Rabu, 31 Oktober 2012

Kerusakan Taman Nasional Danau Sentarum dan Penyelamatan Kolaboratif


Kerusakan Taman Nasional Danau Sentarum dan Penyelamatan Kolaboratif

Kasus yang saya angkat untuk menjawab mengenai kasus pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang menyebabkan kerusakan kondisi ekosistem saya mengambil contoh pada kasus kerusakan taman nasional danau sentarum, di Propinsi Kalimantan Barat. Taman Nasioanl Danau Sentarum (TNDS), menurut  data yang saya dapatkan dari situs resmi Departemen Kehutanan RI[1],  merupakan sebuah kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam.Danau itu adalah celengan air raksasa. Di musim hujan, Sentarum menabung 25 persen air Sungai Kapuas. Saat kemarau, Sentarum memasok separuh air yang mengaliri Kapuas. 
Luas seluruh kawasan Danau Sentarum 132.000 ha ditambah dengan 64.000 ha yang diusulkan sebagai daerah penyangga. Sekitar 20 ha merupakan danau musiman yang menjadi penutup daerah seluas 30.500 ha, sisanya merupakan hutan rawa gambut. Danau Sentarum merupakan daerah retensi/luapan banjir (retarding basin)dari Sungai Kapuas yang merupakan daerah tangkapan air dan sekaligus sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Dengan demikian, daerah-daerah yang terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di danau tersebut. Danau Sentarum merupakan komplek danau-danau, lebih dari dua puluh buah danau secara alami bertindak sebagai reservoar. Luapan banjirnya yang melanda bentang Sungai Kapuas secara otomatis akan tertampung di sini. Saat itulah limpahan airnya menggenangi hutan rawa air tawar primer yang ada di kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum.
Adapun hal yang menjadi penyebab kerusakan TNDS, mayoritas  adalah maraknya penebangan kayu ilegal. Kerusakan ekosistem Taman Nasional Danau Sentarum, kini semakin parah. Kondisi ini disebabkan karena adanya pembukaan lahan secara besar-besaran untuk 15 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan penangkapan ikan secara berlebihan di danau tersebut.
Akibat pembukaan lahan oleh perkebunan-perkebunan besar ini, terjadi degradasi lingkungan di sekitar TNDS. Daerah yang sudah telanjur dibuka tidak ditanami, bahkan ditinggalkan. Perubahan yang terjadi di TNDS itu juga berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas air danau yang menjadi konservasi lahan basah internasional. Padahal keberadaan Danau Sentarum memiliki keterkaitan dan tidak bisa dilepaskan dengan ekosistem Sungai Kapuas. Danau itu terbentuk akibat terjadinya meander and oxbow lake atau perluasan dari dataran banjir. Misalnya, danau ini menampung kelebihan air Sungai Kapuas pada musim banjir dan mengisi kembali ke alur Sungai Kapuas pada musim kemarau.
  
 Kerusakan TNDS : Dari Politics Of Unsustainability hingga Sebuah Pilihan Rasional

Kerusakan pada TNDS, dapat kita lihat sebagai sebuah kerusakan yang mayoritas dilakukan oleh manusia. Kerusakan-kerusakan tersebut, salah satunya disebabkan oleh tidak jelasnya peranan pemerintah tentang bagaimana regulasi untuk melindungi kawasan TNDS. Otoritas pengelolaan taman nasional idealnya mengacu pada Menteri Kehutanan (Lihat Peraturan Menteri Kehutanan No.P19/Menhut- II/2004). Akan tetapi pemerintah pusat belum berhasil membentuk mekanisme pengelolaan taman nasional yang efektif. Sebaliknya dalam era desentralisasi ini, pemerintah kabupaten mengharapkan pemerintah pusat menyerahkan sebagian urusan pengelolaan taman nasional kepada pemerintah kabupaten untuk secara bersama-sama mengelola taman nasional, dengan pembagian wewenang, peran dan fungsi antara pemerintah pusat, dan kabupaten.
Ketidakjelasan akan regulasi atau aturan yang menjadi payung dalam pengelolaan TNDS ini antara regulasi pusat dan daerah yang kemudian menyebabkan apa yang disebut sebagai Politics Of Unsustainability[2]. Politics Of Unsustainability, didefiniskan oleh Shoreman, Elanor E., & Nore Haenn (2009), dalam tulisannya “Regulation, Conservation, and Collaboration : Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” sebagai sebuah keadaan non ekologis (sosial, politik, hukum, ekonomi, kultural ) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis (lingkungan primer, alam). Selain, ketidakjelasan aturan (secara politis) yang disebabkan oleh tumpang tindihnya aturan antara pemerintah lokal dan pusat, keadaan non ekologis lain yang menyebabkan buruknya keadaan ekologis pada TNDS adalah keadaan sosial dan ekonomi yang menunjang kerusakan TNDS.
            Dari data yang berhasil saya himpun, salah satu  penyebab kerusakan terbesar dari TNDS adalah salah satunya kegiatan ekonomi yakni pembukaan lahan oleh beberapa perusahaan untuk kepentingan lahan kelapa sawit . Salah satu perusahaan, yang mendapatkan konsesi pembukaan lahan bagi 7 anak perusahaannya yakni perusahaan PT Sinar Mas[3]. Pembukaan dan penanaman kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Sinar Mas dan perusahaan lainnya akan dapat merusak flora, fauna, dan habitat lain di wilayah TNDS. Selain kerusakan yang disebabkan karena kondisi ekonomi yakni pembukaan lahan kelapa sawit, faktor non ekologis lain yang merusak salah satunya adalah faktor sosial. Faktor sosial yang saya maksudkan disini adalah kebiasaan dari masyarakat sekitar TNDS untuk membuat keramba ikan dan menebang kayu di kawasan TNDS.
            Harus kita ketahui bersama sebelumnya, ada dua suku, yaitu Melayu dan Dayak
Iban, yang berdiam di dalam TNDS. Kedua suku tersebut merupakan penduduk asli karena sebagian besar suku Melayu keturunan dari suku Dayak[4]. Total jumlah penduduk yang tinggal dalam kawasan ini diperkirakan pada saat ini antara 10 sampai dengan 11 ribu jiwa , yang tersebar dalam 40 kampung. Jumlah masyarakat yang cukup banyak yang bergantung pada TNDS juga memiliki banyak dampak, salah satunya kerusakan alam yang disebabkan karena penggunaan keramba ikan yang dilakukan secara sembarangan dan penebangan pohon  yang dilakukan secara berlebihan oleh masyarakat lokal. Politics Of Unsustainability, atau faktor non ekologis yang buruk secara ekonomi dan sosial tersebutlah yang saya lihat sebagai beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan di TNDS. Lantas, kemudian yang menjadi pertanyaan saya adalah, mengapa Politics Of Unsustainability dari faktor ekonomi dan sosial itu dapat terjadi dan dapat menyebabkan kerusakan alam di TNDS?
            Salah satu hal, yang menurut saya dapat menjawab mengapa Politics Of Unsustainability dengan faktor politik, sosial dan ekonomi itu terjadi karena adanya pemikiran atau prinsip pilihan rasional baik pada pemerintah, masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. Sebelumnya, prinsip rasionalitas jika mengacu pada tulisan John W. Bannet[5] (1980), dalam Human Ecology as Human Behaviour dijelaskan sebagai sebuah proses mengenai bagaimana manusia memiliki pemikiran dan atau pendekatan pilihan rasional dalam kaitannya dengan lingkungan dan pemanfaatannya. Pendekatan pilihan rasional sendiri merupakan sebuah bentuk pendekatan  yang mengacu pada rasionalitas (akal sehat), dimana pada intinya pendekatan ini selalu melihat optimalisasi dari kepentingan manusia dan peningkatan pada efisiensi kerja.
            Optimalisasi dari kepentingan manusia dan efisensi inilah yang harusnya kita garis bawahi dalam rangka melihat Politics Of Unsustainability, dari faktor politik ekonomi dan sosial sebagai variabel yang menyebabkan kerusakan di TNDS. Optimalisasi keuntungan secara politik yang ingin dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah juga keuntungan ekonomi dan sosial yang berlebihaan tanpa melihat dampak yang ditimbulkan (dalam rangka efisiensi), inilah yang kemudian menyebabkan kerusakan alam di TNDS. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, solusi apa yang dapat dilakukan khususnya oleh para antropolog untuk mengurangi dampak kerusakan alam TNDS, yang disebabkan oleh Politics Of Unsustainability faktor sosial ekonomi yang didasarkan atas pemikiran rasional manusia?
Penyelamatan Kolaboratif : Sebuah Solusi Antropologis Penyelamatan TNDS
Politics Of Unsustainability dengan faktor politik, sosial dan ekonomi yang menjadi masalah dalam kerusakan TNDS, sudah seharusnya segera mendapatkan solusi yang tepat dalam mengatasinya. Sebagai seorang antropolog yang memiliki pendekatan secara holistik sudah seharusnya kita melihat solusi dari sebuah masalah secara holistik pula, salah satu cara dalam memecahkan masalah secara holistik salah satunya adalah dengan cara solusi yang kolaboratif dalam hal ini lebih tepatnya penyelamatan yang kolaboratif. Penyelamatan kolaboratif, menurut Peraturan Menteri Kehutanan P.19/2004 merupakan sebuah tindakan penyelamatan dengan mempertimbangkan keterlibatan dari banyak pihak yang memiliki kepentingan atas sebuah objek atau sumber daya tersebut. Lain halnya dengan apa yang dijelaskan oleh Moseley, C. (2003[6]). Menurtunya, pendekatan penyelamatn kolaboratif merupakan proses dimana pihak yang berlatar belakang plural berunding dan bereskperimen untuk mendefinisikan prioritas, mengembangkan solusi termasuk hubungan masing-masing pihak terhadap pengelolaan sumber daya alam. Mengikuti pola pikir dari Moseley kemudian, hal pertama yang kita lakukan dalam penyelamatan kolaboratif adalah mendefinisikan prioritas pihak-pihak yang berkepentingan, atau kemudian yang disebut sebagai analaisis pemangku kepentingan.
Dalam analisis pemangku kepentingan, perlu dipetakan kemudian kepentingan-kepentingan, solusi dan hambatan apa sajakah yang ada dilapangan. Mapping dalam analisis pemangku kepentingan ini pula penting halnya khususnya dalam menghindari konflik dalam usaha penyelamatan TNDS. Setelah melakukan analisis kepentingan pihak-pihak yang terkait, masih mengikuti pola pikir Moseley, langkah selanjutnya adalah dengan cara menciptakan komunikasi dan partisipasi dari setiap pihak yang berkepentingan dalam hal ini saya melihat yang harus terlibat dengan intens adalah pihak pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, dan pihak-pihak perusahaan yang berkepentingan secara ekonomi seperti PT Sinar Mas, sebagai pemegang konsesi pembukaan lahan kelapa sawit.
Proses komunikasi yang dilakukan perlu memberikan sebuah hasil belajar yang dapat memberikan solusi yang kolaboratif terhadap pemecahan kerusakan TNDS. Secara umum, saya mengusulkan proses komunikasi pihak-pihak yang terkait seperti skema di bawah ini





Setelah melakukan proses analisis kepentingan, lalu melakukan proses komunikasi yang melibatkan partisipasi dan proses belajar didalamnya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam sebuah penyelamatan kolaboratif menurut Moseley adalah melakukan evaluasi pelaksanaan yang kemudian dijadikan bahan dalam melihat faktor pendukung dan penghambat dalam proses penyelamatan kolaboratif tersebut.

Kesimpulan

Kerusakan TNDS, merupakan kerusakan yang dominan terjadi karena pengaruh manusia. Faktor Politics Of Unsustainability atau keadaan non ekologis (dalam kasus kerusakan TNDS yakni faktor sosial, ekonomi) yang buruk yang juga menyebabkan buruknya keadaan ekologis menjadi penyebab utama dari dituding menjadi penyebab utama kerusakan TNDS. Pola pikir rasionalitas yang mengedepankan pencarian keuntungan sebesar-besarnya dengan efisiensi yang besar turut serta menjadi faktor pendorong dalam merusak alam TNDS. Pola Penyelamatan yang holistik, yakni penyelamatan kolaboratif perlu segera dilakukan dalam menyelesaikan kerusakan alam di TNDS. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam penyelamatan kolaboratif antara lain (1) Analisis pemangku kepentingan (2) menciptakan proses belajar komunikasi dan partisipasi dalam rangka penyelamatan (3) Melakukan evaluasi terhadap faktor penghambat dan pendukung proses penyelamatan yang kolaboratif.
Pada akhirnya setelah langka-langah itu dilakukan diharapkan TNDS, dapat diselamatkan dengan win-win solution, dengan selalu mengedepankan usaha dalam rangka memperbaiki alam untuk masa depan anak-cucu kita.











Daftar Pustaka

Bennet, J.W (1980)
“Human Ecology as Human Behaviour : A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”. Hal 243-278

Moseley, C. (2003)

“Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.

Shoreman, Eleanor (2009)

“Regulation, Collaboration, and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 .90-107.


Referensi Internet :
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_sentarum.htm  dikutip pada tanggal 28 Oktober 2012, pukul 15.30

http://www.walhi.or.id/ dikutip pada tanggal 28 Oktober 2012, pukul 16.00


http://pariwisata.kapuashulukab.go.id/page/cagar_budaya.html dikutip pada tanggal 28 Otober 2012, pukul 20.24





[2] Diintisari dari : Shoreman, Eleanor. “Regulation, Collaboration, and Conservation: Ecological Anthropology in the Mississippi Delta” Human Ecology. 37 (2009): 90-107.
[5] Dikutip dari :  Bennet, J.W (1980) “Human Ecology as Human Behaviour : A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse”. Hal 243-278
[6] Moseley, C. 2003. “Constrained Democracy: Environmental Outcomes and Collaborative Management.” Paper presented at the conference entitled, Evaluating Methods and Environmental Outcomes of Community-Based Collaborative Processes, Salt Lake City, September 14-16, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar