Membangun Nation Branding Melalui Invensi Tradisi
Pendahuluan
Urgensi dan kesadaran dalam membangun merek dan citra
sebuah bangsa sudah dimulai semenjak sebuah bangsa itu sendiri lahir (Gungwu,
2005). Kesadaran dalam membangun merek dan citra sebuah bangsa pada mulanya
lahir atas dasar kepentingan politis dalam membangun identitas kebangsaan
sebuah negara-bangsa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Anderson (1983) dalam
tulisannya yang berjudul Imagined
Communities, menurutnya bangsa merupakan sebuah “imagined political community- and imagined as both inheritly limited
and sovereign (Anderson, 1983:6). Dalam tulisannya tersebut, dapat dipahami
bahwa merek dan citra sebuah bangsa (kemudian negara-bangsa) pada mulanya
dibangun untuk membangun imajinasi kebangsaan sebuah komunitas, bahwa komunitas
tersebut merupakan sebuah komunitas yang satu sebagai sebuah bangsa yang meski
tidak saling mengenal satu sama lainnya namun diikat dalam sebuah tali ikatan persaudaraan dan persamaan (the image of communion).
Ikatan persaudaraan horizontal menjadi satu dasar bagi anggota sebuah bangsa mengikatkan
diri di dalam entitas satu bangsa (Anderson, 1983: 6-7).
Pada perkembangannya kemudian, kesadaran membangun citra atau merek sebuah bangsa berkembang bukan hanya terkait dengan pembangunan identitas kebangsaan secara politis semata, namun juga berkaitan dengan dignitiy dan pembangunan kesejahteraan. Citra sebuah bangsa dan atau negara berdampak besar pada aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Citra sebuah negara-bangsa berkaitan erat dengan reputasi sebuah negara-bangsa baik dimata anggota negara-bangsa itu sendiri maupun dengan negara-bangsa lainnya. Karena dampaknya yang begitu besar dan stratejik, pembangunan terhadap merek sebuah bangsa menjadi penting dalam pembangunan kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia. Hal tersebut sebagaimana yang sudah dilakukan oleh negara-negara ‘maju’ saat ini seperti Swiss, Skotlandia, Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut sudah mulai menginisiasi pembangunan merek bangsa mulai pada awal dekade 90-an dengan berbagai kegiatan baik dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya. Lantas, menjadi pertanyaan kemudian adalah dimanakah posisi Indonesia dalam pembangunan nation branding saat ini? Pengukuran secara global dalam aspek nation branding pernah dilakukan oleh Anholt Gfk Roper dan Future Brand dengan menggunakan CBI (Country Brand
Index). Menurut
pengukuran Anholt Gfk Roper dengan menggunakan indikator-indikator seperti;
pariwisata, tingkat eksport, kondisi pemerintahan, kondisi investasi dan
imigrasi, kebudayaan, dan kondisi SDM, pada
tahun 2010, Indonesia masih menempati posisi ke 44 dari 50 negara. Sedangkan
dalam perhitungan yang dilakukan oleh Future Brand pada tahun 2014, Indonesia hanya
menempati posisi ke 66 dari 75 negara. Jauh tertinggal dengan negara tetangga,
yakni Singapura dan Australia.
Ketertinggalan tersebut bukan tidak disadari oleh pihak pemerintah Indonesia. Pada tahun 2011, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Marie Elka Pangestu mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan nation branding untuk memperkenalkan produk-produk Indonesia khususnya di Eropa (ANTARA, 2011). Selain Kementerian Perdagangan, badan lain yang mencoba melakukan nation branding adalah Kementerian Pariwisata dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Meski sudah cukup banyak badan pemerintah yang mencoba untuk mengembangkan nation branding, namun sayangnya hal-hal tersebut tidak terkoordinasi dengan baik. Hal ini tercermin dari penggunaan tagline yang digunakan dalam membangun nation branding yang dilakukan. Misalnya saja Kementerian Perdagangan dengan “100% Indonesia”, Kementerian Pariwisata dengan “wonderful Indonesia” , dan BKPM dengan “remarkable Indonesia”. Tidak terintegrasinya tagline yang diusung meski hanya sebagian kecil dari pembentukan nation branding namun mencerminkan tidak sinergis dan tidak terintegrasinya pembangunan ‘imaji’ mengenai nation branding antar sektor sehingga tidak menimbulkan dampak yang besar terhadap struktur kognisi dan kepercayaan yang diyakini sebagai sebuah ‘brand’ oleh masyarakat baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia. Oleh karena itu, menjadi penting kemudian dirumuskan sebuah strategi dan roadmap dalam merumuskan nation branding yang tepat sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa.
Pada perkembangannya kemudian, kesadaran membangun citra atau merek sebuah bangsa berkembang bukan hanya terkait dengan pembangunan identitas kebangsaan secara politis semata, namun juga berkaitan dengan dignitiy dan pembangunan kesejahteraan. Citra sebuah bangsa dan atau negara berdampak besar pada aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Citra sebuah negara-bangsa berkaitan erat dengan reputasi sebuah negara-bangsa baik dimata anggota negara-bangsa itu sendiri maupun dengan negara-bangsa lainnya. Karena dampaknya yang begitu besar dan stratejik, pembangunan terhadap merek sebuah bangsa menjadi penting dalam pembangunan kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia. Hal tersebut sebagaimana yang sudah dilakukan oleh negara-negara ‘maju’ saat ini seperti Swiss, Skotlandia, Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut sudah mulai menginisiasi pembangunan merek bangsa mulai pada awal dekade 90-an dengan berbagai kegiatan baik dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya. Lantas, menjadi pertanyaan kemudian adalah dimanakah posisi Indonesia dalam pembangunan nation branding saat ini? Pengukuran secara global dalam aspek nation branding pernah dilakukan oleh Anholt Gfk Roper dan Future Brand dengan menggunakan CBI (Country
Ketertinggalan tersebut bukan tidak disadari oleh pihak pemerintah Indonesia. Pada tahun 2011, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Marie Elka Pangestu mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan nation branding untuk memperkenalkan produk-produk Indonesia khususnya di Eropa (ANTARA, 2011). Selain Kementerian Perdagangan, badan lain yang mencoba melakukan nation branding adalah Kementerian Pariwisata dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Meski sudah cukup banyak badan pemerintah yang mencoba untuk mengembangkan nation branding, namun sayangnya hal-hal tersebut tidak terkoordinasi dengan baik. Hal ini tercermin dari penggunaan tagline yang digunakan dalam membangun nation branding yang dilakukan. Misalnya saja Kementerian Perdagangan dengan “100% Indonesia”, Kementerian Pariwisata dengan “wonderful Indonesia” , dan BKPM dengan “remarkable Indonesia”. Tidak terintegrasinya tagline yang diusung meski hanya sebagian kecil dari pembentukan nation branding namun mencerminkan tidak sinergis dan tidak terintegrasinya pembangunan ‘imaji’ mengenai nation branding antar sektor sehingga tidak menimbulkan dampak yang besar terhadap struktur kognisi dan kepercayaan yang diyakini sebagai sebuah ‘brand’ oleh masyarakat baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia. Oleh karena itu, menjadi penting kemudian dirumuskan sebuah strategi dan roadmap dalam merumuskan nation branding yang tepat sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa.
Rumusan Masalah : Nation
Branding Sebagai Sebuah Urgensi ?
Kajian-kajian mengenai nation branding saat ini masih terkait dengan dimensi-dimensi
pemasaran, komunikasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Padahal dalam praktiknya, kajian nation
branding lebih kompleks dibandingkan
dengan hal-hal tersebut. Mengutip Dinnie (2010: 15) nation branding bukan hanya
tentang masalah citra melainkan juga mengenai the unique, multi-dimensional
blend of elements that provide the nation with culturally grounded
differentiation and relevance for all of its target audiences. Dengan kata lain
nation branding bukan hanya
menyangkut kajian mengenai citra melainkan juga kajian multidimensional yang
melibatkan banyak elemen yang mendasarkan pada
aspek-aspek kultural yang berbeda dan relevan dengan target adopter.
Menjadi masalah kemudian adalah, dalam hemat saya, saat ini para pembuat kebijakan di Indonesia masih berfokus pada pengembangan nation branding melalui dimensi-dimensi yang parsial dan tidak melibatkan triplay bottom line (pemerintah, swasta, dan masyarakat) secara holistik. Masalah tersebut menjadi semakin mengkhawatirkan ketika arus globalisasi disertai dengan persaingan global semakin mengemuka saat ini. Indonesia, sebagai sebuah negara-bangsa semakin tersisih jauh dalam persaingan global. Hal ini dapat dilihat dari Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2014-2015 yang masih menempatkan Indonesia pada urutan ke-34 jauh di bawah negeri negeri ‘jiran’ Singapura pada posisi ke-2 dan Malaysia pada posisi ke-20. Hal ini sesungguhnya sangat ironis mengingat Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah ruah, ditambah dengan bonus demografi manusia ‘produktif’ dengan 67% berusia antara 15-55 tahun dan 27 % berusia antara 15-30 tahun (BPS, 2014)
Menjadi masalah kemudian adalah, dalam hemat saya, saat ini para pembuat kebijakan di Indonesia masih berfokus pada pengembangan nation branding melalui dimensi-dimensi yang parsial dan tidak melibatkan triplay bottom line (pemerintah, swasta, dan masyarakat) secara holistik. Masalah tersebut menjadi semakin mengkhawatirkan ketika arus globalisasi disertai dengan persaingan global semakin mengemuka saat ini. Indonesia, sebagai sebuah negara-bangsa semakin tersisih jauh dalam persaingan global. Hal ini dapat dilihat dari Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2014-2015 yang masih menempatkan Indonesia pada urutan ke-34 jauh di bawah negeri negeri ‘jiran’ Singapura pada posisi ke-2 dan Malaysia pada posisi ke-20. Hal ini sesungguhnya sangat ironis mengingat Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah ruah, ditambah dengan bonus demografi manusia ‘produktif’ dengan 67% berusia antara 15-55 tahun dan 27 % berusia antara 15-30 tahun (BPS, 2014)
Dalam pandangan saya, tidak seriusnya pengembangan nation branding bukan hanya salah satu penyebab dari tidak berdayanya bangsa kita dalam menghadapai tantangan global, namun juga menyebabkan ‘kematian’ pada mentalitas superior kita sebagai sebuah bangsa. Nation branding yang salah urus, dalam pandangan saya juga menyebabkan warga masyarakatnya memiliki kecenderungan inferior complex alias minder terhadap segala macam hal yang berbau asing. Hal ini terjadi karena warga masyarakat menjadi tidak memiliki rasa kebanggaan terhadap hal-hal yang berbau ke-Indonesiaan karena dianggap kurang bernilai dibandingkan hal-hal yang berasal dari luar. Kondisi-kondisi demikian, tentunya membuat pembentukan nation branding untuk Indonesia menjadi penting untuk segera dilakukan saat ini.
Gambar 2: Grafik Demografi Penduduk Indonesia
Sumber: BPS, 2014
Inventing
Tradition Sebagai Strategi Membangun Merek Bangsa
Sebagai sebuah negara-bangsa yang memiliki sejarah dan
perkembangan kebangsaan yang panjang. Tentu saja strategi dalam perumusan nation branding Indonesia tidak dapat
disamaratakan dengan bangsa-bangsa lainnya. Indonesia sebagai sebuah
negara-bangsa yang besar dan majemuk harus memiliki ide dan gagasan tersendiri
terkait dengan pembentukan merek bangsanya. Dalam analisis yang lebih mendalam,
pembentukan merek bangsa tentunya juga berkaitan erat dengan pembentukan
identitas kebangsaan yang diakui baik oleh anggota bangsa itu sendiri maupun
ketika sedang berhadapan dengan bangsa lain (Woodward,1997).
Skema Identitas Kebangsaan dan Nation Branding
Sumber: Ying Fan, 2010
Dalam prosesnya pembentukan merek bangsa dan identitas
kebangsaan tentunya berkaitan kuat karena berhubungan dengan sentimen kebangsaan.
Sentimen-sentimen tersebut menurut Shahab (2004) , Hobsbawn (1992), dan
Gunawijaya (2011) dapat diciptakan dan direplikasi melalui sebuah strategi yang
disebut sebagai invensi tradisi. Invensi tradisi dapat diartikan sebagai sebuah
proses formalisasi dan ritualisasi yang
karakteristiknya merujuk pada masa lalu yang terjadi dan dilakukan secara
berulang-ulang (repetisi) secara kontinu dan berkembang secara luas,
hingga dapat merespon situasi yang baru (Hobsbawm, 1992:2). Invensi tradisi juga merupakan praktik-praktik
yang diciptakan oleh seorang atau kelompok inisiator untuk tujuan-tujuan
tertentu, dikemas dalam simbol-simbol lama, berkaitan dengan sejarah masa lalu
dan sesuai dengan norma-norma yang
berlaku umum hingga dapat diterima secara wajar oleh sebagian besar warga suatu
masyarakat (Hobsbawm, 1992: 2). Sebagai sebuah strategi dalam membentuk nation branding, invensi tradisi dapat
digunakan untuk mengintegrasikan berbagai potensi yang ada baik potensi sumber
daya alam dan potensi sumber daya manusia melalui berbagai praktik
‘ritual-formal’ yang menginternalisasikan nilai-nilai nation branding dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Meski
secara praksis terdapat berbagai cara yang memungkinkan hal-hal tersebut
dilakukan, namun dalam tulisan ini saya ingin menyoroti beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam membentuk nation branding
menggunakan strategi invensi tradisi. Hal-hal tersebut antara lain:
a.
Bahasa dan Institusi
Pendidikan
Bahasa dan pendidikan menjadi fokus pertama ketika akan
membentuk nation branding melalui
strategi invensi tradisi. Bahasa menjadi penting karena melalui bahasalah
berbagai sentimen kebangsaan dapat ditransmisikan menjadi realita dan begitu
pula sebaliknya. Bahasa menjadi sarana simbolik atau menjadi model of dan model for reality
(Geertz, 1973) sehingga sentimen kebangsaan yang membentuk nation branding dapat
disebarkan dan terlaksana. Tidak jauh berbeda dengan bahasa, institusi
pendidikan dapat menjadi sarana pertama dalam mentransmisikan nation branding yang dibentuk oleh
otoritas. Sifatnya yang institusional dapat berperan menjadikan nation branding yang ditransmisikan
menjadi hagemonik mengakar kuat di masyarakat.
b.
Kewirausahaan
Faktor kedua yang berperan penting dalam proses
pembentukan nation branding melalui
strategi invensi tradisi adalah budaya kewirausahaan. Budaya kewirausahaan
penting untuk dibentuk dan dikembangkan untuk mendorong bangsa kita menjadi
bangsa yang produktif bukan konsumtif. Berdasarkan pada data yang ada, negara-negara yang memiliki GCI dan CBI yang
baik umumnya merupakan negara-negara produsen yang bukan hanya memproduksi
barang semata namun juga produktif dalam mencetak produk-produk yang berbasis value added oriented.
c.
Mentalitas Kekuasaan
dan Kepemimpinan Inisiator
Faktor terakhir dan paling penting adalah mengenai
mentalitas kekuasaan dan kepemimpinan dari inisator nation branding. Mentalitas kekuasaan disini saya artikan sebagai
sikap-sikap good governance yang
mendasari kekuasaan tersebut diperoleh dan dijalankan. Hal tersebut penting karena
akan menjadi basis trust dari
masyarakat kepada pimpinannya. Sedangkan kepemimpinan iniastor nation branding lebih pada kemampuan
kepemimpinan dalam menterjemahkan tujuan menjadi strategi, jargon menjadi aksi,
dan mengagregasikan berbagai kepentingan yang ada antar sektor menjadi tindakan
yang sinergis sehingga mencapai tujuan bersama dengan dampak yang optimum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar