Melihat Tsunami yang sedang melanda Jepang, jadi teringat mengenai bagaimana bangsa Jepang mengatasi musuh utamanya tersebut, namun yang ingin saya paparkan disini adalah mengenai bagaimana Jepang membuat sebuah sistem dalam mengatasi efek turunan dari Tsunami itu sendiri yakni banjir.Banjir di wilayah Jepang juga dipengaruhi oleh jumlah dan panjang sungai terlebih lagi bila dikaitkan dengan lama genangan dan kecepatan limpasan banjir per unit catchment area. Tahun 1953 Banjir Sungai Chikugo seluas 1.440 km2 terjadi dengan kecepatan aliran 6 m3/sec/km2. Terdapat 3 sungai utama Tokyo; Edo-gawa, Ara-kawa, dan Sumida yang mempunyai percabangan sungai membelah bagian kota.
Kebanyakan kota-kota di Jepang berada di bawah level ketinggian sungai. Apalagi dibangunnya subway akan menumbuhkan underground city dan pusat-pusat keramaian sampai beberapa tingkat ke bagian bawah tanah. Hal ini sangat rawan terhadap bahaya banjir merusak. Problematika urbanisasi yang semakin besar kian tahunnya menyerobot lahan yang seharusnya diperuntukkan daerah bebas untuk cacthment area. Hal ini betul-betul memperparah keadaan Tokyo. Di sekitar Sungai Tsurumi tahun 1958 urbanisasi masih berkisar 10%. Kenaikannya tahun 1997 sudah sebesar 84,3 % dengan populasi 1.820.000 meliputi 196 km2. Dapat dibayangkan banyaknya korban jiwa berjatuhan karena terendam banjir seandainya sungai itu meluap.
Tetapi Jepang bukanlah negara yang mudah menyerah dengan banyak ragamnya bencana, mulai banjir, taifun, kebakaran, gempa bumi dan tsunami. Dengan “Familiarizing with the blessing of nature, and compromising with the treaths of nature” (Prof. Hitoshi Ieda), bangsa Jepang menjadi begitu akrab dengan bencana bahkan menikmatinya, “We are lucky feeling the earthquake” (Prof. Furumura). Sehingga wajar lahir generasi brilian yang ahli dalam bidang-bidang penanganan bencana dengan membaca fenomena alam dan menganalisisnya dengan teori-teori empirik.
Flood Fighting
Penanganan manajemen bencana di Jepang berada di bawah Kementrian Tanah, Infrastruktur dan Transportasi (MLIT / Ministry of Land, Infrastructure, Information and Technology) yang membawahi masalah banjir (masalah pengairan), endapan sediment, letusan gunung berapi, gempa bumi, informasi teknologi (IT) untuk pengurangan dampak bencana alam di Jepang. Infrastuktur yang ditangani meliputi sungai, jalan, pelabuhan laut dan udara, sistem pembuangan limbah, dan pertamanan. Dengan jumlah pekerja 65.000 orang, lembaga kementrian ini terdiri dari 3 lapis struktur ; pusat, biro daerah dan kantor lapangan. Dalam manajemen banjir lingkup tugasnya cukup sederhana, untuk permasalahan bagian utama sungai diserahkan pada dinas pusat, sedangkan pengaliran sungai pertengahan dan kecil diserahkan tanggung jawabnya pada dinas daerah/propinsi dan kota. Namun tetap pusatlah yang mem-backup kinerja bawahannya.
Mirip halnya dengan yang telah ada di Indonesia, bagian-bagian dasar penanganan bencana di Indonesia terdiri dari aspek regulasi, sistem manajemen, rencana, persiapan, tanggap darurat dan recovery. Yang menarik dalam hal recovery, Jepang sudah menganggarkannya dari pajak yang dipungut rutin perbulannya untuk kemudian bisa dinikmati korban dalam bentuk dana kompensasi bencana, asuransi, pengurangan atau pembebasan pajak.
Selain itu ciri khas Jepang sebagai negara berteknologi tinggi juga cukup menonjol perannya dalam penanganan bencana ini. Jaringan komunikasi radio pusat dan daerah terhubung secara organisatoris – tidak berdiri sendiri-sendiri. NTT (Nippon Telegraph and Telephone) dan NHK (Nippon Broadcasting Corporation) menjadi media pelayanan masyarakat cuma-cuma, mengesampingkan keuntungan dan popularitas untuk sementara waktu. Sehinga ketika banjir atau gempa bumi terjadi, masyarakat bisa menikmati telepon gratis untuk menghubungi keluarganya.
Visualisasi data image terkini dari teleconfrence helicopter, sungai, jembatan, dan jalan (CCTV) terus terkoneksi secara real time melalui satelit komunikasi terrestrial dan diberitakan lewat televisi nasional. Info banjir meliputi : waktu normal dengan peta bencana sebagai tahap persiapan, dan waktu darurat dengan status siaga dan perkiraan turun hujan, kenaikan ketinggian banjir, peringatan dan evakuasi. Selanjutnya seluruh komponen teknis tanggap darurat beraksi terdiri dari kendaraan evakuasi, ambulan, helicopter, dan tim-tim penolong (rescue).
Penanganan integrasi Flood Control meliputi :
- Perbaikan Sungai
Perbaikan saluran irigasi (tanggul/embankment, pengerukan dasar sungai/dredging), kontruksi ketahanan daerah cekungan dan saluran limpahan banjir.
- Penanggulangan kerusakan
Pelaksanaanya dilakukan di tiga area :
a. Area penahan (retention) : perbaikan kontrol distrik urbanisasi, konservasi alam, promosi gerakan penghijauan, kontruksi daerah cekungan, instalasi trotoar yang mampu menyerap limpasan air, dan mesin penyedot air.
b. Area pemelihara (detention) : pelestarian zona bebas urban, pengawasan lahan, promosi lahan hijau.
c. Area rendah (rawan banjir): pembuatan fasilitas drainase, pembuatan fasilitas cadangan bahan pangan, sandang kebutuhan darurat bencana, mendorong penggunaan bangunan tahan air (floodproof).
- Penanggulangan (mitigasi) bencana
Terdiri dari : peresmian sistem peringatan dan evakuasi bencana, perluasan sistem flood-fighting yang telah ada, mendorong penggunaan bangunan floodproof, penyebaran informasi sesama warga setempat sekaligus membentuk komunitas bersama warga sadar bencana banjir, pengendalian lingkungan (pembuangan sampah) agar tidak mengganggu jalannya saluran air, dan publikasi area peta historis inundasi (kenaikan air mencapai daratan).
Informasi yang dipaparkan dalam peta bencana (Hazard Map) meliputi : perkiraan ketinggian banjir, rute dan tempat-tempat evakuasi, tips panduan evakuasi, infromasi penting (telepon kantor pemerintah, rumah sakit, lembaga terkait), instruksi penyelamatan, pengetahuan bencana dan sejarah bencana yang pernah terjadi di daerah itu.
Gambar 1. Konsep Hazard Map (Prof. Kenji Okazaki)
Sebelum adanya pembangunan kota hampir semua limpahan hujan meresap ke tanah atau juga tersimpan di dalam tanah-tanah permukaan (air aquifer). Alhasil limpahan air hujan (run-off) bisa tereduksi. Namun sesudah era pembangunan kota, tanah permukaan berubah menjadi beton (konkrit), dan aspal. Hutan habis dan vegetasi berkurang berakibat run-off demikian besar tak terkendali memperburuk dampak kerusakan genangan banjir. Selama taifun tahun 1993 ketinggian air Sungai Kanda naik hingga beberapa meter. Stasiun KA (eki) Hakata pada tanggal 19 Juli 2003 terendam banjir sampai menutupi Subway dibawahnya. MILT telah membuat konsep mentransmisikan informasi pada orang-orang yang sedang berada di area bawah tanah untuk bersegera menuju permukaan atau tempat-tempat tinggi ketika perkiraan bahaya banjir terdeteksi.
Konsep komprehensif Flood Control (pada Gambar 2) adalah bagaimana mengalirkan segera aliran limpahan bajir menuju daerah yang lebih rendah. Dari daerah pegunungan dan perbukitan diinfiltrasikan ke danau atau tanah bawah permukaan, begitu pula perumahan dan gedung-gedung di kota melimpahkan ke tempat rendah reservoir air yang telah teregulasi dengan baik.
Gambar 2. Konsep komprehensif flood control di Jepang (Prof. Kenji Okazaki)
Kata kunci dari program ini adalah tanggung jawab, keputusan, dan aksi nyata saat becana terjadi. Kesemuanya ditanggung bersama oleh pemerintah pusat (nation), provinsi/daerah (prefecture), kota (municipality) dan warga (resident). Tapi pelaksana dari flood fighting ini terletak pada pemerintah kota beserta masyarakatnya.
Pemerintah pusat dan provinsi bertindak sebagai forecaster yang memantau dan mengontrol daerah-daerah rawan banjir dan memberi peringatan serta pembinaan disamping support kepada daerah. Daerah selanjutnya mengerahkan warganya dalam hal evakuasi dan latihan (drill) sesuai intruksi yang diberikan aparat kota. Pemerintah kota (pemkot) juga bekerja sama dengan relawan dan LSM memberi bantuan dana dan tenaga dan evakuasi terhadap warga. Seperti yang pernah dilakukan bersama relawan dan pemkot saat memperbaiki tepi sungai menggunakan karung-karung pasir. Warga setempat juga diupayakan terlatih dalam usaha preventif penanganan krisis sehingga tanggap dalam merespon informasi dan melakukan penyelamatan diri darurat saat bencana terjadi.
Sugeng Pribadi, peneliti bidang tsunami modelling dan forecasting.
Sumber: http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2007-04-04-Belajar-Bagaimana-Jepang-Memerangi-Banjir.shtml, Rabu, 4 April 2007 10:25:05 Artikel Iptek