Menjawab Doktrin
Ateisme
Ateisme
atau faham yang tidak mempercayai adanya keberadaan tuhan tentunya bukan hal
yang asing di tengah-tengah kita. Ateisme hadir dalam setiap sendi kehidupan,
baik dalam tataran ideologis (dogma), praktis, maupun ilmu pengetahuan. Dalam
dunia ilmu pengetahuan sendiri, sudah banyak para pemikir yang menasbihkan
dirinya sebagai seorang ateis. Sebut saja Richard Dawkins dengan The God Delusion yang menyedot
perhatian dunia Internasional dengan
karyanya yang cukup “nyentrik” tersebut. Selain Dawkins, dunia ilmu pengetahuan
juga mengenal nama-nama seperti Christopher Hitchens dengan judul karyanya yang
provokatif yaitu God is Not Great dan
yang terakhir adalah Sam Harris dengan bukunya yang berjudul The End of Faith
Dalam
perpektif saya pribadi, menjadi menarik kemudian mempelajari bagaimana trend ateisme ini dapat terjadi
khususnya dalam dunia ilmu pengetahuan? Adakah yang salah dengan ilmu
pengetahuan? Atau agama sendiri yang selama ini yang digunakan sebagai alat
“tuhan” tidak memberikan hasil apapaun terhadap kehidupan manusia?
Ilmu Pengetahuan VS Agama
Hal
pertama yang menurut saya merupakan penyebab dari trend ateisme di masyarakat
adalah adanya wacana pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Wacana
pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama sendiri bukanlah hal yang baru
dalam khazanah berkehidupan masyarakat. Wacana pertentangan ini sendiri muncul
akibat dari kedua fungsi mendasar dari ilmu pengetahuan dan agama sebagai
sumber dari kebenaran (source of truth),
yang sama-sama memiliki pandangan sendiri atas klaim kebenaran tersebut.
Dalam
ilmu pengetahuan, sebuah kebenaran merupakan hal yang perlu diuji kebenarnya
secara real, dan dapat diterima oleh
nalar dengan prinsip-prinsip logika dan metode yang sahih dan dapat
dipertanggung jawabkan. Sedangkan dalam agama, tentunya sumber kebenaran yang
ada bersumber dari ajaran-ajaran ketuhanan yang lebih menekankan pada hal
spiritual, tidak nampak secara materi, dan bersifat dogmatis.
Pertentangan
antara sumber-sumber kebenaran itulah yang menurut saya menjadi salah satu hal
yang memiliki andil yang cukup besar dalam menciptakan trend ateisme di masyarakat. Karena semakin dianggap “modern”
sebuah masyarakat, maka masyarakat tersebut akan cenderung lebih mempercayai
pada hal-hal yang berbau ilmiah, dan membentuk kategorisasi tersendiri akan
kebenaran mana yang akan dia ambil sebagai sebuah jalan hidup.
Violance
: In the name of God!
Disamping
karena pertentangan antara sumber-sumber kebenaran yakni ilmu pengetahuan dan agama.
Trend ateisme sendiri menurut saya
muncul ditengarai karena meningkatkanya kasus-kasus kekerasan yang
mengatasnamakan agama dan juga ajaranya terhadap tuhan. Tentunya kita tidak
dapat lupa kasus WTC pada September 2001, kasus bom Bali I dan II dan juga
serangkaian kasus kekerasaan lain yang mengatasnamakan agama dan ajaran tuhan.
Kasus-kasus tersebut, di tengah-tengah masyarakat “modern” seakan –akan menjadi
sebuah “pecut” akan munculnya tend
ateisme kontemporer, yang juga dibalut akan semangat kebencian bahwa agamalah
yang merupakan biang keladi dari kasus-kasus kekerasan tersebut.
Menjawab dengan logika dan “bahasa”
Bagaimanakah
kemudian kita menjawab akan munculnya trend
ateisme karena hal-hal diatas?. Dalam hal ini saya menawarkan dua hal untuk
menjawab hal tersebut yakni dengan menggunakan logika dan juga bahasa.
Jika
kita teliti dalam membaca argumen kaum ateis, banyak yang menyandarkan argument
ateisnya pada ilmu pengetahuan, bahwa keberadaan tuhan tidak dapat dibuktikan
secara ilmiah. Menurut saya inilah titik lemah argument dari kaum ateis. Jika
berbicara tentang bukti bahwa tuhan tidak dapat dibuktikan keberadannya secara ilmiah, secara logika hal tersebut juga sejalan
dengan pemikiran bahwa ilmu pengetahuan juga juga belum mampu untuk menjelaskan
ketidakberadaan tuhan. Logika materialis yang secara ilmiah sering
dijadikan sandaran kaum ateis dalam argumennya, seakan menjadi lebih kerdil
jika kita mengingat ketidakberdayaan manusia dalam alam material untuk melakukan
eksplorasi pada alam semesta. Kaum ateis, dalam pandangan saya terlalu
terburu-buru menyatakan ketidakberadaan tuhan tanpa memahami hakikat dan
logikanya sendiri.
Selain
menggunakan logika, untuk menjawab akan munculnya trend ateisme adalah dengan menggunakan bahasa. Dalam pengertian
bahasa secara umum tentunya kita mengenal konsep Langue dan parole melalui
karya Ferdinand de Saussure dalam karyanya
yakni Course in General Linguistics.
Langue sendiri merupakan konsep kata-kata dalam pikiran sedangkan parole merupakan ujaran/ ucapan dari
konsep tersebut. Contohnya saja dalam pikiran kita, ada konsep yang disebut
sebagai gelas. Gelas di alam konsepsi pikiran kita merupakan sebuah benda yang
terbuat dari kaca yang berfungsi untuk minum, sedangkan dalam ujaran atau parole nya kita mengujarkan benda
tersebut dengan kata GELAS. Meskipun, hubungan antara langue dan parole sendiri
bersifat arbitrer (acak) namun, yang kita tahu pasti sebuah ujaran tidak akan
pernah ada atau hadir tanpa adanya konsepsi yang mendasari dari ujaran
tersebut. Dengan kata lain kata merupakan representasi symbol dari konsep yang
berada di alam pikiran kita. Lantas apa hubungannya dengan ateisme?. Kaum ateis
tentunya selalu berargumen bahwa tuhan itu tidak ada. Ada yang aneh dan tidak
logis menurut saya dari pernyataan tersebut jika kita memahami bahwa kata tuhan
sendiri merupakan simbol atau representasi dari konsep yang berada di alam
pikiran kita. Jika kaum ateis menyatakan bahwa tuhan itu tidak ada, sebenarnya
mereka sendiri sudah menegasikan argument mereka sendiri dengan kata tuhan yang
mengindikasikan keberadaan tuhan itu sendiri minimal dalam alam pikiran mereka
sendiri.