Kampanye Hitam untuk Golongan Putih
Beberapa
hari terakhir, banyak berita yang kurang mengenakan yang saya baca melalui media
sosial ataupun media massa mengenai fenomena yang cukup menggetirkan di
masyarakat: kampanye hitam bagi golongan putih (golput).
Fenomena
ini menurut saya cukup menggetirkan karena masyarakat dengan banal-nya
menyalahkan segala macam bentuk penyimpangan demokrasi dan hasilnya yang
terjadi di masyarakat terhadap golongan putih. Sebelumnya, saya sendiri mengakui
bahwa saya bukanlah seorang golongan putih atau tengah dalam posisi mendukung
gerakan golongan putih secara utuh, namun jika kita berfikir dan bertindak
bijak harusnya kita bertanya : Apakah merupakan hal yang adil jika kita
menyalahkan segala macam bentuk kebobrokan proses dan hasil demokrasi terhadap
golongan yang sama sekali tidak memberikan suaranya secara langsung dalam
proses tersebut?. Saya kira jawabnya tidak!
Pada
hakikatnya, kita seharusnya dapat sadar bahwa tindakan golput sendiri sama-sama
merupakan hak seseorang, seperti pula pada hak seseorang untuk memilih. Golput
merupakan bentuk dari partisipasi politik, karena dengan tindakannya proses
demokrasi dapat sadar bahwa apolitisme
itu lahir dan berkembang dari kebobrokan sistem demokrasi itu sendiri bahwa
golput merupakan peringatan bagi proses dan hasil demokrasi tersebut.
Lantas
menjelang pemilu 2014, mengapa fenomena kampanye hitam bagi golongan putih
semakin banyak terjadi?. Dari pendapat saya, setidaknya ada beberapa hal yang
menjadi bahan kehawatiran banyak pihak. Salah satunya, karena banyak partai
yang tidak memiliki sistem kaderisasi partai yang baik, mengalami ketakutan
dalam penurunan jumlah suara pada pemilu 2014. Harus diakui, masyarakat
Indonesia sendiri masihlah merupakan masyarakat yang oportunis, non-ideologis, dan “sok” bersifat inklusif terhadap
berbagai pemikiran dan warna politik. Sifat-sifat yang ada tersebutlah yang
membuat sebagian besar masyarakat Indonesia dikenal sebagai pemilih “abu-abu”
atau swing voters.
Karena
sifat “keabu-abuan” dari pemilih yang demikianlah, maka banyak partai yang
memanfaatkan keadaan tersebut untuk meraih sebanyak-banyaknya suara. Tidak
peduli apakah nantinya dapat mengartikulasikan kepentingan yang dibawa, yang
jelas yang menjadi fokus dari partai adalah kemenangan untuk menuju kekuasaan.
Golput yang hadir dalam masyarakat yang demikian, kemudian menjadi hambatan
tersendiri bagi partai-partai untuk meraih kekuasaannya. Maka dari itu, menurut
saya partai-partai tersebut berusaha untuk menyalahkan keberadaan golput yang
telah menjadi gangguan tersendiri bagi kemenangan mereka.
Selain
fenomena kampanye hitam bagi golongan putih, muncul pula beberapa wacana
tandingan yang dihembuskan untuk melakukan “justifikasi” agar masyarakat mau
memilih bahwa “tidak ada pemimpin yang sempurna, lebih baik memilih pemimpin
yang paling baik diantara yang buruk dibandingkan tidak memilih sama sekali”.
Justifikasi tersebut sekilas terdengar sangat bijak, namun menurut saya jika
kita berfikir lebih dalam ada kebodohan yang terdapat didalamnya.
Jika
kita ditawarkan tiga calon pemimpin yang ketiganya merupakan koruptor; calon A
korup 200 M, calon B 150 M, dan calon C 300 M. Apakah dengan justifikasi yang
demikian kita dapat dengan maklumnya memilih calon B karena memiliki tingkat
korupsi paling rendah?. Jawabnya, tentu tidak. Ketiganya adalah bandit.
Memberikan kesempatan pada bandit untuk memimpin hampir sama dengan membiarkan
maling untuk masuk dan menguasai rumah kita sendiri. Tidak pernah ada jaminan
bahwa maling atau bandit tersebut akan dengan mudahnya berubah.
Lalu, apakah tidak akan pernah ada pemimpin yang bersih yang kemudian layak
untuk dipilih? Jawabannya bukan pada memilih dan dipilih kemudian, namun
kembali pada pada masyarakat itu sendiri. Hakikat
dari sebuah demokrasi jika kita yakin dan percaya adalah merupakan sebuah
proses. Dalam sebuah proses, proses yang baik akan memberikan hasil yang baik
dan proses yang buruk akan memberikan hasil yang buruk. Begitu pula dengan
pemimpin. Pemimpin munafik dihasilkan dari masyarakat yang bermental munafik
dan pemimpin bandit juga dihasilkan dari masyarakat yang bermental bandit pula.
Marilah
sejenak kita lupakan tentang slogan-slogan nasionalis tentang besarnya dan
agungnya bangsa Indonesia. Jika kita berusaha untuk jujur, marilah kita melihat
keadaan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bangsa kita secara mentalitas
masih sangat jauh tertinggal dengan mentalitas bangsa-bangsa lain. Mentalitas
yang menyukai hal yang instan, oportunis, dan tidak mandiri masih menjadi
hambatan yang besar dalam masyarakat kita.
Sudah
bukan saatnya bagi masyarakat dan individu-individu yang ada di dalamnya untuk
selalu berharap perubahan dari pemerintah dan pemimpin-pemimpin yang ada di
dalamnya. Apa
yang saya pelajari dari golongan putih, lebih pada semangat optimisme dibandingkan
pesimisme didalamnya. Kita selamanya tidak boleh bergantung dan berharap pada
kemunculan ratu adil dan satria piningit yang akan membawa kesejahteraan bagi
bangsa Indonesia. Kesejahteraan merupakan sebuah proses yang harus diraih dari
sadarnya dan bangkitnya mentalitas individu-individu dalam sebuah masyarakat,
bahwa sejarah kesejahteraan bangsa bukanlah milik seorang pemimpin atau
sekompok orang, melainkan milik diri setiap individu yang berjuang meraih
kemandirian.