Kekerasan dan Kungkungan Identitas:
Sebuah Catatan Tepi
Kekerasan yang terkait dengan konflik identitas tampaknya terus terjadi dan meningkat belakangan ini. Belum hilang dari ingatan kita bersama, kejadian yang menimpa majalah satir Prancis charlie hebdo yang menewaskan 12 orang termasuk 2 orang polisi didalamnya. Jika melihat lebih kebelakang dengan konteks yang lebih lokal, tentunya kita belum lupa dengan kejadian pembantaian warga Ahmadiyah di Cikeusik, pengusiran Syiah di Sampang, kerusuhan di Ambon, Poso, Sambas, Sampit dan banyak kejadian lainnya. Kejadian-kejadian tersebut, tentunya mengingatkan kita bersama tentang betapa mengerikannya konflik dengan balutan identitas di dalamnya. Identitas yang seharusnya dapat dijadikan sebagai sumber kebanggaan, kebahagiaan, tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri sebuah kelompok pada akhirnya dapat pula memicu pembunuhan-pembunuhan mengerikan diluar batas nalar dan kemanusiaan. Melihat fenomena-fenomena kekerasan dengan balutan identitas tersebut, tentunya timbul sebuah pertanyaan mengenai apa penyebab secara umum dari timbulnya kekerasan-kekerasan berbasis identitas tersebut. Selain mencari penyebabnya secara umum, timbul pula pertanyaan lain mengenai bagaimanakah kemudian penawar dari konflik-konflik identitas tersebut di era masyarakat majemuk dan global seperti saat ini. Sebelum saya mendiskusikannya lebih lanjut, saya ingin terlebih dahulu mendiskusikan mengenai identitas dan masyarakat majemuk itu sendiri.
Identitas
dan Masyarakat Majemuk
Dalam khazanah ilmu-ilmu sosial, pembahasan mengenai identitas tentunya
sudah menjadi hal yang umum dibahas oleh ilmuan-ilmuan sosial. Mulai dari
pembahasan-pembahasan yang tingkatannya umum mengenai solidaritas dalam
kelompok, hingga pada pembahasan mengenai hubungan antar identitas dan modal
sosial di dalamnya. Identitas memberikan gagasan tentang siapakah “kita” dan
bagaimana secara aktif berhubungan dengan “mereka yang bukan kita”. Identitas
terbentuk karena adanya hubungan posisional antara “kita” dan “bukan kita”
dalam situasi sosial dan situasi kebudayaan. Identitas terbentuk bersamaan
dengan relasi dan posisi identitas lainnya (Woodward, 1997:14). Identitas dapat
diaktifkan dan dimatikan secara situasional tergantung pada kebutuhan seseorang
saat menghadapi konteks sosial dan realita yang dihadapinya. Identitas juga
berkaitan dengan beberapa hal yakni: adanya persamaan dan perbedaan, bagaimana
subjek melihat dirinya sendiri dalam suatu representasi, bagaimana subjek dan
menempatkan perbedaan representasinya dengan representasi subjek lain, serta
adanya hubungan dari ketidaksamaan representasi tersebut (Heterington, 1998
:15). Dalam memahami mengenai identitas, ilmuan-ilmuan sosial sendiri kemudian
membagi kembali dimensi-dimensi dalam identitas termasuk hubungan antar
kelompok yang berbeda identitas dengan konsep lain seperti, kelompok ras, kelompok
gender, kelompok politik, kelompok religi, etnik (sukubangsa), stereotipe,
integrasi, asimilasi, akulturasi dan konsep-konsep lainnya. Dalam kajian-kajian
yang lebih empirik, konsep-konsep mengenai identitas tersebut dapat dikaji
dinamikanya dalam sebuah lanskap sosial yang disebut sebagai masyarakat
majemuk.
Masyarakat majemuk atau plural society dikatakan oleh Furnivall sebagai “sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih tatanan sosial yang hidup bersama dalam sebuah kesatuan politik, namun tanpa berbaur” (Furnivall, 1976 : 446). Penjelasan Furnivall ini terlihat jelas menekankan pada determinisme secara satuan politik (wilayah kota atau provinsi) bahwa ada beberapa tatanan sosial yang hidup secara bersama namun tanpa berbaur. Berbeda dengan Furnivall yang melihat masyarakat majemuk dengan menggunakan determinisme satuan politik, Barth (dalam Kottak, 2002:94) lebih memilih menggunakan determinisme ekonomi dalam melihat masyarakat majemuk atau plural. Bagi Barth, masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok etnik yang berbeda, masing-masing punya spesialisasi ekonomi dan garapan lingkungan ekonomi yang berbeda, seterusnya masing-masing kelompok saling tergantung secara ekonomi. Tidak ada kompetisi antar kelompok dalam bidang ekonomi, yang ada adalah saling tergantung dan pertukaran.
Dari penjelasan-penjelasan diatas, setidaknya kita dapat mengambil beberapa kesimpulan mengenai identitas dan masyarakat majemuk. Pertama, identitas merupakan hal yang cair dan situasional. Kedua, setiap orang baik sebagai individu maupun sebagai person memiliki dimensi identitas yang tidak tunggal. Misalnya saja, pada satu saat yang sama anda dapat menjadi seorang yang memiliki sukubangsa Tionghoa dan beragama Islam atau anda merupakan bagian dari sukubangsa Sunda dan juga seorang buruh. Ketiga, kita harus memahami bahwa identitas hanya dapat hidup dalam sebuah lanskap sosial yang dinamis yang disebut sebagai masyarakat majemuk. Mengapa demikian? Karena untuk mengaktifkan identitas (yang didasarkan pada persamaan-persamaan) seseorang atau kelompok perlu mendapatkan stimulus ‘perbedaan’ dari luar orang atau kelompok tersebut.
Kekerasan dan
‘Benturan Peradaban’
Para pemikir ilmu-ilmu sosial abad 21, tentu tidak
asing dengan tesis Huntington (1996) dalam bukunya The Clash of Civilation and the Remaking of World Order mengenai
perbenturan peradaban. Tesis tersebut, di samping memiliki pengaruh yang cukup
besar bagi para ilmuan sosial untuk mengafirmasi pemikirannya mengenai
keberadaan perbenturan peradaban, tesis tersebut juga tidak lepas dari banyak
kritik yang mencoba membantah kebenaran dari tesis Huntington tersebut. Salah
satu kritik yang cukup keras mengenai tesis perbenturan peradaban tersebut
dilontarkan oleh seorang ekonom dan filsuf kenamaan Amartya Sen melalui bukunya
Identity and Violance: The Illusion of
Destiny (2006). Dalam bukunya, Amartya Sen memaparkan setidaknya ada dua
kesalahan besar dalam tesis perbenturan peradaban yang dikemukakan oleh
Huntington. Pertama, tesis ini mereduksi identitas menjadi kategorisasi yang
bersifat tunggal tanpa melihat relasi seseorang dengan identitas lain dalam
dirinya. Kedua, tesis ini terlalu serampangan memberikan karakterisasi pada
sebuah peradabaan dengan mengeneralisir dan melihat sebuah peradaban dengan
suatu hal yang sifatnya homogen.
Lantas apa relevansi tesis perbenturan peradaban Huntington ini dengan kekerasan berbalut identitas yang terjadi akhir-akhir ini? Jika kita menilik lebih jauh, tesis perbenturan peradaban ini lahir dari akar pemikiran oposisi biner yang dihasilkan oleh pemikiran-pemikiran postkolonial khususnya pemikiran para orientalis (lihat Said, 1978). Dalam kerangka pemikiran oposisi biner ini, para orientalis melihat dan mendefinisikan dunia menjadi dua macam kategori peradaban yang berbeda yakni ‘Timur’ dan ‘Barat’. Pembedaan dan kategorisasi inilah yang kemudian secara tidak langsung juga membentuk persepsi dan anggapan mengenai kategorisasi tunggal sebuah peradaban dan menimbulkan ilusi ketunggalan sebuah identitas.
Dalam konteks masyarakat majemuk yang semakin lama makin mengglobal seperti saat ini, ilusi akan ketunggalan identitas tentunya merupakan hal yang sangat berbahaya. Masyarakat dunia makin mendikotomikan dirinya dalam federasi-federasi identitas tunggal tanpa melihat identitas lainnya dalam dirinya. Keterkungkungan identitas akan ilusi identitas tunggal tersebut kemudian yang menjadi penyebab utama banyaknya kekerasan-kekerasan dengan balutan identitas terjadi. Masyarakat dunia semakin ‘tidak ramah’ terhadap perbedaan-perbedaan identitas apalagi jika terjadi kompetisi (baik kompetisi sumber daya maupun simbolik) antar identitas yang memiliki karakteristik berbeda. Lantas, pertanyaannya kemudian adalah, bagaimanakah masyarakat dunia mencari penawar dari kungkungan ilusi tunggal identitas dan membebaskan diri dari federasi-federasi tunggal identitas yang memerangkap dirinya?
Sebuah Penawar: Meretas Jalan Multikulturalisme
Dalam era global seperti saat ini tentunya keberadaan
masyarakat majemuk merupakan keniscayaan yang pasti akan terjadi. Besarnya
migrasi manusia antar wilayah (benua/negara) menyebabkan terjadinya kontak antar
kebudayaan yang berbeda. Masyarakat dunia saat ini dihadapkan pada situasi
harus hidup berdampingan dengan tradisi dan gaya hidup yang berbeda. Dalam
situasi tersebut, kemudian timbul sebuah ide (atau dapat dikatakan ideologi) mengenai
gagasan yang mengagungkan
perbedaan budaya dan
mengakui bahkan mendorong
terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Ide atau gagasan tersebut dikenal
sebagai gagasan multikulturalisme. Ide multikulturalisme dijelaskan oleh Kottak, “Multiculturalism seeks ways for people to
understand and interact that don’t depend on sameness but on respect for
diversity. Multiculturalism asssumes that each group has something to offer and
to learn from the others” (Kottak 2002: 95). Dalam
kaitannya dengan kekerasan berbalut identitas, dalam hemat saya ide atau
gagasan ini dapat menjadi penawar dalam membebaskan diri dan kelompok identitas
dari ilusi tentang ketunggalan identitas. Ide multikulturalisme yang memberikan
kesempatan bagi identitas (dan gaya hidup) yang berbeda untuk hidup tentunya
merupakan penawar bagi ilusi ketunggalan identitas yang hidup dan dibangun
berdasarkan atas pemikiran oposisi-oposisi biner postkolonial. Pertanyaan
selanjutnya adalah, jika ide atau gagasan tersebut sudah ada lantas
bagaimanakah mengartikulasikan ide-ide tersebut menjadi sebuah praksis yang
dapat diterapkan oleh masyarakat dunia?
Dalam konteks lokal (Indonesia), tentunya ide mengenai multikulturalisme ini dapat diterapkan melalui kebijakan-kebijakan politik identitas. Secara ideologi politik, Indonesia sudah memiliki dasar landasan bagi kebijakan politik multikulturalisme ini melalui nilai-nilai pancasila dan semboyan kebangsaan Bhinneka Tunggal Eka. Melalui dasar falsafah dan semboyan bangsa tersebut tentunya negara dapat mendorong gagasan multikulturalisme diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Misalnya saja dalam pendidikan kewarganegaraan,penegakan aturan hukum (termasuk pemberantasan KKN), dan propaganda-propaganda sosial yang menyerukan kesetaraan masyarakat tanpa harus membeda-bedakan warna kulit, agama, ras, maupun kelompok gender. Dalam konteks yang lebih global, dalam hemat saya yang perlu dilakukan oleh warga dunia adalah dengan mengedepankan rasionalitas dan nalar sebagai manusia tentang kesetaraan. Warga dunia perlu memahami mengenai kesetaraan dan menghargai perbedaan yang ada. Tampak normatif memang, namun hal tersebut merupakan sebuah proses belajar yang panjang untuk membebaskan diri dari kungkungan ilusi ketunggalan identitas menuju masyarakat dunia yang harmonis (tanpa kekerasan?). Mungkinkah? Semoga.