Kerusakan Taman Nasional Danau
Sentarum dan Penyelamatan Kolaboratif
Kasus yang saya angkat untuk menjawab
mengenai kasus pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang menyebabkan
kerusakan kondisi ekosistem saya mengambil contoh pada kasus kerusakan taman
nasional danau sentarum, di Propinsi Kalimantan Barat. Taman Nasioanl Danau
Sentarum (TNDS), menurut data yang saya
dapatkan dari situs resmi Departemen Kehutanan RI[1], merupakan sebuah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam.Danau itu adalah celengan air
raksasa. Di musim hujan, Sentarum menabung 25 persen air Sungai Kapuas. Saat
kemarau, Sentarum memasok separuh air yang mengaliri Kapuas.
Luas seluruh kawasan Danau Sentarum
132.000 ha ditambah dengan 64.000 ha yang diusulkan sebagai daerah penyangga.
Sekitar 20 ha merupakan danau musiman yang menjadi penutup daerah seluas 30.500
ha, sisanya merupakan hutan rawa gambut. Danau Sentarum merupakan daerah retensi/luapan banjir (retarding
basin)dari Sungai Kapuas yang merupakan daerah tangkapan air dan
sekaligus sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Dengan
demikian, daerah-daerah yang terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung
pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di danau tersebut. Danau Sentarum merupakan komplek danau-danau, lebih dari dua puluh buah
danau secara alami bertindak sebagai reservoar. Luapan
banjirnya yang melanda bentang Sungai Kapuas secara otomatis akan tertampung di
sini. Saat itulah limpahan airnya menggenangi hutan rawa air tawar primer yang
ada di kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum.
Adapun hal yang menjadi penyebab kerusakan
TNDS, mayoritas adalah maraknya
penebangan kayu ilegal. Kerusakan ekosistem Taman Nasional Danau Sentarum, kini
semakin parah. Kondisi ini disebabkan karena adanya pembukaan lahan secara
besar-besaran untuk 15 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan penangkapan ikan
secara berlebihan di danau tersebut.
Akibat pembukaan lahan oleh perkebunan-perkebunan besar ini, terjadi
degradasi lingkungan di sekitar TNDS. Daerah yang sudah telanjur dibuka tidak
ditanami, bahkan ditinggalkan. Perubahan yang terjadi di TNDS itu juga
berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas air danau yang menjadi
konservasi lahan basah internasional. Padahal keberadaan Danau Sentarum memiliki keterkaitan dan tidak bisa
dilepaskan dengan ekosistem Sungai Kapuas. Danau itu terbentuk akibat
terjadinya meander and oxbow lake atau perluasan dari
dataran banjir. Misalnya, danau ini menampung kelebihan air Sungai Kapuas pada
musim banjir dan mengisi kembali ke alur Sungai Kapuas pada musim kemarau.
Kerusakan
TNDS : Dari Politics Of Unsustainability
hingga Sebuah Pilihan Rasional
Kerusakan pada TNDS, dapat kita lihat sebagai sebuah
kerusakan yang mayoritas dilakukan oleh manusia. Kerusakan-kerusakan tersebut,
salah satunya disebabkan oleh tidak jelasnya peranan pemerintah tentang
bagaimana regulasi untuk melindungi kawasan TNDS. Otoritas pengelolaan taman
nasional idealnya mengacu pada Menteri Kehutanan (Lihat Peraturan Menteri
Kehutanan No.P19/Menhut- II/2004). Akan tetapi pemerintah pusat belum berhasil
membentuk mekanisme pengelolaan taman nasional yang efektif. Sebaliknya dalam
era desentralisasi ini, pemerintah kabupaten mengharapkan pemerintah pusat
menyerahkan sebagian urusan pengelolaan taman nasional kepada pemerintah
kabupaten untuk secara bersama-sama mengelola taman nasional, dengan pembagian
wewenang, peran dan fungsi antara pemerintah pusat, dan kabupaten.
Ketidakjelasan akan regulasi atau aturan yang
menjadi payung dalam pengelolaan TNDS ini antara regulasi pusat dan daerah yang
kemudian menyebabkan apa yang disebut sebagai Politics Of Unsustainability[2]. Politics Of
Unsustainability, didefiniskan oleh Shoreman, Elanor E., & Nore
Haenn (2009), dalam tulisannya “Regulation, Conservation, and Collaboration
: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” sebagai sebuah keadaan non ekologis (sosial, politik, hukum,
ekonomi, kultural ) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis
(lingkungan primer, alam). Selain, ketidakjelasan aturan (secara politis) yang
disebabkan oleh tumpang tindihnya aturan antara pemerintah lokal dan pusat,
keadaan non ekologis lain yang menyebabkan buruknya keadaan ekologis pada TNDS
adalah keadaan sosial dan ekonomi yang menunjang kerusakan TNDS.
Dari data yang berhasil saya himpun,
salah satu penyebab kerusakan terbesar
dari TNDS adalah salah satunya kegiatan ekonomi yakni pembukaan lahan oleh beberapa
perusahaan untuk kepentingan lahan kelapa sawit . Salah satu perusahaan, yang
mendapatkan konsesi pembukaan lahan bagi 7 anak perusahaannya yakni perusahaan
PT Sinar Mas[3]. Pembukaan
dan penanaman kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Sinar Mas dan perusahaan
lainnya akan dapat merusak flora, fauna, dan habitat lain di wilayah TNDS.
Selain kerusakan yang disebabkan karena kondisi ekonomi yakni pembukaan lahan
kelapa sawit, faktor non ekologis lain yang merusak salah satunya adalah faktor
sosial. Faktor sosial yang saya maksudkan disini adalah kebiasaan dari
masyarakat sekitar TNDS untuk membuat keramba ikan dan menebang kayu di kawasan
TNDS.
Harus kita ketahui bersama
sebelumnya, ada dua suku, yaitu Melayu dan Dayak
Iban,
yang berdiam di dalam TNDS. Kedua suku tersebut merupakan penduduk asli karena sebagian
besar suku Melayu keturunan dari suku Dayak[4]. Total
jumlah penduduk yang tinggal dalam kawasan ini diperkirakan pada saat ini
antara 10 sampai dengan 11 ribu jiwa , yang tersebar dalam 40 kampung. Jumlah
masyarakat yang cukup banyak yang bergantung pada TNDS juga memiliki banyak
dampak, salah satunya kerusakan alam yang disebabkan karena penggunaan keramba
ikan yang dilakukan secara sembarangan dan penebangan pohon yang dilakukan secara berlebihan oleh
masyarakat lokal. Politics Of
Unsustainability, atau faktor non ekologis yang buruk secara ekonomi dan
sosial tersebutlah yang saya lihat sebagai beberapa faktor yang menyebabkan
kerusakan di TNDS. Lantas, kemudian yang menjadi pertanyaan saya adalah,
mengapa Politics Of Unsustainability dari
faktor ekonomi dan sosial itu dapat terjadi dan dapat menyebabkan kerusakan
alam di TNDS?
Salah satu hal, yang menurut saya
dapat menjawab mengapa Politics Of
Unsustainability dengan faktor politik, sosial dan ekonomi itu terjadi
karena adanya pemikiran atau prinsip pilihan rasional baik pada pemerintah,
masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. Sebelumnya, prinsip rasionalitas jika
mengacu pada tulisan John W. Bannet[5]
(1980), dalam Human Ecology as Human
Behaviour dijelaskan sebagai sebuah proses mengenai bagaimana manusia
memiliki pemikiran dan atau pendekatan pilihan rasional dalam kaitannya dengan
lingkungan dan pemanfaatannya. Pendekatan pilihan rasional sendiri merupakan
sebuah bentuk pendekatan yang mengacu
pada rasionalitas (akal sehat), dimana pada intinya pendekatan ini selalu
melihat optimalisasi dari kepentingan manusia dan peningkatan pada efisiensi
kerja.
Optimalisasi dari kepentingan
manusia dan efisensi inilah yang harusnya kita garis bawahi dalam rangka
melihat Politics Of Unsustainability, dari
faktor politik ekonomi dan sosial sebagai variabel yang menyebabkan kerusakan
di TNDS. Optimalisasi keuntungan secara politik yang ingin dilakukan oleh
pemerintah pusat dan daerah juga keuntungan ekonomi dan sosial yang berlebihaan
tanpa melihat dampak yang ditimbulkan (dalam rangka efisiensi), inilah yang
kemudian menyebabkan kerusakan alam di TNDS. Yang menjadi pertanyaan
selanjutnya adalah, solusi apa yang dapat dilakukan khususnya oleh para
antropolog untuk mengurangi dampak kerusakan alam TNDS, yang disebabkan oleh Politics Of Unsustainability faktor
sosial ekonomi yang didasarkan atas pemikiran rasional manusia?
Penyelamatan Kolaboratif : Sebuah
Solusi Antropologis Penyelamatan TNDS
Politics Of Unsustainability dengan
faktor politik, sosial dan ekonomi yang menjadi masalah dalam kerusakan TNDS,
sudah seharusnya segera mendapatkan solusi yang tepat dalam mengatasinya.
Sebagai seorang antropolog yang memiliki pendekatan secara holistik sudah seharusnya kita melihat solusi dari sebuah masalah
secara holistik pula, salah satu cara
dalam memecahkan masalah secara holistik salah satunya adalah dengan cara
solusi yang kolaboratif dalam hal ini lebih tepatnya penyelamatan yang
kolaboratif. Penyelamatan kolaboratif, menurut Peraturan
Menteri Kehutanan P.19/2004 merupakan sebuah tindakan penyelamatan dengan
mempertimbangkan keterlibatan dari banyak pihak yang memiliki kepentingan atas
sebuah objek atau sumber daya tersebut. Lain halnya dengan apa yang dijelaskan
oleh Moseley, C.
(2003[6]). Menurtunya,
pendekatan penyelamatn kolaboratif merupakan proses dimana pihak yang berlatar
belakang plural berunding dan bereskperimen untuk mendefinisikan prioritas,
mengembangkan solusi termasuk hubungan masing-masing pihak terhadap pengelolaan
sumber daya alam. Mengikuti pola pikir dari Moseley kemudian, hal pertama yang
kita lakukan dalam penyelamatan kolaboratif adalah mendefinisikan prioritas
pihak-pihak yang berkepentingan, atau kemudian yang disebut sebagai analaisis
pemangku kepentingan.
Dalam analisis pemangku kepentingan, perlu dipetakan
kemudian kepentingan-kepentingan, solusi dan hambatan apa sajakah yang ada
dilapangan. Mapping dalam analisis
pemangku kepentingan ini pula penting halnya khususnya dalam menghindari
konflik dalam usaha penyelamatan TNDS. Setelah melakukan analisis kepentingan
pihak-pihak yang terkait, masih mengikuti pola pikir Moseley, langkah
selanjutnya adalah dengan cara menciptakan komunikasi dan partisipasi dari
setiap pihak yang berkepentingan dalam hal ini saya melihat yang harus terlibat
dengan intens adalah pihak pemerintah
pusat dan daerah, masyarakat lokal, dan pihak-pihak perusahaan yang
berkepentingan secara ekonomi seperti PT Sinar Mas, sebagai pemegang konsesi
pembukaan lahan kelapa sawit.
Proses komunikasi yang dilakukan perlu memberikan sebuah
hasil belajar yang dapat memberikan solusi yang kolaboratif terhadap pemecahan
kerusakan TNDS. Secara umum, saya mengusulkan proses komunikasi pihak-pihak
yang terkait seperti skema di bawah ini
Setelah melakukan
proses analisis kepentingan, lalu melakukan proses komunikasi yang melibatkan
partisipasi dan proses belajar didalamnya, langkah selanjutnya yang harus
dilakukan dalam sebuah penyelamatan kolaboratif menurut Moseley
adalah melakukan evaluasi pelaksanaan yang kemudian dijadikan bahan dalam
melihat faktor pendukung dan penghambat dalam proses penyelamatan kolaboratif
tersebut.
Kesimpulan
Kerusakan TNDS,
merupakan kerusakan yang dominan terjadi karena pengaruh manusia. Faktor Politics Of Unsustainability atau
keadaan non ekologis (dalam kasus kerusakan TNDS yakni
faktor sosial, ekonomi) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis
menjadi penyebab utama dari dituding menjadi penyebab utama kerusakan TNDS.
Pola pikir rasionalitas yang mengedepankan pencarian keuntungan
sebesar-besarnya dengan efisiensi yang besar turut serta menjadi faktor
pendorong dalam merusak alam TNDS. Pola Penyelamatan yang holistik, yakni penyelamatan kolaboratif perlu segera dilakukan
dalam menyelesaikan kerusakan alam di TNDS. Langkah-langkah yang perlu ditempuh
dalam penyelamatan kolaboratif antara lain (1) Analisis pemangku kepentingan
(2) menciptakan proses belajar komunikasi dan partisipasi dalam rangka
penyelamatan (3) Melakukan evaluasi terhadap faktor penghambat dan pendukung
proses penyelamatan yang kolaboratif.
Pada akhirnya setelah
langka-langah itu dilakukan diharapkan TNDS, dapat diselamatkan dengan win-win solution, dengan selalu
mengedepankan usaha dalam rangka memperbaiki alam untuk masa depan anak-cucu
kita.
Daftar Pustaka
Bennet, J.W
(1980)
“Human Ecology as Human Behaviour
: A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”. Hal 243-278
Moseley, C. (2003)
“Constrained Democracy: Environmental
Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented
at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of
Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.
Shoreman, Eleanor (2009)
“Regulation, Collaboration, and Conservation:
Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 .90-107.
Referensi Internet :
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_sentarum.htm dikutip pada tanggal 28 Oktober 2012, pukul
15.30
http://www.walhi.or.id/ dikutip pada tanggal
28 Oktober 2012, pukul 16.00
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/lingkungan/08/11/18/14717-greenpeace-sinar-mas-ancam-taman-nasional-sentarum
dikutip pada tanggal 28 Oktober 2012, pukul 19.00
http://pariwisata.kapuashulukab.go.id/page/cagar_budaya.html
dikutip pada tanggal 28 Otober 2012, pukul 20.24
[2]
Diintisari dari : Shoreman, Eleanor. “Regulation, Collaboration,
and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human
Ecology. 37 (2009): 90-107.
[5] Dikutip
dari : Bennet, J.W (1980) “Human Ecology
as Human Behaviour : A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”. Hal
243-278
[6] Moseley,
C. 2003. “Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative
Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods
and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt
Lake City, September 14-16, 2003.