Wayang Beber :
Jejak Peradaban
Indonesia memiliki beragam seni pertunjukan diantaranya adalah seni pertunjukan wayang. Prof. Franz Magnis Suseno S.J., menilai bahwa wayang merupakan perwujudan ekspresi kebudayaan yang bernilai tinggi, baik pada seni pertunjukannya maupun dari sisi filosofi yang terkandung di dalamnya. Berdasar hal ini, maka pada tanggal 7 November 2003, UNESCO mengukuhkan wayang Indonesia sebagai warisan budaya tak benda dunia. Pengakuan UNESCO terhadap wayang Indonesia membuktikan bahwa wayang merupakan de haute culture (high culture) dan merupakan karya monumental bangsa Indonesia untuk dunia (Tulus Warsito, Wahyuni Kartikasari., 2007: 177-178).
Di Jawa khususnya, terdapat beragam jenis wayang antara lain wayang beber, wayang klitik, wayang purwo, wayang golek, wayang suluh, wayang wahyu, wayang budha dan lain-lain. Wayang mengalami perkembangan yang pesat sekarang ini pada ragam, bentuk, dan fungsinya. Perkembangannya menjadikan optimis semua kalangan bahwa ada harapan terang bagi pelestarian, perlindungan dan pengembangan wayang Indonesia.
Wayang beber berbeda dengan wayang-wayang lainnya yang sama-sama digunakan untuk kepentingan pertunjukan. Perbedaan tersebut diantaranya adalah pada bentuk wayangnya. Pementasan wayang purwa misalnya, menampilkan bentuk manusia, raksasa, binatang, tumbuh-tumbuhan, senjata dan lain-lain, ditampilkan sendiri lengkap dengan tangkai pemegang wayang dan atau tangkai penggeraknya. Sedangkan pada wayang beber menampilkan episode cerita/ pejagongan/ adegan berupa gulungan lembaran gambar dalam pementasannya. Keunikan inilah yang menjadikan wayang beber merupakan perwujudan hasil budaya yang istimewa dan perlu mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan.
Konsepsi mengenai kebudayaan penting untuk dipaparkan sebelumnya sebagai pijakan dalam kita memahami proses dan program pelestarian suatu entitas kebudayaan. Koentjaraningrat (2002: 186) mendefinisikan wujud kebudayaan menjadi 3 yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
Wayang beber merupakan formulasi dari ketiga wujud kebudayaan yang tersebut diatas. Ketiganya saling berkait erat satu dengan yang lainnya. Pikiran, ide, nilai kehidupan, tindakan dan karya manusia yang dituangkan dalam dan menjadi wayang beber merupakan salah satu bentuk manifestasi peradaban yang perlu mendapat apresiasi dan pelestarian karenanya. Analogi ini dikuatkan dengan pendapat Ki Sarino Mangunpranoto dari Majelis Luhur Taman Siswa yang mengatakan bahwa budaya manusia terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau lingkungannya.
Asal usul sejarah keberadaan wayang beber hingga kini belum diketahui dengan pasti. Menurut Serat Centini, ketika Jaka Susuruh bertakhta di Majapahit dengan gelar Raja Bratama, dia membuat gambar wayang mencontoh gambar wayang dari Kediri atau Jenggala. Namun gambar wayang tersebut tidak digoreskan pada daun rontal melainkan pada kertas Jawa (dluwang) yang digulung menjadi satu. Pengerjaan wayang tersebut selesai pada tahun 1361 M. Wayang beber kemudian berkembang hingga zaman Majapahit akhir. Konon pada saat itu ada putra Prabu Brawijaya yang sangat pandai menggambar hingga hasil gambarnya terkenal dengan nama Sungging Prabangkara. Dia bertugas melengkapi dan membuat pakaian wayang beber yang tertera diatas kertas dengan menggunakan cat yang beraneka warna dan disesuaikan dengan wujud dan tingkatannya. Karya ini selesai pada tahun 1378 M (Heru S Sudjarwo, dkk., 2010: 51).
Namun, berdasarkan catatan Ma Huan, wayang beber Pacitan diperkirakan dibuat pada tahun 1614 tahun Jawa atau 1692 Masehi. Ma Huan adalah seorang pelaut dari cina yang mengiringi perjalanan Laksamana Ceng Ho dalam perjalanannya mengelilingi dunia. Usia tersebut dipadukan dengan salah satu sengkala yang ada pada wayang beber yang berbunyi, “Gawe Srabi Jinamah ing Wong”, yang berarti gawe: 4, Srabi: 1, Jinamah: 6 dan Wong: 1, kalau dibalik dan disusun angkanya menjadi 1614. Melihat penafsiran dari sengkala tersebut maka dapat diambil kesimpulan adanya kesamaan antara catatan ma huan dengan apa yang disampaikan dalam laporan Ma Huan.
Dr.G.A.J.Hazeu pernah menulis mengenai wayang beber yang dipertotonkan di yogyakarta. Tertera dalam Notulen deel XI dari Bat.Gen.van Kunsten en Wetenschappen tahun 1909. Dalam laporannya, dituliskan bahwa wayang beber pacitan dianggap sebagai wayang yang sporadis namun masih sesekali dipertontonkan di Pacitan dan dianggap sebagai benda yang bertuah. Orang-orang yang mempunyai nadzar, kaul dan sebagainya datang kerumah dalang dengan membawa kembang boreh, kemenyan dan barang lainnya yang dianggap perlu. Dalang kemudian diminta untuk membacakan mantra-mantra terhadap sesajen yang dibawa agar keinginan orang yang mempunyai hajat tersebut terkabul.
Pelestarian dan Eksistensi Masa Kini
Sebagai warisan budaya bangsa, sudah seharusnya wayang beber mendapatkan tempat dalam ranah pelestarian budaya yang sudah harus segera diselamatkan dari kepunahannya. Sudah banyak langkah strategis yang dilakukan oleh banyak pihak untuk melakukan pelestarian wayang beber, agar tetap lestari. Hambatan-hambatan seperti sedikitnya kesadaran publik akan pentingnya mempertahankan eksistensi wayang beber menjadi salah satu hambatan utama dalam proses pelestariannya. Ditambah lagi, proses “kaderisasi” dalang wayang beber yang terkesan eksklusif semakin menambah kesulitan dalam rangka mempertahankan eksistensi wayang beber.
Oleh karena itu, dari paparan singkat mengenai sejarah dan urgensi dari wayang beber itu sendiri, dapat diperoleh beberapa pertanyaan untuk diangkat dan didiskusikan yakni :
1. Apa langkah strategis yang dapat kita lakukan, dalam rangka menginventarisir wayang beber agar terhindar dari kepunahaan?
2. Bagaimana langkah konkrit kita dalam rangka pelestarian wayang beber?
3. Usulan kebijakan seperti apa yang dapat kita berikan kepada para pembuat kebijakan atau stakeholder dalam rangka penyelamatan warisan budaya kita, wayang beber?