Perspektif Antropologi Dalam Seni
Hakikat Seni
Seni,
beserta segala macam aspek didalamnya merupakan hal yang hingga kini tidak
berhenti untuk dibahas dan dibicarakan. Seni, menjadi sebuah objek kajian
tersendiri yang lahir dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Mulai dari
obrolan warung kopi hingga diskusi bertaraf internasional yang menghadirkan
para ilmuan dan profesor seni, masih terus hidup dan bergeliat hingga saat ini.
Geliat perbincangan mengenai seni, bukan hanya terbatas pada objek kajiannya
saja atau hasil-hasil dari “tindakan” berkesenian tersebut, melainkan juga pada
tataran definitif atau hakikat dari seni itu sendiri. Seni, banyak
didefinisikan oleh masyarakat awan secara rancu dan bahkan tumpang tindih
dengan definisi lainnya.
Pendefinisian
yang rancu akan seni erat kaitanya dengan masalah pemahaman akan asal mula dari
terminologi kata seni itu sendiri. Kata “seni” sendiri secara umum banyak
dipadankan dengan kata art dalam bahasa
Inggris. Secara sekilas, kita mungkin tidak banyak menemui perbedaan dalam
padanan kata tersebut, namun jika kita meniliknya lebih lanjut ada nuansa yang
berbeda dalam penggunaan dan asal mula dari kedua kata tersebut. Kata art, berasal dari bahasan latin yakni artem, yang memiliki arti keterampilan,
kecakapan atau skill. Namun, di Eropa pada abad pertengahan kemudian kata art lebih banyak dirujuk kepada hal-hal
pada muatan kurikulum pendidikan, seperti berkaitan pada hal-hal yang bermuatan
logika, grammar,geometry, musik dan
astronomi.
Berbeda
dengan kata art yang memiliki nuansa
arti yang cukup luas, kata seni yang berasal dari bahasa melayu sebenarnya
hanya memiliki nuansa yang sempit yang memiliki arti “kecil”. Kata seni sendiri
sebenarnya tidak terlalu banyak digunakan oleh bangsa-bangsa di Nusantara untuk
merujuk kegiatan-kegiatan “berkesenian”. Contohnya saja pada masyarakat Batak
Toba, pada masyarakat tersebut tidaklah dikenal istilah “seni” pada kegiatan
yang merujuk pada hal-hal yang “kita” kenal sebagai kegiatan berkesenian.
Meskipun demikian, walau tidak ditemukan
istilah seni pada masyarakat tersebut bukan berarti masyarakat tersebut (Batak
Toba) tidak mengenal kegiatan berkesenian.
Dalam
masyarakat Batak Toba dikenal istilah tortor,
yakni sebuah kegiatan yang mengacu pada gerak tubuh yang berpola tertentu dan
teratur yang seiring dengan musik yang mengiringinya. Pada masyarakat “kita”
mungkin kita mengenalinya sebagai salah satu dari kategori “seni tari” namun,
berbeda dengan apa yang mereka maksudkan dalam kegiatan tortor tersebut. Tortor
pada masyarakat Batak Toba lebih dimaksudkan sebagai kegiatan upacara ritual
keagamaan dibandingkan apa yang kita kenali sebagai kegiatan seni. Dari penjelasan
diatas, dapatlah kita pahami kemudian bahwa penyamarataan istilah semisal seni
dengan art dengan tindakan-tindakan
lain yang mengacu pada hal yang serupa merupakan sebuah tindakan penyederhanaan
atau simplifikasi yang mempunyai
akibat pada kerancuan, kesalahpahaman, bahkan bisa pula pada pelecehan.
Perihal Estetika
Bicara
mengenai seni, secara umum masyarakat awam kita selalu mengkaitkan seni dengan
estetika. Estetika pada umumnya terlalu sempit dipandang sebagai ilmu mengenai
keindahan; dan keindahan sendiri banyak dikaitkan oleh orang-orang dengan kualitas
sebuah hal dalam hal bentuk( form). Sifat atau kualitas dari hal
bentuk tersebut kemudian banyak distandardisasi dengan standar istilah baik-buruk, indah-jelek, yang kemudian
menyebabkan cara pandang yang baru bahwa estetika lahir dari luar diri manusia
itu sendiri.
Cara
pandang
dalam melihat keindahan tersebut menurut saya kemudian akan menghasilkan
masalah. Keindahan hanya dipandang dari bentuk dari luar diri manusia itu
sendiri, sehingga keindahan atau estetika menjadi berada diluar dari diri manusia
itu sendiri. Berbeda kemudian dengan pandangan Bourdieu dalam bukunya Distinction
: A social Critique of The Judgement of Taste (1984), dia mengungkapkan bahwa
pandangan mengenai keindahan sebenarnya lahir dan bersemayam dari subjek yang
melihat keindahan itu sendiri yakni manusia. Pandangan mengenai keindahan
tersebutlah yang kemudian dikenal sebagai “ideologi selera alamiah”. Ideologi
selera alamiah yang lahir dari subjek penilai keindahan yakni manusia, tidak
terlepas kemudian pada sistem hierarki yang ada pada diri manusia itu sendiri.
Baik hierarki dalam hal pendidikan, ekonomi, dan sosial turut serta dalam
membentuk ideologi selera alamiah seseorang.
Pandangan
lain yang mendasari mengenai pembentukan penilaian akan keindahan, juga
diungkapkan oleh seorang sosiolog berkebangsaan Amerika yakni Thorstein Bunde
Veblen. Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class (1899)
mengungkapkan bahwa keindahan memiliki keterikatan dengan rasa kepuasaan
dan kompetisi diri akan perasaan mahal. Maksudnya adalah, perasaan kepuasaan yg
timbul akan penghayatan atas produk-produk berharga tinggilah kemudian yang
menyebabkan sebuah hal dikatakan indah.
Seni dan Waktu Luang
Seni,
sebagai salah satu unsur universal dalam sebuah kebudayaan (Koentjaraningrat, 1979) merupakan sebuah aspek yang tidak akan
pernah lepas dari kehidupan manusia. Seni merupakan hal yang dinamis dan
berubah sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat dan manusia itu sendiri. Salah
satu hal yang memiliki keterkaitan yang cukup signifikan dalam pembentukan dan
perubahan akan seni itu sendiri yakni mengenai waktu luang. Waktu luang atau leisure time merupakan sebuah konsep
yang pernah dibahas oleh salah satu pendekar antrhopology yakni Frans Boaz
dalam bukunya Primitive Art (1927).
Dalam
bukunya tersebut dibahas tentang bagaimana sebuah masayarakat manusia sampai
pada tahapan dalam berkesenian, ketika masyarakat tersebut sudah mampu dalam
melakukan subsistensi kebutuhannya sendiri. Contohnya saja pada kehidupan masyarakat
Kamoro (suku mumuika we) di Timika. Masyarakat Kamoro, banyak yang menjadi
pemahat atau Maramowe ketika kehidupannya sudah tercukupi.
Subsistensi
kebutuhan disinilah yang menyebabkan masyarakat kamoro memiliki waktu cukup
luang, sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk ukiran dan
pahatan-pahatan. Aktualisasi diri yang berbentuk ukiran ini, bukan hanya
sekedar “seni” melainkan juga sebagai simbolisasi penghormatan kepada alam dan
roh-roh nenek moyang.
Cabang Seni
Bicara
soal seni, rasanya kurang jika tidak membahas cabang-cabang dari seni itu
sendiri. Dalam perspektif secara umum atau dalam kacamata orang awam, seni
diklasifikasikan dalam banyak cabang dan ragam, tergantung bagaimana klasifikasi
tersebut dibuat. Dalam hal cabang-cabang seni, secara umum kita dapat mengikuti
pendapat ahli yakni Koentjaraningrat (1990) bahwa seni secara umum dibagi
menjadi dua cabang yakni seni rupa atau kesenian yang dapat dinikmati oleh
manusia dengan mata dan seni suara atau kesenian yang dapat dinikamti manusia
dengan telinga. Koentjaraningrat (1990), kemudian membagi kembali dua lapang
kesenian tersebut menjadi beberapa cabang. Dalam lapangan seni rupa terdapat
seni patung, seni lukis, serta gambar dan seni rias. Seni musik ada yang berupa
vokal dan ada pula yang berbentuk instrumental, serta seni sastra terdiri dari
prosa dan puisi. Selanjutnya, masih oleh menurut Koentjaraningrat “Suatu
lapangan kesenian yang meliputi kedua
bagian tersebut diatas adalah seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini
dapat dinikmati baik oleh mata maupun telinga”
Pendekatan Fungsional
dalam Seni
Berbicara
tentang seni, tentunya tidak akan lepas dari kebudayaan. Selain karena seni
merupakan salah satu unsur universal dalam sebuh kebudayaan, seni juga memiliki
keterkaitan dalam hal fungsi dengan kebudayaan itu sendiri. Berbicara tentang
fungsi, dan kebudayaan tidak lengkap rasanya untuk tidak menyinggung pendekatan
fungsionalisme kebudayaan yang dikemukakan oleh Malinowski. Dalam bukunya yang
berjudul A Scientific Theory of Culture and Other
Essays (1944), Malinowski menjelaskan berbagai macam kegiatan atau
aktivitas kebudayaan yang kompleks sebenarnya ditujukan dalam rangka pemuasan sejumlah
kebutuhan manusia yang berhubungan dengan keseluruhan kehidupannya. Kesenian
sebagai contoh dari dari salah satu unsur kebudayaan sendiri lahir dari
kebutuhan manusia akan nalurinya akan keindahan yang harus dipuaskan.
Dengan berpijak pada pendekatan fungsional tersebut, dapatlah jika
ditilik lebih jauh bahwa kesenian pada perkembangannya kemudian berkembang
bukan hanya untuk pemuasaan rasa keindahan manusia saja, namun memiliki arti lebih didalamnya. Salah
satu contohnya semisal fungsi salah satu cabang dari seni yakni musik, dalam
buku Antropology of Music diapaprkan setidaknya
ada 8 fungsi musik yakni (1) stimulate activity in work and play (music
digunakan untuk menstimulasi dalam pekerjaan dan permainan) (2) Ungkapan
ekspresi emosional (3) Kesenangan astetis (4) Hiburan (5) Komunikasi
(6)Representasi simbolik (7)Respon fisik (8) Kontrol sosial.
Daftar Pustaka
Bourdieu,
P
(1984 ) .Distinction
: A social critique of the judgement of taste.
Merrian, A.P.
(1964).
Anthropology of Music.Northwestern : Northwestern
University Press.
Simatupang.L.S
(2010) Perspektif Antropologi dalam
Seni dan Estetika dalam Jurnal Asintya vol 2
No.1 Juni 2010. Yogyakarta : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Koentjaraningrat.
(1979) Pengantar
Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
(1980) Sejarah Teori Antropologi I.
Jakarta : UI-Press