Ospek
: Sebuah Ritus Jalan Pintas (?)
Sebuah
Tinjauan Antropologis
Oleh : Achmad Fadillah
Oleh : Achmad Fadillah
Belakangan ini, publik kita cukup
dikejutkan dengan kejadian kekerasan yang terjadi dalam masa orientasi
pengenalan kampus (Ospek) sebuah perguruan tinggi swasta di kota Malang. Betapa
tidak, dalam acara orientasi pengenalan kampus tersebut diduga diwarnai
berbagai aksi kekerasan, pelecehan seksual, yang berakibat hingga memakan
korban jiwa. Selain kejadian yang terjadi pada ospek salah satu perguruan
tinggi di kota Malang tersebut, publik kita juga mungkin belum lupa dengan
kejadian meninggalnya beberapa siswa di sebuah sekolah tinggi kedinasan di kota
Bandung, yang tewas karena dipukuli oleh seniornya ketika makan malam pada
prosesi awal pengenalan kampus. Beberapa kejadian tersebut, tentunya mengundang
tanda tanya besar bagi masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan Indonesia,
apakah kegiatan yang sudah cukup mengakar dalam dunia pendidikan tersebut masih relevan dalam konteks pendidikan saat
ini. Lantas, apakah kegiatan ospek yang dilakukan saat ini sudah hilang arah
dari tujuannya semula?.
Ospek
dan Kolonialisme
Tidak ada yang tahu secara pasti
sebenarnya siapa yang memulai tradisi ospek dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Meskipun demikian, beberapa pendapat mengatakan bahwa pada mulanya
tradisi ospek dalam dunia pendidikan ini dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda
untuk “mendisiplinkan” warga pribumi dalam kerangka dunia pendidikan. Perlu
diingat sebelumnya, ketika masa itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan
kebijakan stratifikasi berrdasarkan etnis dan ras yang membedakan kelompok-kelompok etnis dan
ras menjadi tiga macam tingkatan dalam masyarakat. Tingkatan paling bawah
adalah masyarakat pribumi (inlander)
yang diisi oleh kalangan orang-orang “asli Indonesia” . Tingkatan kedua adalah
masyarakat timur jauh/asing (vreemde osterlingen) yang diisi oleh kalangan “peranakan” arab dan cina, dan tingkatan
tertinggi tentunya diisi oleh masyarakat kolonial Belanda dan “peranakannya”.
Stratifikasi yang terjadi, kemudian mempengaruhi
pula tentang bagaimana seseorang diperlakukan dalam lingkungannya termasuk
dalam lingkungan pendidikan. Masyarakat pribumi, meskipun merupakan seorang
keturunan bangsawan atau priyayi
tetaplah dianggap tidak memiliki kedudukan yang setara dengan bangsa kolonial
baik dalam sikap dan prilaku yang dilakukannya. Oleh karena itu, pemerintah
kolonial Belanda menerapkan sebuah kebijakan “persamaan” bagi siswa-siswi
pribumi dalam lingkungan pendidikan. Kebijakan “persamaan” ini kemudian
bertujuan untuk memberikan pengenalan akan tata karma dan aturan-aturan etika
ala “Belanda” sehingga siswa-siswi pribumi diharapkan dapat lebih “beradab” dan
lebih loyal terhadap pemerintah kolonial nantinya. Kebijakan pengenalan
persamaan “drajat” inilah yang kemudian dipercaya menjadi salah satu akar dari
tradisi ospek yang ada dalam lingkup dunia pendidikan kita.
Ospek
: Sebuah Ritus Jalan Pintas
Kebijakan pengenalan persamaan “drajat”
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda tentunya bukalah satu-satunya alasan
kuat dilaksanakan tradisi ospek hingga saat ini di dunia pendidikan Indonesia.
Dalam khazanah antropologi, jika kita menilik lebih dalam, proses pengenalan
seseorang kedalam sebuah kelompok sudah cukup sering mendapatkan perhatian.
Beberapa antropolog sebut saja Victor Turner (1967) sudah membahas mengenai
proses ritual “pengenalan” atau inisiasi yang terjadi di suku Ndembu di Afrika.
Suku Ndembu, mempraktikan ritual ishoma
pada para wanita untuk memberikan kesempatan bagi mereka mendapatkan posisi secara
sosial dalam masyarakat sukunya. Selain Victor Turner, antropolog lain yang
memberikan perhatian yang cukup besar dalam ritus inisiasi ini adalah Arnold
Van Gennep dengan karyanya yang berjudul Rites
de Passage (1909).
Dalam karyanya tersebut, Van Gennep
menyatakan bahwa dalam setiap tahapan-tahapan dalam kehidupan manusia sebagai
seorang individu, yakni semenjak lahir, masa kanak-kanak, dewasa, hingga lanjut
usia dan meninggal dunia, manusia mengalami perubahan-perubahan baik secara
biologis maupun sosial yang kemudian mempengaruhi kondisi jiwa dan menimbulkan
krisis mental. Untuk menghadapi kondisi biologis dan sosial yang baru tersebut,
maka dari itu seorang manusia membutuhkan semacam regenerasi, yang diwujudkan
dalam ritus-ritus tahapan kehidupan (life
cycle rites). Lebih lanjut menurut Van Gennep, dalam setiap ritus-ritus
regenerasi tersebut dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu (1) dipisahkan atau separation (2) peralihan atau merge dan kemudian dilakukan proses (3)
pengintegrasian kembali atau agregation
Dalam kerangka konsep Van Gennep
tersebut, setidaknya kita dapat kemudian memahami bahwa setiap individu dalam
masyarakat akan melalui proses-proses “ritus jalan pintas” tersebut agar dapat
masuk dalam masyarakat sebagai seorang individu yang baru dan dianggap terlahir
kembali. Beberapa contoh ritus yang banyak dipraktikan dalam masyarakat kita
sebagai ritus jalan pintas tersebut misalnya, seperti tradisi khitanan, tradisi
kikir gigi, tradisi memotong rambut bayi pertama dan sebagainya. Dalam analisis
lebih lanjut, saya menilai bahwa kegiatan-kegiatan ospek (atau masa orientasi
sekolah/MOS) di dunia pendidikan baik dari tingkat sekolah menengah pertama
hingga tingkat perguruan tinggi merupakan bagian dari ritus jalan pintas dalam
setiap tingkatan lingkungan sosial pendidikan yang baru.
Dalam proses ritus yang disebut ospek
tersebut, idealnya jika mengacu pada konsep “ritus jalan pintas” Van Gennep
harusnya memberikan kelahiran dan pengetahuan baru bagi seorang individu
sebagai acuan dalam menjalani kehidupan dalam tingkatan pendidikan yang baru
yang akan dijalaninya. Menjadi pertanyaan kemudian, apakah ritus-ritus ospek
tersebut saat ini masih relevan dalam memberikan kelahiran dan pengetahuan bagi
seorang individu sebagai acuan dalam menjalani kehidupan dalam tingkatan
pendidikan yang baru yang akan dijalaninya?. Ataukah ritus ospek yang ada saat
ini hanya dijadikan sebagai sarana “plonco” dan wadah tindakan kekerasan antara
senior kepada juniornya?
Kekerasan
dan Ritus Peralihan
Tidak
dapat kita pungkiri, dalam beberapa kebudayaan kekerasan dan ritus peralihan
merupakan sebuah hal yang sulit untuk dipisahkan. Beberapa kebudayaan misalnya,
dalam tahapan separation “membuang” anggota masyarakatnya ke dalam
hutan berhari-hari agar dapat diuji apakah dia dapat bertahan hidup. Kebudayaan
lain misalnya mentato bagian tubuh anggota badan, sebagai tahapan merge atau peralihan seorang individu
agar diterima dalam masyarakat. Tahapan-tahapan tersebut memang terlihat
menyakitkan dan penuh kekerasan namun apakah kekerasan tersebut dapat dijadikan
juga sebagai alasan bahwa ritus ospek juga dapat dilakukan dengan kekerasan?.
Pendapat saya mengenai hal tersebut adalah : relative.
Mengapa relative?, beberapa dari
anda mungkin tidak sependapat dengan pendapat yang saya ajukan. Saya berfikir
tindakan kekerasan yang dilakukan dalam ospek relative dapat dilakukan dalam
kerangka tujuan pendidikan nilai-nilai baru sehingga seorang individu dapat
terlahir kembalidalam tingkatan yang lebih lanjut. Tidakan kekerasan yang saya
maksudkan disini bukan berarti saya bermaksud mendukung tindakan-tindakan
kontak fisik yang dapat menimbulkan cidera atau meninggal dunia. Kekerasan
disini yang saya maksudkan adalah sebagai sebuah tindakan “keras” dalam
melakukan internalisasi nilai-nilai yang baru. Bukankah memaksa seseorang untuk
melakukan yang tidak dia inginkan termasuk “kekerasan” pula bukan?
Pemberian tugas-tugas yang edukatif
dan kontekstual menurut saya menjadi sebuah jalan untuk memberikan “kekerasan
mendidik” seorang siswa baru. Siswa baru pada tahapan ini “diuji” kembali sehingga dapat terlahir kembali dalam
lingkungan yang baru pula.