sebagai teks
suci umat hindu sendiri dikenal dengan yang namanya Catur Purusarthas.
Catur
Purusarthas, atau empat tujuan hidup merupakan pandangan yang mengidealkan
tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari pertama, Dharma
atau kebaikan, kedua adalah Artha atau kesejahteraan materiil, ketiga adalah
Kama, yaitu cinta dan kepuasan indrawiah dan yang terakhir adalah Moksha, atau
pembebasan diri menuju Tuhan.Dari
Catur Purusathas, dapat dilihat bahwa moksa atau pembebasan diri terhadap tuhan
lebih baik dibandingkan dengan kama atau cinta. Hal tersebut dapat diartikan
posisi cinta dan kenikmatan tubuh dalam pemikiran timur khususnya teks hindu memiliki
acuan terhadap kebahagiaan yang sifatnya transedental, dan luhur. Dalam
perkembangnya, konsepsi kamasutra ini kemudian diadopsi oleh Foucault sebagai
teori ars erotica
Menguggat “Normalitas” Cinta
Kata normal menjadi kata yang cukup berbahaya dalam mendefinisikan sesuatu.
Kata itu begitu banal hingga saja kadang membuat cemas dan ketakutan
dalam penggunaannya. Normal, bisa berarti sebagai sebuah anugrah. Dan tidak
normal, bisa menjadi sebuah musibah khususnya dalam berkehidupan bermasyarakat
sebagai manusia. Kata “normal”, celakanya bukan hanya diterapkan oleh manusia
dalam menilai perilaku seseorang dalam bermasyarakat, namun juga dalam
melakukan kategorisasi-kategorisasi khususnya disini dalam menilai orientasi ekspresi
kenikmatan seksual, dimana relasi heteroseksual merupakan relasi yang dianggap
normal, tepat dan beradab. Diluar itu adalah abnormal, tidak tepat, dan tidak
beradab.
Pemahaman dalam melihat ketegorisasi itu kemudianlah yang menyebabkan
manusia secara mudahnya untuk menilai bagaimana seseorang berprilaku dalam
kerangka kategori “kelaminnya”. Bagaimana seorang “laki-laki” dan seorang “perempuan” harus bertindak, diatur-atur dan
dibuat-buat oleh masyarakat dalam sebuah konsepsi yang dinamakan gender. Cinta dalam konsepsi gender, memang bukanlah hal yang baru. Sebelum paham
pasca-stukturalis muncul, persoalan gender dalam hal cinta menjadi salah satu
alat yang hagemonik berhasil “mendisiplinkan” orientasi seksual dan ekspresi
cinta dalam kerangka kekuasaan dan kebudayaan yang ada.
Pandangannya mengenai normalitas akan ekspresi cinta begitu esensialis, dia
berkembang menjadi sebuah identitas yang dikotomis antara hal yang normal
dengan tidak normal.Setelah kemunculan paham pascastrukturalis yang membebaskan
kekangan orientasi seksual dan ekspresi cinta dari paham esensialis, persoalan
kemudian adalah tentang bagaimana kemudian melakukan eliminarisasi
kategorisasi-kategorisasi tentang normal dan tidak normal yang terlanjur
hagemonik di dalam masyarakat?.
Dalam
bukunya karyanya The Order of Things,
Michel Foucault menjelaskan dengan kritis, bagaimana manusia mengandalkan
hidupnya dengan adanya keteraturan serta kategorisasi. Kategorisasi tersebut
menjadi pembenaran, lalu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang bisa
diterima. Melalui aturan, ideologi, kebijakan, hingga nilai-nilai dalam
masyarakat dan keluarga, menjadi alat pelanggengan kategorisasi itu. Dalam
mengeliminir hal tersebut, perlu adanya sikap yang lebih kritis dalam melihat
dan memahami sepenuhnya apa sebenarnya yang menyebabkan kategori seks dan
gender itu sendiri .
Apakah seks itu sendiri hanya sekedar ditentukan oleh kategori bentuk jenis
kelamin?. Lalu bagaimana orang-orang yang memiliki penis namun juga memiliki
rahim secara biologis. Apakah seks ditentukan dari kromosom seseorang?. Lantas,
bagaimana kategori seksual seseorang yang berkromosom (XY), namun mengubah
bentuk kelaminnya menjadi vagina. Kategori-kategori seks tersebut (laki-laki
dan perempuan) , yang dianggap normal kemudian seakan menjadi begitu tidak
jelas dan abu-abu ketika berhadapan dengan keadaan atau realita yang sebenarnya
tentang seksualitas seseorang.
Masyarakat perlu disadarkan tentang realitas seksual sebenarnya, bukan
hanya terpatok pada ideologi-ideologi gender berbasis teks suci atau politik
dan kenegaraan semata. Masyarakat juga perlu tahu bahwa ketika kategori-kategori seksualitas menjadi
begitu kaburnya untuk dikategorikan pada seksualitas manusia, lantas bagaimana
mungkin kategori gender yang didasarkan pula pada ketegori seksualitas bisa
menjadi lebih jelas dibandingkan dengan kategori seksual itu sendiri. Apalagi,
jika kita mempunyai pemahaman bahwa gender seseorang merupakan konstruksi dari
lingkungan sosialnya, maka kategorisasi dari gender seseorang menjadi semakin
begitu bias dan tidak jelas kategorisasinya. Mengutip kembali pernyataan Judith
Butler bahwa, gender
adalah sesuatu yang konstan berubah karena gender merupakan pengucapan, sikap,
diskursus yang dilakukan secara repetitif. Kita
pasti akan terus mencari definisi gender ke diri sendiri.
Penutup
Cinta dengan berbagai problematiknya merupakan
hal yang selalu menarik untuk disimak. Cinta memiliki begitu banyak dimensi
dengan berbagai bumbu yang membuatnya memiliki nuansa sendiri, sehingga orang
tidak akan pernah kehabisan ide dan bahasan untuk membahasnya. Membahas cinta
dengan kaitannya pada seksualitas dan gender, adalah upaya melihat bagaimana
cinta dapat dibahas dalam ruang-ruang problematika yang lebih nyata tanpa
terjebak lagi pada nuansa romansa yang terlalu menggebu-gebu atau ruang-ruang filosofis
yang begitu dingin dan kadang kaku.
Melalui pemaparan diatas kita dapat menyimpulkan
juga bahwa, relasi antara cinta, gender dan seksualitas baik dalam dimensi
ketubuhan, hasrat, maupun orientasi dan atau ekspresi seksual merupakan hal
yang begitu cair, dinamis, dan juga memiliki logikanya sendiri dalam bertindak.
Pemahaman akan logika cinta dalam kerangka seksualitas dan gender manusia,
semoga dapat membuat kita menjadi manusia yang lebih manusiawi, yakni manusia
yang mendahulukan afeksi diri dibandingkan dari bentuk- bentuk relasi itu
sendiri.
*Penulis Mahasiswa S1 Antropolog Sosial FISIP UI
Daftar Pustaka
Butler, Judith.
1990. Gender Trouble. New York. Routledge
DeLamater, J.D and Hyde, J.S.
1998. Essentialism vs. Social Constructionism in
the Study of Human Sexuality’, Journal of Sex Research 35 (1):
10-18
Foucault, Michel.
1990. The History of Sexuality. New York.
Vintage
The Use of Pleasure. New York. Vintage
Geertz, Clifford.
1973. Interpretation of Culture.Basic Books.
New York
Maurice Merlau-Ponty.
1962. Phenomenology of Perception. New York.
Lorber, J.
2004. Believing is Seeing :Biology as Ideology in M.S. Kimmel (ed),The Gendered Society Raeder, Oford
:Oxford University Press, 2nd edition.
Internet :